Copyright © 2014 CamilleMarion All Rights Reserved
Chapter 21. Royce Beauregard
Sempat terjadi perdebatan kecil antara kedua pasang orangtua Fez mengenai hal siapa yang akan merawat Fez jika nanti Fez sudah diperbolehkan pulang. Evelyn agaknya bersikukuh ingin bisa setiap hari merawat Fez, dia ingin agar Fez lebih baik dibawa saja ke rumahnya di Birmingham. Giliran Phedra yang tidak setuju. Dia juga ingin merawat anak angkatnya itu, karena rasa sayangnya pada Fez sedemikian besar, Fez sudah dianggapnya sebagai darah dagingnya sendiri.
Rumit juga kalau begini. Antara dua orang ibu yang bersikeras ingin merawat anaknya.. James mengusulkan agar kedua wanita itu mau bergantian merawat Fez. Seminggu dirawat Evelyn, seminggu lagi dirawat Phedra. Tapi Gale buru-buru menyanggah. Menurutnya kasihan jika Fez harus bolak balik London Birmingham, dia sudah seperti orang nomaden saja..
Isaac yang kayaknya capek mendengarkan perdebatan itu, menyela. Dia bilang kenapa tidak salah satu dari kalian mengalah. Pindah ke London atau Birmingham, tentukan salah satu. Lebih bagus lagi kalau rumah Rutherford dan rumah Renauld berdekatan, jadi bukan masalah Fez bolak balik ke sana kemari, toh keduanya adalah rumahnya juga. Dia melanjutkan, mungkin lebih baik James dan Evelyn yang mengalah, dan pindah ke London. Fez sudah puluhan tahun menghuni rumah Rutherford, dengan keadaannya yang sekarang tentunya dia ingin tinggal di rumah yang benar-benar homey baginya.
James dan Gale setuju dengan ide Isaac, dan sebuah kebetulan karena pada saat itu rumah di samping rumah Rutherford akan dijual.. Isaac langsung menghubungi perantara rumah itu, dan dalam sekejap rumah kosong itu berpindah tangan pada keluarga Renauld. Di halaman samping rumah Renauld dibuat pintu yang menghubungkan dengan rumah Rutherford, sehingga memudahkan akses Fez untuk berpindah-pindah nanti.
Beginilah kalau punya lebih dari sepasang orang tua..
Hari kepulangan Fez dari rumah sakit pun tiba..
Namun Fez semenjak keluar RS tadi hingga tiba di rumah Rutherford, selalu diam. Tidak ada sepatah kata pun terucap darinya. Hal ini membuat bingung seluruh keluarga. Kami bertanya padanya, ada apa dengannya, namun Fez tetap diam. Wajahnya begitu sedih dan tertekan, sepertinya dia merasa depresi.
Kami menanyai apa yang Fez inginkan, namun Fez tetap diam. Membuat kami semakin penasaran dan bingung pada Fez.
Sementara kebingungan masih kami rasakan, tiba-tiba Fez berkata, “...Kenapa kalian tidak biarkan aku saja? Biarkan aku mati dengan kursi roda sialan ini. Dengan begitu aku tidak akan merepotkan kalian semua. Kalian masih harus mengurusku.. sementara aku sebenarnya sudah dewasa, dimana seharusnya akulah yang mengurus kalian. Sudah, biarkan saja aku mati,” ujarnya datar.
Ya Tuhan.. Fez. Kenapa kau malah bicara seperti itu? Itu hanya akan menyakiti hati orangtuamu!
“Ferris!” tegur James.
“Fez, kamu tidak boleh berbicara seperti itu!” sahut Gale.
“Kamu sama sekali tidak merepotkan kami, Sayang! Mama mohon jangan berbicara seperti itu lagi..” ujar Evelyn sambil mencengkeram lengan Fez erat.
“...Kita bersama-sama... menerima cobaan ini, Sayang. Jangan mengeluh dan jangan pernah menyerah..! Tuhan takkan pernah memberi cobaan yang melampaui batas kemampuan umat-Nya..” ujar Phedra sambil meremas bahu Fez.
Fez tersentak. “Jangan bicara tentang Tuhan di depanku!! Dia tidak pernah ada!!” serunya sambil pergi meninggalkan keluarganya yang terbengong, dengan mengendalikan sendiri kursi rodanya.
“Fez....” gumam Phedra.
Evelyn bermaksud mengejar Fez, namun James menahannya. “...Kupikir dia masih membutuhkan waktu untuk sendirian... Kita beri waktu beberapa saat, lalu kita coba bicara lagi dengannya,” ujarnya.
Apa yang bisa kuperbuat melihat sahabatku sampai seperti itu keadaannya? .. Aku bisa merasakan kemarahan dan kesedihan Fez. Aku bisa membayangkan seandainya hal itu terjadi padaku. Bagaimana rasanya jika aku kehilangan kakiku, sementara keberadaan kedua kaki ini sangat vital untuk kehidupanku. Tuhan.. Kenapa saat itu aku mesti mengajaknya pergi? Kenapa mesti di tempat itu? Aku tidak bisa berhenti menyalahkan diriku sendiri atas apa yang telah terjadi pada Fez sahabatku. Maka aku cuma bisa berdiam diri.. Apa yang harus kuperbuat??
Apa sebenarnya yang ada di benak Fez jika melihatku? Apakah aku menjadi korban kemarahannya juga? Apakah dia tidak ingin melihatku lagi? Jika memang dia marah, jauh lebih baik dia lampiaskan padaku langsung, semarah apapun dia, aku akan terima tanpa banyak protes. Tapi lain halnya jika dia sebenarnya marah namun memendamnya dalam hati.. hingga pada suatu saat nanti kemarahan itu meletus bagaikan gunung api. Fez, dia orang yang seperti itu. Dua puluh tahun aku bersahabat dengannya, aku tahu dia tipe pemarah dan pendendam seperti itu. Salah satu sifatnya yang paling buruk.
Dengan keadaannya yang mengenaskan seperti ini, apa yang bisa kuperbuat sebagai seorang sahabat??
Beberapa menit berselang, terdengar teriakan panjang dan tangisan dari kamar Fez.
Kami semua yang ada di situ langsung terburu-buru mencari tahu apa yang terjadi pada Fez. Dan yang kami dapati adalah, Fez masih terduduk di handicapnya, tengah menangis. Selimut yang semula menutupi kakinya tergeletak di lantai, kami berasumsi Fez mencoba berdiri dengan kakinya sendiri tadi. Dia pasti depresi menyadari keadaannya yang seperti sekarang ini. Ya Tuhan.. Melihatnya bercucuran air mata seperti itu, hatiku langsung terasa sakit. Bagaimana bisa menjadi seperti ini!! Fez tidak pernah sekalipun menangis!! Dia orang yang riang, bersemangat dan angkuh! Tidak ada satu hal pun yang mampu membuatnya mengeluarkan air mata.. Tapi kini berbeda.
Kulihat air mata itu mengalir.. Kulihat air mata itu keluar karena agaknya saat ini Fez sudah menghadapi kenyataan bahwa dirinya lumpuh. Air mata itu keluar akibat rasa sedih Fez yang menyangat, dia tahu keadaan seperti apa yang harus dihadapinya karena kehilangan kedua kakinya.. Dia tidak mungkin lagi berada di balik kemudi kokpit mobil F1. Dia tidak mungkin lagi berjalan, berdiri saja dia tidak sanggup. Karirnya kandas! Kehidupannya juga terampas!
Ya Tuhan, kenapa Kau biarkan semua ini terjadi?? Kenapa mesti Fez??
Aku tidak tahan lagi melihat air mata Fez yang masih mengalir keluar.. Aku keluar dari kamar Fez dan menenangkan diri. Apakah ini salahku?!! Apakah Fez menjadi seperti ini murni karena kesalahanku???
Tiga minggu berlalu, keadaan menjadi lebih baik.
Yang kudengar dari Isaac, Fez sekarang sudah lebih tenang, tidak lagi mudah terhanyut emosi seperti sebelumnya. Aku yakin itu karena dia merasa nyaman dengan perhatian dan dukungan yang penuh dari James, Evelyn, Gale, Phedra, dan juga saudaranya sendiri, Isaac.
Aku sengaja membatasi kehadiranku di sana karena aku masih mencari waktu yang tepat untuk bicara dengan Fez empat mata. Aku ingin tahu apa pendapatnya tentangku. Apakah dia masih mau bersahabat denganku, apakah dia masih mau bersaudara denganku? Aku teringat kejadian sewaktu kami masih berusia kira-kira 9 tahun, ketika kami melakukan perjanjian jari untuk saling menganggap saudara. Fez, kau ingat semua itu?
Aku mengunjungi Fez ketika dia lagi asyik melukis di kamarnya. Kata Isaac, Fez setiap hari menyibukkan diri dengan melukis, mungkin dengan begitu pikirannya bisa lebih tenang..
"Hei, Fez. Sibuk?" sapaku.
Fez menoleh, "Hai, Royce!" sahutnya sambil tersenyum lebar. "Sini, duduk. Sorry nih aku sedang ada proyek baru."
"Take your time. Sepertinya kau makin produktif nih?" kataku sambil menarik kursi dan duduk di sampingnya. Ada beberapa lukisan yang sepertinya baru selesai digarap Fez disimpan di pojok kamar.
"Ya, manfaatkan waktu sebaik-baiknyalah.."
"Kenapa kau tidak mengadakan pameran saja Fez, daripada kau simpan seperti itu. Malah rusak nanti."
Fez tersenyum. "Lihat nanti deh. Jadi, ada kabar apa?"
Aku menggeleng. "Tidak ada yang spesial. Oh ya Fez," panggilku.
"Yap."
Aku menarik nafas panjang. "..Fez, aku minta maaf."
Fez terdiam sejenak. “Apa yang harus dimaafkan?”
“Sebelum ini aku mencari-cari waktu untuk meminta maaf padamu, tapi kondisi hatimu sering berubah-ubah. Aku tidak ingin memancing emosimu. Dan karena sekarang keadaanmu sudah jauh lebih tenang.. Aku minta maaf sedalam-dalamnya, Fez," kuperhatikan air muka Fez. "...Seandainya aku tidak mengajakmu untuk bertemu hari itu, kau tidak akan menjadi seperti ini. Sungguh aku menyesal. Aku sudah mencelakakanmu, ...bahkan aku tidak bisa memaafkan diriku sendiri, karena hal itu terjadi tepat di depan mataku sendiri, dan aku tidak berbuat apa-apa! Maaf, Fez.. maaf. Aku juga tersiksa melihat penderitaanmu selama ini. Karena semua itu salahku. Katakan, apa yang bisa kuperbuat agar kau mau memaafkanku, Fez?”
Fez malah tertawa ringan, “...Ada apa denganmu, Royce?? Apa aku pernah menyalahkanmu?" Fez menggeleng. "Bukan salahmu. Kau sama sekali tidak bersalah. Memang sudah takdirnya aku begini, mau bagaimana lagi? Tidak ada yang bersalah. Buat apa kau menyalahkan diri sendiri?? Ayolah!"
“Tapi..”
“Sudahlah, Royce,” potong Fez. “Jangan kekanakan begitu. Memang sudah nasibnya, aku mengalami kecelakaan itu, berhenti menyalahkan diri sendiri! Kau bisa cepat mati!"
Aku terdiam lama, menatap wajah Fez. Dia tersenyum lebar.
"..Hei, Hollie! Ayo masuk sini, sedang apa kau di situ?" Fez tiba-tiba berseru.
Aku menoleh, dan melihat Hollie berdiri di depan pintu sambil membawa secangkir minuman. Aku melempar senyum. "Hollie, kamu lagi di sini juga rupanya?" sapaku ketika Hollie memasuki kamar.
"..Iya, aku tidak tahu kamu datang, Royce. Seandainya aku tahu, sudah sekalian kubuatkan teh untukmu.. Aku buatkan dulu secangkir untukmu ya?" kata Hollie.
Aku menggeleng. "No thanks, aku bisa ambil sendiri nanti. Kamu sejak tadi di sini?"
"Ya.. tadi aku lihat kamu dan Fez sedang asyik mengobrol, kelihatannya serius, jadi aku tidak berani masuk, takut mengganggu. Kalian sedang membicarakan apa sih?"
"Biasa.." jawabku sekenanya.
"Kalian berdua makan siang di sini kan?" tanya Fez. "Pesan delivery yuk. Aku yang traktir."
Chapter 22. Holden Daphney Vanessa Bannister
Oh, Selamat Pagi dunia..!
Ini hari baru, hari yang kuharap tidak sedingin kemarin. Karena hari ini aku sudah punya rencana untuk pergi ke rumah Rutherford di Highgate dan menengok Fez.
Persetan dengan jadwal syuting hari ini! Aku tidak merasa enjoy dengan proyekku kali ini.. aku masa bodohlah. Kalau mereka memang sangat sangat sangat membutuhkanku, tentunya mereka akan dengan senang hati menungguku dan menyesuaikan jadwal mereka sesuai jadwal yang kuinginkan dong? Ahaha.. Jadi santai saja!
Entah sudah berapa kali aku skip jadwalku demi mengunjungi Fez.. Karena saat ini, saat ini hanya Fez yang menyita pikiranku!
Aku mengenal Fez beberapa tahun yang lalu, ketika aku dan dia, juga dengan rekan setimnya yang bernama Shawn Renan itu, syuting bersama untuk keperluan promosi tim mobil Fez. Tak bisa kulupakan saat-saat itu..! Dan Fez... oh.. dia langsung membiusku pada pandangan pertama! Dia membuat jantungku berdebar tidak keruan jika sedang bersamanya.. Sungguh aku jatuh hati pada Fez. Tapi sedihnya, Fez sepertinya tidak pernah sadar sinyal-sinyal yang sering kukirimkan padanya!
Syuting iklan selesai, dan setelah itu aku dan Fez sudah tidak pernah kontak lagi..
Kupikir memang aku tidak berjodoh dengannya, karena masa pertemuan kami sangatlah singkat! Jadi aku berusaha mencari lagi cinta yang baru.. cinta yang tidak bertepuk sebelah tangan lagi.
Lalu awal tahun ini, aku mendengar berita yang mengejutkan.. Fez mengalami kecelakaan parah dan dikabarkan lumpuh! Dadaku langsung terasa sesak begitu membaca berita mengenainya di semua media cetak.. Media televisi pun ramai membicarakan tragedi yang menimpa Fez, dan mereka juga mengatakan betapa sulitnya menemui Fez secara langsung untuk melaporkan kondisi Fez sekarang ini. Mereka juga mengatakan, banyak orang yang berkumpul di halaman rumah sakit, hendak memberikan dukungan pada Fez, tapi pihak Fez tidak pernah mau membukakan pintu pada siapapun. Aku mengerti, mereka, terutama Fez, menginginkan privasi. Tapi bagaimana dengan teman-teman dan direktur tim mobil GT Forrier yang datang menengok Fez, tapi ditolak juga olehnya?
Aku sempat kebingungan.. karena aku tidak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku sangat ingin bertemu lagi dengan Fez! Tak peduli keadaan Fez seperti apa, aku ingin menemuinya! Tapi bagaimana caranya aku bisa menengok Fez, sementara hanya pihak keluarga yang boleh menjenguknya?
Ah aku tidak peduli.. aku akan datang ke rumah sakit, dan pasti akan ada jalan untukku agar bisa masuk ke unit tempat Fez dirawat.
Dan aku nekad melakukannya..
Dan aku rupanya dinaungi oleh keberuntungan yang cukup besar, sehingga aku bisa tahu di mana unit tempat Fez dirawat, dan aku bisa menemuinya secara langsung!
Saat itulah pertemuanku dengan Fez setelah sekian lama, aku sempat merasa sakit hati begitu dia tanpa basa-basi langsung mengusirku begitu saja... Tapi setelah bertemu dengan Royce dan Isaac, sahabat-sahabat sejati Fez, aku jadi paham kondisi Fez seperti apa. Dan aku bertekad tidak akan kapok dengan kejadian pengusiran Fez hari itu!
Dan sekarang, terbukti kan? Kurasa Fez senang jika melihatku datang menengoknya! Dia selalu tersenyum lebar jika melihatku, malahan seringkali dia terlihat tidak mengacuhkan Royce, Isaac, juga orangtuanya, hanya demi meladeni obrolanku!
Oh.. Fez.. Aku benar-benar jatuh cinta padamu..
Lalu hari ini, aku akan menengoknya lagi.. Menemaninya melukis di taman, mengajaknya minum teh sambil mengobrol hal yang ringan.. Oh, indahnyaa... Maka tolong jangan rusak suasana hatiku ini dengan jadwal syuting dan segala pemotretan tidak penting itu! Uang masih bisa dicari lagi nanti, tapi cinta..? Cinta harus kau kejar sampai ke ujung dunia.. tidak peduli seberapa besar yang harus dikorbankan!
Fez sedang melukis seorang anak perempuan tengah menggendong boneka, ketika aku datang mengunjunginya.
Lukisan yang bagus... Fez kadang melukis manusia, kadang pemandangan, kadang benda mati, semuanya tergantung mood dia pada saat dia melukis. Tapi semua lukisan yang dia buat, luar biasa..! Detailnya mengagumkan! Warnanya pekat, tegas dan berani! Fez memang seorang pelukis yang berbakat..!
Terkadang aku merasa ingin dilukis olehnya.. bagaimana rasanya jika dilukis oleh pria yang kucintai? Mungkin... ah.. aku terlalu banyak berharap. Untuk sekarang tugasku adalah, membuat Fez sadar bahwa aku memendam rasa cinta yang besar terhadapnya! Itu saja!
Fez menyambutku dengan senyuman lebar yang mempesona.. Semakin mempesona karena sinar matahari menerpa wajahnya. Buatlah aku silau akan cintamu, Fez..
Aku membungkukkan badan dan mengecup kedua pipinya. "Selamat pagi..! Kamu sudah sarapan?"
"Tentu sudah. Kamu?"
"Sudah juga.. Kamu asyik banget melukis, tidak ada hentinya dari kemarin ya..?"
Fez tertawa ringan. "Apa lagi yang bisa kulakukan selain melukis? Masih bagus tanganku tidak ikut lumpuh."
Aku terkejut. "Jangan bicara seperti itu..!"
Fez tertawa saja. Uh, omongannya jelek sekali, ditegur juga cuma tertawa saja!
"Ini kan kenyataan," kilah Fez.
"Aku yakin Fez, kamu pasti bisa sembuh.. Pasti kamu akan bisa berjalan lagi..!"
"Atas dasar apa kamu bicara seperti itu, yang kena syarafku langsung lho."
"Tidak peduli seberapa parah keadaan yang dialami.. Kamu harus bisa berpikir positif, Fez. Aku cuma ajak kamu untuk berpikir positif.. jangan isi pikiranmu dengan hal yang negatif, itu saja.." aku melempar senyum yang paling manis.
"Ya, aku tahu."
"Nah, gitu dong.. Tapi tahu apa dulu nih?"
"Aku tahu kalau kamu itu positif cantik luar dalam," Fez mengedipkan sebelah mata padaku.
Aihh! "Tentu saja aku memang cantik..! Kalau tidak aku tidak dikontrak untuk main film dong.."
Fez tergelak. "Lalu, apa kamu sedang tidak sibuk?"
"Tidak kok.. aku lagi senggang," aku berbohong. Hari ini jadwalku banyaaakk.. tapi aku kalahkan itu semua demi bertemu kamu, Fez! Demi mendengar kamu merayu aku cantik.. Hihihi.. Ayo terus rayu aku dong, Fez.. Apa kamu belum yakin juga kalau aku menginginkan kamu?
"Fez," Phedra tiba-tiba datang menghampiri kami.
"Ya, Ma?"
Phedra duduk di seberangku, "Tadi mama ditelepon Evelyn, menanyakan kabar kamu.. Apa kamu masih tidak mau dikunjungi oleh James dan Evelyn..?"
Eh?
Fez diam tidak menjawab.
"Mereka tinggal di sebelah rumah, cuma berjarak beberapa meter saja dari kamu. Mereka ingin tengok kamu.. Masa kamu tega membiarkan mereka tidak tahu keadaanmu sama sekali..? Bagaimana pun mereka kan orangtua kandung kamu..."
"Mama!" potong Fez.
Eh.. Aku tidak salah dengar? Apa.. apa maksudnya?
Kulihat Fez seperti canggung, Phedra juga terlihat kikuk, seperti orang yang telah kelepasan bicara..
Fez menghela nafas. "Ma, bukan saatnya kita bicarakan hal itu."
Aku tidak tahan jika tidak menanyakan hal yang baru saja kudengar! "Sorry... apa maksudnya? Phedra.. anda sendiri kan, orangtua kandung Fez..?"
Fez memalingkan wajah. Phedra terdiam.
"Tidak semua orang mengetahui hal ini," ujar Fez. Dia menatapku tepat di mata, "Bisa aku mempercayaimu..?" pelan dia bertanya sambil tersenyum.
Aku mengangguk. Ada apa ini.. "Tentu, Fez.. Tentu kamu bisa percaya padaku."
"Aku tahu kamu pasti kaget, dan aku tidak menyalahkanmu. Intinya, aku dan Isaac, kami bersaudara."
Hah.. betulkah..??
Fez mengangguk. "Tepat seperti yang semua orang sangka. Mereka mengatakan aku dan Isaac sangat mirip, dan mungkin saja kami bersaudara.. Yeah, mereka benar. Kami memang sengaja tidak ingin mempublikasikannya lebih jauh. Karena kami ingin privasi.. Itu saja."
"Jadi.. jadi.. benar, kamu dan Isaac bersaudara..." aku tergagap.
Fez mengangguk lagi. "Berbagi rahim yang sama selama 9 bulan. Aku lebih dulu terlahir, lalu beberapa menit kemudian Isaac menyusul."
Saudara kembar.. sudah kuduga, pantas mereka mirip sekali! Jadi mereka sengaja tidak membawa hal ini ke ranah publik.. mungkin ada rahasia besar lagi di balik semua ini. Apa alasannya.. kenapa Fez dan Isaac menyandang nama keluarga yang berbeda? Tapi aku memutuskan tidak akan bertanya lagi lebih lanjut. Aku rupanya orang luar yang tidak sengaja mengetahui hal yang seharusnya tidak kuketahui.. Untuk hal lainnya yang juga membuatku penasaran.. sudahlah, aku tak perlu tahu lebih banyak.. Kecuali Fez memutuskan aku harus tahu, dia pasti akan cerita.
"Jadi begitu ya.." ujarku kemudian.
Phedra mencondongkan badannya, meraih tanganku dan menggenggamnya, "Kumohon, Hollie? Kami percaya padamu.. Jangan ada lagi yang tahu, ya..?"
Fez menyambung. "Yeah. Keluarga ini sudah banyak mengalami kejadian-kejadian tidak biasa. Aku tidak ingin pers menerobos masuk rumah ini dan mengorek informasi sedalam-dalamnya.. mengenai apapun!"
Aku tersenyum. "Aku mengerti... pers memang kejam.. sebagai public figure, menjaga privasi adalah hal yang sulit..! Tapi aku pasti tidak akan mengecewakan keluarga ini.." aku bertatapan dengan Phedra. Ia tersenyum, dan aku membalas senyumnya.
Fez menatapku dan tersenyum. "Thanks, Hollie."
Chapter 23. Isaac Lawrence Anthony Renauld
Montreal, Kanada. 14 Maret 2004. Grand Prix Formula 1 seri pertama.
Aku tiba di starting grid pertama kali, dua puluh satu pembalap yang lain segera tiba dan menempati posisi masing-masing. Kupejamkan mata, menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan.
Sepi, tidak ada Fez. Entah aku gila atau apa, tapi aku seakan masih bisa merasakan hadirnya sosok Fez di dalam salah satu mobil di belakangku ini. Apalagi kalau kulihat mobil Forrier yang seharusnya digeber oleh Fez.. rasanya aku masih belum bisa mempercayai kalau Fez pensiun secepat ini. Dialah juara dunia 2003, dia seharusnya ada di sini!! Dia seharusnya berada di balik kemudi kokpit Forrier bernomor 1, itulah yang pantas dia dapatkan!
Untuk menghormatinya rupanya Forrier tidak mencantumkan nomor 1 di hidung mobil Shawn Renan.. dia tetap mengemudikan mobil bernomor 2. Sementara untuk mengisi posisi yang kosong di Forrier, Forrier mempercayakan pembalap baru yang bernama Gustavo Ferrera. Entah apakah ada pembalap seperti Fez lagi di Forrier.
Betapa malangnya saudaraku itu. Aku bisa merasakan emosi Fez yang pasti bercampur baur jika dia menyaksikan pertandingan ini melalui layar kaca. Dia seharusnya ada di sini.. bukan duduk di atas handicap yang mengekang kehidupannya. Kenapa hanya sekejap aku bisa menikmati pertarunganku dengannya di ajang balap mobil seperti ini? Kenapa? Padahal aku yakin dia sangat menunggu-nunggu saat-saat seperti ini. Kenapa kecelakaan naas itu mesti terjadi padanya?
Aku menarik nafas panjang.
Lima lampu merah sudah menyala, pertandingan akan segera dimulai. Isaac, kau harus fokus..
Satu per satu lampu itu padam, dan pertandingan pun dimulai. Tanpa ragu kulajukan mobil dengan kecepatan penuh, tidak akan kubiarkan siapapun merebut posisi pertama! Aku ingin menang di seri pertama ini, aku ingin mempersembahkan kemenangan ini untuk Fez! Tampaknya jalanku tidak terhambat.. Aku masih tetap memimpin selepas start, beberapa mobil lain masih saling berusaha susul menyusul, tapi seperti yang kubilang, aku tidak akan biarkan siapapun menggeserku dari posisi pertama!
Setidaknya sampai lap ke 45.
Saat pit stop kedua, musibah terjadi pada mobilku. Mur ban kiri depan mobilku lepas dari wheel gun, yang memaksaku tertahan selama 18,3 detik di pit stop!
Buruk, ini catatan pit stop yang paling buruk!
Keluar dari pit, aku rejoin di posisi keenambelas. Tinggal beberapa putaran lagi, dan aku terhambat di sini. Bagaimana aku bisa merebut posisiku seperti semula???
Kupacu mobil semampuku untuk menyalip belasan pembalap di depanku. Berbagai macam cara kutekan mereka dari belakang dan merebut posisi mereka, satu demi satu. Sampai 10 lap terakhir aku hanya mampu fix di posisi kelima.
Aku tidak puas. Akulah pemegang pole position, dan kenapa sekarang aku berada di urutan kelima?? Masih ada 4 pembalap di depanku yang harus kusingkirkan, beberapa celah sepertinya bisa kumanfaatkan untuk menyalip, tapi celah-celah itu segera menutup dengan cepat, tidak secepat reaksiku menyambut celah itu.
Aku membuang beberapa peluang hanya karena aku terlambat bereaksi.. ada apa denganku? Apakah aku kurang konsentrasi karena masalah-masalah yang belakangan terjadi? Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk fokus.. Tapi bayangan Fez seakan selalu menempel di benakku, membuatku menjadi kurang awas seperti sekarang.
Baiklah Isaac, lupakan dulu semua itu!! Yang harus kau lakukan sekarang adalah menekan Shawn Renan yang berada di posisi keempat! Renan, berikan posisimu padaku. Sekarang.
Tapi kusadari sepertinya tekananku kurang berpengaruh pada Renan. Buktinya Renan bukannya tertekan, dia malahan berhasil mengambil celah sempit dari pembalap di posisi ketiga, yang tak lain adalah partnerku sendiri, Fabio Ortolani. Ah, Fabio, kenapa kau berikan posisimu sebegitu mudahnya pada Renan?? Sekarang Renan melenggang jauh meninggalkanku dan Fabio, dia berusaha menyusul dua pembalap di depannya, Armando Rivera dan Raymond Schweitzer. Great... dan lap tinggal menyisakan satu putaran lagi.
Pertandingan berakhir. Aku hanya menempati posisi kelima.
'Kecelakaan' di pit stop kemarin membuahkan kemarahan Friedrich Sheppard selaku team principal Glauber. Kesalahan kecil yang membuatku harus tertahan begitu lama di pit stop, adalah kejadian memalukan. Apalagi hal itu dibahas habis-habisan oleh pers. Rapat demi rapat dilaksanakan pasca Grand Prix untuk membicarakan dan mengusut kasus itu. Tentunya kami tak ingin kejadian yang sama terulang lagi di Grand Prix mendatang.
Okay, keep on talking, dude.. Sudah berapa hari tertahan di Montreal, membahas hal ini, bukannya menyiapkan segala sesuatunya menyambut Grand Prix kedua tanggal 28 mendatang.
Pikiranku jadi melayang pada Fez. Apa yang lagi kau lakukan sekarang, Fez? Melukis? Sebelum aku berangkat ke Montreal tempo hari, kau betah sekali duduk di taman, sambil melukis. Lukisankah pelarianmu dari semua yang terjadi padamu? Seharusnya kau ada di sini.. Seharusnya kau ada di sini. Di tengah timmu yang tangguh, GT Forrier.
Seseorang menyikutku, "Hey, kau mendengarkan pembicaraan ini tidak sih?"
Aku gelagapan, ".. O, oh, tentu. Ini aku mendengarkan."
"Kau seperti tidak fokus."
Aku terdiam sesaat. Menghela nafas. "..Yeah. Tadi tiba-tiba terlintas di benakku, kecelakaan yang menimpa Ferris Rutherford. Malang sekali nasibnya. Dia tidak bisa lagi melanjutkan karirnya yang gemilang itu."
"Memang kasihan. Tapi sejujurnya.. bukankah bagus, sainganmu berkurang? Lagipula kenapa kau tiba-tiba ingat padanya? Memang kalian akrab?"
Tentu saja, dia saudara kembarku. Aku mengangkat bahu, "..Tiba-tiba saja teringat dia."
Setelah urusan di sini selesai, aku harus langsung kembali ke London. Papa mama memintaku waktu semalam untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Sepertinya mereka masih sangat terpukul karena kejadian yang menimpa Fez. Seringkali aku berpikir, apakah ini karma karena perbuatan papa mama di masa lalu pada Fez? Tapi kurasa karma tidak sekejam itu. Yang menjadi korban dari kejadian masa lalu adalah Fez, kenapa sekarang mesti Fez lagi yang menjadi korban? Beribu pertanyaan tak terjawab selalu mengusik pikiranku.
Sore itu aku tiba di bandara Heathrow. Dari kejauhan kulihat Margee sudah menunggu. Kulambaikan tangan, dan ia sepertinya langsung menyadari kehadiranku. Sambil berlari kecil ia menghampiriku, di bibirnya tersungging senyuman yang manis.. Aku suka melihat senyummu, Marg. Teruslah tersenyum seperti itu, karena senyummu bisa membuatku tenang.
"Welcome back..!" sambutnya riang seraya memberiku sebuah pelukan dan kecupan yang hangat.
"Hai sayang, bagaimana kabarmu?"
“Baik! Kamu juga kelihatan baik. ..Sayang ya.. kemarin ada sedikit kesalahan di pit stop.. Seharusnya kan kamu bisa menang..!”
“Pikiranku tersita oleh Fez. Aku terus membayangkan apa yang sedang dia lakukan pada saat aku bertanding. Apa yang dia pikirkan. Dan rasa sedih seperti apa yang dia rasakan karena terpaksa pensiun dini.”
“..Memang sudah suratannya dia mendapat musibah seperti itu, Ike.. kamu jangan terus-terusan merasa tidak enak seperti itu..”
“Aku emang merasa tidak enak, dia kan saudaraku!”
“Okay, tapi hal itu jangan sampai menghantuimu terus..! Apalagi pada saat race. Kamu bisa kehilangan konsentrasi. Lakukanlah yang terbaik, kemampuanmu seutuhnya. Dedikasikanlah podium demi podium dan kemenangan demi kemenangan yang kamu raih untuknya.. Dia pasti senang!”
Kata-kata Margee membuatku terdiam. Kupandangi ia dan aku tersenyum, “Seandainya pekerjaan kamu itu bisa menunggu. Aku sebenarnya ingin sekali ditemani olehmu pada saat race.”
“Maaf.. tapi..”
Aku menyela, “Aku mengerti, kok. Itu cuma keinginan aku semata. Aku paham kalau pekerjaan baru kamu ini, adalah pekerjaan yang kamu idam-idamkan selama ini, karena sesuai dengan bidangmu. Aku tidak akan mengganggu karier kamu, yang penting kamu bisa sukses."
Margee tersenyum lebar. “Iya, okay..” jawabnya. Dia menggandeng tanganku dan kami berdua segera menuju mobil.
“Bagaimana apartemen baru kamu, Marg..? Nyaman?” tanyaku ketika dalam perjalanan pulang. Oh ya, aku belum memberitahu ya? Awal maret ini memang Margee sudah mendapatkan pekerjaan yang baru, yang lebih sesuai dengan passionnya. Kantornya yang baru sebenarnya cukup dekat dengan mansionku, tapi Margee selalu menolak jika kuajak ia agar mau tinggal bersama denganku. Ia lebih memilih tinggal sendirian di flat. Memang flat yang ia taksir, letaknya lebih dekat dengan kantor barunya, tapi, kenapa gadisku harus tinggal di flat yang kurang begitu bagus seperti itu? Bahkan ketika kutawarkan apartemen yang lebih high class, Margee tetap menolak. Aku kadang suka bingung dengan jalan pikiran gadisku yang satu ini..
Margee menyeringai. “Nyaman! Untung kamu punya kenalan yang punya apartemen senyaman itu..! Aman, nyaman, lengkap, dan yang paling penting terjangkau buat aku. Thanks ya..?”
“Kamu ini. Kamu kan sebenernya bisa tinggal di kondominium yang aku tawarkan juga ke kamu. Lebih lux dan cozy. Dan kamu pun sebenarnya tidak perlu keluar uang untuk mendapatkan kondominium itu. Aku yang akan bayar. Kamu tidak suka, ya?”
Margee terdiam sejenak. “..Aku tidak mau melihatmu menghambur-hamburkan uang yang sudah susah payah kamu dapat untuk satu unit kondominium untuk aku. Sayang kan..?”
“Marg, selama aku masih mampu, kenapa tidak?”
Margee tersenyum. “Bukankah lebih baik kamu tabung..? Untuk masa depan kamu dan keluargamu nanti..”
“Kita?” aku segera meralat. “Masa depan keluarga kita.”
“Okay.. Amin! Nah.. lanjut ke pembicaraan kita tadi.. Aku sebenarnya tidak butuh, tidak menuntut atau mengharapkan limpahan materi dari kamu, yang aku butuhkan hanya.. perhatian dan kasih sayang kamu padaku. Juga kepercayaan dan kesetiaan satu sama lain. Aku menjunjung tinggi hal itu.”
Aku menghela nafas, kemudian tersenyum, “Well.. OK, aku tidak akan pernah mengecewakanmu, aku janji. Oh ya Marg, kita ke rumah Fez dulu, ya? Aku ingin bertemu dengannya.”
“..Lho.. kamu tidak ingin langsung pulang..?”
“Aku ingin bertemu dulu dengan Fez.”
Kudengar Margee menghela nafas. “Ada apa?”
“Eh.. tidak kok,” sahut Margee.
Beberapa saat kemudian tibalah kami di Highgate, di Rumah Rutherford. Kami langsung menuju taman di belakang rumah, kutahu dia pasti lagi asyik melukis di sana. Sebelum sampai di sana, dari kejauhan kulihat beberapa orang tim dari GT Forrier juga sedang menemui Fez. Mereka terlihat asyik mengobrol. Rupanya Fez sekarang sudah mau menerima kunjungan dari teman-temannya, syukurlah. Mereka terlihat akrab seperti ketika Fez masih aktif di tim.
“Siapa mereka..?” tanya Margee.
“Teman-teman Fez dari Forrier. Itu, ada Shawn Renan. Partner Fez dulu. Yuk, kita sapa saja mereka,” kugamit tangan Margee.
Mereka sepertinya sudah undur diri ingin pulang, dan kami pun berpapasan dengan mereka di tengah jalan.
“Heeii,” sapa Shawn.
Kulempar senyum, “Sedang pada di sini juga, rupanya.”
“Baik sekali. Mengunjungi ‘mantan’ saingan sendiri?” ujar Dan, dengan nada sedikit menyindir.
Yang lain menimpali, “Mungkin dia merasa harus bersikap setia kawan, karena kemiripannya dengan Fez?”
“Yaa..., mungkin dia justru ingin menggembar-gemborkan prestasi dan keberuntungannya pada Fez yang sekarang ini tidak bisa lagi sepertinya,” timpal yang lain lagi.
Wah, kenapa tidak enak begini hawanya. Aku menyanggah, “Hei, kalian salah paham.”
“Fez tidak butuh dikunjungi olehmu. Pulang sana, latihan yang keras agar poin menanjak tinggi, hingga tidak ada yang bisa menyamai dan menyusulmu,” ujar Dan, tetap menyindir.
Shawn menengahi, “Hei, guys, cukup. Kita pulang sekarang,” ajaknya. “Yuk, Ike."
“Makanlah poinmu itu!” kudengar Dan berseru pelan tepat di telingaku sambil melangkah pergi meninggalkanku dan Margee.
Dinginkan kepalamu, Ike.
Margee menatap kawanan itu sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Kayak anak-anak sekali, sih, mereka? Tidak sportif!” serunya gusar.
“Marg, sudahlah.”
“Ada, ya, orang-orang seperti mereka itu di dunia sport..? Mereka lebih mirip seperti gank cewek high school! Ih, menjijikkan, menyindir-nyindir seperti itu. Apa mereka memang banci, Ike..?”
“Sudahlah, Marg. Biarkan saja mereka. Mau banci, atau apapun, ya biarkan saja. Mereka memang tidak suka padaku, dan lagi mereka tidak tahu kalau aku memang saudara kembar Fez. Sudahlah, yuk,” aku berusaha mengalihkan perhatian.
“Iya, tapi...”
Kugamit tangan Margee dan menariknya, berjalan mendekati Fez. Fez tampaknya asyik sekali melukis sampai tidak menyadari kedatanganku. Kulihat sekilas lukisannya, rupanya dia sedang menggambar pepohonan berkabut, dan ada sebuah sosok yang sedang berjalan di antara kabut-kabut itu.
“Hei, Fez,” sapaku.
Fez menoleh. “Hei! Sejak kapan datang?” sambutnya sambil membalas pelukanku.
“Baru saja.”
“Kalau begitu kau bertemu dengan teman-teman Forrierku?"
“Yeah.”
Fez melihat Margee. “Hai, Marg! Apa kabar?”
“Halo, Fez... aku baik. Kamu sendiri?” balas Margee sambil menempelkan pipi dengan Fez.
“Lihat sendiri, aku juga baik.”
Aku berdecak kagum ketika melihat lukisan Fez dari dekat, “Keren! Detail sekali!”
“Tadinya aku cuma ingin menggambar hutan lebat. Tapi sepertinya garing, kutambahkan saja cuacanya berkabut, dan ada seseorang yang berjalan di tengah kabut.”
“Kau memang berbakat. Jauh beda denganku, memegang kuas pun aku tidak bisa."
“..Jadi kamu cuma mengantarkan aku pulang, sekarang?” tanya Margee ketika aku mengantarnya pulang ke apartemen.
“Ya, sebab aku masih ada beberapa urusan dengan Fez dan papa-mama. Berhubung sekarang sudah mulai larut, dan kamu besok juga harus kerja, jadi aku antarkan kamu pulang agar kamu bisa istirahat.”
Margee tidak menyahut.
“Aku ingin memberi dia sesuatu,” kataku tiba-tiba.
“Maksud kamu.. Fez?”
“Iya. Selama ini aku tidak pernah memberikan apa-apa padanya. Dan.. apakah kamu punya ide, apa yang harus aku berikan padanya?”
Margee terdiam, “Kamu sayang sekali pada Fez, ya.”
Aku tersenyum, “Tentu, dong.”
“Kalau dibanding denganku..?”
Aku mengerutkan kening. “Maksudmu?”
“Iya.. Kalau dibanding denganku, kamu lebih sayang Fez.. atau aku?”
Pertanyaan apa itu Marg? Kenapa membuatku kesal? “Maksud pertanyaan kamu itu apa sih? Kenapa kamu bertanya seperti itu?”
“..Wajar dong kalau aku ingin tahu.. siapa di antara kami yang lebih penting untuk kamu?”
“Kamu itu kekanak-kanakan, ya!” ujarku ketus. “Hal seperti itu yang kamu tanyakan! Kenapa, apa kamu cemburu? Huh? Kamu, cemburu sama laki-laki? Aneh! Apa yang ada di otak kamu itu aneh, tahu??”
Margee sepertinya tersinggung. Hey, kamu duluan yang membuat aku tersinggung. “Kok kamu malah marah sih? Aku kan bertanya baik-baik!” protesnya.
“Ya, kamu bertanya baik-baik, tapi apa yang kamu tanyakan itu tidak baik! Kamu itu kekanak-kanakan! Mana bisa kedua hal yang kamu ributkan itu dijadikan bahan perbandingan!”
“Lho, apa salahnya sih?! Aku kan cuma ingin tahu..”
Aku segera menyela, “Aku sayang sama Fez, karena dia saudaraku! Saudaraku! Saudara kembarku, malah! Apa aneh kalau aku menyayangi saudaraku sendiri, huh? Sementara kamu, aku menyayangimu, itu perasaan sayang pria terhadap wanita! Masa kamu tidak bisa membedakan yang mana eros dan yang mana agape, sih! Coba, seandainya aku cemburu pada sepupu kamu Angie, karena kamu menyayanginya, apa kamu tidak akan marah terhadap kecemburuanku itu?!”
Margee seketika terdiam begitu menyadari kenaifannya.
“Kamu itu ternyata naif, ya!” ujarku galak. “Margee, aku menyayangimu sebagai wanita yang ingin aku sayang, ingin aku percayai, dan ingin kujadikan pendamping hidupku! Jadi tolong, bedakan antara cinta eros dan cinta agape, bisa kan?”
Kami berdua terdiam beberapa saat.
Kemudian Margee berkata dengan lirih, “Maaf ya Ike.. Aku memang naif. Aku salah. Aku cuma lagi kangen kamu, aku sebenarnya ingin menghabiskan malam ini bersama kamu, tapi..."
Oh.
Aku langsung merasa tidak enak hati. Rupanya Margee cuma kangen padaku? Tadi aku berkata keras padanya..
Kuturunkan suaraku, “..Sorry, aku tidak peka, ya? Aku janji akan lebih banyak meluangkan waktu untuk kamu.”
Margee melempar senyum.
“Tapi aku benar-benar tidak bisa, malam ini. Aku sudah berjanji pada orangtuaku dan Fez. Besok, kamu ada waktu, kan? Aku akan jemput kamu sepulang kerja, okay? Terus setelahnya.. hmm, bagaimana kalau kita menonton? Atau dinner? Atau di rumah saja?”
“Di tempat kamu saja. Kita cari film yang bagus, terus kita nonton..! Bagaimana, mau yaa?” rajuk Margee.
Aku tersenyum. “Okay.. Baik, Tuan Putri!”
Tuan Putri yang satu ini sudah sepantasnya diperlakukan dengan istimewa.
Maka ketika aku sudah memastikan Margee sudah sampai di apartemennya dengan selamat, aku langsung memastikan pintu apartemennya sudah terkunci.
Margee keheranan kenapa aku mengunci pintu, "Lho, Ike..? Katanya mau langsung kembali ke Highgate?"
Aku berjalan mendekati Margee, "..Sebentar saja.." tanpa menunggu jawaban lagi aku langsung memeluk tubuh ramping Margee. Ia masih terlihat heran, tapi langsung mengerti begitu kutatap matanya dalam-dalam, membelai pipi dan lehernya, lalu mengulum bibirnya. Margee balas mengulum bibirku, dan sejurus kemudian lidah kami sudah saling bertaut, berpacu dengan gairah yang semakin menggelora.
Margee menggigit bibirnya, wajahnya tampak merah. "..I love you, Ikey..."
"I love you too, Marg.." kugendong tubuh Margee yang kaget dengan perlakuanku, dan membawanya masuk ke dalam kamar. Gadis itu langsung kurebahkan di atas ranjang, dan, tanpa kusadari nafasku semakin memburu ketika membuka kancing blusnya sedikit tergesa. ".. I love you Margee. I love you.." bisikku berulang tepat di telinga Margee. Kucumbui dirinya dan kubiarkan tanganku berkelana menelusuri tubuhnya.. dan cerita ini cukup sampai di sini, privasi!
Aku pergi dari apartemen Margee setelah memastikan Margee tergolek letih di atas ranjangnya dengan muka yang merona puas. Rasanya tidak ada yang lebih memuaskan bagiku selain membuat pasanganku terpuaskan luar dan dalam. Aku jadi lebih tenang meninggalkan Margee untuk malam ini. Sabar Marg, besok aku milikmu seutuhnya. Monopolilah aku sesukamu, semalaman.. Sementara keesokan paginya aku sudah harus berangkat ke Melbourne. Oh, aku ingin libur lebih lama ...
Tidak lama aku pun sampai di rumah Rutherford, dan mendapati Fez masih asyik berkutat dengan lukisannya, padahal hari sudah gelap.
“Belum selesai juga, lukisan itu?”
Fez menoleh. “Hey, lama sekali kau?”
Aku terkekeh. “Yaa, tidak apa dong. Namanya juga anak muda,” aku menarik kursi dan duduk di samping Fez.
Fez menatap wajahku dengan cermat. Apa-apaan kau? “Hmm.. Wajah segar padahal belum mandi, plus bercak-bercak merah di leher.. Ok, sekarang aku tidak ragu, deh. Kau memang seorang pria normal,” guraunya meledek.
Sialan!! Spontan kutinju bahu Fez. “Sial! Jeli sekali kau!” sahutku sambil terbahak.
Fez menjawab, "Kaki boleh lumpuh tapi mataku tidak, bro." Dia melanjutkan lukisannya, “Tanggung nih, sedikit lagi.”
“..Kau sangat menyukai lukisan, ya.”
“Yeah. Bisa dibilang begitu.”
“Jadi, apa saja sih yang kau senangi? Ehm, maksudku, apa yang paling kau senangi?”
“Mobil-lah. Apa lagi.”
Aku terdiam.
Fez tertawa. “Sekarang sih sudah mustahil ya! Yeah.. paling, sekarang aku fokus pada lukisan saja. Atau mungkin, aku akan menuruti saran Royce waktu itu, aku akan mengadakan pameran. Siapa tahu, lukisanku laku dijual. Semoga saja.”
“Well, aku yakin lukisan-lukisanmu itu bernilai jual tinggi, Fez. Tapi omong-omong, memangnya mobil apa yang kau suka?”
"Kau tidak lihat koleksi mobilku, huh? Lamborghini, Bentley, Bugatti! Semacam itulah! Terakhir aku sedang mengincar Maserati, tapi aku tidak berani berpikir, aku tidak akan mungkin tampil keren di balik kemudi sementara keadaanku seperti ini kan?" Fez menghela nafas. "Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan pada mobil-mobil kesayanganku itu.. tolong kau saja yang rawat, Ike? Tapi apa kau bisa? Kulihat sepertinya kau tidak terlalu menggilai mobil. Padahal kau pembalap, cukup aneh sih."
"Aku suka mobil, aku memang belum menunjukkan koleksiku saja padamu," aku terkekeh. "Well, kalau kau memang serius, aku bisa merawat mobil-mobilmu. Percayakan padaku."
"Ok! Kupercayakan padamu."
Aku menghela nafas. "Bugatti.. Maserati. Seleramu memang bagus, Fez."
"Hell, tentu saja! Hal yang satu itu tidak perlu kau ragukan!"
Memang Fez tidak akan mungkin lagi mengendarai mobil. Terkecuali mobil itu otomatis. Setahuku pabrikan mobil yang sudah mengembangkan teknologi otomatis, baru BMW. Hanya bentuk mobil itu terlalu biasa.. tidak seperti koleksi mobil-mobil Fez yang eksotis itu. Kutatap Fez yang masih asyik menyapukan kuas pada kanvas. Aku memang harus memberinya sebuah hadiah, setidaknya sekali seumur hidup. Hadiah yang kuharap tidak akan pernah terlupakan oleh Fez. Dan kalau kuberi dia mobil otomatis, tentunya dia akan menyukainya kan? Ada baiknya aku terbang ke Jerman dalam waktu dekat ini, dan mencari info lebih lanjut tentang mobil otomatis keluaran BMW.
Chapter 24. 20 Maret 2004
Suatu malam, Fez sedang berbicara melalui ponsel di dalam kamarnya.
“Bagaimana, kutunggu jawabanmu segera,” ujar Fez.
“Fez, hal ini sungguh berbahaya!” tegur suara di seberang.
“Aku tidak peduli,” jawab Fez. “Yang jelas, aku tidak mau menjalani sisa hidupku di atas kursi roda sialan ini,” lanjutnya.
Rowan Hetherington, dokter pribadi Fez, menjawab sambil asyik memainkan pena yang dipegangnya, “Itu berarti kau mempertaruhkan nyawamu!”
“Aku sudah biasa mempertaruhkan nyawaku.”
“Dengar, Rutherford. Dengan tegas kukatakan, aku, menolak melakukan hal itu. Resikonya sangat tinggi, kau tahu? ..K,kau... Aku heran, kau lebih menyayangi kakimu, daripada nyawamu sendiri, ya?”
Fez mengerutkan alis, tidak percaya, “..Percuma saja selama ini aku mempercayaimu, bahkan membayarmu tinggi sebagai dokter pribadiku, Rowan! Atau... kau memang tidak profesional?”
“Kau yang tidak mau mengerti!” ketus Rowan kesal.
“Berapa sih, yang kau butuhkan? Huh? Kau cukup sebutkan berapa nilai yang kau minta untuk memenuhi permintaanku kali ini! Semudah itu, Rowan. Pikirkanlah.”
Rowan terdiam.
Juni 2004.
Kediaman Beauregard.
Royce sedang asyik mengobrol dengan lawan bicaranya melalui ponselnya.
“Selamat, ya! 3 – 1 atas Spanyol. Kau memang luar biasa, bro. Inggris sekarang lolos ke delapan besar,” ujar suara di seberang, Isaac, yang sedang asyik berkutat dengan laptopnya dengan earphone terpasang pada telinganya.
Royce tersenyum, “Thanks. Tapi bukan aku saja yang berperan, Ike.”
“Aku yakin, Inggris masuk final dan menang.”
“Ah, kau. Itu tergantung usaha dan juga peruntungan kami nanti.”
“Oh ya. Kudengar, Fez selalu datang ke stadion setiap Inggris bertanding?”
“Ya, begitulah. Padahal sudah dilarang-larang agar dia tidak kecapekan. Tapi tetap saja saudaramu itu keras kepala. Mentang-mentang Piala Dunia kali ini diadakan di Inggris.”
Isaac tersenyum, “Tapi ada yang menemaninya, kan?”
“Iyalah. Kalau tidak bersama orangtua kalian, ya orangtua angkatnya. Oya, aku juga belum mengucapkan selamat padamu. Seri ke-7 kemarin kau berhasil memenangi lomba, kan? Selamat, Ike!”
“Thanks, Beau.”
“Lalu siapa juara klasemen sementaranya?”
“Sayangnya bukan aku. Tapi Morten Gronbæk, pembalap dari Charlemagne Racing. Aku dan dia saingan sejak seri pertama tahun ini.”
“I see. Kau dan Morten itu, terpaut berapa poin?”
“...Poin kami sama.”
“Keren! Aku yakin, bukan hal yang sulit untukmu menjadi juara dunia F1 2004.”
“Thanks atas keyakinanmu, Beau. Kuharap juga begitu.”
“Lalu kau sekarang ada dimana?”
“Jerman. Jadwal tahun ini padat! Terkadang aku merasa lelah dan bosan. Apakah kau kadang merasakan hal yang sama?”
“Tentu. Capek sih pasti. Apalagi sedang event besar seperti ini.”
“Yeah. Kita hanya harus berusaha sebaik mungkin, dan percaya bahwa semua ini sudah ada yang mengaturnya. Okay, Beau. Good Luck ya!”
“Kau juga, Ike, good luck!”
“Yuk, bye,” ujar Isaac menutup percakapan. Kemudian dia melanjutkan aktivitasnya yang sempat terhenti, yaitu memasukkan video diary ke website miliknya.
Royce dan tim nasional Inggris makin mengangkat citra Inggris di mata publik. Inggris menaklukkan Prancis di perempat final, satu gol tanpa balas. Kemudian di semifinal mereka bertemu juara Piala Eropa, Italia. Dan Inggris berhasil membungkam lawan mereka tersebut, dengan skor 4 – 3, melalui drama adu penalti. Hasil mengagumkan itu mengantarkan Inggris ke final, dan bertemu dengan raksasa Amerika Selatan, Brasil.
Chapter 25. Magnum
Aku menonton ulang pertandingan semifinal Piala Dunia Inggris versus Italia. Benar-benar menegangkan, terutama saat drama adu penalti. Kedua negara punya kiper yang andal, dan saat semifinal itu terbukti kiper Inggris lebih beruntung karena bisa memblok dua tendangan penalti lawan. Yang paling membuatku terkesan adalah, bagaimana Royce Beauregard, sang bintang The Three Lions melakukan peranannya dengan sempurna sebagai seorang eksekutor.
Sekilas melihat tendangan penaltinya, rasanya dia seperti tidak bersungguh-sungguh menendang, bisa kulihat sendiri kakinya hanya sedikit menyentuh bola. Bola yang ditendangnya pun tidak melambung tinggi dan keras, seperti yang dilakukan para eksekutor penalti lainnya. Tapi meskipun begitu kiper lawan gagal mengantisipasi tendangan Beauregard yang berhasil membobol gawangnya. Tendangan yang anggun dan sombong, begitu menurut komentator.
Well. Kau memang sungguh seorang pemain bola yang hebat, bisa membawa Inggris ke partai puncak perhelatan Piala Dunia. Sepertinya kau sangat layak mendapatkan sebuah hadiah sebagai penghargaan atas usahamu selama ini. Kau tahu, aku sudah menyiapkan hadiah kecil untukmu, Beauregard. Kuharap kau menyukainya. Sampaikan salamku pada seluruh teman-temanmu di timnas juga, okay?
Final Piala Dunia 2004, aku sudah stand by di stadion. Aku ingin menjadi saksi kemenangan Inggris atas Brasil, malam ini. Entah kenapa aku punya feeling Inggris akan mengalahkan Brasil. Inggris punya ujung tombak yang bernama Royce Beauregard, kan? Dia berpeluang mendapat banyak penghargaan. Aku yakin itu. Dan aku juga akan ikut berpesta pora jika benar Inggris menang.. Pesta dengan caraku sendiri. Pesta yang menyakitkan..
Babak pertama, masih lumayan membosankan. Pertandingan dimonopoli Brasil, terlihat dari statistik ball position, 55 : 45 untuk Brasil. Lebih dari 10 kali aku menguap lebar.
Babak kedua lumayan seru. Inggris lebih banyak menguasai bola. Tekel lebih sering terjadi, tapi tetap tidak ada yang berhasil menembus gawang lawan. Penantian itu akhirnya terbayar pada menit ke-73, sebuah umpan silang Brad Fowler dari kiri disambar oleh Royce Beauregard dengan sundulan untuk memperdayai kiper Brasil, Carlos Bernoldi. 1-0. Serentak ofisial dan seluruh pemain Inggris tenggelam dalam kegembiraan. Puluhan ribu suporter Inggris pun turut larut dalam kegembiraan.
Keren. Golden Ball Award di tanganmu, Beauregard.
Pasca gol, kesebelasan Brasil masih terus menyerang, berkali-kali gawang Inggris terancam. Namun kiper Inggris masih dalam kondisi on fire malam ini, dan juga kerja sama tim yang solid membuat usaha Brasil menembus gawang Inggris sia-sia belaka. Keadaan itu berlangsung sampai wasit meniupkan peluit panjang tanda pertandingan usai. Langsung terdengar gemuruh riang dari semua pendukung Inggris, melakukan selebrasi atas kemenangan Inggris di partai final Piala Dunia 2004. Di luar sana, semua orang tentu turun ke jalan merayakan kemenangan sang tuan rumah. Aku harus segera pulang sekarang.
Aku masih duduk berdiam diri di dalam mobil di depan rumah. Aku memperhitungkan, seremoni penyerahan Piala Dunia tentu sekarang sudah selesai. Mereka masih dalam euforia, suka cita yang begitu besar. Jika kuberi sedikit kejutan di tengah-tengah euforia itu, sepertinya seru.
Tombol pemicu ledakan sudah ada di tanganku. Tinggal kutekan tombol merah ini, hancurlah stadion tempat pesta Piala Dunia berlangsung. Semakin banyak korban yang jatuh, psikopat sepertiku semakin puas. Haha. Kurasa aku bisa orgasme karena hal ini.
Operasi kali ini bukan perintah Dillinger. Hell, dia tidak ada inisiatif semacam ini, tapi dia sudah memberiku izin. Ini murni keinginanku sendiri, aku bekerja sendiri, aku merencanakan sendiri, aku mengeluarkan modal sendiri, dan aku mengeksekusi sendiri. Dibantu seorang teman, tentu. Tidak ada tujuan untuk mengintimidasi pemerintah, sama sekali tidak ada. Memang, proyek Kembang Api Malam Natal tahun lalu tidak berhasil membuahkan hasil yang kami inginkan, dan herannya Dillinger seperti tidak bersemangat lagi setelah mengetahui Noah Sprague tetap duduk di kursi Perdana Menteri, seakan tidak terpengaruh pada intimidasi kelompok kami. Dia berkilah, untuk proyek terakhir itu dia sudah mengeluarkan cukup banyak uang, dan sekarang dia tidak memiliki cukup uang lagi untuk melakukan intimidasi lagi pada pemerintah agar Noah Sprague lengser.
Lalu proyek stadion Wembley saat ini? Haha, aku cuma ingin menghancurkan hidup salah seorang pemain bertalenta dari timnas Inggris yang saat ini sedang di puncak karirnya. Yaitu pemain yang malam ini menjadi Man of the Match Inggris dan peraih Golden Ball Award, Royce Beauregard. Tapi jika operasiku kali ini sukses, bisa membuat pemerintah semakin terintimidasi oleh keberadaan kelompok kami. Dan siapa tahu mereka jadi berubah pikiran dan mau mengikuti kemauan kami yang selama ini belum dikabulkan oleh mereka. Itu menurut Dillinger. Apapun, Dillinger. Yang penting tujuanku sendiri tercapai.
Aku sengaja tidak memasang alat peledak berat seperti yang biasanya, aku tidak ingin Beauregard malah mati dalam kejadian ini. Aku cuma ingin sedikit bermain-main dengan nasib anak itu di kemudian hari. Harap maklum ya, Beauregard.
Dan aku menekan tombol pemicu ledakan sambil tersenyum.. Suara ledakan keras terdengar dari kejauhan, buatku itulah suara yang paling merdu.. Malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak!
-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-
No comments:
Post a Comment