Last Champagne chapter 26 - 30

Copyright © 2014 CamilleMarion All Rights Reserved






Chapter 26. Isaac Lawrence Anthony Renauld 
Ini sudah sangat keterlaluan!
Kelompok peneror itu tidak henti-hentinya mencoreng nama Inggris Raya di mata dunia! Setelah menodai kesucian malam Natal tahun lalu, sekarang mereka mengincar keramaian pesta Piala Dunia! Dan aku tidak percaya bagaimana bisa keberadaan mereka sama sekali tidak terlacak, mereka tidak mungkin menghilang begitu saja kan?? Setidaknya mereka pasti meninggalkan sedikit jejak ataupun bau, tapi pada kenyataannya?? Nol besar! Sudah sekian tahun lamanya negara ini terancam, namun sampai sekarang belum terlihat ada kemajuan sedikit pun mengenai identitas mereka, ini sangat mustahil! 
Seandainya saja ada salah seorang anggota mereka tertangkap.. seandainya saja aku mengetahui sedikit petunjuk mengenai mereka.. Aku sangat penasaran pada kelompok biadab ini, apakah mereka sudah tidak memiliki hati? Apakah mereka tidak memiliki otak?? Sungguh aku penasaran dengan identitas mereka! Karena sekarang ini, mereka telah menciderai salah satu sahabatku, Beau, yang kini masih tidak sadarkan diri di rumah sakit!
Peristiwa ledakan di stadion kemarin ini, memang tidak menimbulkan korban jiwa.. Tapi hampir seluruh pemain dan offisial tim Inggris dan Brasil kondisinya kritis dan luka-luka, apa yang telah kelompok itu perbuat pada korban-korban yang tidak bersalah ini?? Kalau memang tujuan mereka masih menghendaki agar Perdana Menteri Sprague lengser, mengapa mereka mengincar event sport yang disiarkan di seluruh belahan dunia seperti ini?
Tapi rupanya operasi mereka kali ini cukup berhasil.. karena tak sampai sehari peristiwa ini terjadi, Noah Sprague langsung mengundurkan diri sebagai Perdana Menteri. Hanya untuk melihat Sprague lengser, kelompok biadab ini melegalkan segala cara, bahkan sampai menyeret korban dari negara lain! Sungguh luar biasa... dan aku semakin penasaran siapa sesungguhnya dalang di balik perbuatan-perbuatan keji mereka!

Fez dan aku tiba di rumah sakit untuk menjenguk Beau, dan mendapati ibu Beau, Christene, tertidur di samping puteranya yang masih tidak sadarkan diri itu. 
Ayah Beau sudah tiada semenjak lima tahun yang lalu, Fez baru saja memberitahuku mengenai hal ini. Aku berharap Beau tidak mengalami cedera apapun yang serius, dan kuharap semuanya bisa segera pulih. Sungguh kasihan melihat Christene yang terlihat kelelahan menjaga Beau seperti ini..
"Kurasa lebih baik kita bangunkan dia, Ike," Fez berkata pelan. 
Aku mengangguk. Kutepuk pelan bahu Christene, "Christene, bangunlah."
Perlahan mata Christene terbuka, dan ia sedikit terkejut mendapati aku dan Fez ada di sampingnya. "Oh.. ternyata kalian.."
"Anda sebaiknya beristirahat, biar saya antarkan..?" tawarku.
Christene malah menggeleng. "Tidak.. tidak apa Isaac, aku tidak apa-apa. Aku masih ingin menjaga Royce di sini.."
"Christene, kamu sudah seharian, semalaman penuh menjaga Royce, kamu pun harus beristirahat. Jangan terlalu memaksakan diri," sahut Fez.
"Aku baik-baik saja, tidak usah mengkhawatirkanku.. Aku hanya ingin menemani Royce," Christene masih saja berkeras.
Kulihat jemari Beau bergerak-gerak, "Hey! Beau, kau sudah sadar?" panggilku seraya mendekati Beau. 
Kelopak mata Beau terbuka perlahan, dia benar sudah sadar!!
"Royce? Royce, kamu sudah sadar sayang..?" Christene berseru dengan mata berbinar.
"Ma?" Beau memanggil Christene. "Mama?"
Beau rupanya benar sudah sadar! Syukurlah!! Tapi kenapa ekspresi Beau terlihat aneh? Dia seperti kebingungan memandangi ibunya, lalu memandangiku dan Fez, bergantian. 
"Royce.. ada apa? Apa yang kamu rasakan?" Christene menggenggam tangan Beau. "Apakah ada yang sakit? Katakan?"
Beau masih saja memandangi ibunya dengan tatapan aneh. "..Mama .. bilang apa?" 
"Apa ada yang sakit?" ulang Christene.
".. Aku tidak bisa mendengarmu, Ma..! Kenapa senyap sekali di sini..!!"
Aku terhenyak. Tidak mungkin.. Beau.. kau?

Beau melakukan serangkaian pemeriksaan medis sekali lagi oleh tim dokter. Dan ketika kami mendengar kabar bahwa indera pendengaran Beau rusak total.. Aku tahu inilah akhir perjalanan karir Beau sebagai atlet..
Christene terduduk lemas dan menangis sesenggukan mengetahui keadaan puteranya. Fez pun terlihat terpukul.  
Oh Tuhan, cobaan apa lagi ini? Fez lumpuh, dan kini Beau, tuli?
"..Ini tidak mungkin... Katakan padaku ini semua hanya mimpi...!" lirih Christene. "..Royce... padahal dia baru saja membawa Inggris menjadi pemenang Piala Dunia... Dia.. dia mendapat segudang penghargaan karena prestasinya... tapi.. tapi kenapa..?? Kenapa...??"
Fez berusaha menghibur Christene dan merangkulnya. Aku hanya terdiam. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan pada situasi seperti ini. Belum sepenuhnya kuterima kenyataan bahwa Fez lumpuh dan karirnya sebagai pembalap tamat, kini harus kuhadapi lagi kenyataan bahwa Beau pun terpaksa harus gantung sepatu secepat ini!

"Kasihan Beau. Dia butuh waktu," ujarku.
Fez mengaduk kopinya dengan krim. "Yeah. Aku tidak bisa membayangkan hal seperti ini akan terjadi."
"Ya, seperti kejadian yang menimpamu juga, Fez," aku menarik nafas panjang. "Kau tahu, aku selalu merasakan ada kehadiranmu setiap kali bertanding. Aku masih menganggap kau ada di balik kokpit Forrier!"
Fez menghela nafas.
"Dan sekarang, hal ini terjadi pada Beau.. Kuharap dia bisa sembuh, karena kalau tidak, kita tidak akan pernah lagi melihat aksinya di lapangan hijau. Ini.. ini sebuah kehilangan besar bagi dunia."
"Ya, dan sekarang tugas kita adalah membantu Royce agar bisa segera pulih. Dia masih harus melewati proses penolakan diri seperti yang kualami tempo hari. Dia pria yang kuat, aku yakin dia bisa melewati semua ini dan menerima keadaannya. Kita harus membantunya melewati masa sulitnya, Ike."
Aku mengangguk. "Aku paham, aku setuju denganmu, Fez."
Fez mengangguk.
"Tapi aku masih heran.. kenapa tahun ini banyak sekali kejadian tidak mengenakkan?"
"Sudahlah! Nasi sudah menjadi bubur, kau bisa apa Ike? Kecuali kau adalah tuhan yang bisa membuat segalanya menjadi mungkin!"
Aku menghela nafas sekali lagi. 
"Ganti saja topik obrolan kita," kata Fez. "Bagaimana hubunganmu dengan Margee?"
Aku tersenyum. "Baik, tidak ada yang perlu dicemaskan. Tumben kau bertanya seperti itu?"
"Kau mungkin belum tahu ya?"
"Apa?"
Fez tersenyum. "Margee, secara fisik dia sangat mirip dengan Audrey, salah satu temanku semasa sekolah. Aku penasaran saja."
"Oh ya? Benarkah, mirip? Semirip apa?"
"Bentuk wajah, mata, hidung, dagu, bisa kubilang Margee sangat mirip dengan Audrey. Tapi kau tenang saja Ike, aku mengenal Audrey dan keluarganya, jadi kurasa kemiripan Audrey dan Margee hanyalah kebetulan," Fez terkekeh. "Asal kau juga harus yakin betul Margee anak kandung keluarga Bainbridge.. atau bukan."
Aku tertawa ringan. "Margee tidak memiliki masa lalu keluarga yang kelam seperti keluarga kita, Fez. Jangan kau samakan."
Fez mengangkat alis. "Baguslah! Jadi.." Fez terlihat berpikir sejenak, "Mata Audrey hijau, tidak coklat seperti Margee. Rambut Audrey coklat juga, hanya tidak semerah Margee. Soal bentuk tubuh.. Well, kukatakan saja, pacarmu itu lebih montok, menggemaskan," Fez menyeringai.
Apa-apaan?
Fez melanjutkan, "Kalau saja aku tidak ingat dia itu milikmu, sudah dari dulu kuhabisi, kau tahu?"
Apa dia bilang?? "Brengsek! Jangan berani-beraninya kau!!" tanpa kusadari suaraku meninggi.
Tawa Fez berderai lepas, "Hey hey, relax! Aku hanya bercanda!" 
"Cukup, sudah!" ketusku. "Jangan bahas soal ini lagi! Kau bawa-bawa pacarku segala! Kita ganti topik, ok?"
"Tapi aku belum selesai cerita!"
"Cerita apa lagi? Cerita tentang kau sudah menghabisi Audrey? Huh?"
"Apa? Hell no! Tentu saja bukan itu, aku tidak mungkin seperti itu! Apa aku belum bilang kalau dulu Audrey adalah pacar Royce?"
Oh? "Tidak, kau belum bilang. Aku baru dengar," sahutku. "Benarkah? Lalu mereka putus?"
Fez menggeleng. "Tidak. Audrey meninggal. Padahal baru satu tahun kuliah. Royce seperti orang linglung saat itu.."
Meninggal? Oh astaga.. "Jadi.. Audrey yang kau bicarakan itu sudah meninggal..? Kenapa tidak kau katakan sejak awal! Omonganku jelek sekali tadi padanya! Oh, maaf Audrey, aku tidak bermaksud... Semoga kamu beristirahat dalam damai.."
Fez mengerutkan kening. "Kau berlebihan."
"Hey, tidak sopan kau membicarakan hal-hal jelek, apalagi orangnya sudah meninggal! Kau ini hal seperti itu saja tidak tahu?"
"Apapun," Fez mengangkat bahu tak acuh.
"Audrey pergi secepat itu.. apa yang terjadi, Fez?"
Fez meneguk kopinya. "Kanker payudara," jawabnya singkat.
Kanker.. kasihan sekali gadis itu. "Begitu.. Kasihan dia.."
"Yeah. Dan setelah ditinggal Audrey, aku tidak pernah lagi melihat Royce pergi berkencan dengan wanita manapun."
Aku terkejut. "Tunggu, kalau Audrey seumuran dengan kita, berarti kira-kira sudah delapan tahun? Selama itu??"
Fez mendengus. "Royce itu bodoh. Benar kan? Dia menyia-nyiakan hidupnya selama ini. Padahal kalau dia mau, dia bisa mendapatkan wanita manapun sesukanya. Aku heran, bagaimana dia bisa melakukan hal itu. Kau sendiri Ike, begitu putus dengan Tanya, tidak sampai dua bulan kau sudah mendapat pengganti Tanya. Kurasa kau juga pasti tipe yang tidak betah jika tidak didampingi pacar, eh? Sama denganku. Track recordku kau pasti tahu dan tidak perlu dibahas. Tapi Royce? Delapan tahun, tanpa wanita? Tanpa pelampiasan, karena setiap kali dia kuajak pesta kecil-kecilan dia selalu menolak! Apa yang terlintas di pikiranmu kalau menyaksikan ada seorang pria yang bertingkah seperti itu? Apakah dia gay? Bisa jadi, tapi seandainya dia memang seperti itu, sudah sejak lama aku memutuskan hubungan persahabatan dengannya!"
Aku menggelengkan kepala. "Cukup, Fez. Kau tidak pantas bicara seperti itu tentang sahabatmu sendiri. Apalagi dia sedang tertimpa musibah sekarang."
"Ups," Fez mengangkat tangan. "Sorry terbawa situasi."
"Yeah, dia sedang tertimpa kemalangan. Bayangkan, dia harus rela kehilangan pendengarannya. Karirnya yang sedang berada di puncak, padahal dia adalah pahlawan Inggris.. dia yang membawa negara kita merebut Piala Dunia! Apa artinya semua hal ini.. Aku kasihan terhadapnya."
Fez menatapku. "Lihat, sudah berapa kali kau berkata 'kasihan'? Untung bukan aku yang kau kasihani. Aku paling benci jika ada orang mengasihaniku."


Chapter 27. Magnum
"Aku sangat bangga padamu, Magnum," puji Dillinger ketika kami berkumpul di markas.
"Kau yang memiliki ide menyalakan kembang api pada saat final Piala Dunia, kau yang merancang strategi, dan kau sendiri pula yang mengeksekusi! Tidak ada orang lain yang bisa melakukan sebaik yang kau lakukan! Padahal kalau dipikir, kau tidak menggunakan bahan peledak seperti yang biasa kita gunakan, bukan? Dampaknya pun tidak separah operasi-operasi kita sebelumnya, apalagi jika dibandingkan dengan operasi malam Natal kita tahun lalu," Dillinger mengisap cerutunya dalam-dalam. "Tapi justru yang seperti itu, hanya dengan operasi kecil seperti itu, Noah Sprague langsung dengan rela dan ikhlas hati lengser dari kursinya! Kau, kau benar-benar membuatku bangga, Magnum."
Aku tersenyum. "Kau tidak perlu berlebihan. Aku hanya memanfaatkan momentum. Event bergengsi seperti Piala Dunia yang baru saja selesai kemarin, adalah event yang ditunggu setiap empat tahun sekali, oleh seluruh warga dunia. Dan saat-saat seperti ini, Inggris yang sudah dua tahun lalu didaulat menjadi tuan rumah, pasti mendapat sorotan penuh dari seluruh penjuru dunia. Aku hanya sekedar ikut merayakan event ini dengan 'kembang api' spesial.. Sangat cocok dipertunjukkan saat acara puncak berlangsung, benar kan?"
Dillinger mengangguk-angguk.
"Jadi kurasa wajar saja Sprague langsung mengundurkan diri, Dillinger. Sekarang kau bisa bernafas lega," aku melanjutkan.
"Ya. Ya, kau benar, Magnum. Jujur ya, ketika aku mengizinkanmu bergerak sendiri, aku tadinya tidak ada pikiran sama sekali bahwa tindakanmu justru menguntungkanku. Aku tadinya hanya berpikir, oh, kau hanya ingin menyelesaikan urusan pribadimu saja, maka kubiarkan kau bergerak. Tapi sungguh tidak kusangka justru berkat kau, tujuanku bisa tercapai. Kuakui, kau memang sangat cerdik, Magnum."
Terdengar tepukan tangan Shotgun, Revolver pun ikut bertepuk tangan. 
Dillinger tersenyum. "Maka dari itu, kemarilah, Magnum, aku punya sedikit hadiah untukmu," katanya sambil mengeluarkan sebuah kado kecil.
Aku mendekatinya. 
Dillinger menyerahkan kado itu padaku. "Ini, sebuah reward kecil-kecilan dariku untuk anak buahku yang paling kubanggakan. Terimalah dengan senang hati, kuharap kau menyukainya."
"Thanks, Dillinger," kataku. 
Huh, aku tidak butuh benda apapun ini, Dillinger. Aku juga tidak butuh penghargaan darimu. Yang paling penting adalah tujuanku sendiri tercapai, dan kalau memang ternyata tujuanmu juga tercapai, yeah, anggap saja itu adalah bonus. 


Chapter 28. Royce Beauregard 
Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa tahan dengan keadaan ini.
Tak terdengar suara sama sekali olehku! Apa kalian bisa membayangkan? Seperti sedang berada di dalam ruangan luas yang kosong, tak berpenghuni, tak ada suara tak peduli seberapa keras kau berteriak. Kesenyapan yang semakin lama semakin terasa mengerikan. 
Aku tidak tahu mengapa aku harus mengalami hal ini. Aku sudah berusaha semampuku, berjuang semampuku, membawa Inggris berhasil meraih trofi Piala Dunia yang telah ditunggu sejak lama. Lalu ini imbalan yang harus kuterima? Inikah takdirku? Inikah yang harus kujalani setelah semua hal yang sudah kukorbankan demi Piala Dunia? 
Juga dengan teman-temanku di tim nasional.. nasib mereka serupa sepertiku. Tidak berdaya, kehilangan karir, CACAT. 
Inikah balasan yang setimpal atas apa yang telah kami perbuat demi mengharumkan nama Inggris dalam dunia sepak bola? INIKAH?
Benar kata Isaac, para teroris itu memanglah berhati iblis! Entah mengapa mereka terus saja meneror, dan kini aku merasakan sendiri kekejaman orang-orang yang tidak memiliki hati itu.

Tuhan, aku takut aku tidak akan tahan membaca gerak bibir orang-orang yang ingin berbicara denganku! Aku takut aku tidak akan tahan dengan kesunyian ini! Aku takut aku tidak akan tahan harus bergantung pada pena dan kertas hanya untuk berkomunikasi dengan orang di sekitarku! Sampai kapan aku harus seperti ini??

Fez, setiap hari dia datang dan menemaniku di sini, sampai menjelang malam hari dia baru pulang. Dia dengan sabarnya mengajakku mengobrol, menemaniku seharian! Padahal aku mengenal Fez dengan baik, dia bukan tipe orang yang sabar. Tapi, dia mau menemaniku seharian dan dengan sabar meladeniku yang kesulitan membaca gerak bibirnya. Fez benar-benar sahabat yang baik.. Aku harus tetap bersyukur karena Tuhan masih menganugerahkan sahabat sekaligus saudara sebaik Fez. 
Ike dan Hollie pun terbilang cukup sering menengokku, termasuk ketika aku diperbolehkan pulang ke rumah dan melakukan rawat jalan. Dan Margee, ah, ya, sebagai kekasih Isaac, mereka selalu datang berdua. Tiap kali Margee datang aku seperti bingung dan salah tingkah. Jujur saja aku memang terpengaruh karena ia sangat mirip dengan Audrey.. dan aku tidak ingin terlihat tidak berdaya di depannya. Tapi sebenarnya untuk apa aku berbuat seperti itu? Margee sudah bahagia dengan Isaac, dan apa yang kucari dari Margee? Mau semirip apapun dengan Audrey, ia tetaplah bukan Audrey yang kukenal.. bukan Audrey yang dengannya kurangkaikan memori indahku bersamanya. Cukup sudah, Royce! Jangan kau cari lagi bayang-bayang semu Audrey pada diri Margee, kau harus buka matamu lebar-lebar. Mungkin sekarang telingamu sudah tertutup, dan mungkin selamanya kau tak akan bisa lagi mendengar suara, maka dari itu pergunakanlah sebaik-baiknya keempat inderamu yang lain! 

Aku tahu aku harus bangkit dari keterpurukan ini. 
Aku tahu aku tidak sendirian. Aku masih memiliki ibu yang mengasihiku tanpa syarat. Aku masih memiliki sahabatku, Fez, juga Ike dan Hollie. Mereka sahabat yang tidak pernah lelah memberiku semangat dan mencerahkan hari-hariku yang kelam ini. 
Demi kasih yang telah mereka tunjukkan padaku, aku tahu aku tidak boleh berlama-lama membiarkan diriku terpuruk! Aku tahu aku harus bangkit! Aku masih memiliki segudang aktifitas lain yang bisa kulakukan untuk mengisi hari-hariku. Aku hampir lupa bahwa aku memiliki saham di beberapa perusahaan, kenapa aku tidak belajar menjadi seorang pebisnis?

Beruntung, Fez menemukan informasi mengenai alat bantu dengar berupa implan koklea temuan terbaru dari Swiss. Tanpa menunggu waktu lama ibu membawaku kesana, dan melakukan tes dan konsultasi medis.. dan hasilnya, aku bisa menggunakan alat itu. Walaupun tidak mengembalikan pendengaranku seutuhnya, tapi ini jauh lebih baik, karena aku jadi bisa mendengar suara walaupun hanya sedikit. Bagaimanapun, ini adalah perkembangan yang bagus dan patut kusyukuri, setelah berbulan-bulan terkungkung dalam kesunyian yang mengerikan.


Chapter 29. 24 Oktober 2004
Monza, Italia. Seri terakhir Grand Prix.
Grand Prix penutup perhelatan Formula 1 musim 2004, dan juga Grand Prix yang menentukan siapa Juara Dunia Formula 1 yang baru. Pada klasemen sementara pembalap, Isaac masih memimpin dengan nilai 130, dua poin lebih banyak dari saingan utamanya, Morten Grønbæk. Maka siapa pun dari mereka berdua yang pertama kali menyentuh garis finish pada race kali itu, dialah pemenangnya. Dialah Sang Juara Dunia 2004.
Situasi yang mirip dengan tahun lalu. Tepat satu tahun yang lalu, Grand Prix seri terakhir yang juga merupakan Grand Prix krusial, mempertemukan Ferris Rutherford dan Isaac Renauld sebagai dua calon Juara Dunia 2003. Namun sekarang ini, Ferris Rutherford sudah tamat karirnya. Dan Grand Prix krusial kali ini mempertemukan Isaac Renauld dan Morten Grønbæk sebagai dua calon Juara Dunia 2004. Siapakah yang akan merebut mahkota Juara..?
Isaac yang menempati pole position, berada di baris paling depan. Ia melirik pada Gronbæk yang berada di belakang sebelah kirinya, dan berkata dalam hati, ‘Morten Grønbæk... 27 tahun. Well, ini seri terakhir. Seri yang menentukan, apakah aku atau dia yang berhasil merebut mahkota juara. Apapun bisa terjadi di sini. Aku bisa saja tergelincir di tikungan nanti dan spin. Atau masuk gravel. Atau menabrak dinding pembatas. Atau hidraulik mobil ini. Atau mobil ini tiba-tiba mengeluarkan asap dan terbakar. Atau...? Tapi hal-hal itu bisa juga terjadi padanya. Atau pada pembalap-pembalap lainnya. Jadi.. God, would You please, just give Your Hand on me. Aku harus menang dan merebut mahkota Juara, yang akan kudedikasikan untuk Fez. Kulakukan ini semua untuk Fez.’
Isaac menarik nafas panjang dan mengembuskannya perlahan.

Margee, yang menunggui Isaac di paddock club Glauber, menatap Isaac yang sudah bersiap di starting grid dan berkata dalam hati, ‘Good luck, Ikey..!’
Lampu merah padam, dan mobil-mobil itu pun melaju, melakukan pemanasan terlebih dahulu sejauh satu putaran sirkuit. Setelah pemanasan usai, mereka kembali ke tempat mereka semula di garis start, dan pertandingan seri terakhir itu pun dimulai!
Isaac memimpin sejak awal  pertandingan, dengan Gronbæk terus menempel di belakangnya.
James dan Evelyn Renauld yang juga berada di paddock club Glauber, ikut menonton lewat layar.
“Jim.. aku punya feeling yang bagus pada pertandingan Ike kali ini! Bagaimana denganmu?" tanya Evelyn pada suaminya.
“Benarkah? Aku juga merasakan hal yang sama. Aku yakin dia bisa menang,” sahut James.
"Kita doakan Ike semoga benar terjadi seperti yang kita harapkan ya..!" Evelyn seketika terdiam. “...Tapi.. aku.."
"Ada apa, Eve?"
"Ah.. aku masih kepikiran Fez, Jim.. Kasihan dia, aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya kalau melihatnya sedang menonton siaran langsung race. Tapi kuyakin dia pasti merasa sedih, dia harus meninggalkan dunia yang sudah digelutinya semenjak kecil! Malangnya anak kita, Jim.."
James merangkul istrinya, berusaha menghibur.“..Eve.. sudahlah.”

Hingga lap. 35, Isaac masih memimpin jalannya pertandingan. Namun kemudian dia tiba-tiba terserang panik menyadari tekanan Gronbæk yang dirasakannya makin gigih dan ‘ngotot’.
Isaac tahu, dia kehilangan kontrol dirinya. ‘Damn! Kenapa tiba-tiba aku kehilangan kontrol dan menjadi panik seperti ini?? Wah, gawat.’
Terdengar suara tim-nya dari earphone yang menempel di telinganya, “Calm down, tenang, Isaac! Jangan buat dirimu panik. Kau bisa kehilangan posisimu yang sekarang.”
“Aku tahu! Aku tidak akan dengan mudah menyerahkan posisiku sekarang ini padanya,” ujarnya tatkala melewati tikungan Variante della Rogia, berkecepatan 71 mph, dengan mulus dan tidak keluar dari jalur sama sekali.
“Schedule stop is in the end of this lap!” ujar tim mengingatkan Isaac.
“Okay.”
Isaac masuk pit di lap. 35, dan hanya menghabiskan 6,9 detik di pit stop. Dia pun segera melesatkan mobilnya, berusaha merebut kembali posisinya semula sebelum masuk pit. Namun dengan mobil yang berat karena baru diisi bahan bakar, dia belum mampu mengembangkan kecepatannya secara maksimal. Sehingga ketika Morten Grønbæk masuk pit stop satu lap setelah dirinya, begitu keluar pit tepat di depannya dengan selisih jarak 0,8 detik.
‘Damn! Morten mementahkan strategiku dan tim!’ umpat Isaac dalam hati.
Isaac tentu tidak mau menyerah begitu saja. Dia memacu mobilnya dan berusaha sedekat mungkin dengan Morten, agar bisa menekannya dan mendapatkan kesempatan untuk menyalipnya. Kesempatan itu datang pada lap. 48, ketika Morten sedikit lengah dan melebar pada saat melewati Curva di Lesmos. Isaac segera menusuk dari dalam dan akhirnya bisa melewati Morten dan kembali memimpin jalannya pertandingan.
Putaran terakhir.
Isaac berusaha tetap tenang dan mempertahankan kecepatan dan posisinya, walaupun Morten tetap gigih dan tidak berhenti menekan dan mengancamnya selama sisa pertandingan.
Hingga akhirnya mencapai...... Finish.
Tim bersorak gembira, para penonton yang mendukung Isaac dan Glauber pun bersorak. Orang tua Isaac menangis terharu.
Margee membiarkan air matanya meleleh, membasahi pipinya. Ia memerhatikan dari layar, Isaac mengitari sirkuit dengan mobilnya sambil melambaikan tangan pada para pendukungnya.
Isaac naik ke podium dan menerima trofi. Kemudian Isaac, Morten sebagai juara kedua dan Shawn Renan sebagai juara ketiga membuka tutup botol sampanye dan saling menyemburkan sampanye. Mereka pun tak lupa menyemburkan sampanye pada teman-teman timnya dan para penonton yang menunggu di bawah podium.


Chapter 30. Holden Daphney Vanessa Bannister
Sampai akhir bulan November jadwalku luar biasa padat! Setiap hari aku sibuk syuting film bergenre action horor di Hungaria.. Betapa jauhnya dari London, dan betapa aku merindukan Fez. Juga Royce dan Isaac. Tapi toh kuterima tawaran menjadi pemain utama di film ini.
Ketika pertama kali melihat skenarionya, aku langsung menilai film ini keren.. Aku mendapat peran sebagai seorang vampir yang berjiwa ksatria. Settingnya keren, kostumnya juga keren, aku suka .. makanya kuterima tawaran ini. Lagipula selama ini aku belum pernah bermain di film bergenre action horor seperti ini. Aku ingin tantangan baru. Akan kutunjukkan pada dunia kemampuan aktingku di film ini.. Harapanku adalah semoga film ini bisa menjadi box office dan meraih penghargaan. Aku akan kerahkan segala kemampuanku, walaupun itu berarti aku harus rela berpisah dengan Fez selama beberapa bulan.
Aku sendiri amazing dengan perubahanku di film ini. Semula yang kutahu aku adalah wanita berkarakter lembut dan manis! Tapi setelah kukenakan kostum si vampir, dan didandani hingga wajahku pucat, aku terkesan.. Ternyata keren juga aku dengan dandanan seperti ini! Jauh berbeda dengan karakter-karakter lain yang pernah kuperankan sebelumnya. Di film ini aku terlihat ekstra misterius, dingin, tapi tetap seksi dan cantik. Ah, aku jadi tidak sabar melihat pemutaran film ini nanti! Makanya aku sangat excited menjalani syuting di pedalaman yang asing untukku.. Apapun rintangannya akan kuhadapi, termasuk semua adegan action yang harus kulakukan.. aku sengaja meminimalisir kehadiran pemeran pengganti. Kalau bisa tidak perlu deh pemeran pengganti. Biar aku semua yang jalani! Agar aku semakin bisa menikmati proses pembuatan film ini.
Setelah beberapa bulan menjalani syuting, semakin lama aku semakin home sick.. aku bosan, aku lelah. Setiap hari aku harus latihan keras agar olah tubuhku terlihat sempurna.. Ingin sekali pulang sebentar, menengok Fez yang selama beberapa bulan terakhir menjadi perhatianku.. Aku merindukan Fez.. Tapi, setiap kali rasa home sick itu muncul, aku selalu bisa mengatasinya. Aku selalu memotivasi diriku sendiri, dan mengingatkan diri sendiri akan target mendapat penghargaan yang harus kuraih! Kalau sudah teringat akan hal itu, semangatku kembali bangkit!

Bulan desember awal, aku sudah di London lagi. Aku senang, akhirnya penantianku terbayar juga! Tanpa buang waktu aku langsung menuju rumah Fez di Highgate dan mencurahkan perhatian padanya. Apakah kamu merindukanku seperti aku merindukanmu, Fez, selama aku tidak ada? Apakah kamu masih belum bisa menangkap sinyal-sinyal tubuhku bahwa aku ingin lebih dari sekedar teman denganmu? Ah... Mungkin juga saat ini Fez tidak ingin berhubungan dengan siapa-siapa.. Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya.. Aku juga tidak tahu apa yang dirasakannya selama hampir satu tahun terikat handicap seperti ini. Kasihan Fezku sayang...

Monako, 10 Desember 2004.
FIA Gala Prize Dinner Giving Ceremony. Malam Penobatan Juara Dunia Formula 1 tahun 2004.
Aku diundang oleh Isaac untuk datang ke acara ini, dan kusaksikan sendiri, banyak orang penting dari dunia sport yang hadir. Semua pembalap Formula 1, MotoGP pun ada di sini. Aku tidak begitu mengenal mereka, maka aku menempel terus pada Fez dan Royce. Isaac benar-benar menjadi raja.. semua orang yang hadir di sini memberi selamat padanya. Dan Isaac dengan senyum ramahnya yang simpatik, malam ini terlihat sangat tampan... Wanita mana yang akan menolaknya?? Ah.. Tapi, di sisiku saat ini ada Fez, yang sama-sama tampan seperti Isaac, dan hanya dialah yang ada di hatiku!
Seandainya.. tahun lalu aku sudah sedekat ini denganmu, Fez! Tentu aku akan menjadi saksi kejayaanmu ketika kamu dinobatkan menjadi Juara Dunia Formula 1! Seandainya saja seperti itu... ah, tapi sudahlah. Yang sudah lewat tidak akan kembali lagi, bukan?

Seremoni malam itu berlangsung dengan cepat. Juara dari dunia balap motor sudah dinobatkan, dan kini saatnya penobatan untuk Glauber dan untuk Isaac. Isaac terlihat sumringah, wajahnya cerah sekali! Aku bangga bisa menjadi temannya! Sebelum turun dari panggung, Isaac rupanya meminta waktu beberapa menit untuk naik ke mimbar dan menyampaikan sesuatu.
"..Beberapa tahun yang lalu saya tidak mempunyai pandangan akan berdiri di atas podium ini, dan menerima penghargaan terhormat ini. Saya pikir apa yang terjadi sekarang ini adalah mimpi. Mimpi, dan rupanya ini benar-benar sebuah mimpi yang terwujud berkat dukungan kalian semua. Saya bisa berdiri di sini karena dikelilingi oleh tim yang terdiri dari orang-orang yang paling tangguh. Mereka tahu bagaimana caranya untuk bekerja keras mewujudkan mimpi. Maka trofi yang saya peroleh ini saya dedikasikan untuk tim Glauber yang sudah bekerja keras selama ini. Terima kasih banyak atas pengabdian kalian yang tidak terhingga untuk tim. Semoga tahun depan kita bisa mengulangi hal yang sama," pidato Isaac disambut tepukan yang sangat meriah terutama dari orang-orang tim Glauber. "Saya juga berterima kasih kepada keluarga dan teman-teman saya, tanpa dukungan mereka mustahil saya bisa berdiri di sini sekarang.. Khususnya untuk teman spesial saya, Margot Bainbridge, yang pada malam hari ini menjadi tamu kehormatan saya.”
Para tamu undangan serentak menoleh pada Margee yang tiba-tiba terlihat salah tingkah begitu disebut namanya oleh Isaac.
"Margee," panggil Isaac dari atas mimbar. "Boleh tanya sesuatu?"
Margee menjawab dengan muka bingung, ".. Ya..?"
Isaac menarik nafas. Entah kenapa tiba-tiba kulihat Isaac agak gugup. "Apa kamu bersedia menikah denganku?" tanyanya.
Oh My God.....!! Isaac melamar Margee!!
Terdengar reaksi spontan dari para tamu undangan! Kulihat Fez menyeringai dan berkata pada Royce, "Nekad juga si Ike."
Blitz-blitz dari berbagai kamera menyala di sana sini.
Margee terlihat masih shock. Wajahnya memerah, dan dia masih terdiam seribu bahasa. Kayaknya dia tahu semua orang menunggu jawabannya. Maka dia terbata menjawab, "... Euh...." 
Ah ya ampun..! Apa kamu sesalah tingkah itu, Marg?? Come on! You know, you're the luckiest girl in the world...!! Jawab saja langsung, 'YAA'...!!
Seandainya aku yang ada di posisimu, Marg! Aih.. kok jadi aku yang bersemangat yah?
Isaac tersenyum, “Tenanglah, aku tidak memaksa kamu untuk menjawab sekarang, kok. Dan euh... wah, sepertinya kata sambutan saya memakan banyak waktu. Jadi, akhir kata, selamat menikmati acara pada malam hari ini, dan sekali lagi, terima kasih! Selamat malam,” ujar Isaac menutup pidatonya, disambut tepuk tangan dari para tamu. Dia turun dari mimbar dan langsung kembali ke tempat duduknya.
Aku terus memerhatikan dari jauh, Isaac belum sempat duduk, tapi Margee kelihatannya sudah protes atas apa yang telah Isaac lakukan secara tidak terduga itu. Isaac tersenyum, sambil merogoh sakunya, Isaac berlutut di depan Margee. Dan... dikeluarkannya kotak beludru berwarna merah... dibukanya kotak itu dan terlihatlah sebentuk cincin yang bermahkotakan... Oh God, itu berlian!! Sinarnya memantul karena cahaya, tapi aku yakin cincin itu pasti indah sekali! Oh God.. Oh Margee, you're sooooo luckyyy!!
Terdengar suara Isaac, "Perkataanku di mimbar tadi serius, Margee. Aku ingin menikah denganmu. Apakah kamu bersedia menjadi istriku..?"
Oh Isaac.... You're melting my heart.... Lamar aku, Ikeey....
Margee masih saja shock.. Kenapa dia sulit sekali jawab iya!! Aku jadi emosi..!
Dan sekali lagi, mereka berdua menyita perhatian semua tamu undangan dan pers di sini. Momen penting mereka diabadikan oleh banyak orang.. Sepertinya memang ini yang direncanakan Isaac?
“Umm.. well....” Margee akhirnya bersuara. “....” Margee berdeham, mungkin agar rasa senewennya berkurang sedikit.  “..Ike.. aku...  Mmm.. aku...”
Isaac menatap Margee penuh rasa ingin tahu. Orang-orang yang menonton pun seperti tidak sabar ingin segera tahu apa jawaban Margee.
Margee akhirnya menjawab, "Ya.. aku bersedia... Aku bersedia menikah denganmu, Ike..”
Terdengar helaan nafas lega dari semua orang.
Isaac pun tersenyum lega, “Thanks, Marg...”
Pers makin sibuk memotret, tatkala Isaac memasangkan cincin berlian itu di jari manis kiri Margee. Pasangan itu bangkit berdiri, dan sambil saling bergenggaman tangan, mereka berciuman dengan mesra. Tepukan tangan para tamu pun menggemuruh di seisi ruangan.
“Well.. sekitar taun depan, papa dan mama bakalan segera gendong cucu, nih,” celetuk Fez pada James dan Evelyn.
Evelyn menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa ringan. “Memang, Isaac dari dulu selalu penuh dengan kejutan!”
“Jadi, apa kau juga punya sifat seperti Isaac yang penuh kejutan itu?” tanya Royce.
“Tentu tidak! Terutama untuk hal yang norak seperti ini.”
Royce mengangkat alis. “Norak?”
“Yeah, norak. Ya kan, Hollie?” Fez menoleh padaku.
Umm... Jadi untukmu itu norak yah, Fez? "Kok norak sih? Kalau kubilang, Isaac itu romantis.. walaupun bisa dibilang sedikit caper, cari perhatian."
“Banget! Caper banget!” sahut Fez.
“Tapi itu bukan masalah! Soalnya Isaac emang romantis kan, orangnya?”
Royce berujar, “Huh, sudahlah, Fez. Cara pandang dan cara pikirmu yang kejam itu memang tidak bakalan ada yang mendukung. Menyerahlah! Adikmu akan segera menikah, harusnya kau ikut senang!”
Fez menatap Royce. “Jadi benar, kau tidak mengharapkan Margee sama sekali?”
Eh? Apa? Royce mengharapkan Margee? Koq aku baru dengar?
“Sama sekali tidak, sudah kukatakan berulang kali padamu,” jawab Royce singkat. “..I’ll be right back,” ujarnya sambil bangkit berdiri dan pergi menuju toilet.
Fez mengajakku bicara lagi, “..Rupanya kamu suka yang romantis."
Kutatap Fez. “..Apa..?”
“Apa aku tidak cukup romantis, untuk kamu..?” nada suara Fez terdengar lebih berat dan dalam. Kami berpandangan lama. 
“...Aa.. kamu tuh terbawa suasana, ya?”
Fez mengangkat alis sambil manggut-manggut, “Bisa jadi. Tapi aku memang tertarik padamu. Apa aku tidak cukup romantis untuk kamu?”
Emm.. Apa aku salah dengar? ... Fez bilang apa..? Apa??
“Sudah lumayan lama aku tidak punya pacar. Dan untuk sekarang ini.. hanya kamu wanita yang masih mau dekat denganku, ngobrol denganku, menemaniku seharian... Boleh kan, aku mendaftar jadi calon pacar kamu? Apa kamu sudah punya tambatan hati?”
Aa... Aku tidak percaya, kamu... kamu mabuk ya? Atau jangan-jangan kamu baru menyadari kalau aku mencintaimu? “..Ehm.. Kamu dan saudara kembar kamu memang benar-benar mirip. Kamu juga penuh dengan kejutan.”
Fez mengulurkan tangannya, meraih daguku dan mendekatkan wajahnya dengan wajahku.
Aku hanya terdiam menatap mata Fez, dan aku merasa tidak berdaya di bawah tatapannya. Jantungku berdebar semakin kencang.. Kututup mata.. Fez, aku pasrah..
Dan sedetik kemudian kurasakan kehangatan di bibirku. Bibir Fez terasa kenyal.. Cium aku Fez.. Lidah nakal Fez mulai bermain, dan aku meresponnya positif. Ah.. inilah yang kutunggu selama ini.. Akhirnya kamu sadar..
Fez melepaskan diri. “Kamu tahu?” tanyanya setengah berbisik seraya mengusap pipiku dengan lembut.
“..Mmm..?” sahutku.
“Kamu tahu, kamu itu sangat, sangat cantik. Aku mengagumi kecantikanmu sejak dulu, sejak kita pertama kali bertemu.”
Aku tersenyum. “..Benarkah..?”
“Benar. Bahkan sudah sejak dulu aku berkeinginan untuk melukismu, kamu tahu? Tapi aku tidak pernah punya keberanian meminta izinmu.”
Hah, yang benar?? Oh God.... Ini yang kuinginkan juga, Fez.. Oh, Fez...! Aku berusaha menenangkan dadaku yang bergemuruh, lalu menjawabnya, “Kenapa tidak..? Aku senang sekali pada lukisan-lukisanmu. Kamu punya gaya, Fez. Aku akan merasa terhormat jika kamu menginginkan aku menjadi modelmu..!”
Fez tersenyum, “Justru aku yang terhormat, boleh melukis dirimu.”
“Boleh tahu, kamu akan melukisku seperti apa..? Temanya apa..?”
“Hm, soal itu masih kupikirkan. ‘Back to nature’, atau ‘Hawa yang tergoda’, atau...” Fez mengangkat bahu. "Nanti kuberitahukan padamu."
Hawa? Hawa, ia kan tidak mengenakan pakaian sama sekali? Kutatap Fez. “..Hawa..? Kamu ingin melukisku... polos...?” tanyaku setengah berbisik.
Fez tersenyum lembut. “Hollie, Hollie. Kamu itu sangat cantik! Percayalah padaku dan percayalah pada bayanganmu di cermin. Cermin tidak pernah membohongimu. Dia akan memantulkan dirimu apa adanya. Kecantikanmu... dan juga auramu. Dan kecantikanmu itu akan semakin terlihat jika kamu tampil polos, apa adanya. Aku yakin lukisanmu akan menjadi salah satu mahakaryaku.”
Kamu benar-benar tahu bagaimana cara membuatku tersipu malu, Fez.. Oh God.. Benarkah yang barusan aku dengar tadi?

19 Desember 2004
Fez dan aku sudah tiba di mansion Fez sejak pagi. Mansion mewah yang tidak lagi Fez tinggali semenjak kecelakaan yang dialaminya. Fez berkata sebenarnya dia lebih senang tinggal di mansion miliknya itu, tapi apa boleh buat, keadaan tidak memungkinkannya untuk melakukan itu. Tentu saja, Fez.. Lagipula kurasa Gale-Phedra, juga James-Evelyn tidak akan mengizinkanmu tinggal sendirian di sini! 

Aku menatap diriku sendiri di depan cermin kamar mandi. Aku sudah menanggalkan seluruh pakaianku.. dan tampaklah di cermin seorang wanita muda yang terlihat gugup! Benarkah Fez suka melihatku seperti ini? Apakah aku cukup menarik untuknya? Apakah aku cukup seksi? Apakah aku cantik? Entah kenapa aku tiba-tiba merasa cemas tidak beralasan seperti ini..! Pelan kubuka pintu kamar mandi dan aku mengintip ke dalam ruang lukis.. Fez masih duduk di tengah ruangan, menungguku sambil menyiapkan peralatan lukisnya.
Astaga, aku malah semakin gugup..! Setelah dia menembakku tempo hari di Monako.. Fez belum pernah sekalipun menyentuhku. Entah apakah aku kurang agresif atau dia tidak berminat? Apa?? Mustahil rasanya kalau seorang pria tidak berminat! Atau dia memang sengaja menunggu saat seperti ini baru mau menyentuhku...? Sungguh.. Aku gugup! Aku juga tidak paham kenapa aku bisa segugup ini. Padahal dengan pasangan-pasanganku sebelum ini, aku selalu enjoy.. santai dan hampir tidak pernah merasa gugup. Kenapa aku menjadi seperti ini..?? Apakah karena aku akan dilukis..?
Yeah, mungkin juga. Ini adalah pengalaman pertamaku, harus berpose tanpa sehelai benang pun di depan seorang pria yang kucintai. Harus berdiam diri, tidak bergerak sedikit pun selama pria ini melukis tubuhku. Ayolah, Hollie! Kamu harus percaya diri! Kamu itu cantik dan menggairahkan, aku yakin Fez pasti tidak akan tahan begitu melihatku tampil polos di depannya.. dan langsung mengajakku bercinta. Pasti itu!
Aku bercermin sekali lagi, memastikan penampilanku sempurna adanya, lalu mengenakan kimono satin berwarna pink pastel yang kubawa sendiri dari rumah. Aku menarik nafas, jantungku masih saja berdegup kencang! Aku keluar dari kamar mandi, dan berjalan pelan menuju Fez yang tersenyum menyambutku. Ketika kami berhadapan, aku melepaskan tali kimono.. dan membiarkan kimonoku melorot ke lantai. Lihatlah aku, Fez... Aku sudah siap memasrahkan diri hanya untukmu!
Fez memandangi tubuh polosku dari atas sampai bawah.. seakan hendak meneliti setiap inchi kulitku.. Jangan berdiam diri seperti itu, belum puas juga kamu pandangi aku? Ayo.. tarik tanganku sekarang, masa harus aku yang langsung duduk di pangkuan kamu...? Kenapa kamu masih saja betah menikmati pemandangan tubuhku? Jangan bikin aku semakin gugup!
Fez tersenyum. “Well.. sekarang kamu duduk di sofa, dan berpose seperti yang tadi kukatakan padamu,” ujarnya santai seraya menyiapkan kuas-kuas serta cat yang akan dipakainya.
Eh? Aku terheran melihat sikap Fez. Kamu tidak minat padaku, Fez..? Setelah kamu lihat tubuh aku tanpa sehelai benang pun..? Kamu tetap tidak berminat? Begitukah...
Dengan hati berkecamuk kuikuti kemauan Fez. Aku berjalan ke pojok ruangan, menuju sofa yang telah dilapisi kain sutra putih, lalu duduk di atasnya dengan menyilangkan kedua kaki pada satu sisi, dan mencondongkan tubuhku pada sisi berlawanan. Kuangkat dagu, dan memasang pandangan mata sayu.. “Fez..?” panggilku.
“Ya?”
“Seperti ini..?”
“Hmm, ya, pose itu sudah pas.”
“..Boleh tanya sesuatu..?”
“Silakan,” ujar Fez seraya mulai menyapukan kuasnya pada kanvas.
“..Apa aku kurang cantik untuk kamu..?”
"Kenapa bertanya seperti itu?"
"..Kamu diam saja tadi.. tidak berkomentar apa-apa.. Aku pikir kamu tidak suka.."
“Hollie," panggil Fez. “Kenapa kamu masih tidak percaya pada kecantikan yang kamu miliki? Ya, aku tadi memang tidak berkomentar, karena tiba-tiba pikiranku kosong. Aku tidak menemukan kata-kata yang tepat untuk memuji kecantikanmu. Kamu ternyata jauh lebih cantik daripada yang selama ini kubayangkan. Aku makin tergila-gila padamu, dan aku sungguh beruntung boleh melukismu.”
Ohh.... Ya ampun... Kurasakan pipiku bersemu merah. “...Mmm... ini temanya apa..?”
“Suci.”
Aku menahan tawa. “Suci..? Masa suci seperti ini? Aku tampil tanpa pakaian.. dimana sucinya?”
“Apa suci itu berarti harus memakai pakaian berlapis dan kerudung? Background yang full putih, juga sudah cukup memunculkan kesan suci, bersih, dan kamu sebagai wanita yang memiliki kesucian dan kemurnian, terlihat jelas dari rona wajah dan parasmu yang cantik, serta dari auramu. Jangan dilihat dari penampilanmu yang polos, lantas kamu tidak bisa disebut suci.”
Aku tersenyum. “Iya deh.. aku tidak berani membantah seniman. Eh iya Fez..”
Fez segera memotong, “Hey, jadi model harus diam!”
Aku terkekeh. “Iya iya.. sorry. Aku diem deh sekarang."
Selama dia melukisku, berulangkali aku melirik ke arah Fez, dan selalu mendapati mata cokelat Fez hanya memandang ke arahku, hanya pada diriku seorang! Aku merasa sebagai satu-satunya wanita di muka bumi ini yang mampu membuat seorang pria seperti Fez hanya melihat pada diriku, memperhatikan detail wajahku, dan memperhatikan detail tiap inchi tubuhku..
Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa teramat bahagia dan aku ingin agar waktu berhenti tepat pada saat ini..

Satu jam kemudian.
“Kamu tentu lelah, istirahatlah dulu. Besok juga masih bisa dilanjutkan. Sudah setengah jalan,” ujar Fez sambil meletakkan palet berisi cat serta kuas-kuas yang tadi dipakainya.
“Hah..? Sudah hampir selesai, dong..? Kamu melukis cepat sekali ya..!” aku bangkit berdiri, menyambar kimono dan mengenakannya, lalu berjalan mendekati Fez untuk melihat lukisanku yang setengah jadi itu.
“Ini baru setengah, belum bisa dibilang ‘sudah hampir selesai’, Sayang.”
Indahnya lukisan ini... aku seperti bersinar.. Belum selesai saja, di lukisan ini aku sudah terlihat cantik. Apalagi kalau sudah selesai nanti..? Jadi seperti ini ya.. aku di mata seorang Fez? Benar-benar indah..
“Kenapa tersenyum sendiri? Apa yang kamu pikirkan?” tegur Fez.
Aku melempar senyum. “Ah tidak.. Eh, aku buatkan teh hangat ya..? Mau?”
“Boleh.”
Aku segera ke dapur dan menyeduh teh. Aku baru tahu seperti ini rasanya jika dilukis polos oleh pria yang kucintai.... Sangat membahagiakan.. Aku tidak ingin hari ini cepat-cepat berlalu.. Aku ingin terus bersama dengan Fez..
Seseorang memeluk tubuhku dari belakang, membuatku tersentak kaget. “Fez! Lho! Kamu kok......?” Bagaimana Fez bisa berdiri dan memelukku??
“Hhm... diamlah..” bisik Fez tepat di telingaku. “..Nanti kuceritakan..” bisiknya lagi, nafasnya yang berat menerpa pipi dan telingaku. Dia mengecup leherku, spontan syaraf di seluruh tubuhku langsung bereaksi.. Kedua tangannya yang bebas melepaskan tali pinggang kimonoku, lalu mengusap-usap perlahan perutku dari balik kimono.. Dengan segera tangannya berkelana menggerayangi tubuhku.. Oh.. tangan yang nakal! Dia meremas payudaraku, tangannya yang satu lagi mengarah ke perut bagian bawah.. sementara bibirnya aktif berkelana di leher dan telingaku, membuatku tidak kuasa menahan desahanku..

...Nafas kami berdua sama-sama tersengal setelah mencapai puncak kenikmatan bersama-sama..
Fez sangat jantan..
"Kamu mengagumkan,” pujinya.
Aku tersenyum. “..Kamu pun sangat hebat, Fez..! Aku belum pernah merasakan yang seperti tadi...." ucapanku terhenti karena Fez membungkamku dengan bibir dan lidahnya yang kenyal.. aku meladeninya sejenak. "...Ah, Fez.. Jadi.. selama ini kamu itu sebenarnya lumpuh atau tidak, sih..?”
Fez tersenyum tipis. “Aku lumpuh. Memang,” ujarnya.
Aku mengerutkan kening. “Lalu..? Kok sekarang...”
“Aku tidak tahan harus hidup di atas kursi roda sepanjang sisa umurku. Maka aku mengadakan operasi besar-besaran, september lalu. Sebuah microchip dicangkokkan di tulang belakangku, dan microchip itu berfungsi sebagai pengganti saraf-sarafku yang sudah rusak. Saraf-saraf yang menghubungkan perintah dari otak dengan kemampuan kakiku berjalan, berlari dan sebagainya. Pencangkokan microchip itu adalah penemuan terbaru, dan para dokter sudah mempraktekkannya pada hewan. Pada manusia, baru aku seorang. Aku memaksa mereka membiarkan aku menjadi kelinci percobaan mereka. Dan setelah melihat hasilnya, pencangkokkan microchip itu berhasil padaku, mungkin mereka baru akan mempublikasikannya pada semua orang.”
..Bagaimana bisa aku tidak tahu hal itu? “..T, tapi.. kenapa aku baru tahu kamu sempat melakukan operasi besar-besaran seperti itu?”
“Jangankan kamu, keluargaku tidak ada yang tahu. Baru kamu seorang.”
“Jadi.. keluargamu tidak ada satu pun yang tahu...?”
Fez mengangguk.
“Kenapa tidak kamu katakan pada mereka..? Mereka pasti sangat senang kalau melihat kondisimu seperti sekarang ini, Fez.”
"Well. Aku hanya ingin mereka tidak tahu saja.”
“..Lalu kenapa kamu bocorkan rahasia ini padaku..?”
“Kenapa? Kamu tanya kenapa?" Fez menyeringai. "Karena aku tidak tahan ingin bercinta denganmu! Ingin bercinta dengan cara yang lazim dan biasa kulakukan seperti ketika aku masih belum lumpuh. Aku yang memegang kendali. Tadinya aku juga ragu-ragu apakah aku harus membocorkan rahasia ini padamu, tapi rupanya hasratku itu terlalu mendesakku,” ujar Fez sambil tertawa ringan. “Jadi.. kumohon Hollie, aku percaya padamu. Aku ingin rahasia ini tetap terjaga, sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Aku ingin ini jadi rahasia antara kita saja. Bagaimana? Ok?”
Walaupun agak aneh, tapi aku menyanggupi. Kulempar senyum manisku padanya, “Okay.. aku pasti bisa jaga rahasia kamu, kok..”
“Well, tapi aku masih harus banyak latihan berjalan lagi. Tadi waktu aku berjalan ke sini, aku masih tertatih-tatih. Aku seperti orang tua.”
“Aku malah tidak lihat bagaimana cara kamu berjalan tadi.. Yang aku lihat sepertinya kaki kamu memang sudah kuat, bisa menyangga tubuh aku..  Aku senaanggg sekali, kamu sudah bisa berjalan lagi...!” ujarku seraya menempelkan kedua tanganku pada pipi Fez.
Fez tersenyum. “Aku juga senang. Karena selain aku bisa berjalan lagi, aku bisa memegang kendali penuh lagi, seperti dulu,” sahut Fez sambil mengecup bibirku. Mengulum bibirku penuh nafsu.. lalu mencumbu rayu aku sekali lagi. Ah.. ini akan menjadi malam yang panjang! I love you, Fez... I love you..
-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-

1 comment: