Copyright © 2014 CamilleMarion All Rights Reserved
Chapter 31. Margot Eglantyne Carol Bainbridge
Aku, Angie, Louisa, dan Sally tengah berkumpul di apartemenku sore itu sambil menonton film dan asyik mengobrol. Setiap beberapa minggu sekali kami, cewek-cewek, memang menyempatkan diri untuk berkumpul dan melakukan girl talking.. Membahas berbagai macam hal, dari hal kecil sampai hal besar.. Jangan heran mereka semua tahu rahasia-rahasiaku, karena dengan mereka aku bisa bebas curhat, membicarakan hal yang paling pribadi, yang bahkan pacarku pun tidak perlu tahu. Biasalah.. namanya juga cewek.
“Silakan..! Popcorn-nya sudah jadi nih..!” seru Angie sambil membawa semangkuk besar berisi popcorn.
“Wah..! Banyak sekali..!” sambut Sally. "Sesekali tidak apa deh, batal diet..!"
Diet? Uh.. haruskah? Kuulurkan tangan meraih segenggam popcorn dari Angie.
Tiba-tiba Louisa menyeletuk, “Duhh.. cincinnya dipake terus nih, ceritanya, Marg..?”
"Hah..?" aku baru ngeh arah celetukan Louisa. "..Oh.. ini.... Iya dong.. ini kan bentuk komitmen aku dan Isaac..!”
Sally menyahut, “Tidak ada yang menyangka, lho Marg, Isaac tiba-tiba melamarmu, di depan ratusan orang! Dari atas mimbar, lagi!”
Aku tertawa ringan. “Jangankan kalian, aku saja kaget setengah mati!” mereka tidak tahu saja bagaimana gugupnya aku saat Isaac melamarku.
“Dia itu memang sengaja cari sensasi, ya?” tanya Louisa.
“Katanya sih, biar semua orang tahu, kalau aku dan dia sudah tunangan.. Ah, dasar, memang dia tuh suka cari perhatian. Sumpah, saat itu, ketika dia berlutut di hadapanku sambil memperlihatkan cincin ini, aku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan! Mana perhatian semua orang tertuju padaku, mana pers sibuk jeprat-jepret aku..! Kalau sudah begitu mana bisa aku berpikir tenang..!”
“Tapi toh diterima juga, kan..?” Louisa menyikutku.
“Iyalah, tidak ada alasan buat Margee untuk menolak Isaac. Betul tidak..?"
Angie tiba-tiba berkomentar, “Kok kamu dan Isaac sudah langsung tunangan begitu, sih? Padahal hubungan kalian juga baru setahun..”
“Lho kenapa tidak, Ngie? Apa salah?” sahut Louisa.
Sally menimpal, “Angie cemburu ya..? Atau ingin juga dilamar pacarmu..?” godanya.
“Bukan seperti itu.. Aku hanya heran, hubungan Isaac dan Margee baru setahun, sudah langsung tunangan. Sementara, ketika Isaac masih berhubungan dengan adikmu, Loui, mereka tidak ada perkembangan lebih lanjut seperti tunangan!”
Louisa segera menyahut, “Ah, sudah deh Ngie, persoalan Tanya sudah basi. Mereka memang tidak cocok. Bagus Ike putus dengan Tanya dan jadian dengan Margee.”
“Mungkin Isaac sekarang ini sudah sangat yakin pada pilihan hatinya..? Betul tidak, Marg..?” goda Sally lagi.
"Ayolah, girls.. jangan godai aku terus..!" sahutku.
“Memang kamu dan Isaac sudah benar siap, untuk menikah..?” tanya Angie. "Kapan sih rencananya?"
“Ikey bilang dia ingin secepatnya.. Kami belum ketemu tanggal yang tepat, nanti kalau sudah fix, aku pasti mengabari kalian, kok! Soal persiapan.. aku pribadi sudah lebih dari sekedar siap.." kataku.
"Maksudnya, sudah tidak sabar ya Marg?" celetuk Sally. Aku menyeringai.
"Yeah, bagaimana bisa sabar.." sahut Angie. "Kamu jatuh cinta pada Isaac sudah berpuluh-puluh tahun yang lalu."
"Angie, kamu berlebihan ah!"
"Tidak apa sesekali berlebihan. Aku cuma ingin mengingatkan kamu, Marg. Sekarang keadaannya begini, kamu sudah menyimpan perasaan kamu pada Ike sejak high school, dan perasaanmu itu baru berbalas setahun terakhir ini. Aku bisa mengerti sih bagaimana senangnya hatimu sekarang, apalagi Ike sudah melamarmu dan kalian akan segera menikah. Tapi itu bukan alasan kamu untuk tidak berpikir logis ya Marg. Karena pernikahan itu bukan hal yang semudah membalikkan telapak tangan, kamu harus ingat, dan harus lihat kenyataan banyak orang tidak bisa survive dalam mengarungi rumah tangga. Kenapa? Karena pernikahan itu adalah jenis komitmen yang menyatukan dua pribadi yang berbeda. Kamu tidak hanya terima semua kebaikan pasangan kamu tapi juga harus terima segala sifat buruknya.. Juga dengan pasangan kamu, harus terima kamu apa adanya, luar dalam, baik dan buruk. Untuk memutuskan menikah, kamu harus berpikir berulang kali, dan secara logis Marg.."
Aku tersenyum. "Aku paham, Ngie."
"Dan satu lagi.." Angie rupanya belum selesai. "Jangan sampai kita lupa berpegang pada prinsip kita sendiri, girls, saking terlalu fokusnya menjadi orang yang menyenangkan untuk pasangan kita! Kita manjakan pasangan kita, kita ikuti semua keinginannya, sampai-sampai kita jadi lupa untuk menjadi diri kita sendiri! Jangan sampai girls, terjadi seperti itu! Sebab untuk apa, kamu dicintai oleh pacarmu, tapi ternyata yang dicintai oleh pacarmu bukanlah dirimu yang sebenarnya. Kamu cuma pakai topeng.. cuma terpaksa mengubah diri kamu sendiri hanya agar pacarmu senang. Yeah, dia senang, tapi bagaimana denganmu sendiri? Kamu kehilangan dirimu sendiri, untuk apa? Jauh lebih baik kamu menjadi dirimu sendiri dan kamu enjoy dengan keadaan itu.. Kalau kamu sudah mencintai dirimu sendiri, pasti pasanganmu pun akan mencintai dan menerima kamu apa adanya.. bukan ada apanya.."
Apakah Angie menegurku? Aku akui aku memang agak terlalu memanjakan Ikey...
“..Menikah dengan pangeran kuda putih..! Siapa yang menolak..?” komentar Louisa. “Kamu beruntung sekali lho, Marg, mendapatkan pria seperti Ikey dan sebentar lagi akan menikah! Aku sih yakin, pasangan sempurna seperti kalian bisa survive sampai kakek nenek..”
"Aku amini kata-katamu, Loui.. Tapi bagaimana kamu bisa bilang kami pasangan sempurna..?"
“Karena kalian sepertinya tidak pernah bertengkar! Tidak seperti aku dan Patrick..”
“Loui, jangan khilaf, tidak ada manusia yang sempurna..” timpal Sally.
Aku menjawab, “Ya, tidak ada yang sempurna. Aku dan Isaac juga cuma manusia biasa, yang tidak sempurna. Hubungan kami pun tidak seindah yang kalian pikirkan. Tidak seindah cerita dari negeri dongeng yang biasanya berakhir happily ever after. Tidak, hubunganku dan Isaac juga sama seperti hubungan kalian dengan pacar kalian masing-masing. Yang berantemlah, yang adu mulutlah, yang saling diam-diamanlah. Adaaa.. saja. Apalagi Ike itu wataknya keras.”
“Begitu yah? Ikey tidak terlihat seperti itu sih.. Sebagai pria, dia itu perfect! Sempurna!" sahut Louisa.
“Mana ada manusia yang sempurna..!”
Angie menimpal, “Iya, Loui. Kamu seperti tidak pernah kenal dan tahu sifat-sifat Ikey. Dia juga punya kekurangan.”
“Kekurangan-kekurangan dia itu tertutupi oleh kelebihan-kelebihannya, termasuk wajah dan fisiknya.... yang hot... Wanita mana sih yang tidak akan terbuai pesona Ikey!” kata Louisa sambil tergelak. Ia melirikku, "Ah.. sudah ah nanti pacarnya ngambek lho..!" katanya lagi masih sambil tertawa-tawa.
Aku menyeringai.
"Ditambah lagi sekarang dia juga sudah resmi dapat gelar MBE! Ikey itu benar-benar most wanted banget dehh.." Louisa rupanya masih belum puas.
"Thanks pujianmu pada pacarku, Loui, tapi kalau kamu berani macam-macam.. awas saja!" aku berguyon. Louisa merengut dengan mimik lucu.
Sally berkomentar, “Aku setuju dengan kata-katamu tadi, Marg. Tidak ada di dunia ini yang namanya happily ever after.."
Aku mengangguk setuju. “Iya, karena hidup ini kan seperti roda yang berputar. Kita merasa bahagia, suatu saat, tapi kemudian selalu saja ada badai, aral rintangan yang datang silih berganti, menguji kesetiaan dan kepercayaan kita pada pasangan. Dan terkadang kita merasa penderitaan yang sedang kita alami itu jauh lebih berat daripada penderitaan-penderitaan yang sudah pernah kita lewati dulu. Yah, tergantung pandangan orang yang bersangkutan juga, sih.. Tapi setelah kita berhasil melewati penderitaan itu, pasti akan datang lagi kebahagiaan. Begitulah roda kehidupan yang selalu berputar.. Kadang di atas, kadang di bawah.”
"..Nah, kamu sendiri sering di atas atau di bawah, Marg, kalau lagi tempur sama Ike..?" Louisa menggodaku lagi.
Apa-apaan kamu Loui.. "Eh, enak saja kamu bertanya seperti itu.. privasi!"
Angie berkata, "Yeah girls, pokoknya entah kita sedang berada di atas, atau di bawah, tetap syukuri hidup kita karena semua hal yang terjadi pasti toh akan ada hikmahnya! Itu saja.. Sebisa mungkin kita nikmati hidup kita yang cuma sekali ini..! Dan jangan lupa.. tetap menjadi dirimu sendiri..!"
Aku tersenyum. “Ya.. makanya aku berani, dan aku sudah siap untuk menjalani komitmen serius dalam pernikahan. Ditambah dukungan kalian semua, yang setia mendengarkan curhat dan ceritaku.. memberiku masukan yang berguna.. yang membuatku jadi sadar bahwa apa yang selama ini kuyakini itu baik, ternyata tidak selamanya baik dan bahkan cenderung salah.. Seperti yang tadi kamu bilang, Ngie, jujur aku tadi kaget waktu kamu bilang ‘karena kita terlalu fokus membahagiakan pasangan, bisa-bisa kita kehilangan diri kita sendiri’, dan setelah kupikir, benar juga katamu, Ngie. Selama aku jalan dengan Isaac, aku selalu ingin membuat dia senang, tapi ternyata kalau aku terlalu ngotot ingin membuat dia senang malah akan membuatku kehilangan diriku sendiri. Aku sadar sekarang, mulai sekarang aku akan ingat hal itu, thanks ya girls..!" "Dan.. aku juga optimis aku bisa survive dengan Ike, dan semoga kami berhasil mengarungi bahtera rumah tangga. Amin,” kuamini kata-kataku sendiri.
“Amiinnn...!”
“Wahh... yang sudah siap menikah, nih..! Jangan lupa adakan pesta piyama untuk kita lho Marg, sebelum kamu resmi menjadi Nyonya Renauld!”
27 Desember 2004.
"Yang benar kamu, rumah itu sudah 80% selesai?" aku dan Isaac sedang dalam perjalanan menuju lokasi rumah yang rencananya akan kami tinggali nanti setelah menikah.. Isaac membangun rumah itu sejak Juli kemarin, setelah mempertimbangkan masak-masak mengenai lokasi rumah, fasilitas di sekitar calon rumah, sampai bentuk model rumah yang akan dibangun. Semuanya Isaac yang atur.. aku cuma sesekali datang melihat-lihat progress pembangunan rumah itu.
"Yap. Tinggal beberapa bulan lagi, sampai semuanya selesai," jawab Isaac sambil tersenyum lebar. "..Aku tidak sabar ingin menempati rumah itu. Bersama kamu."
Aw.. aku juga tidak sabar, Ikey.. "Mmm.. lalu mansion kamu nanti tidak ada yang urus..?"
"Soal mansion sih gampang. Ada temanku yang berminat sudah sejak dulu, dia berpesan jika aku berencana menjual mansion itu, aku harus langsung hubungi dia. Haha.. Sebenarnya tidak masalah sih setelah married nanti kita tinggal di mansionku, cuma mansion itu kan aku sendiri yang dekorasi. Kalau rumah ini kan, kita bangun sama-sama. Kita dekor juga sama-sama. Jadi ada sentuhan tangan kamu juga di dalamnya."
"Mmm.." Kamu ini memang pria yang sangat baik yah. Beruntungnya aku.. Kutatap Isaac yang sedang mengemudi sambil tersenyum. Aku memang beruntung bisa berada di samping kamu..
Isaac sadar sedang kuperhatikan, "Ada apa, Marg?"
"Eh.. Tidak. Cuma ingin melihat kamu saja."
Tak berapa lama kami tiba juga di lokasi calon rumah kami. Rumah itu terletak agak jauh dari kota, rumah dengan dua lantai dan halaman yang luas. Aku yakin rumah ini pasti akan cantik sekali nantinya..
Isaac menggandeng tanganku menelusuri dari halaman depan, teras, ruang keluarga, dapur, ruang makan, lalu naik ke lantai dua, ke kamar utama dan beberapa kamar lainnya. Ada ruang keluarga lagi di lantai atas.
"..Bagaimana, sudah ada bayangan belum, mau pilih perabotan apa saja?" Isaac bertanya. "Nih, aku punya bayangan, nanti di sini aku mau taruh beberapa sofa panjang, karpet, dan TV. Aku mau ada rak buku juga di sini..." Isaac menunjuk sudut ruangan di lantai atas. "..Ah, atau lebih baik kita gunakan saja salah satu kamar sebagai perpustakaan sekaligus ruang kerja? Bisa taruh rak-rak buku di situ.. Dan.. Oh ya, aku mau beli piano nanti, mau aku taruh di lantai bawah. Bagaimana menurut kamu, Marg?"
"Piano? Siapa yang akan main..? Aku tidak bisa lho.."
"Aku.. Bisa sedikit. Belum pernah lihat aku main piano kan?"
Aku menggeleng. Aku baru tahu Isaac bisa main piano! "Jadi kamu bisa main piano? Kok aku baru tahu..?"
"Tidak ada waktu latihan main piano. Dulu sih sempat belajar."
"Oke.. Terserah kamu saja.. Nanti aku yang pilih perabotannya yah.. semuanya."
"Atur aja, Sayang," Isaac menarik tanganku. "Ah sini, sini, kita belum lihat kamar tidur kita nanti.." Isaac membuka pintu kamar utama. Dia tersenyum lebar. "..Aku suka sekali kamar ini. Balkon menghadap halaman belakang, nanti aku mau tanam berbagai macam tanaman yang bagus di halaman belakang."
Kamar utama ini berukuran besar, sebesar kamar tidur Isaac di mansionnya. Lengkap dengan kamar mandi berukuran besar di dalamnya. ".. By the way, aku tidak mau ranjang kita nanti bentuknya bulat seperti di mansion kamu. Aku tidak suka.."
Isaac tersenyum lebar, "Atur saja, Margee.. Kamu ratunya," katanya sambil mendekatiku dan mendekapku dari belakang. "Kamar ini akan jadi kamar keramat kita ya? Bisa-bisa aku tidak mau keluar kamar lho."
Aku tertawa ringan sambil menepuk tangannya yang melingkar di pinggangku. "..Masa begitu?"
Isaac cuma terkekeh. Dia mengecup bahu dan leherku.. dan mengeratkan pelukannya. "Aku mau punya tiga anak.. dan pelihara seekor anjing yang jinak. Supaya rumah kita ramai nantinya. Bagaimana denganmu?"
"..Mmm.. kamu mau punya anak berapapun, aku turuti kok.."
"Benar?? Bagaimana kalau aku minta lima?"
Aku tergelak. "..Asal kamu tidak akan bosan saja lihat aku bagaimana nanti setelah jadi ibu dari lima anak.. mungkin aku jadi gendut.. atau mungkin jadi kurus."
"Aku akan tetap cinta kamu, bahkan sampai kamu tua dan sudah jadi nenek-nenek sekalipun. Selama kamu masih menjadi dirimu seperti yang sekarang ini."
Oh Ikey..
"Yuk pulang, aku tidur di tempat kamu ya?" ajak Isaac.
Aku benar-benar menikmati kebersamaanku dan Isaac seperti sekarang ini. Sangat jarang aku bisa menghabiskan waktu bersama Ikey .. sampai berminggu-minggu seperti ini. Aku paling suka berbaring di bahunya yang kekar.. dia adalah tipe pria yang hangat dan selalu mau memanjakanku. Sebagai balasannya aku juga suka memanjakan Ikey, apapun yang dia mau pasti aku turuti. Aku sungguh sangat mencintaimu, Ikey..
Aku suka saat kamu membelai rambutku seperti sekarang ini. Aku suka mendengarkan debaran jantungmu, untukku itu adalah suara yang paling merdu yang pernah kudengar, karena aku merasa nyaman hanya dengan mendengarnya. Aku suka semua yang ada pada dirimu..
".. Kamu sukanya anak laki atau anak perempuan, Ike..?" tanyaku tiba-tiba.
"Hm?" Isaac terdiam sejenak. "Dua-duanya suka."
Aku tertawa ringan. "..Katanya mau punya lima anak.. Berapa perempuan berapa laki-laki, kamu maunya?"
"Hmmmmm.. Tiga anak laki, dua anak perempuan."
"Oh,.." aku terkekeh. "..Punya anak laki supaya bisa meneruskan nama kamu di F1 yah?"
"Ya kalau memungkinkan."
Aku menyeringai. "Ya sudah.. yuk bikin? Cicil satu-satu.."
"Ohh. Dengan senang hati, Sayang," Isaac sepertinya semangat sekali begitu kuajak bercinta! Tidak banyak omong dia langsung mencumbuku penuh nafsu.. Pelan-pelan, Ikey... kamu membuatku sesak nafas..
Sedang seru-serunya kami pemanasan..
"Marg---.." tiba-tiba Angie datang.
Oh ya ampun!! Aku lupa mengunci pintu..!! Aku dan Isaac langsung memisahkan diri. Kulihat Angie juga salah tingkah melihat kami berdua.
"Ehmm.. sorry.. Sorry Marg, Ike, aku tidak tahu sama sekali kalian berdua ada di dalam. Maaf yah? .. Yuk, byee.." Angie buru-buru balik badan dan pergi.
"Eh.. Ngie..!" panggilku. Aduh.. sungguh aku lupa kalau aku ada janjian dengan Angie sore ini! Aku juga lupa kunci pintu! Kenapa aku bisa seceroboh ini.. aduhh.. Kulihat Isaac pasang muka jutek, sementara aku bingung harus berbuat apa sekarang. Ah, Isaac bisa menunggu nanti.. Aku harus bicara dulu pada Angie. Jadi kususul Angie keluar, kebetulan dia masih belum jauh, baru akan menuruni tangga.
“Lho Marg? Kok keluar?” tanya Angie keheranan melihatku.
“Ngie.. maaf, aku ceroboh, aku lupa sama sekali kalau kita janjian..! Maaf ya?"
Angie tersenyum. “Yeah, sudahlah, aku maklum kok. Kita atur ulang lagi jadwal kita ya? Lagipula, aku yang seharusnya minta maaf, masuk tanpa mengetuk pintu dulu..! Habis biasanya juga aku selalu langsung masuk ke dalam.. Isaac jarang ke sini sih. Eh! Aduh bicara apa aku.. jelas aku yang salah, tidak mengetuk pintu! Maaf ya aku jadi mengganggu.. Ya sudah, sana kamu kembali ke kamar, kenapa kamu meninggalkan Ike sendirian? Kasihan dia."
"Iya, kamu hati-hati ya, Ngie."
"Okay! Have fun ya! Nanti kalau kamu sudah senggang, telpon aku!"
Dan ketika aku kembali ke unitku.. aku sudah punya firasat, Ikey pasti marah sekali. Dia tipe pria yang sangat menjunjung tinggi privasi, dan kejadian tadi pasti membuatnya terusik! Tapi semoga saja dia tidak semarah itu.. Kuharap begitu. Kubuka pintu unitku....
...dan mendapati Isaac berdiri bersedekap di balik pintu, sambil menatapku dengan pandangan dingin. Aduh.. hawanya langsung terasa tidak enak..
“Jelaskan,” ujarnya singkat.
Aku memasang wajah memelas, “..Maaf Sayang... Aku lupa kalau Angie hari ini mau datang ke sini.... Benar aku lupa sama sekali! Maafkan aku ya...?”
“Begitu? Mudah sekali kamu minta maaf! Kenapa kamu tidak mengunci pintu dulu, tadi! Kenapa Angie tidak mengetuk pintu, kenapa Angie langsung menerobos masuk tadi! Dan kenapa kamu tidak mengatakan padaku kalau kamu ada janjian dengan Angie?!” hardik Isaac.
Lututku terasa lemas mendengar hardikannya. Isaac memang menyeramkan kalau sedang marah.. Ah, semua salahku.. “Ike..! Please, kan sudah kubilang, aku lupa... Aku pun sudah minta maaf karena itu.. Jangan marah begitu Ike..”
“Ini yang paling tidak kusuka dari apartemen! Privasi tidak terjamin! Sembarangan orang bisa masuk sesuka hati! Coba kalau dulu kamu mau tinggal di kondominium!”
Ih, mulai rese deh. “Kok kamu jadi menyinggung hal itu?” sengaja kutinggikan nada suaraku.
“Karena kalau sudah begini, aku yang malu jadinya! Coba, apa yang dipikirkan Angie ketika melihat aku seperti itu, tadi! Angie melihat aku dan kamu.. sedang...” ucapan Isaac terhenti. “...Makanya, kamu kalau punya acara, diatur dong yang benar! Bikin jadwal yang teratur! Seperti aku, apa kamu pernah lihat, acaraku bentrok dengan acaraku yang lainnya? Dan aku ingin, kamu itu punya waktu yang kamu sediain khusus untuk aku! Jangan dicampuradukkan dengan waktu yang kamu sediakan untuk teman-teman kamu, untuk gank kamu, untuk sepupu kamu! AKU MAU, kamu punya waktu yang KHUSUS untuk aku! Tersendiri! Privat dan eksklusif! Terpisah dari acara-acara kamu yang lain! Paham?!” ujarnya dengan nada yang makin tinggi.
Kenapa suara kamu semakin tinggi sih?? “..Apa kejadian tadi itu bisa memancing kemarahanmu sampai seperti ini, Ike? Apa kejadian sepele tadi bisa membuat kamu meledak seperti ini?!”
“Sepele! Hah! Jadi kejadian tadi kamu anggap sepele?! Aku tidak suka dengan cara berpikir kamu yang seperti itu. Suka m-e-n-y-e-p-e-l-e-k-a-n ! Kejadian tadi itu, mempermalukan aku! Dan juga membuat aku kesal! Karena pada saat itu, KAMU adalah MILIKKU! MILIKKU seorang! Tidak boleh ada orang lain yang mengganggu, yang menyela kesenanganKU, dan menyela MILIKKU!!”
Kata-katanya barusan membuatku terenyak. Aku menatap Isaac tidak percaya. “....Ternyata kamu sangat egois. ....Kamu tahu, bahwa AKU, sampai kapanpun AKU adalah MILIKMU. Jadi bukan hanya pada saat kita bercinta saja aku menjadi milikmu! Sampai kapanpun aku milikmu! Apa.. jangan-jangan kamu selama ini tidak merasa memilikiku? Jangan-jangan kamu merasa memilikiku, hanya pada saat seperti itu? Iya? Kalau ya, berarti perasaanmu padaku tidak tulus!”
“..Kamu itu bicara apa sih. KAMU ITU BICARA APA?! Bisa-bisanya kamu berpikiran seperti itu padaku! ....Dengar, Marg. Yang aku minta itu cuma satu. SATU! Aku cuma minta agar kamu menyediakan waktu khusus untuk aku. Itu untuk kepentingan kita berdua juga, kan? Agar kita punya waktu yang eksklusif untuk lebih saling mengenal! Sebelum kita lanjut ke pelaminan! Bisa, kan?” kudengar nada suara Isaac mulai melunak.
Tapi tidak. Dadaku masih bergemuruh. Aku sudah terlanjur kesal padamu, Ike! Kupalingkan wajah, “..Untuk soal itu tentu aku bisa. Tapi bukan itu masalahnya! Masalahnya adalah, cara kamu meminta permintaan kamu itu! Kamu tidak perlu teriak-teriak seperti tadi! Hal itu hanya akan menunjukkan sifat kamu yang EGOIS! ...Dan kamu tidak perlu menyinggung perbedaan apartemen dengan kondominium, atau mungkin dengan mansionmu yang kamu banggakan itu! ...Selama ini aku berusaha menyenangkan hatimu, Ike. Aku bersedia melakukan apa pun asal kamu senang. Tapi sekarang, ini sudah keterlaluan. Aku sudah tidak bisa menuruti ego kamu. Ego kamu terlalu tinggi untukku.. aku sendiri nanti yang akan kewalahan kalau aku bersedia menuruti semua ego kamu. Kamu berteriak-teriak padaku seperti itu.. memangnya kamu anggap aku apa, Ike? Kamu egois. Kamu cuma pikirkan emosi kamu saja, tapi bagaimana kalau kamu berada di posisiku, oh, kamu tidak akan mau repot melakukannya! ..Yah, kamu memang harus selalu jadi pihak yang benar, dan aku yang salah..! Aku tidak tahan lagi dengan keegoisan kamu ini!" kurasakan mataku panas, aku tahu sudah ada segunung air mata berkumpul di pelupuk mataku.
Isaac terdiam tidak menjawab. "..Margee, ayolah. Kita.. ayo kita bicara baik-baik ya?"
"Sudah terlambat Ike. Sejak awal tadi aku bermaksud mengajakmu bicara baik-baik dan ingin meminta maaf, karena aku sadar aku salah! Tapi kamu malah teriak-teriak seperti itu.. Dengar yah, Ike.. Kalau kamu bersedia mengurangi sedikiit.. saja tingkat keegoisanmu... Aku pun bersedia menuruti permintaan kamu yang ingin agar aku bisa mengatur waktuku. Take and give. Saling memberi dan menerima. Seperti itu kan, seharusnya sebuah hubungan..?”
Isaac menatapku lekat-lekat. Tanpa bicara dia mengulurkan tangannya, menyentuh daguku dan menengadahkan wajahku, lalu mencumbu rayu.. Mungkin dia ingin melanjutkan yang tadi..
Tapi tidak! Aku tidak segampang itu kamu rayu, Isaac! Aku mengelak dan menjauh dari Isaac. “...Aku tidak mau bercinta dengan keadaan kepala yang panas seperti ini.”
Kurasa Isaac tersinggung. “Jadi kamu menolak aku?!” serunya dengan suara kembali meninggi. “Jadi sekarang KAMU berani menolak AKU?! Mentang-mentang kamu berhasil memojokkan aku karena sifatku sendiri, lalu kamu berani menolak aku?! AKU??! Okay!! Terserah!!” serunya lagi, lalu melengos pergi.
Ya ampun, marahnya kenapa meledak-ledak begitu sih? Aku membanting diri di sofa sembari menghela nafas kesal. Egois! Egois! Egois!! Maunya menang sendiri! Segala permintaannya harus dituruti! Egois sekali sih... Apa kamu tidak bisa bicara baik-baik denganku, apa harus pakai nada tinggi??
31 Desember, malam tahun baru.
Bosan, tidak kemana-mana kali ini.. berhubung aku dan Isaac masih saling diam-diaman. Sepertinya dia tidak sadar juga kalau dia sudah terlampau egois.. Apa harus aku yang mengalah? Masa anniversary 1 tahun dalam keadaan marahan seperti ini sih? Sombongnya.. Egoisnya pria itu. Aku jadi mempertanyakan niatku untuk menikahinya.. Apa nantinya aku sanggup menghadapi keegoisannya yang seperti ini ya..? Entahlah.. memangnya kenapa sih dia harus seperti itu, kenapa dia tidak mau berubah menjadi pria yang lebih baik?
Uh.. aku ingin keluar, pergi mencari udara segar.. Tapi dengan siapa?? Angie, Loui, Sally, mereka sudah punya acara sendiri dengan pacar mereka. Bagaimana denganku? Saat ini moodku sedang sangat buruk.. Aku ingin bicara dengan seseorang..
Terdengar ketukan pintu beberapa kali. Siapa yang datang? Ketika kubuka pintu, aku terkejut melihat Isaac berdiri di depan pintu.
“Ike..”
“Hai, Marg," Isaac melempar senyum. "Kamu masih marah?"
“..Kamu sendiri.. apa kamu masih marah..?”
"Kamu tidak mengajakku masuk?”
Aku sampai lupa menyuruhnya masuk ke dalam. “Ah iya.. ayo masuklah, kita bicara di dalam.”
“Marg,” panggil Isaac ketika kusuguhkan cokelat panas untuknya.
"Iya," aku duduk di sampingnya.
Isaac melempar senyum, "Aku sadar, aku memang egois. Apalagi, kata-kataku tempo hari sepertinya membuat kamu tersinggung. Aku minta maaf. Aku janji tidak akan seegois itu ke depannya. Kadang aku memang suka menjengkelkan seperti itu, maukah kamu bersabar?"
Kubalas senyumnya, “..Aku juga minta maaf, karena kesalahanku tempo hari. Aku sekarang sudah membuat jadwal-jadwal acaraku seperti yang kamu minta, lho! Kamu benar, semuanya jadi lebih teratur.. Aku jamin kamu tidak akan bete lagi seperti kemarin karena ada pengganggu..”
Isaac memelukku dengan hangat. Kurasakan dia membelai rambutku dengan lembut. "Oke, kita sama-sama janji akan berubah."
Aku mengangguk. “..Oh ya, Ike... Aku.. aku juga minta maaf ya, waktu itu aku menolak kamu..”
"Kamu tidak perlu minta maaf. Soal itu.. memang aku akui saat itu aku bersikap ekstra egois. Aku sudah tahu kamu sedang marah, tapi aku malah merayu kamu dan memarahi kamu karena kamu menolak aku. Benar, aku janji tidak akan berbuat seperti itu lagi."
Aku menghela nafas lega. ".. Malam ini anniversary setahunnya kita, Ikey.."
Isaac tersenyum lebar. "Ya, Marg. Tidak terasa sudah setahun terlewat ya?"
"Kita rayakan kecil-kecilan saja di sini ya? Aku masak deh.. Kamu tidur di sini kan?"
"Tentu. Ayo kita rayakan!"
Chapter 32. Royce Beauregard
Entah sudah berapa lama waktu yang terlewat semenjak ledakan di stadion yang merenggut pendengaranku. Dan entah bagaimana kabar rekan-rekanku di tim nasional sekarang. Apa yang mereka lakukan? Bagaimana mereka melewati masa-masa sulit mereka?
Kejadian saat itu kerap terbayang di benakku, menghantuiku setiap malam. Frame demi frame kejadian itu terlintas begitu saja tanpa kuinginkan. Aku tidak ingin lagi mengingat masa-masa yang buruk dan menyeramkan itu. Aku hanya ingin menata kehidupanku yang baru.
Tapi kali ini aku merasa kerinduanku pada dunia sepakbola tidak tertahankan lagi. Keadaanku yang seperti ini memaksaku hanya menjadi pengamat English Premiere League melalui layar kaca, bukan terlibat di dalamnya. Kutahan sebisa mungkin kerinduanku pada dunia yang telah membesarkan namaku itu, namun kali ini aku tak sanggup lagi menahan. Maka setelah berpikir ribuan kali dan memantapkan hati, kulangkahkan kakiku menuju tempat latihan Brandt.
Squad Brandt, juga klub-klub Liga Inggris lainnya terpaksa mengalami sedikit perombakan pasca absennya para pemain yang menjadi korban peledakan stadion Wembley. Klub-klub Liga Inggris kini didominasi pemain-pemain asing dari Spanyol, Belanda, Jerman dan juga Italia. Seharusnya masih banyak pemain Inggris lainnya yang bisa diandalkan. Apakah dari seluruh penjuru negeri, pemain bola yang bertaji hanyalah para pemain yang tempo hari terimbas ledakan di Wembley? Jumlah mereka tidak lebih dari 30 orang! Mengapa selain 30 orang itu tidak ada lagi pemain Inggris yang bisa diandalkan?
Seluruh tim dan ofisial klub Brandt terkejut ketika melihat kedatanganku yang tiba-tiba, namun mereka semua menyambutku dengan hangat. Presiden Brandt, John Mitchell, bahkan menjamuku minum teh di ruangannya sembari menonton rekan-rekanku, ah maksudku mantan rekan-rekanku berlatih secara intens. Ya, akhir pekan ini Brandt dijadwalkan akan bertemu dengan Slochney, pertandingan yang ditunggu-tunggu para penggemar Liga Inggris.
Rasanya.. baru kemarin aku masih ikutan berlatih di sini.. Baru kemarin aku bermandi keringat di atas lapangan hijau. Baru kemarin aku bercengkerama dan bersenda gurau dengan rekan-rekanku setim. Aku menghela nafas.
"Brandt tak akan pernah sama lagi tanpa kehadiranmu, Royce," ujar John.
Setelah sekian lama berbincang, tiba-tiba John menyinggung hal ini. Ah.
Aku tersenyum tipis, tidak menanggapi. Tentu, begitu juga dengan kehidupanku yang tidak akan pernah sama lagi.
"Brandt kehilangan pemain-pemain inti karena musibah itu. Dan kau tahu apa yang paling membuat dadaku sesak? Karena kami terpaksa kehilanganmu. Kau pemain emas Brandt, jujur kukatakan padamu. Apa ada pemain lain yang seperti kau?"
Aku menatap John tidak bersuara. "..Kurasa sudah saatnya pelatih barumu menemukan bakat terpendam para pemain muda Brandt. Hal itu mutlak dilakukan. Karena kau tidak mungkin lagi bergantung pada para pemain yang... terpaksa gantung sepatu sepertiku, bukan?" aku terdiam. "Keadaan ini pun berat untukku."
"Aku mengerti. Kita sama-sama menghadapi masa yang sulit dan berat.."
Semenjak kecil aku bermimpi menjadi pemain bola. Menjadi atlet handal yang bisa mengharumkan nama Inggris. Cita-citaku telah tercapai, tapi semua itu tidak bertahan lama dalam genggamanku. Kenapa rasanya berat sekali melepas impian yang sudah kugenggam, Tuhan? Kenapa hal ini harus terjadi?
"Kita semua mendoakan semoga para peneror itu bisa lekas tertangkap, biar mereka membusuk di penjara, atau mungkin lebih baik langsung saja mereka dihukum gantung. Orang-orang biadab seperti mereka itu tidak layak lagi disebut manusia.. mereka sepantasnya mati!"
Aku menghela nafas. "Mengumpat tidak akan menyelesaikan masalah. Selain berdoa, kita juga harus pasang mata dan telinga, siapa yang tahu ternyata mereka adalah tetanggamu sendiri?" kataku. "Terutama untuk kalian semua yang masih bisa mendengar dengan baik."
Chapter 33. April 2005
Isaac dan seluruh tim Glauber tengah makan malam bersama merayakan kemenangan mereka di seri keempat kali itu di Prancis. Sampai saat itu Isaac bertengger di puncak klasemen sementara, dengan Morten Gronbaek berada di posisi kedua. Tampaknya tahun ini juga akan menjadi tahun penuh duel bagi mereka berdua, sama seperti tahun lalu.
"Glauber tetap superior seperti tahun lalu! Semua ini berkat Isaac Renauld," Amy Fitzpatrick berkata pada Isaac sambil tersenyum manis. "Izinkan aku bersulang untukmu, Sir?" katanya lagi sambil mengangkat gelasnya.
Isaac tertawa ringan sambil menggelengkan kepala. "Aku belum pantas menyandang gelar Sir, Nona," jawabnya sambil mengangkat gelas dan bersulang dengan Amy.
Amy Fitzpatrick, adalah putri dari manager Isaac, Anthony Fitzpatrick. Selama ini ia bekerja pada Glauber dengan membantu pekerjaan ayahnya. Amy berperawakan mungil dan berambut ikal, pirang kecoklatan. Matanya biru jernih, dan memiliki senyum yang manis. Umurnya kira-kira terpaut enam tahun dari Isaac, namun ia berpikiran matang serta berperilaku halus dan sopan. Karena tutur katanya dan perangainya yang selalu terjaga, hampir tidak pernah ada pria yang berani mengganggu atau menggodanya. Namun sikapnya yang terlalu mencurahkan perhatian pada Isaac membuat semua orang menyangka Amy menaruh perasaan pada Isaac, tapi Amy tidak pernah mengakuinya.
"Setelah ini senggang sampai awal Mei, kamu sudah ada rencana, Ike..?" tanya Amy.
"Aku stay di London sampai Mei. Kamu?"
"Iya.. sama dong. Kalau tidak keberatan.. kamu mau menemaniku menonton konser jazz minggu depan..?"
Isaac melempar senyum setelah beberapa saat terdiam. "Aku sebenarnya tidak ingin mengecewakanmu, Amy, tapi aku takut aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku tidak ingin ada pihak yang salah sangka nantinya."
'Karena kamu sudah punya pasangan..' batin Amy. 'Apakah tertutup juga kesempatan itu bagi perempuan lain?'
"Aku mengerti," jawab Amy. "Kapan saja kamu ada waktu untukku.. kuharap kamu mau mempertimbangkannya kembali."
Isaac menatap Amy tidak bersuara. 'Gawat. Kalau dipikir gadis ini semakin berani dari hari ke hari..' ujarnya dalam hati.
Amy balas menatap Isaac sambil berkata pada dirinya sendiri, 'Akan kutunjukkan bahwa aku jauh lebih pantas kamu miliki dibandingkan wanita bernama Margee itu, Ike..'
'Aku tidak ingin menyakiti hati wanita manapun. Bagaimana cara menghadapi Amy?' Isaac masih bergelut dengan pikirannya sendiri
Deringan ponsel Isaac membuat kedua insan itu terkejut. Isaac memohon diri pada Amy untuk menjauh dan menjawab panggilan teleponnya.
"Hai.. Ikey. Kamu apa kabar?" suara yang pernah akrab di telinga Isaac langsung terdengar begitu Isaac menjawab telepon.
"..Tanya?"
"Iya.. ini aku. Aku ingin mengucapkan selamat untuk kamu, kamu lagi-lagi menang dalam pertandingan kemarin. Kamu semakin hebat saja, Ike!"
"Thanks, Tanya."
"Kamu masih di Paris? Kapan kembali ke London?"
"Besok siang, rencananya," Isaac merasa heran mengapa tiba-tiba Tanya menghubunginya lagi setelah sekian lama.
"Kamu sedang sibuk? Aku tahu kamu pasti bingung kenapa aku telepon kamu ya?"
"Ya, err.. Semacam itulah."
"Aku.. aku ingin bicara jujur padamu. Sebenarnya kurang enak kalau via telepon seperti ini, tapi tak apalah aku katakan saja sekarang ya..? Kuharap kamu sedang tidak sibuk."
"Tidak apa, katakan saja apa yang ingin kamu katakan.. Tanya."
"Kamu tahu.. beberapa tahun ini.. setelah kita berpisah.. setiap malam aku selalu dihantui rasa bersalahku padamu. Aku memang salah.. Aku memang berbuat sangat jahat pada kamu, dan aku menyesal. Aku sudah khilaf.. aku .. bodoh sekali waktu itu sehingga bisa-bisanya aku tega menyakiti kamu! Dan inilah yang terjadi padaku sekarang.. aku kerap dihantui rasa bersalahku padamu Ike.."
Isaac terdiam. "..Yang sudah berlalu biarlah berlalu, Tanya."
"Ya.. aku juga inginnya seperti itu.. Ikey.. tapi .. aku tidak tenang kalau belum mendengar bahwa kamu mau memaafkan kesalahan aku tempo hari.."
"Tanya."
"Kamu.. maukah memaafkan aku..? Kumohon.."
"Kamu tidak perlu kuatir tentang itu. Apa yang kamu cemaskan? Aku sudah memaafkan kamu.. Kamu dengar kan?"
"Benarkah?"
"Ya, aku sudah memaafkanmu."
"Oh... thank goodness, aku pikir kamu tidak akan memaafkan aku, Ike..."
"Sudahlah, Tanya. Sudah lama lewat. Kamu jangan terlalu memikirkan soal itu."
"Mmm..hmm.. kamu memang pria yang baik ya Ike.. perbuatanku sejahat itu padamu.. tapi kamu mau memaafkanku. Kamu juga masih bersikap baik padaku!"
"Apa untungnya menyimpan dendam, Tanya? Dendam yang tersimpan bisa merusak hati, kamu tahu? Lebih baik kamu jadikan pelajaran saja kejadian saat itu. Kamu jadi merasakan sendiri kan, bagaimana tidak enaknya dikejar perasaan bersalah seperti itu? Dan tentu kamu tidak akan mengulanginya lagi terhadap pasangan kamu di masa depan. Benar begitu kan, Tanya?"
"Ya... Ya aku mengerti, Ike.." Tanya menghela nafas. "Kebaikan hati kamu semakin membuatku merasa bersalah.."
"Lho. Ayo, sudahlah. Move on, Tanya!"
"Tapi.. tapi kita masih bisa berteman, kan, Isaac...? Kumohon.."
Isaac tersenyum. "Tentu. Apa salahnya kita menjalin hubungan yang baik, tanpa ada dendam atau bad feeling."
"Tanya meneleponku tempo hari," ujar Isaac ketika pergi berkendara dengan Margee. Mereka tengah dalam perjalanan menuju rumah yang akan mereka tempati kelak setelah menikah. Rumah itu sudah selesai dibangun, dan sudah siap untuk ditempati. Dan kini mereka berdua hendak merencanakan interior serta segala macam furnitur untuk mengisi rumah baru tersebut.
"Oh ya..? Ia bilang apa?" Margee menatap Isaac.
Isaac mendengus. "Setelah sekian lama ya Marg. Dia cerita bahwa dia dikejar perasaan bersalahnya padaku. Dia meminta maaf."
"Ah.. Itulah yang akan terjadi kalau ada khianat menodai sebuah hubungan.."
"Tanya seperti ketakutan aku tidak akan memaafkannya. Dia juga meminta agar aku tetap mau berteman dengannya."
Margee tersenyum. "Memelihara pertemanan itu baik.. Kamu tidak menolaknya kan?"
"Tidak, aku juga berpikir sama sepertimu, sayang. Menjalin hubungan yang baik tanpa ada perasaan yang tidak mengenakkan, tentu tidak akan merugikan. Toh untuk apa memelihara dendam?"
"Ya, kamu benar.. Mungkin kamu selama ini terlalu galak Ikey, makanya dia takut kamu tidak mau memaafkan dia.." Margee terkekeh.
"Galak? Aku?"
"Iya, kamu tidak merasa galak ya?"
"Kapan aku pernah galak?"
"Ah! Dasar kamu.. haruskah kuingatkan? Setiap kali kita bertengkar, entah siapa yang memulai, kamu itu galak.. kata-katamu bukan main pedas! Masa kamu tidak ingat..?"
"Benarkah aku seperti itu? Segalak itu?"
"Benar, kenapa tidak percaya? Uh.. aku ingat waktu pertama kali kita bertengkar karena waktu itu aku menanyakan hal aneh pada kamu.. mengenai kamu lebih sayang aku atau Fez.. Ingat tidak?"
Isaac tersenyum simpul. "Iya, ingat. Memangnya saat itu aku galak?"
"Galak! Kamu lebih sadis lagi saat menjelang anniversary kita akhir tahun lalu.. Waktu aku lupa mengunci pintu, dan pertengkaran kita jadi merembet kemana-mana.. Aku saat itu makan hati, kamu tahu tidak..? Lidahmu tajam seperti pisau, dan kata-kata kamu jauh lebih pedas dari tabasco!" Margee teringat kejadian saat itu, lalu merengut.
Isaac tertawa ringan. "Yang benar! Mungkin karena kamu tidak suka pedas.." guyonnya, sambil memarkirkan mobil di depan calon rumah mereka.
"Kamu ini ya..!" Margee turun dari mobil sambil membanting pintu. "Aku bicara seperti ini supaya kamu sadar, dan jangan galak lagi seperti itu.. Jangan mudah terpancing emosi, Ikey."
Isaac tersenyum lalu merangkul Margee mesra. "Iya, aku tidak akan galak lagi."
Margee melirik Isaac. "Janji?"
"Janji. Apapun yang kamu minta, Margee," Isaac membelai pipi Margee, lalu tersenyum. Margee membalas senyum Isaac. "Jadi, ratuku, kamu sudah siap meninjau rumah kita ini?"
"Tentu..! Ayo kita masuk!" ujar Margee bersemangat sambil menarik tangan Isaac.
Mereka tidak henti-hentinya berdecak kagum tatkala mengelilingi rumah itu. Rumah yang luas dan lapang. Isaac sibuk memperkirakan dimana dia hendak meletakkan sofa, meja teh, lemari, dan segala macam. Sementara Margee berdiri di balkon kamar utama di lantai dua, asyik memerhatikan pemandangan di sekeliling rumah yang hijau dan asri.
Margee terpekik kaget ketika Isaac tiba-tiba mendekapnya dari belakang.
"Kenapa kamu di sini? Aku cari-cari dari tadi," kata Isaac.
Margee bersandar pada Isaac. "Di sini pemandangannya bagus.. Belum tinggal di sini saja aku sudah merasa betah.."
"Oh ya?" Isaac mengecup pipi Margee. "Syukurlah kalau kamu suka dengan rumah ini. Aku juga tidak sabar ingin segera tinggal di sini, sayang."
"Sudah jadi membuat check list, barang-barang apa saja yang nanti kita beli?"
"Aku tidak bisa membuatnya sendirian, ayo turun dan bantu aku. Atau kita mulai dulu dari kamar ini?" Isaac masuk ke dalam kamar, Margee mengikutinya dari belakang. "Tempat tidur di sini," Isaac berdiri di dekat tembok sambil mengayunkan lengannya di udara. "Jangan lupa dua meja kecil di sisi kiri kanan tempat tidur, dan dua lampu meja. Kamu ada kertas Marg? Catatanku tertinggal di lantai bawah.. kamu catat dulu ya?" Isaac berjalan ke sisi lain, dekat jendela. "Tambahkan sofa di sini, Margee. Dan satu set sofa lagi di dekat balkon."
"Untuk apa sofa sebanyak itu..? Satu set saja kurasa cukup, sayang?" Margee bersandar di dinding dan mulai menuliskan check list.
Isaac mengangkat bahu. "Kamar ini luas. Kenapa tidak? Untuk menonton TV mungkin? Oh ya tambahkan TV pada catatanmu.. Dan.." Isaac mendekati Margee. "..Agar arena bercinta kita jadi lebih banyak," katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Pipi Margee merona merah, ia tersenyum malu. "..Kamu sempat-sempatnya berpikir ke arah sana.. kita kan sedang membuat check list!" ujarnya sambil menekankan ujung pulpen yang dipegangnya pada dada Isaac.
Isaac tersenyum nakal, "Ya.. jangan lupa tambahkan juga di check list, tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan," ujarnya sambil meraih bibir Margee dengan bibirnya sendiri.
Margee tertawa ringan. "Noted, Ikey.."
"Oke.. sekarang kita cicil satu-satu yuk?"
"Di sini?" Margee terbelalak.
Isaac terkekeh dan menjawab, "Kurasa standing juga menyenangkan.." Isaac mengecupi Margee.
Margee tertawa geli. "Kamu tidak sabaran sekali.. Nanti malam kan juga bisa..!"
"Variasi itu penting. Apa kamu tidak mau nih?"
"Mau.. Mau, aku tidak mungkin menolak kamu.." Margee mengalungkan kedua tangannya pada leher Isaac.
Isaac tersenyum. "Kamu tidak tahu sedalam apa perasaan yang kumiliki terhadapmu, Margee. Sungguh, aku tidak sabar menunggu hari pernikahan kita nanti!" Isaac berkata dengan suara berat. "Aku tidak sabar ingin meraih kebahagiaan yang sempurna denganmu.. selamanya."
"Ikey.." bisik Margee sambil mengusap pipi Isaac perlahan, dan membiarkannya mengulum bibirnya.. dan mencumbunya. Ia menggerakkan kepalanya sampai mencapai posisi yang tepat hingga mereka bisa berbagi cumbuan yang lebih intens. Kedua insan itu bercumbu, hingga rasa itu muncul dan tidak tertahankan lagi. Gairah yang terasa semakin membakar, membuat mereka semakin terhanyut dalam gelombang asmara yang membuat setiap orang di dunia ini mabuk dan tidak berdaya menahannya, begitu pula dengan mereka..
"Jadi kapan kau kawin?" tanya Fez begitu Isaac tiba di rumah Rutherford.
Isaac menyeringai. "Kalau tidak ada halangan, akhir tahun ini, tepat tanggal 31 Desember."
Fez bersiul. "Express!"
"Kupikir momen yang bagus karena bertepatan dengan hari jadian kami.. dan juga karena bertepatan dengan malam tahun baru, jadi aku akan melakukan selebrasi yang istimewa."
"Aturlah, Ike. Aku tidak paham euforia yang dirasakan oleh para calon pengantin."
"Memang kau tidak berpikiran untuk menikah, Fez?"
Fez tertawa. "Aku tidak pernah berpikiran ke arah sana. Kalau kau bisa mendapatkan kepuasan dari beribu wanita, untuk apa kau mengikatkan diri hanya pada satu wanita, seumur hidup? Membosankan sekali!"
Isaac menggeleng-gelengkan kepala. "Kau masih saja berpandangan seperti itu. Lalu, apa kau juga tidak ingin memiliki keturunan?"
Fez mengangkat bahu. "..Anak? Lupakan saja Ike, aku tidak ingin repot. Repot mengurusnya, repot memberi makan, memandikan, mengasuh! Ah, jauhkan semua hal itu daripadaku!"
"Kau ini memang makhluk yang aneh sekaligus unik," Isaac menghela nafas. "Memang dari semua pacarmu, apa tidak ada satupun dari mereka yang..... hamil karena ulahmu?"
Fez terdiam. "Tidak ada. Seharusnya seperti itu. Aku selalu bermain aman, kurasa tidak ada yang sampai terjadi seperti itu. Jangan sampai!"
Ponsel Isaac berdering, tanpa melihat siapa yang menelepon, Isaac langsung menjawab. "Halo?"
"Hai... Ikey.." terdengar suara dari seberang.
"Hai, Tanya."
Fez mengerutkan kening mendengar Isaac menyebut nama Tanya.
"Sedang apa kamu? Sibuk?"
"Tidak, aku sedang main di rumah Fez. Ada apa?"
"Tidak apa-apa.. aku cuma bosan, ingin sekedar menanyakan kabar kamu, temanku yang baik. Tidak mengapa kan?"
"Santai saja."
"Oh ya.. bagaimana kabar Fez? Sampaikan salamku padanya, Ike?"
"Baik, akan kusampaikan salammu pada Fez."
"Mm.. jadi sampai sekarang pun, belum ada yang boleh tahu mengenai hubungan kalian sebagai saudara kembar yah, Ike..? Jujur.. kadang aku suka tergoda untuk menceritakannya pada temanku.."
"Jangan. Kumohon jangan lakukan itu, Tanya. Kami memang masih belum ingin soal ini dipublikasikan! Kamu belum mengatakan apa pun kan?"
"Iya.. aku tidak menceritakan apapun.. Maafkan aku."
"Baiklah. Nah sebagai teman yang baik, kamu bersedia membantuku kan?"
"Tentu Ikey.."
Fez terus asyik memperhatikan Isaac yang masih meladeni obrolan Tanya. Fez keheranan akan sikap Isaac yang seakan tidak menjaga jarak dengan wanita yang sudah jelas-jelas pernah membodohinya.
Isaac menyimpan kembali ponselnya di dalam saku, "Tanya menyampaikan salam padamu, Fez," ujarnya.
"Untuk apa?" sahut Fez.
"Maksudmu?"
Fez menarik nafas. "Untuk apa kau bersikap seperti itu pada orang yang telah membodohimu?"
Isaac terdiam. "Dia menyesal dan sudah meminta maaf. Bagaimana pun semua orang pasti pernah melakukan kesalahan, kan? Kurasa apa salahnya kalau kami tetap berteman."
"Salah, tentu saja salah, Ike. Kau ini tolol ya? Kupikir kau cinta mati pada si Margee."
"Tunggu, kau tidak paham. Aku tidak ingin memelihara dendam, aku hanya ingin menjalin hubungan pertemanan yang baik dengan Tanya. Bukan berarti aku memberinya lampu hijau untuk mendekatiku secara khusus. Aku tahu batasanku dengannya."
Fez mendengus. "Kau tidak punya harga diri. Kau diselingkuhi dengan begitu mudahnya oleh wanita, saat itu pun harga dirimu sebenarnya sudah terjun bebas, Ike. Dan sekarang kau membiarkannya mendekatimu lagi?"
"Kukatakan, aku tidak membiarkannya mendekatiku secara khusus! Aku hanya berteman dengannya.."
"Yeah kau serendah itu, Ike. Apa yang bisa kau banggakan lagi sebagai seorang pria, huh? Kau seharusnya malu pada dirimu!"
"Kau yang terlalu berlebihan!"
"Seumur hidup aku tidak pernah membiarkan harga diriku terinjak-injak, apalagi oleh wanita! Adapun aku yang membuat mereka bertekuk lutut di depanku! Kau ini pria atau bukan? Kenapa kau dengan mudahnya membiarkan dirimu diinjak-injak seperti itu? Dan kukatakan, aku tidak berlebihan! Lihat saja, setelah delapan tahun berpacaran, Tanya pasti hafal apa saja kelemahan yang kau miliki. Lalu dia dengan mudahnya menaklukkanmu sekali lagi. Sekarang kutanya kau, apa yang bisa kau banggakan lagi? Harga diri pun kau tidak punya! Sudah habis terkikis oleh wanita yang notabene seharusnya bisa kau tundukkan di bawah kakimu!"
Isaac terpana, menatap Fez tidak bersuara.
"Aku menceramahimu karena aku masih peduli padamu. Semenjengkelkan apapun kau, kau tetap memiliki darah yang sama denganku, tapi apa! Hal seperti ini pun kau tidak mengerti?! Jangan membuatku malu, Ike! Sadarlah!"
"Justru aku yang malu menjadi saudaramu, Fez. Kau sama sekali tidak menghormati dan bahkan tidak menghargai kaum wanita. Kau jadikan mereka hanya sebagai obyek seksual, kurang bajingan apa kau? Mereka itu makhluk lemah yang sepantasnya kau jaga dan kau lindungi, kau mengerti??"
Fez melengos.
"Bayangkan jika kau punya saudara perempuan, dan saudara perempuanmu itu dipermainkan oleh seorang brengsek semacam kau. Dipermainkan, diperdaya, dibodohi tanpa ampun. Apa kau tidak meradang? Apa kau lupa kau pun lahir dari rahim seorang wanita? Sementara kau merendahkan wanita sampai seperti itu! Kau harus sadar bahwa karma itu ada, Fez! Yeah, kau boleh yakin kau sama sekali belum pernah membuat pacar-pacarmu hamil, tapi siapa yang tahu suatu saat nanti kau akan punya anak perempuan, dan kau akan saksikan sendiri anakmu itu akan mendapatkan karma berkat perbuatan ayahnya di masa lalu. Kau yang harus sadar, Fez!"
Fez tersenyum sinis. "Bicaralah terus, Ike, kau pikir aku peduli?"
29 April.
"Selamat ulang tahun Sayang.." ujar Isaac pada Margee via telepon. "Semoga di umurmu yang ke-26 ini, kamu semakin bijak, semakin dewasa, selalu dianugerahi kesehatan, dan semoga karir kamu terus menanjak tanpa ada halangan berarti. Kudoakan selalu agar cita-citamu tercapai, Margee, dan agar kamu bahagia selalu, selamanya."
"Amin.. amin," jawab Margee. "Thank you, Ikey.. Perhatian dari kamu saja sudah cukup membuat aku bahagia..!"
"Birthday girl, apa yang kamu inginkan di hari ulang tahun kamu ini?"
"Mmmm.." Margee berpikir sejenak. "Tidak ada.. Aku cuma ingin ketemu kamu."
Isaac tertawa ringan. "Sama denganku. Kalau begitu nanti malam kujemput kamu ya? Aku ingin mengajak kamu makan malam," kata Isaac. Memang Isaac sudah membooking tempat di sebuah restoran mewah. Dia ingin merayakan ulang tahun Margee, membawanya pergi makan malam romantis yang dia harap tidak akan terlupakan oleh Margee. Dia juga sudah mempersiapkan hadiah spesial untuk Margee.
"Euh.." sahut Margee. "..Aku tidak yakin apa malam ini bisa, Ikey.."
"Lho?"
"Iya.. hari ini aku dikejar deadline.. banyak sekali pekerjaanku, menumpuk. Kurasa aku harus lembur.."
"Hari jumat seperti ini? Lembur? Di hari ulang tahunmu pula?"
Margee mendesah. "Mau bagaimana lagi, Ikey, sudah deadline.. Kalau boleh memilih ya aku pasti akan memilih pergi sama kamu!"
Isaac menghela nafas.
Margee terdiam, merasa tidak enak. "Aku akan berusaha supaya pekerjaanku cepat selesai.. tapi jujur saja aku tidak yakin sih, Ike.."
"Tidak, tidak," sahut Isaac. "Kamu, konsentrasi sajalah pada pekerjaanmu. Jangan karena ada janjian denganku lalu kamu jadi tidak fokus bekerja, pasti akan lebih rumit lagi nantinya. Sudahlah, kencan kita diundur besok pun tak apa. Bagaimana?"
"Begitukah?"
"Ya, kamu fokuslah bekerja. Kamu harus kejar impianmu, Margee."
Margee tersenyum. "Okay.. thank you, Ikey, kamu mau mengerti keadaanku. Aku janji, besok malam kita kencan ya.. Lalu kamu malam ini ada rencana kemana dong?"
"Entahlah. Aku sedang malas main ke Highgate, seperti yang kuceritakan padamu, aku sedang perang dingin dengan Fez. Jadi kurasa aku akan menonton TV saja di mansion."
"Ah.. kamu masih marah pada Fez..?"
"Haha, tidak usah kamu pikirkan."
"Sudahlah.. Ikey, kenapa kalian berdua jadi kekanakan begitu, sih. Tidak ada yang mau mengalah.."
"Yeah, karena dulu semasa kecil tidak saling mengenal dan tidak pernah bertengkar, jadi perangnya baru terjadi sekarang, deh," Isaac terkekeh.
Isaac hampir tertidur di sofa ketika mendengar dering bel pintu. Dia melihat melalui interphone, ternyata Tanya mendatanginya di mansion. Isaac mengerutkan kening, namun tak urung dibukakannya juga pintu untuk Tanya.
"Halo, Ike..!" sapa Tanya hangat ketika sudah masuk ke dalam mansion.
"Hai. Ada apa tiba-tiba kamu datang selarut ini?" tidak bisa dipungkiri Isaac sebenarnya merasa gelisah mendapati Tanya bertamu ke mansionnya.
"Belum larut, Ikey, baru jam 9 malam," tanpa dipersilakan Tanya langsung duduk di sofa. "Kamu sudah makan? Aku bawa makan malam untuk kamu.. kalau kamu mau, sih.."
"Well, thanks. Aku sudah makan kok tadi."
Tanya menatap Isaac yang berdiri di depannya dengan bingung. "Ada apa, Ike? Duduklah.. kita ngobrol!"
Isaac dengan canggung duduk. "Begini, Tanya," Isaac terdiam. "..Kalau memang ada yang ingin dibicarakan denganku, tidak bisakah kamu adakan janjian dulu denganku? Jadi kamu tidak harus repot datang kesini kan?"
"Memangnya kenapa sih, aku tidak boleh main ke tempatmu?"
"Bukan begitu. Ini sudah cukup larut untuk bertamu ke rumah orang lain, kurasa."
"Kamu bukan orang lain untuk aku.. Ikey. Katamu kita berteman..?"
Isaac kehabisan kata-kata untuk menjawab.
"Yeah.. kamu bukan orang lain untuk aku, Ikey. Maka aku datang ke sini.. sebenarnya ada yang ingin aku ceritakan padamu.."
"Ya?"
"Hal-hal yang pribadi.. aku ingin cerita bagaimana aku dengan pacarku yang sekarang. Aku percaya padamu, boleh kan, aku mengandalkanmu untuk bercerita..?" Tanya menatap Isaac penuh harap. "Aku.. hanya butuh teman.."
Air muka Isaac berubah. "..Ceritakan apa yang ingin kamu ceritakan, Tanya."
"Kalau aku cerita.. kamu tidak akan menghakimiku seperti yang lainnya kan..?"
Isaac menggeleng. "Kamu kenal aku, Tanya. Apa aku seperti itu?"
"Tentu kamu tidak seperti itu.. maka aku mengandalkan kamu.."
"Baiklah," Isaac tersenyum. "Ceritalah dengan santai."
"Erick.. dia berselingkuh dengan iparnya sendiri," Tanya menggigit bibir.
Isaac terbelalak.
"Mereka.. mereka satu kantor. Beberapa kali kupergoki mereka berduaan, saling merayu. Aku tahu Erick pasti sudah bermain gila dengan iparnya sendiri saat itu. Aku berusaha menelan kenyataan pahit itu dengan terpaksa.. Sampai kudengar kabar iparnya itu hamil. Aku sudah punya perasaan tidak enak begitu mendengar kabar itu. Bagaimana kalau yang dikandungnya adalah anak Erick.. bagaimana jika seperti itu? Keadaan menjadi semakin rumit ketika akhirnya kakak Erick sendiri yang memergoki perbuatan gila istrinya dengan Erick.. Dan dia sekarang menuntut istrinya untuk melakukan cek darah pada bayi yang sedang dikandungnya. Entah apakah hasilnya nanti akan jelas ketahuan siapa ayah sebenarnya dari bayi itu.. Aku sendiri tidak ingin ikut campur lagi lebih jauh.. Aku sudah memutuskan Erick, tapi dia tidak mau melepasku. Sampai kapan aku harus bertahan dengan keadaan seperti ini..." suara Tanya terdengar bergetar.
Isaac terdiam, menunggu Tanya menyelesaikan ceritanya.
".. dan aku langsung teringat kamu, Isaac.. Aku tahu aku sudah menyia-nyiakan pria sebaik kamu, semanis kamu, betapa tololnya aku meninggalkan kamu demi bajingan satu itu.. bahkan dia tega menusuk kakaknya sendiri dari belakang! ..Aku sadar inilah karma yang harus aku tanggung karena dosaku padamu.. Aku tahu itu.. Aku.. aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri setiap kali aku teringat saat-saat ketika aku berdosa padamu.. Saat pertama kali aku membiarkan tubuhku dijamah oleh pria selain kamu.. Ah.. Isaac, sedemikian dahsyatnya perasaan bersalah itu merongrongku sekarang, aku tidak tahan lagi.. apa yang harus aku lakukan sekarang..?? Aku sangat marah pada diriku sendiri, tapi aku bisa apa??"
Isaac mengangkat wajahnya, dan terkejut ketika melihat wajah Tanya sudah basah oleh air mata. Nalurinya otomatis tergugah. Dia duduk di samping Tanya, lalu menyodorkan tissue pada Tanya. Agak ragu Isaac mengulurkan tangan untuk mengusap punggung Tanya. Berharap yang dilakukannya bisa membuat perasaan Tanya bisa lebih baik.
"Dengar, Tanya.." kata Isaac. "Kamu harus tegar, kamu harus kuat. Jangan kamu selalu menengok pada masa lalumu, yang sudah berlalu biarlah, ikhlaskan, Tanya! Yang sudah terjadi tidak akan bisa diubah! Dan kalau menurutmu, berpisah dengan Erick adalah yang terbaik yang bisa kamu lakukan.. maka lakukanlah. Ikuti intuisimu, ikuti kata hatimu. Aku berani jamin, kalau kamu mendengarkan apa kata hatimu, maka jalanmu sudah benar. Karena kata hati tidak akan pernah berbohong atau menyesatkanmu.."
"Ikey...." Tanya mengeluh. "Apa aku bisa...? Aku sedang dalam titik terendahku saat ini...." Tanya mengatupkan kedua tangannya di depan wajah.
Isaac menarik bahu Tanya dan membiarkan Tanya menangis di bahunya. "..Menangislah sampai kamu puas," katanya.
Dengan hati yang lega dan plong, Margee keluar dari kantor dan berkendara pulang. Pekerjaannya sudah selesai dengan baik dan tepat waktu. Walaupun tidak enak telah menolak ajakan Isaac tadi siang, tapi Margee tidak menyesal. Ya, karena pekerjaan yang ada di tangannya kali ini penting adanya. Mengundur waktu kencannya sehari dengan Isaac pun tidak menjadi masalah, toh saat ini Margee bisa menghabiskan akhir pekan bersama dengan Isaac.
Margee teringat, awal pekan depan Isaac sudah harus bertolak ke Malaysia, menyambut seri Grand Prix berikutnya. Margee ingin memanfaatkan waktu liburan Isaac yang tinggal sedikit sebaik-baiknya, maka ia memutuskan akan bermalam di mansion Isaac malam itu. Hitung-hitung Margee menebus perasaan bersalahnya karena menolak ajakan makan malam Isaac yang ingin merayakan ulang tahunnya hari ini.
Sudah tiga kali Margee menghubungi nomor ponsel Isaac, tanpa ada jawaban. Margee melirik arloji, 'Baru sekitar pukul 9, apakah Ike sudah tidur? Rasanya jarang, hampir tidak pernah Isaac tidur cepat,' pikirnya. 'Ah, bodohnya.. Pasti dia sedang berlatih di gym, atau mungkin sedang mandi. Kira-kira Isaac sudah makan belum ya..? Lebih baik aku mampir dulu membeli bahan makanan,' katanya lagi dalam hati seraya berbelok menuju swalayan.
Setengah jam kemudian Margee sampai juga di mansion Isaac, ia terheran ketika melihat ada mobil sedan merah terparkir di garasi Isaac. Masih sambil menyimpan keheranan ia masuk ke dalam mansion, meletakkan belanjaannya tadi di atas meja, lalu memanggil-manggil Isaac. Ruang duduk, ruang kerja, lobby, teras, tidak dilihatnya batang hidung Isaac. Ia lalu naik ke lantai atas, mengintip ruang gym, Isaac tidak ada juga di dalamnya.
Margee kemudian melihat pintu kamar Isaac terbuka sedikit. Pelan didorongnya pintu itu, dan terlihat olehnya sesuatu bergerak-gerak dari balik partisi. Di balik partisi itu adalah ranjang Isaac, dan karena kamar dalam keadaan gelap, Margee sempat mengira Isaac sudah terlelap. Ia melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar, dan mendapati gerakan dari balik partisi itu tampak agak janggal.. baginya. Dengan rasa penasaran ia menyalakan lampu......
... dan mendapati Tanya berada di atas tubuh Isaac, mereka sedang asyik bercumbu.
Kaki Margee terasa lemas, ia bersandar pada dinding agar tidak terjatuh.. Air mukanya berubah pias.
Sejoli yang tadi asyik masyuk pun terkejut dan menghentikan aktifitas mereka.
Sementara Isaac, bagaikan tersetrum begitu melihat kehadiran Margee di situ. Dia melompat bangun. "..Margee..?" wajahnya pucat pasi.
Margee memandangi Isaac dan Tanya, bergantian. Dadanya bergemuruh hebat, dan air mata tampak akan tumpah membasahi wajahnya.
Isaac terbata sambil berusaha mendekati Margee, "M, Margee.. I,ini tidak seperti yang..." Belum selesai Isaac berkata, Margee melengos pergi meninggalkan Isaac.
Dengan terburu-buru Margee menuruni tangga, dirasakannya kakinya gemetaran.. pun dengan tangannya. Ia keluar dari mansion Isaac dan setengah berlari menuju mobilnya. Langkahnya terhenti ketika baru menyadari sedan merah yang terparkir di garasi Isaac tidak lain adalah mobil Tanya. Sudah berapa lama Tanya ada di mansion? Ia memalingkan wajah, lalu merogoh tasnya, berusaha mencari kunci mobil.
Margee tersentak kaget dan langsung berbalik badan begitu ada yang menyentuh lengannya. Ternyata Isaac. Isaac pun terkejut ketika menyadari wajah Margee sudah basah oleh air mata, perasaan bersalah langsung menyergapnya.. Dadanya terasa sesak. "Margee.. Tolong dengarkan aku dulu," pintanya.
Margee masih menatap Isaac tidak bersuara dengan air mata yang terus mengalir di kedua pipinya. "... Ini .. ulang tahunku, Ikey..." lirihnya getir.
Sekali lagi, Isaac merasa bagaikan tersambar petir mendengar lirihan Margee. Dia tidak percaya bagaimana dia bisa membiarkan Tanya masuk ke dalam rumahnya, merayunya, membuatnya lupa daratan, bahkan lupa pada statusnya saat ini, juga lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahun kekasihnya sendiri!
Margee mendaratkan sebuah tamparan keras yang membuat kepala Isaac tertunduk ke samping. Isaac hanya berdiri membeku. Dia membiarkan Margee masuk ke dalam mobil dan pergi meninggalkannya. Isaac tidak berani berpikir. Isaac bahkan tidak berani bernafas. Yang dia harapkan hanyalah, kejadian ini hanyalah mimpinya belaka.
'Ini mimpi. Ini pasti mimpi. Ini mimpi!' ujarnya berulang-ulang dalam hati.
"Isaac.." terdengar suara Tanya memanggilnya.
'Tidak, bajingan. Ini bukan mimpi,' ujar Isaac lagi dalam hati. Dia membalikkan badan, lalu tanpa menghiraukan keberadaan Tanya, dia masuk ke dalam mansion. Isaac masih seperti orang linglung ketika berkata pada Tanya yang mengikuti di belakangnya, "..Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan padamu, Tanya. Pulanglah. Sekarang."
Tanya terdiam menatap punggung Isaac. Isaac terlihat sangat terluka. Pemandangan yang sama pernah ia lihat ketika dulu ia ketahuan selingkuh oleh Isaac. Kini ia mengulangi lagi kejadian hari itu?
'Aku tidak bermaksud seperti ini...' Tanya berkata dalam hati. '..Aku memang.. memang ingin Ike kembali berpaling padaku, tapi kenapa malah Ike yang terluka seperti ini yang kulihat? Kenapa?'
"PULANG SEKARANG JUGA, TANYA!!!" Isaac berseru keras. Tanya terkejut karena kaget.
'...Apa yang telah kulakukan...' Dengan perasaan berkecamuk Tanya pun pergi meninggalkan Isaac sendirian.
Chapter 34. Margot Eglantyne Carol Bainbridge
Seumur hidup aku belum pernah mengalami hal seperti ini. Pasanganku, yang tidak lain adalah calon suamiku, selingkuh tepat di depan mataku sendiri, dan indahnya lagi, dia lakukan itu tepat di hari ulang tahunku!
Kado yang benar-benar indah, Isaac.. Kamu tahu betapa aku mencintaimu, apa arti dirimu dalam hidupku. Kamu tahu betul semua itu.. Dan karena itu dengan mudahnya kamu menghancurkan hatiku dalam sekejap. Anggapanku selama ini terhadapmu, ternyata salah besar. Aku selalu berpikir kamu berbeda dari pria-pria kebanyakan, yang gemar merayu wanita, lalu setelah mendapatkan yang diinginkannya, mencampakkan wanita tanpa ampun...
Rupanya aku salah telah jatuh cinta padamu.. Mengenal dirimu adalah sebuah kesalahan...
Hari senin pasca tragedi menyedihkan yang menimpaku, aku sengaja membolos. Aku masih memulihkan hati dan pikiranku. Semoga aku bisa cepat melupakan orang yang sudah membuatku hancur seperti ini.. Semoga sakit hatiku bisa segera pulih..
Sudah dua hari ini orang itu, Isaac, menelponku terus. Tapi aku tidak pernah menjawab teleponnya. Dia juga datang ke tempatku, tapi aku tidak membukakan pintu untuknya.. Untuk apa? Untuk mendengarkan ocehannya, membela diri dan meyakinkanku kalau aku salah sangka atau semacamnya?? .. Tidak perlu..! Cukup tampar aku dengan perbuatanmu itu, tepat di hari ulang tahunku, dan untukku berakhirlah sudah semuanya! Untuk apa masih memperpanjang urusan dengan orang semacam itu? .. Dia tidak punya hati.. Tahukah kamu, sadarkah kamu, berapa banyak air mata yang tumpah karena perbuatanmu.. Seberapa sakit hatiku? Kurasa kamu tidak akan pernah tahu Isaac.. karena memang kamu tidak punya hati.
Kamu sungguh orang paling kejam yang pernah kutemui, Ike... Kamu menghancur leburkan hidupku.. Kenapa aku mesti berjodoh denganmu??
Angie menyempatkan waktu untuk mengunjungiku senin sore itu, aku bersyukur setidaknya aku masih memiliki sepupu yang bisa diandalkan seperti Angie. Kukatakan padanya Isaac hari ini meneleponku sampai puluhan kali.. baterai ponselku sampai habis karena aku membiarkan ponselku berdering terus, tidak kuangkat. Tapi Angie malah menyarankan, aku setidaknya harus memberi Isaac kesempatan untuk bicara, cukup satu kali saja. Sebab kalau aku menghindarinya terus, Isaac tidak akan pernah berhenti meneleponku.
Aku berpikir, walaupun aku sebenarnya enggan bertemu muka lagi dengan Isaac, tapi perkataan Angie ada benarnya juga. Isaac tidak akan pernah menyerah sampai dia bisa membuatku berbicara dengannya..
Jadi dengan berat hati.. aku mengirim pesan singkat pada Isaac, mengajaknya bertemu hari selasa besok sepulangku kerja. Kuputuskan untuk kembali bekerja besok, karena aku berharap beban pikiranku bisa berkurang sedikit jika aku menyibukkan diri dengan bekerja..
Aku sudah sampai di depan starbucks, tempat aku dan Isaac janjian sore ini. Tapi aku ragu.. haruskah aku masuk ke dalam dan bertemu dengannya lagi? Membayangkan akan bertemu muka lagi dengannya saja membuat hatiku rasanya tidak keruan.. Isaac sudah menunggu di dalam sini, haruskah aku masuk menemuinya?
Ah.. untuk apa masih memperpanjang urusan dengan laki-laki jahat itu, Marg? Dia sudah jelas-jelas mempermainkanmu! Untuk apa masih ingin bertemu dengannya? Ayo, pulang saja sekarang!
Tapi.. bukankah justru agar urusan memuakkan ini cepat selesai, makanya kuajak dia bertemu? Ayo.. kuatkan hatimu Marg.. kuatkan hati! Saatnya bertemu lagi dengannya!
Akhirnya aku pun melangkah masuk ke dalam kafe. Kusapukan pandangan, dan itu dia, kulihat Isaac duduk di teras belakang kafe.. Pengunjungnya cuma sedikit, baguslah, jadi tidak perlu kuatir obrolan kami nanti didengar oleh orang lain..
Dengan langkah berat kuhampiri Isaac. Dia langsung melempar senyum begitu menyadari kedatanganku.
Oh Tuhan.. betapa aku suka senyumnya... betapa aku mencintai orang ini... sejak masih sekolah dulu, sampai sekarang, rasa cinta itu tetap ada, terpelihara dan tumbuh subur di dalam hatiku..
Tapi... sekarang.. rasa cinta itu telah layu dan mengering. Dan tanpa bisa kukontrol, mataku langsung terasa panas, kurasakan air mata ini ingin menyeruak keluar.
Ayo Margee!! Kuatkan hatimu!!
Aku menarik nafas dalam-dalam, lalu menarik kursi dan duduk di depan Isaac.. “..Halo, Ike,” sapaku pelan.
“Hai, Marg..” Isaac menatapku dengan pandangan yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
Isaac langsung memesankan minum untukku, dan setelah itu dia tidak berbicara lagi denganku, sampai pesanan kopiku tiba.
“Apa kabar Marg?”
Aku menghela nafas. “Sudahlah tidak perlu basa-basi, cepat katakan apa yang mau kamu katakan Ike..” rasanya aku terdengar ketus.
Isaac juga menghela nafas. “..Okay,” katanya. “Margee, aku cuma ingin meluruskan, kamu sudah salah paham. Aku dan Tanya.. kami tidak seperti yang kamu pikirkan. Tidak pula seperti yang kamu lihat. Aku bersedia menceritakan semua yang terjadi hari itu..”
“Salah paham? Salah paham dimananya? Kurang jelas apa yang kulihat, kamu masih mau menyangkal?”
“Aku tidak bermaksud berbuat seperti itu, percayalah.”
Hmmh! Iya.. benar, Ike. Aku mendengus kesal.
"Kumohon dengarkan ceritaku dulu, Margee?"
"Cerita apa lagi, Ike? Cerita kalau saat itu kamu sebenarnya merasa terganggu dengan kedatanganku yang tiba-tiba? Seandainya saja ya.. aku urungkan niatku untuk pergi ke mansionmu sepulang kerja.. mungkin kamu sudah tidur dengannya kan Ike.. dan aku tidak tahu apa-apa," sekeras mungkin kutahan suaraku agar tidak terdengar bergetar. "Cukuplah sudah Ike.. kita akhiri saja. Aku tidak ingin terus bersamamu, ..aku tidak ingin merasakan sakitnya diselingkuhi lagi.. cukup."
Isaac menatapku. “Tidak Margee, tunggu dulu! Kamu.. Kurang yakin apa buat kamu, cuma ada kamu di hatiku. Tanya sudah jadi masa lalu! Aku sebenarnya tidak ingin mengungkit-ungkit masa lalu lagi, tapi waktu kemarin itu.. aku.. Aku mabuk, Marg. Aku sampai lupa daratan sedang bersama dengan siapa aku saat itu. Memang semua kesalahanku, aku minta maaf. Tapi kamu jangan pernah berpikir untuk pergi dari sisiku, Margee.”
Ahh, bullshit. Alasan kuno. Basi. Jahat kamu.. Sumpah, kamu sangat jahat. Setelah kamu kepergok sedang berselingkuh pun, kamu masih bisa mengarang alasan.. Kamu lakukan ini padaku, Ike? Lalu semua kata-kata manismu...? Ah.. tentu semuanya hanya di bibir kamu saja.. Bodohnya aku..
“Tolonglah, maafkan aku ya? Jangan kamu bersikap sedingin ini lagi, aku tidak sanggup melihat kamu seperti ini terus. Aku tahu aku sudah sakiti hati kamu, semua karena kekhilafanku, dan aku minta maaf. Kita.. kita mulai lagi dari awal, kamu mau kan?”
“Untuk apa Ike? Untuk melihat kamu selingkuh lagi dengan Tanya? Atau bahkan mungkin dengan wanita lainnya?” aku tercekat. “Atau mungkin justru aku yang salah selama ini.. Aku sebelumnya memang yakin kalau dalam hatimu cuma ada aku. Tapi siapa yang tahu, mungkin kamu sendiri juga tidak menyadarinya selama ini, kalau ternyata hatimu itu terbagi antara aku dan Tanya. Entah porsi siapa yang lebih besar.. tapi kalau melihat yang sudah terjadi sekarang ini, entah kenapa aku yakin, kamu sebenarnya masih mencintai Tanya. –Jangan potong dulu kata-kataku!- Atau mungkin juga sebenarnya kamu dari dulu sampai sekarang mencintai Tanya, dan tidak pernah berubah.. Jadi kehadiranku di hatimu itu cuma sekadar mampir aja, mungkin bisa juga posisiku sebenarnya adalah selingkuhanmu, sementara pacarmu tetaplah Tanya. Atau, yang paling masuk akal, aku sebenarnya cuma jadi pelarian saja buatmu kan...? ...Kalau diingat-ingat, kamu putus dengan Tanya, lalu tidak sampai dua bulan kamu sudah dapat pacar baru lagi.. Cukup terburu-buru sih.. secara kamu dan Tanya pacaran sudah 8 tahun..! Semuanya jadi masuk akal..”
Isaac tampak sangat terkejut mendengar ucapanku. Dia terdiam lama. Matanya menatap tajam ke arahku. Apa maumu, beraninya memelototiku seperti itu?
“Kenapa Ike?” kataku lagi. “Sudah deh, sekarang saatnya jujur-jujuran, apa susahnya sih. Kamu akui saja kalau memang kamu masih cinta Tanya. Sementara aku, aku hanyalah pelarian untukmu. Begitu kan? Bicara saja jujur, it’s ok kok. Aku bisa terima itu. Paling tidak itu akan jadi salah satu alasan yang kuat kenapa aku harus cepat melupakanmu..”
Isaac masih menatapku dengan pandangan tajam. “..Pelarian? Pelarian ya?” suaranya terdengar berat.
“Iya! Pelarian. Akui saja.. tidak usah merasa tidak enak padaku untuk jujur. Toh hatiku sudah terluka karena tusukan pisau pengkhianatanmu, apa bedanya kalau sekarang kamu tambah lagi luka itu dengan cakaran tajam? Akui sajalah, Ike. .. Kamu mungkin tidak sadar seberapa besar cintaku padamu... Thanks, kamu sudah membuat hatiku hancur sehancur-hancurnya.. Bertemu dan jatuh cinta denganmu adalah sebuah kesalahan besar, Ike.. Memelihara rasa cintaku padamu selama ini juga adalah sebuah kesalahan besar.. Seandainya bisa, aku ingin mengulangi waktu, agar aku tidak perlu dijadikan pelarian seperti ini. Karena rasanya menyakitkan, Isaac.”
“..Jadi itu penilaianmu terhadapku?" Isaac terdengar aneh. "Itu penilaianmu? Kamu pikir aku menjadikanmu pelarian? Fine,” Isaac langsung bangkit berdiri, dan pergi meninggalkanku begitu saja. Aku terbengong lama.... Dia tampak marah sekali, dari raut mukanya, matanya, aku tidak pernah melihat Isaac semarah itu! Kok aneh, kok malah marah sih?? Idiiihh... yang harusnya marah itu kan aku!!
Chapter 35. Isaac Lawrence Anthony Renauld
Setelah melewati 60 lap yang panjang akhirnya terlihatlah kibaran chequered flag di depanku. Aku finish di posisi ke-14. Bukan hal yang bagus dan aku yakin bosku, Friedrich Sheppard, pasti dia akan mengoceh panjang lebar melihat prestasiku yang merosot tajam seperti ini. Well, tapi setidaknya Fabio Ortolani bisa finish di posisi kedua, kuharap Friedrich tidak akan terlalu mempermasalahkan soal ini.
Tidak, mobilnya tidak bermasalah. Mesin mobil terlihat sempurna, semua kondisi fisik mobilku normal dan sempurna. Aku tahu aku seharusnya bisa menang, atau setidaknya aku bisa menorehkan prestasi lebih dari sekedar posisi ke-14 di sirkuit Sepang, Malaysia, ini. Yang tidak sempurna pada balapan hari ini hanyalah kondisi mentalku.. Aku tidak bisa memungkiri bahwa tragedi yang terjadi antara aku, Tanya dan Margee kemarin menyita segenap pikiranku.
Aku terguncang. Dan aku marah pada diriku sendiri kenapa aku tidak bisa menolak rayuan gadis itu. Padahal aku mengenalnya selama delapan tahun lebih, bagaimana aku bisa lupa jurusnya yang satu itu? Memulai drama, menangis, memanfaatkan kelemahanku yang tidak bisa membiarkan seorang wanita menangis di dekatku. Ya, aku paling tidak tahan melihat tangisan seorang wanita, siapapun dia. Terlebih wanita yang spesial untukku. Aku tidak tahan melihat air mata Tanya, tapi aku justru malah membuat Margee tersakiti sedemikian rupa! Entah sudah berapa banyak air mata yang ia keluarkan tanpa sepengetahuanku. Sebuah ironi.
Dan aku pun marah, mengingat pertemuan terakhirku dengan Margee tempo hari. Bagaimana bisa kamu menuduhku menjadikanmu pelarian, Marg? Bagaimana kamu bisa tega menuduhku seperti itu? Aku sangat tidak terima ia berpendapat seperti itu, karena semua itu SALAH BESAR.
Aku mendapat pacar baru hanya sekitar dua bulan setelah putus dari pacar lama, lalu kenapa?? Margee, kamu tahu sendiri bagaimana Tanya menyakitiku telak dengan menduakanku, untuk apa aku membiarkan waktuku tersita demi dirinya? Demi apa yang telah diperbuatnya padaku? Jauh lebih baik aku sesegera mungkin move on, apakah aku salah? Lalu kamu hadir dalam hidupku, dan aku merasa jauh lebih baik setelah kehadiranmu. Aku rasakan benih cinta tumbuh subur dalam hatiku, dan itu hanya untukmu. Bagaikan hujan yang memberikan nafas kehidupan bagi ladang kekeringan, apa salah jika pepohonan dan rerumputan lantas tumbuh subur di ladang itu? Salahkah aku memintamu menjadi kekasihku hanya karena aku baru dua bulan berpisah dengan pacar lamaku? Apakah hal itu yang memberatkan pikiranmu sekarang sehingga kamu bisa-bisanya berpikir aku menjadikanmu pelarian??
Kamu harus sadar, kamu SALAH BESAR, Margee!
Aku menyayangimu dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam! Kalau aku tidak merasakan hal seperti itu untuk apa aku melamarmu di depan banyak orang?? Untuk apa aku buru-buru melamarmu padahal belum ada setahun kita bersama?? Karena aku hanya ingin membuktikan padamu bahwa yang kurasakan ini adalah benar adanya! Bagaimana kamu bisa menyangka aku masih mencintai Tanya, Ya Tuhan, ada apa denganmu, Margee??
Memang aku bersalah. Aku menyakiti dirimu. Aku mengkhianatimu demi sebuah memori lama yang seharusnya sudah terkubur dalam-dalam. Dan aku tidak tahu bagaimana aku harus menebus kesalahanku ini padamu, Margee. Tapi yang harus kamu tahu, aku tidak ingin hubungan ini berakhir, Marg. Kamu juga harus tahu bahwa yang kurasakan padamu adalah nyata.. bukan semu seperti yang kamu pikirkan! Lupakah kamu, akhir tahun ini kita akan menikah?
Aku harus menemuimu lagi dan kita akan bicarakan soal ini, Marg.
Aku tiba di motorhome Glauber, dan kulihat Friedrich memasang wajah masam. Sudahkah kukatakan bahwa bosku yang satu ini emosional dan ambisius?
Tapi baguslah Friedrich tidak mengatakan apa pun, aku tidak perlu berurusan dengannya saat ini. Kuputuskan aku akan langsung pulang ke London. Aku tidak bisa berbuat banyak dengan beban pikiran yang bertumpuk seperti ini!
Maka keesokan sorenya aku sudah berada di depan apartemen Margee. Kuharap ia mau membukakan pintu untukku.
Aku mengetuk pintu.
Agak lama kutunggu, akhirnya pintu pun terbuka. Margee terlihat bingung melihatku.
"..Isaac," katanya.
"Hai, Marg," sapaku sambil melempar senyum.
Margee memandangiku dari atas ke bawah, lalu bertanya. "..Ada apa?"
"Bolehkah aku masuk? ..Ada yang ingin kubicarakan denganmu."
Margee mempersilakanku masuk, dan tak lama kami duduk berhadapan.
"Aku baru saja kembali dari Malaysia. Maaf kalau aku terlihat berantakan," kataku memulai percakapan.
"..Tidak apa. Aku tahu kamu baru saja bertanding di sana."
"Well, Margee," aku menarik nafas. "..Pertemuan kita yang terakhir kemarin tidak terlalu mengenakkan ya. Aku minta maaf aku terpancing emosi."
Margee melengos. "Lupakan saja, Ike."
"Lupakan? Kamu memintaku melupakan? Tidak mungkin, Margee. Ada banyak hal yang harus kuluruskan.. Kamu telah salah menilaiku, dan jujur saja aku tidak terima kamu menuduhku menjadikanmu hanya sebagai pelarian. Itu sungguh hal yang keliru!"
Margee terdiam. Ia memandangiku. Kubalas tatapannya, dan seraya mempertahankan kontak mata, aku berkata, "Kumohon Marg, maafkan kesalahanku. Aku sungguh menyesali perbuatanku yang menyebabkan kamu menjadi seperti ini. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Aku hanya bisa berharap kamu bersedia memberikan kesempatan kedua padaku.. Aku tidak akan mengecewakanmu lagi, Margee.. hanya kamu yang kumiliki."
Kami berdua terdiam.
"Tidak ada alasan yang bisa menolerir perbuatanku, aku tidak pantas membela diri. Aku hanya bisa berharap agar kamu bermurah hati, apakah aku pantas menerima kesempatan kedua, semua itu tergantung pada keputusan kamu, Marg," lanjutku.
Margee masih saja terdiam.
"..Kamu pernah dengar kata-kata ini? Jika pasanganmu mengkhianatimu, segera akhiri hubunganmu dengannya. Karena sekali dia berbohong, sekali dia berkhianat, ke depannya dia akan selalu seperti itu.." Margee berkata pelan.
Aku bukan laki-laki seperti itu, Marg!
"Kamu tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya memergoki kamu dan wanita itu... seperti itu..." Margee terbata-bata.
Oh, Margee.. maafkan aku.
"... di atas ranjang yang biasa kugunakan juga bersama kamu... Ike, aku tidak sanggup. ..Aku tidak bisa lagi mempercayaimu..!"
Tidak, Margee. Tidak. Jangan katakan hal itu!
"Lebih baik kamu jangan berharap apapun dariku.. Aku tidak sanggup Ike.. Sudah, cukuplah sudah. Kita harus akhiri semua ini.."
"Tidak," sahutku langsung. "Aku tidak terima kita putus. Kamu.. Margee, apakah kamu lupa kita akan segera menikah?"
"Tidak akan ada pernikahan!" Margee setengah berteriak. "Kamu aneh sekali, tadi baru saja kamu bilang semua keputusan berada di tanganku, dan memang aku yang berhak mengambil keputusan karena kamu telah berbuat sangat jahat kepadaku..! Tapi malah kamu menolak putus, apa maumu..?"
Oh Tuhan. Aku terdiam lama.
Margee menghela nafas. "..Sudah selesai, Ike. Hubungan kita sudah berakhir.. mengapa? Karena aku merasa aku tidak bisa lagi mempercayaimu.. itu saja. Apalah arti sebuah hubungan jika tidak ada rasa percaya? Hubungan itu tidak akan berhasil.. Kuharap kamu mengerti.."
".. Aku selalu berpikir kamu mencintaiku," kataku.
"Ya! Iya memang benar itulah yang aku rasakan terhadap kamu, Ike..!" seru Margee. "Setidaknya sampai sebelum hari ulang tahunku yang tragis kemarin! Tapi kamu... kamu yang hancurkan semuanya..! Kamu hancurkan hatiku, dan kamu runtuhkan kepercayaanku padamu.. Nasi sudah terlanjur menjadi bubur, apa yang bisa kamu lakukan..?" Margee lagi-lagi menghela nafas. "..Ike.. Isaac.. Seandainya aku tidak pernah mengenalmu! Seandainya aku tidak pernah jatuh cinta padamu.. semua ini tidak akan menimpaku! Mencintaimu hanya membuatku buta.. Isaac. Segala yang ada pada diriku hanya untuk kamu.. Aku tidak mempersiapkan sedikit pun ruang di hatiku sehingga jika terjadi hal yang seperti ini aku masih bisa bangkit dan menjalani hidup seperti biasa. ..Tapi denganmu.. aku mencintaimu secara buta.. aku bodoh. Dan sekarang, hal yang paling kutakutkan itu terjadi. Kamu tidak akan bisa membayangkan sehancur apa hatiku. Kamu tidak akan pernah tahu berapa banyak air mata ini tumpah untukmu. Dan kamu memintaku untuk memberimu kesempatan kedua...? Isaac, ketahuilah, walaupun masih ada rasa cinta padamu, tapi semua itu tidak ada artinya karena aku tidak lagi mempercayaimu."
Inikah akhirnya?
Baru sekarang ini kurasakan perasaan hampa yang teramat sangat. Perasaan yang sama tidak kurasakan ketika aku berpisah dengan Tanya. Ini kali pertama aku harus menelan rasa sakit dan pahit seperti ini... Isaac, kau benar-benar pecundang yang egois dan munafik.
".. Aku harap kamu mengerti.." terdengar ada getar dalam nada suara Margee. Aku mengangkat wajah, kulihat setetes air mata menitik di wajahnya. Margee menangis.
Aku tidak peduli jika ia menolakku, aku lantas berdiri dan mendekati Margee. Aku berlutut di depannya, seraya mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Tapi seperti yang sudah kuduga, Margee mengelak dan memalingkan wajah.
Aku menarik nafas panjang. "..Tidak bisakah kamu pertimbangkan sekali lagi, Margee.." kataku. "Aku bukan tipe pria yang akan jatuh ke lubang yang sama.. kamu bisa percaya padaku. Hanya kita berdua yang bisa menyelamatkan hubungan ini. Kamu bisa teruskan kapal ini dan kita terus melaju.. dan demi kamu, aku akan tunjukkan padamu bahwa aku akan berubah ke arah yang lebih baik, untuk kamu. Aku tidak akan egois, tidak akan pemarah seperti dulu, aku .. yang pasti aku tidak akan lagi jatuh ke dalam lubang yang sama! Percayalah, Marg. Jangan biarkan kapal ini karam.."
Margee memejamkan mata kuat-kuat. "... Jauh lebih baik kalau kapal ini karam.. ketika hubungan kita masih sebatas ini, Isaac. Ketika kita masih berada di pinggir lautan yang tidak seberapa dalamnya. Aku tidak bisa membayangkan jika kapal ini karam ketika sudah berada di tengah samudera yang luas. Yaitu ketika kita sudah resmi menikah.. Dan aku tidak ingin pernikahan itu terjadi! ..Kukatakan sekali lagi padamu.. semua ini sudah berakhir."
Aku menundukkan kepala. Sungguh bukan main sakitnya mendengar hal ini dari wanita yang ingin kuberikan namaku padanya. Wanita yang ingin kulindungi dan kujaga sepanjang sisa umurku. Tapi mungkin benar ucapan Margee.. Kapal ini belumlah sampai di tengah samudera, tapi aku sendiri yang membuatnya karam. Sungguh tolol kau, Isaac. Lihat betapa bajingannya dirimu! Lihat betapa pecundang! Lihat, rasakan sendiri akibat perbuatan hinamu itu! Dimana harga dirimu?? Dimana??
"Sudah tidak ada.. yang ingin dibahas lagi kan..?" kata Margee. "Pergilah.."
"Aku tidak akan pergi.." jawabku. "Kecuali kamu berhenti menangis."
Margee lantas mengusap air mata di wajahnya dengan kedua tangannya.
Aku memandanginya berjenak-jenak. Pemandangan yang mungkin terakhir kalinya bisa kulihat..
Setelah memastikan Margee tidak lagi menangis, aku bangkit berdiri. "..Aku mendoakan semoga kamu selalu berbahagia. Selamat tinggal," ini kata-kata yang paling tidak ingin kuucapkan! Tapi terucap juga olehku..
"..Selamat tinggal.." terdengar jawaban Margee lirih.
Aku menggelengkan kepalaku, lalu berjalan menjauhinya.
Suara-suara dari dalam kepalaku terus menerus mengulang kata-kata yang sama, bagaikan sebuah litani :
Pecundang!
Bajingan!
Tolol!
Lihat siapa yang telah kau sakiti!
Lihat siapa yang menolakmu, ia bahkan menolak kau nikahi!
Lihat siapa yang telah membuatmu seperti ini!
Tidak punya harga diri!
Pecundang!!
Dan tanpa kusadari aku mengarahkan kemudi ke arah Highgate. Untuk apa sebenarnya aku ke sini? Tapi aku pun sadar aku butuh teman bicara. Siapa lagi yang bisa mengertiku dan memahami yang kurasakan sekarang? Aku hanya seorang pecundang yang harga dirinya telah tercabik-cabik..
"Sudah kukatakan! Kau tetap saja tidak mau mendengarku, Ike! Sekarang rasakan sendiri!" Fez berapi-api begitu kuceritakan padanya semua yang terjadi padaku saat ini.
"Kau itu mungkin memang perlu ditampar seperti ini, baru kau mengerti. Tidak semua wanita harus kau agung-agungkan! Di antara mereka pasti ada saja wanita yang dengan lihainya merebut perhatianmu dan membuatmu menjadi pecundang sejati seperti ini!"
Aku terdiam.
"Kau memang kurang bergaul, kau tahu? Dulu kau selalu memandangku sebelah mata karena aku hobby bermain wanita, tapi itu kulakukan karena aku juga ingin mempelajari karakter mereka. Makanya aku bisa tahu apa maksud Tanya mendekatimu lagi. Kuperingatkan kau, tapi kau tidak terima. Sekarang rasakan sendiri, Ike."
Ya, aku tahu. Sudah selesai berceramah?
"Lalu untuk apa kau memasang wajah seperti itu?" tanya Fez.
Aku menatap Fez.
"Wajah itu. Wajah pecundang yang tidak punya harga diri. Kau menginap sajalah di sini beberapa hari sampai lebih tenang. Aku malu melihatmu berkeliaran di luar sana dengan memasang wajah seperti itu."
"Fez, aku sedang down. Bisakah kau berhenti menceramahiku?"
Fez mendengus. "..Di Sepang kemarin, prestasimu luar biasa, Ike," katanya.
Dia mulai lagi.. sekarang kata-katanya sinis.
"Glauber! Tahun ini superior karena membuat tim-tim lain cuma seperti seonggok sampah tidak berguna. Mereka hanya sebagai peramai kompetisi! Sementara jalannya pertandingan menjadi milik Glauber seutuhnya. Mobil yang bagus, mesin yang sempurna... tapi apakah pembalap utamanya juga sesempurna itu? Kau tidak mungkin cuma bisa finish di posisi 14, Ike. Jangan katakan padaku, masalahmu ini yang membuatmu melempem seperti kakek-kakek yang sudah ompong."
Aku menarik nafas panjang, mengangguk.
"Jesus!" seru Fez. "Berapa tahun kau habiskan demi menjadi pembalap, huh? Berapa?? Puluhan tahun!! Kau biarkan semua itu di ambang kehancuran.. hanya demi permasalahan wanita! AYOLAH, ISAAC!! Berpikirlah dengan logika, jangan dengan perasaan! Kau ini pria kan? Seumur hidup aku baru lihat ada pria secengeng kau!! Yang seperti itu pun kau tidak paham juga? Astaga!"
"Yeah, katakanlah aku tidak paham semua itu. Kau sendiri pun tidak paham, dan mungkin tidak akan paham karena bagiku Margee adalah segalanya. Dan sekarang kami putus.. Aku harus menata ulang hidupku lagi agar bisa segera pulih, tolonglah berhenti menceramahiku. Tanpa kau katakan pun aku tahu seberapa payahnya aku."
Fez menghela nafas. "Kuingatkan sekali lagi deh, agar kau tidak lupa. Jangan sampai kau keluar dari rumah ini dengan wajah yang memalukan seperti itu. Mengerti kau??"
Noted, Sir.
10 Mei 2005.
Aku sedang workout di mansion ketika kulihat dari interphone, Margee datang. Margee! Kamu datang ke sini, ada apa?? Apakah..?
..Isaac, berhentilah berharap! Aku malu sendiri menyadari kenaifanku. Apa yang bisa kuharapkan dari hubungan yang sudah hancur karena perbuatan tolol yang kulakukan? Bisa-bisanya aku berharap Margee mau memaafkanku, sementara aku tahu betapa sakit yang ia rasakan karena perbuatanku itu.
Maka aku langsung menyambar handuk, mengelap keringat, hell, untung aku baru sebentar workout.. Dengan cepat aku berpakaian dan menyisir rambut, lalu menyambut Margee yang sudah menungguku di ruang tamu.
"Hai, Marg," sapaku. Agak aneh, Margee membawa dua tas berukuran besar, serta satu koper.. Apa artinya ini?
"Oh, hai, Ike.." sahut Margee.
"Apa kabar, duduklah. Maaf aku agak berantakan.. Aku tadi sedang olah raga," kududuk di sofa. "Ingin minum apa?"
"Oh, tidak usah, thanks. Aku cuma sebentar kok.. aku tidak mau mengganggu waktu latihanmu juga. Aku cuma mau mengembalikan semua barang ini padamu," Margee meletakkan dua tas besar yang dibawanya di atas meja.
"Ini apa?" tanyaku.
Margee membuka retsleting kedua tas itu, dan memperlihatkan isinya. "Semua barang yang pernah kamu berikan, Ike. Maafkan, nilai gunanya sudah berkurang semua. Apa boleh buat kan? Tapi semuanya aku kembalikan kok. .. Oh ya, yang di koper itu, isinya pakaian dan barang-barangmu yang tertinggal di tempatku. ..Eng, kalau tidak merepotkanmu, bolehkah aku minta tolong, barang-barangku yang masih ada di sini, kamu kirimkan padaku..? Tidak harus sekarang juga sih, kalau kamu sedang ada waktu saja.."
Aku malas menjawab, aku sibuk membongkar dua tas yang Margee bawa. Ada dua buah ponsel lengkap dengan kotak pembungkusnya. Ada boneka piggy. Ada boneka lain lagi yang berukuran lebih besar. Ada dua tas tangan. Ada iPod, plus satu unit laptop. Aku hampir tidak berani melanjutkan.. Aku menarik nafas, lalu membuka tas yang satunya. Sepertinya ini beberapa helai gaun dan pakaian tidur. Beberapa pasang sepatu stiletto. Aksesoris rambut. Tersisa satu kotak besar yang belum kubuka. Ketika aku membukanya, aku semakin kehilangan kata-kata. Kotak itu berisi seluruh perhiasan yang pernah kuberikan padanya. Beberapa pasang kalung, anting, gelang... dan tidak lupa cincin yang kuberikan sewaktu malam penobatanku tahun lalu. Kurasakan darahku mendidih.
"UNTUK APA KAMU KEMARI MEMBAWA SAMPAH??!!!!" maaf, aku tidak bisa mengontrol nada suaraku yang tiba-tiba tinggi. Aku merasa sangat tersinggung. Harga diriku kamu injak-injak sedemikian rupa, Marg, inikah harga yang harus kubayar karena aku sudah melakukan kesalahan yang tolol???
Margee terlihat kaget mendengar hardikanku. ".. Ya karena semua barang ini kan milikmu?"
Aku memicingkan mata, "Bukankah kamu sudah tidak menganggapku ada, di dunia ini??? Kamu menyesali perjodohan kita, kamu menyesali pertemuan kita, dan kehadiranku dalam hidupmu, kan?! Terus kenapa kamu sekarang ada di sini??!!!"
“Isaac, kamu aneh ya! Kalau aku tidak pergi ke sini, lalu aku harus kemana untuk mengembalikan semua barang-barang ini? Kalau barang-barang ini masih kusimpan, maka aku akan teringat terus padamu! Aku tidak mau, maaf, makanya aku memberanikan diri untuk ke sini, untuk yang terakhir kalinya, agar aku bisa mengembalikan semua pemberianmu..!”
"Ya makanya kutanya untuk apa kamu ke sini???!! Kamu bisa pura-pura tidak melihat semua barang-barang ini. Bisa kamu berikan pada siapapun yang mau!! Bisa kamu jual lagi!! Kenapa kamu kembalikan padaku?!!!"
"Kenapa sih kamu marah-marah seperti itu?? Semua ini kan milikmu, MILIKMU... aku tidak punya hak lagi memakai semua barang ini, apalagi menjualnya!"
"Kenapa tidak kamu bakar saja??!!! Kamu tidak mau simpan, kamu tidak mau jual, kamu tidak mau sentuh barang-barang ini, AKU PUN TIDAK AKAN MAU!! Kamu pikir aku ini apa Marg, apa kamu tahu apa yang sedang kamu lakukan sekarang??"
"Apa sih masalahnya Ike, kamu tinggal terima saja semua ini, apa susahnya? Kalau kamu hendak membakar semua ini ya bakarlah.. Kamu memang tidak paham nilai guna barang. Aku tahu kamu kebanyakan uang, membakar semua barang ini pun pastinya tidak jadi masalah..!"
"PULANG KAMU SEKARANG!! Bawa pergi semua barang ini! Bakar kalau perlu!!"
"Are you nuts......???" suara Margee meninggi. "Aku akan pulang sekarang, tapi aku tidak mau membawa semua barang ini, kamu saja yang bakar!!" Margee bangkit berdiri dan bermaksud pergi, tapi kutahan tangannya.
"Setelah kamu membuat tempatku berantakan gara-gara sampah ini, kamu mau pulang begitu saja??"
"Lepas!!" seru Margee sambil mengibaskan tangannya hingga terlepas dari genggamanku.
"Kamu. Diam dan ikut aku, sekarang."
Tanpa banyak omong kusambar dua tas yang Margee bawa, lalu kutarik tangan Margee keluar dari mansion, dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Kulemparkan kedua tas laknat itu ke dalam bagasi dan aku melompat masuk ke dalam mobil. Seperti orang kesetanan aku menginjak gas.
"Kita mau ke mana, sih?" tanya Margee.
Aku malas menjawab. Dalam waktu singkat kami sudah melaju di jalan tol yang lengang, dan tanpa kusadari aku memacu mobil dengan kecepatan 110 km/jam. Hampir 115.
"... Dengar, aku tidak ingin mati bersamamu," kata Margee. Dia melirik speedometer berkali-kali.
"Aku juga tidak ingin menjadi pembunuh."
“Kalau begitu cepat keluar dari tol! ....Aku tahu, kamu sudah terbiasa dengan kecepatan 300 km/jam! Kamu juga terbiasa dekat dengan maut, tapi kamu jangan ajak-ajak dong..! Lagipula kita mau ke mana, sih?! Aku masih banyak urusan ya, asal kamu tahu saja!”
“Kalau masih banyak urusan kenapa kamu datang ke tempatku??”
“Brengsek! Turunkan aku, sekarang! Atau aku lompat!”
“Tidak sabaran sekali sih! Nih lihat, kita keluar tol!” aku mengarahkan mobil keluar dari tol.
Margee rupanya mulai menyadari sesuatu. ".. Ini kan.. jalan menuju rumah..." Margee menatapku dengan bingung.
Aku terlalu malas merespon. Lihat saja nanti, Marg. Kamu akan segera tahu apa yang akan kulakukan nanti. Semua sampah ini harus enyah.. Demikian juga dengan memori yang kita miliki bersama. Enyahkan saja semuanya itu, Marg. Jangan sisakan apapun.
Dalam beberapa menit kami tiba juga di rumah yang seharusnya menjadi rumahku dan Margee. Kelak, kalau kami menikah. Kalau. Kalau ada keajaiban.
Sembarang kuparkirkan mobilku, lalu melompat turun. Kukeluarkan dua tas laknat itu dan aku langsung menuju halaman belakang rumah. Setelah mengacak seluruh isi gudang, aku mengeluarkan cangkul, serta satu jerigen berisi bensin. Margee masih memandangiku dengan muka bingung ketika aku keluar dari gudang, tapi begitu melihat jerigen berisi bensin, dia sepertinya mulai mengerti.
Tanpa buang waktu aku langsung menggali tanah, sedalam yang kubisa. Kira-kira sampai satu setengah meter dalamnya, dan aku baru berhenti. Bajuku sudah kotor oleh tanah dan keringat. Apa peduliku. Anggap ini workoutku yang tadi tertunda. Margee masih menjadi penonton, dua tas laknat itu ada di dekat kakinya. Kusambar kedua tas itu, lalu kuhempaskan ke dalam lubang yang baru saja kubuat. Kubuka jerigen berisi bensin dan menumpahkan seluruh isinya ke dalam lubang. Tampaknya sampah-sampah itu sudah terendam semuanya.
Aku mundur beberapa langkah, lalu menyulut api.
Tampak lidah api yang begitu besar dan ganas keluar dari dalam tanah. Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan sampai semua sampah itu lenyap. Aku berdiri di samping Margee. "Tasmu itu, bukan barang bermerk kan?" tanyaku.
"....Apa..?"
"Aku tanya, tasmu yang kubakar itu, bukan tas Louis Vuitton, Gucci, atau semacamnya, kan?”
"...Bukan..."
"Bagus. Kuharap aku tidak perlu mengganti tas itu."
Margee tidak menjawab.
"Mungkin kalau perlu sekalian saja rumah ini dibakar," kataku getir. "Kita pernah intim di rumah ini, dan suatu saat jika aku atau kamu melewati tempat ini mungkin memori itu akan terbangkitkan kembali. Bagaimana menurutmu? Bakar saja semua?"
"... Kamu memang gila, Isaac... Kamu gila. Kamu tidak waras.... Laptop kamu bakar, Ike... Kalung ... berlian darimu.... gelang..... cincin.... semuanya berlian...... semuanya kamu bakar, Ike.... Kamu sakit jiwa.." Margee berkata lirih dengan suara bergetar. Kulihat air mata sudah mengalir di kedua pipinya. Margee jatuh terduduk di atas tanah. "... Kamu gila, Isaac.... Sampai sebegitunya kamu mau membuang semua kenangan....."
Aku mendengus. Kamu sendiri yang ingin membuang kenangan! "Bukannya kamu yang ingin membuang semua kenangan. Kamu tidak ingin mengenal atau mengingatku lagi, kan?"
Margee terisak-isak.
Aku berjalan menjauhinya. Mendekati kobaran api yang sepertinya sudah tidak seganas tadi. Masih terdengar isakan Margee yang membuatku tidak bisa menahan air mataku.
".... Semuanya kamu bakar.... apa jadinya kalau waktu itu aku mau saja dibelikan kondominium olehmu... apa akan kamu bakar juga??? Benar katamu, kamu bakar saja rumah ini.... BAKAR...!! Supaya di kemudian hari aku dan kamu sama-sama tidak usah lihat lagi keberadaan rumah ini............ Bakar saja Ike...." ujar Margee dengan suara tercekat.
Aku tidak menjawab.
Titik-titik hujan membasahiku. Oh hujan.. turunlah dengan deras. Dan benar saja, tak lama hujan deras turun dan memadamkan kobaran api yang kubuat. Aku menengok ke dalam lubang, tampaknya sampah-sampah itu sudah terbakar habis semuanya.
"Kalau aku segila itu.. Rumah ini tentunya sudah menjadi abu sekarang," jawabku kemudian.
Sungguh aku bersyukur hujan turun dengan deras di saat yang tepat. Aku jadi tidak perlu lagi menahan air mataku yang dari tadi menyeruak ingin keluar.
"Tidak ada yang tersisa, Margee," gumamku.
Chapter 36 - 39
Chapter 36 - 39
-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-
No comments:
Post a Comment