Copyright © 2014 CamilleMarion All Rights Reserved
James Renauld, seorang pria paruh baya
berambut keabu-abuan, sedang asyik menikmati kopi pahit favoritnya, pagi itu,
ditemani oleh Evelyn, istri setianya.
Mereka sedang membicarakan putra mereka,
Isaac, yang pada Grand Prix kemarin mendapatkan poin perdananya pada musim itu.
Mereka sangat bangga pada putra mereka, dan terus mendoakan putra kesayangan
mereka itu agar semakin sukses dalam karir dan mendapatkan semua yang
dicita-citakannya.
Obrolan itu terhenti ketika telepon di
ruang tengah berdering. James bangkit berdiri dan menjawab telepon itu.
Evelyn sedang menuang kopi untuk dirinya
sendiri ketika suaminya datang sambil membawa koran pagi. “Siapa yang
menelepon?” tanyanya.
James menarik kursi dan duduk, “Isaac.
Dia titip salam pada mamanya.”
Evelyn menyesap kopinya. “Lalu? Dia
menelpon cuma untuk mengatakan itu saja?” tanyanya lagi. Matanya yang coklat
tampak bertanya.
“Dia mengatakan akan pulang ke sini, hari
rabu,” jawab James sambil membolak-balik koran, mencari artikel yang
dianggapnya menarik. Tak menemukan apa yang dicarinya, dia kembali pada halaman
pertama dan melihat artikel yang mengulas Grand Prix Formula 1 seri pertama
kemarin, berikut dengan fotonya, yang menjadi headline koran itu. “Hey, ada
artikel tentang Grand Prix kemarin,” ujarnya.
“Oya?” sahut Evelyn sambil menggeser
duduknya, ingin ikut membaca artikel tersebut.
Artikel itu diberi judul dengan huruf yang
dicetak tebal :
Persaingan Ketat yang Tak Pernah Usai,
Glauber vs GT Forrier
Apakah seorang Jose Rudolpho Alvarez
sebagai Juara Dunia F1 lima kali merasa gondok karena dipecundangi pembalap
muda berbakat, Ferris Rutherford?
Alvarez berkilah, sangat sulit menyalip
di sirkuit Monza, dan menurutnya Rutherford sedang bernasib baik hingga bisa
menyalipnya. Dan itulah yang membuat dia gagal meraih podium pertama. Pembalap
berusia 35 tahun itu bertekad untuk mengerahkan segenap kemampuannya dan
merebut posisi juara dunia untuk keenam kalinya. Hal itu dilakukannya untuk
Glauber, sebagai kenang-kenangan yang terakhir darinya. Sebab setelah musim
2002 ini, Alvarez memutuskan untuk pensiun dari balap jet darat yang
membesarkan namanya .....
Namun kemudian Evelyn terpaku begitu melihat
foto yang terpampang di koran itu. Foto Ferris Rutherford sedang mengangkat trofi dengan wajah ceria penuh percaya diri di atas podium, sebagai ekspresi atas kemenangannya di seri pertama
itu. Wajah Ferris terlihat begitu jelas di foto itu.
“Jim...!” desis Evelyn, sambil
mencengkeram lengan James erat.
James menoleh. “Ada apa?”
“..D,dia...” ucapnya terbata sambil
menunjuk foto Ferris.
“Oh. Dia kan Ferris Rutherford.
Pemenangnya! Dia itu orang yang
pernah diceritakan Isaac pada kita, Eve. Orang yang berwajah mirip
dengan Isaac. Aku pernah sekali dua kali bertemu dengannya ketika aku menemani Isaac bertanding, dan memang mereka terlihat mirip. Bagaimana menurutmu?”
“...Bukan hanya mirip, Jim...! Jim,
jangan-jangan dia....”
“Kenapa? Ada apa sih, Eve?”
“Jim, dia begitu mirip..! Dia sangat
mirip dengan Isaac...! M,mungkinkah... mungkinkah orang ini adalah...”
“Eve..! Tenangkan dirimu! Sebenarnya apa
sih yang ingin kau katakan?” tanya James seraya menenangkan istrinya.
“James! Bagaimana bisa kau tidak
menangkap apa maksud perkataanku? Kau lupa? Kau tidak ingat, dosa besar yang
dulu kita lakukan? Apa yang kita cari selama dua puluh tahun lebih ini, sampai
akhirnya kita putus asa?” tegur Evelyn dengan suara bergetar.
James terdiam berjenak. “...T, tapi
Eve... ini tidak mungkin. Tidak mungkin orang yang ada di foto ini, adalah dia!
Tidak mungkin sekebetulan ini, Eve!”
“Kenapa tidak? Segala hal mungkin saja
terjadi, Jim..! Dan... dan lagi.. naluriku mengatakan... memang inilah dia...”
“Eve! Jangan terlalu yakin akan intuisimu
semata. Orang yang berwajah mirip di dunia ini banyak, aku yakin. Belum tentu
Ferris Rutherford ini... adalah..”
“Kemungkinan selalu ada, Jim. Minta Isaac
untuk mempertemukan kita dengan orang ini. Kita akan buktikan apakah naluriku
memang salah, atau benar. Kau pikir, dari siapa Isaac mewarisi bakat dalam
membalap? Dari ayahmu! Dan sekarang, ada orang yang seumuran dan berwajah mirip
dengan Isaac, memiliki bakat yang sama pula, apa kau pikir itu juga sebuah
kebetulan?”
James terdiam.
Stamford Bridge Stadion, 24 April 2002
Partai final Piala FA.
Ferris dan teman-teman akrabnya di tim GT
Forrier menyempatkan diri untuk menonton pertandingan final itu secara
langsung. Pertandingan final antara dua tim besar dari Liga Primer Inggris,
Brandt versus Larx United, untuk memperebutkan Piala FA.
“Royce tahu kau datang hari ini, Fez?”
tanya Dan, ketika kedua tim sudah memasuki lapangan.
Fez mengangguk. “..Hey, guys. Entah
kenapa aku masih penasaran dengan kekalahanku dari Alvarez di Nürburgring hari
minggu kemarin. Bisa-bisanya dia menekanku habis-habisan sebelum akhirnya dia
berhasil merebut posisiku dengan sukses! Sialan,” gerutunya.
“Hey, sudahlah. Toh kau tetap naik
podium, kan? Dan kau tetap mendapat poin! Kau sadar, di saat pembalap-pembalap
lain sangat mensyukuri dan senang karena bisa meraih poin, apalagi naik podium,
kau malah mencak-mencak! Tidak banyak pembalap yang punya keberuntungan sebesar
peruntunganmu..! Dasar ambisius,” sahut salah seorang temannya.
Fez menjawab, “Hell, apa yang terjadi
dengan pembalap-pembalap dari papan bawah sama sekali bukan urusanku! Aku harus
terus meraih poin sempurna! Tapi pada kenyataannya sekarang? Aku kalah dalam GP
kemarin, dan yang kudapat bukan poin yang sempurna. Dan gara-gara itu, poin
Alvarez menjadi bertambah dekat dengan poinku. Fuck.”
“Apa sih buruknya podium ketiga?”
“’Apa sih buruknya podium ketiga?’ Gila.
Hal seperti itu masih juga kau tanyakan? Buruk.
Jelas buruk. Buatku,” ujar Fez.
“Hey, kita sedang menonton bola secara
langsung nih! Nikmatilah saat-saat seperti ini. Untuk apa kau masih mengungkit-ungkit
yang sudah lewat? Masih tersisa 14 seri lagi buatmu untuk unjuk gigi.”
“Yeah, apalagi seri berikutnya di
Silverstone, di kandang kita sendiri. Kau bisa balas ‘meneror’ Alvarez
nantinya.”
Fez terdiam sejenak. “Well...” ujar Fez
sekenanya. Dia melihat kedua skuad bergengsi itu sudah mengambil posisi di
tempatnya masing-masing. Royce, sahabatnya, berdiri di garis terdepan timnya,
tampak sedang mengambil nafas, menenangkan dirinya sendiri.
Peluit berbunyi.
Pertandingan pun dimulai, diiringi riuh
rendah penonton yang begitu antusias. Kedua tim ternama itu saling menyerang,
dan berusaha mencetak gol. Setelah melalui perjuangan yang sulit, salah seorang
gelandang Larx berhasil menceploskan bola ke gawang Brandt melalui tendangan
jarak jauh andalan gelandang itu pada menit ke-38. Para pendukung Larx bersorak
gembira.
“..Wah, satu kosong, sekarang,” gumam
Fez.
Namun beberapa menit sebelum babak
pertama berakhir, Royce menyamakan kedudukan. Berkat kerja sama yang apik,
rekan-rekan Royce memberikan umpan yang sangat bagus pada Royce dan Royce
meneruskan umpan itu dengan sempurna, serta mengecoh kiper lawan. Kedudukan
1-1. Pendukung Brandt bersorak. Suasana di stadion kian memanas.
“Memang beda kalau menonton secara
langsung di stadion. Menegangkan,” ujar Dan ketika wasit meniup peluit tanda
berakhirnya babak pertama.
“Memang. Baru tahu?”
“Kedudukan jadi 1-1, nih. Kira-kira babak
kedua nanti gimana, ya?”
“Brandt pasti menang. Yakin, deh.”
“Yeah, ada Royce si ujung tombak.”
Fez hanya tersenyum mendengar obrolan teman-temannya
itu.
Babak kedua dimulai.
Hingga pada menit ke-75, skor kedua tim
yang sama kuat itu tetap 1-1. Saat itu Larx sedang gencarnya melakukan serangan
pada Brandt. Ketika serangan itu berlangsung di daerah kotak penalti, bola yang
sedang dibawa oleh Larx terkena tangan lawan. Wasit meniup peluit dan menunjuk
titik penalti. Pendukung Larx serentak bersorak gembira.
“Wah..alamat buruk nih."
“Well, jika eksekusi ini berhasil, Royce
cs harus kerja keras,” sahut Fez.
Seorang pemain muda berbakat dari Larx
United, yang mendapat kesempatan untuk mengeksekusi tendangan penalti kali itu,
sudah berdiri kokoh di sana, siap melakukan tendangan penalti.
Peluit berbunyi. Pemain Larx itu terdiam
sesaat, sebelum kemudian mengambil ancang-ancang dan menendang bola tepat
menuju ke arah gawang. Kiper Brandt yang sudah menduga arah bola itu sejak
awal, melentingkan tubuh dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berusaha
menjangkau bola..
Namun bola itu melewatinya. Bola yang
hanya berjarak beberapa inchi saja darinya itu lolos.... dan membuahkan gol.
Para pemain Larx serentak berlari dan bersorak-sorak gembira. Seluruh pendukung
Larx pun turut bergembira.
Tinggal sepuluh menit sebelum babak kedua
usai. Brandt semakin gigih dan ‘ganas’, berusaha mencetak gol, satu saja, untuk
menyamakan kedudukan. Sehingga pertandingan bisa diperpanjang hingga 120 menit.
Salah seorang pemain Brandt saat itu
sedang melakukan tendangan pojok, sementara Royce dan pemain lainnya menunggu
di depan mulut gawang. Bola melambung tinggi, Royce berusaha memanfaatkan
tendangan itu melalui sundulan kepala. Namun ketika dia akan melakukan
lompatan, pemain Larx yang berdiri di sampingnya juga melompat, dan mereka
bertubrukan. Royce jatuh terjerembab, bertumpukan bahu kanannya. Pertandingan
terhenti sesaat, dan Royce pun meninggalkan lapangan lantaran tidak sanggup
menahan rasa sakit di bahunya.
Pendukung Brandt kecewa, juga cemas atas
Royce. Mereka takut permainan Brandt tidak lagi tajam setelah Royce
meninggalkan lapangan. Namun, Brandt adalah tim yang tangguh, salah satu tim
yang paling solid di Liga Primer, liga
terpanas sejagad. Kepergian Royce dari lapangan tidak membuat serangan mereka
melemah. Mereka tetap tajam dan berupaya keras menyamakan kedudukan menjadi
2-2. Tapi yang kini mereka hadapi juga merupakan tim yang solid, sehingga upaya
mereka untuk menciptakan gol tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kerja keras mereka berakhir setelah wasit
meniup peluit panjang tanda pertandigan telah usai, dan skor tetap 2-1, untuk
Larx United. Serentak ofisial dan seluruh pemain Larx tenggelam dalam
kegembiraan. Puluhan ribu suporter Larx juga turut larut dalam kegembiraan.
“Runners up..?” ujar Dan.
“Yeah, kasihan Royce. Benarkah dia
cedera?”
Fez menyahut, “Hell, dia tidak apa-apa,
kan?”
Acara dilanjutkan dengan penyerahan
medali pada tim yang menduduki posisi runner-up, yaitu Brandt. Seluruh pemain
Brandt dikalungi medali perak. Pesta penyerahan trofi piala FA pun digelar
sesudahnya. Para pemain, pelatih, dan ofisial tim Larx kemudian minum sampanye
untuk merayakan kemenangan tersebut.
Royce yang akan kembali ke ruang ganti
bersama teman-temannya, menoleh ke arah penonton di tribun – ke arah Fez cs,
yang seperti biasa, berada di tribun eksklusif – dan menggerakkan kepalanya
sambil tersenyum.
Fez membalas senyum Royce dan balas
menggerakkan kepalanya.
“Masih bisa tersenyum.. Kusangka dia tipe
yang cepat suntuk sepertimu, Fez,” komentar Dan.
Fez menjawab, “Dia tidak terobsesi untuk
menang secara pribadi. Dia bermain karena dia benar-benar hobi dan mencintai
dunianya ini. So, dia kalah atau menang, dia santai, yang penting dia sudah
mengerahkan seluruh kemampuannya.”
“Wah! Jauh beda denganmu! Kalau kau, kau
selalu terobsesi untuk menang dalam tiap seri GP! Apalagi seri keempat hari
minggu kemarin, baru menempati podium ketiga saja sudah mencak-mencak. Ya kan?”
“Yaah.. yeah...penting ya, ungkit-ungkit?”
sungut Fez.
Chapter 7. Margot Eglantyne Carol Bainbridge
Hari minggu itu seperti biasa, aku sudah
duduk dengan manis di depan layar televisi. Memerhatikan dengan sungguh-sungguh
percakapan para pembawa acara yang mengulas tentang perkiraan bagaimana
jalannya pertandingan balap Formula 1 kali itu, yang akan dimulai beberapa saat
lagi. Ah.. tiap kali menonton F1 racing, aku selalu berdebar, berharap yang
terbaik untuk jagoanku, Isaac Renauld. Aku tahu mobilnya tidak setangguh
tim-tim lawan.. tapi aku tahu, Isaac itu tipe pejuang yang hebat, dia tidak
akan menyerah hanya karena mobilnya tidak secepat mobil lainnya.. dan aku
selalu berharap yang terbaik untuknya!
Pernah saat itu, sewaktu Isaac pertama
kali meraih kemenangannya di kancah Formula 1, aku sampai menangis saking
terharunya.. dan saking senangnya aku karena bisa melihat Isaac berdiri dengan
gagahnya di atas podium, mengangkat trofi kemenangannya tinggi-tinggi sambil
tersenyum dengan lebar. Dia bukan hanya tampan.. tapi juga baik, murah hati, gentle,
dan.. siapa sih wanita yang akan menolak pria seperti Isaac..?
Hanya bodohnya aku, aku tidak pernah
punya keberanian untuk mendekati dia walaupun aku punya banyak kesempatan untuk
melakukannya. Ah-ha, pasti kalian heran mengapa aku bisa berkata seperti itu.
Yea, kalian harus tahu.. Aku dan Isaac dulu satu sekolah. Sejak high school aku
satu kelas sama dia, dan membentuk kelompok gank sendiri bersama-sama dengan
teman-teman kami yang lain. Dan.. aku sudah menaruh hati pada Isaac sejak aku
pertama kali mengenalnya. Seharusnya banyak kesempatan buat aku untuk mendekati
Isaac, tapi entah mengapa aku tidak pernah berani.. aku selalu diliputi rasa
ragu untuk melakukan pendekatan, walaupun sebenarnya sikap Isaac pada diriku
pun hangat, seperti sikapnya terhadap teman-teman yang lain.. Dan sekarang aku
hanya bisa menyesali kenapa aku selalu tidak pernah mau melakukan pendekatan
padanya, karena aku menyadari aku masih menyimpan perasaan khusus terhadapnya
sampai sekarang ini.. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, dari layar
televisi.. dan hanya bisa menahan rasa cemburuku ketika melihat fotonya bersama
dengan pacarnya yang bernama Tanya itu. Uh.. Kenapa aku bisa sebodoh itu..??
Beberapa kali aku mencoba menjalin
hubungan dengan pria, tapi tidak ada satupun dari mereka yang bisa membuat aku
merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan terhadap Isaac. Bukan main ya,
manusia satu itu.. teganya membuat gadis manis seperti diriku ini menderita
sekian tahun lamanya..!
"Hei!!" aku tersentak kaget
ketika Angie datang dan menepuk bahuku.
Angie, ia saudara sepupuku sekaligus juga
salah satu anggota gank high school aku dan Isaac. Kami berdua tinggal di rumah
yang sama, berhubung tempat kerja kami berdua pun jaraknya tidak begitu jauh.
Ia saudara yang manis, tapi juga kadang suka cerewet dan menjengkelkan.
"Apa Ngie, kamu bikin kaget
saja.." sahutku malas.
"Masih belum bosan, dukung si
Ikey?" katanya sambil menghempaskan tubuhnya di sampingku.
"Maksudmu?"
"Ya itu, maksudku, kamu masih
mencintai Ike, kan? Padahal kamu tidak pernah mau mendekati dia, untuk apa juga
kamu masih menyimpan rasa terhadapnya?"
Aku menghela nafas. ".. Usil banget
sih kamu? Suka-suka akulah, aku masih cinta dia kah, atau aku masih setia
dukung dia kah, memangnya apa urusanmu?"
"Ya habis kamu tolol sih! Sudah
ratusan kali, ribuan kali malahan, aku mendorongmu supaya kamu mau make a move
sedikit saja, dia itu baik kok! Dia itu.... aku heran kenapa sih kamu tidak
pernah mau mendekati dia? Sekarang dia sudah punya pacar, sudah berapa tahun
dia memacari Tanya, kurasa sih mereka sebentar lagi akan segera menikah, lalu
kamu? Masih mau stuck begitu-begitu saja, mengharapkan sesuatu yang tidak
pernah kamu kejar?"
Uh.. Aku malas menanggapi kata-kata Angie
yang nyinyir. Jadi aku diam saja.
"Margee," panggilnya.
Aku tetap cuek.
"Margee!"
"Diam ah, sebentar lagi pertandingan
mulai!" sahutku akhirnya.
Terdengar Angie menghela nafas kesal.
"Kamu tuh ya! Aku benar-benar capek ngomong sama kamu, aku cerewet begini
kan demi kamu juga..! Pacarmu yang terakhir, menurutku dia pantas untukmu,
cakep, easy going, sudah mapan pula, kenapa juga kamu malah memutuskan hubungan
kalian.. malah lebih mengharapkan cinta pertamamu yang sama sekali tidak pernah
kamu perjuangkan! Bingung aku dengan cara pikirmu Marg, benar aku
bingung!"
"Ya sudah urus saja urusanmu
sendiri.."
"Ihh!!" Angie mencubit lenganku
keras-keras. "Kalau begitu kenapa kamu tidak pernah menonton langsung
pertandingan F1? Hari ini lagi di Silverstone, sejauh apa sih
Birmingham-Silverstone? Jangan bilang kamu tidak ada uang.. menabunglah, Marg.
Lalu kamu nonton di sana, ajak ketemuan si Ike, tidak mungkin kan dia tidak
senang lihat temannya ada yang datang dukung dia tanding. Tempo lalu sewaktu
aku dan yang lain ramai-ramai menonton dia tanding, kamu tidak mau ikut
sih."
"Ya waktu itu kan aku masih belum
dapat pekerjaan Ngie, kamu rese sekali sih."
"Nah makanya! Karena kamu sekarang
sudah punya, menabunglah! Datangi si Ike, kalau perlu kamu pakai pakaian yang
seksi supaya dia gimanaaaa begitu melihatmu.."
Apa-apaan! Memangnya aku wanita
gampangan! Aku memelototi Angie, eh dia malah cengar cengir. Ufff gondok
rasanya aku..!
Chapter 8. Royce Beauregard
Aku sedang senggang, dan berhubung
pertandingan F1 kali itu berlangsung di Silverstone, aku memutuskan untuk
menemani Fez tanding. Ini kesekian kalinya aku menemani Fez di motorhome, dan
aku pun sudah hafal dengan anggota-anggota tim GT Forrier yang selalu bersikap
hangat menyambut kehadiranku.
Ketika aku baru saja tiba di motorhome,
kulihat Fez keluar dari ruang istirahatnya, sudah berpakaian lengkap. Sudah
siap tanding, rupanya. Dia langsung sumringah begitu melihatku, dan menyapaku
dengan riang. Sahabatku yang satu ini memang selalu terlihat optimis, ceria dan
bersemangat, apalagi pada pertandingan hari itu Fez mendapat kesempatan untuk
memulai lomba dari posisi terdepan. Sungguh hal yang baik karena dengan begitu
peluang Fez untuk bisa menang sangat besar.
"Hey Bro! I’m glad you could make it
today. Thanks!" katanya.
"Tumben sungkan begitu."
"Itu basa basi. Hey, bagaimana
bahumu yang cedera, apa masih sakit?"
Aku tersenyum. "Much better, Fez.
Tidak usah khawatir. Cuma cedera kecil kok."
"Benar sudah fit? Hari kamis besok
leg kedua semifinal Liga Champions, sayang kalau kau sampai absen, Brandt sudah
di ambang kemenangan! Apalagi bulan depan Piala Eropa!"
"Aku ikut, Fez. Ini cedera kecil,
tidak separah yang kau kira."
Fez mengangguk. "Bagus deh. Well
Royce, kau tidak akan menyesal sudah datang ke sini, kuyakin 1000%, aku PASTI
berdiri di podium satu!"
"Amin, dan aku merasa bangga
padamu."
"Itu sudah seharusnya!" Fez
tersenyum lebar. "Allright, kutinggal dulu Royce? Sudah waktunya. Jangan
lupa siapkan kamera, kalau sahabatku sendiri yang mengabadikan gambarku ketika
aku sukses, rasanya jauh lebih berharga. OK??"
Aku tertawa ringan. "Tenang, aku
sudah siapkan lima macam kamera untuk memotretmu saat nanti berdiri di
podium."
"That's cool! Ok, bye, I'll see you
later mate!"
"See you Fez!"
Aku memerhatikan Fez bersiap, memakai
balaclava, helm, lalu masuk ke dalam kokpit. Terlihat dia berbicara
sebentar dengan salah satu anggota timnya, lalu tak lama dia membawa
tunggangannya keluar, langsung menuju starting grid pertama.
Saingan berat Fez dari tim Glauber, Jose
Rudolpho Alvarez, berada di grid keempat. Ada hal istimewa yang sejak kemarin
menarik perhatianku. Isaac Renauld, pembalap dari tim Llinos Purvance yang
notabene adalah tim kuda hitam, kemarin membuat kejutan pada dunia dengan sempat
mencatat fastest lap, catatan waktunya bahkan melebihi catatan Fez, hanya saja
catatan waktu Isaac yang tercepat itu terjadi ketika babak kualifikasi kedua.
Jika saja dia mencatat waktu terbaik ketika babak kualifikasi ketiga, tentu
saat ini Isaaclah yang berada di posisi pole! Dan dari hasil babak ketiga
kualifikasi kemarin, Isaac hanya bisa menempati posisi ketiga. Tapi menurutku,
prestasi Isaac makin ke sini makin mentereng, anak itu rupanya punya taji juga,
tidak seperti anggapan Fez yang selalu menganggap rendah Isaac. Aku sebenarnya
tidak begitu mengenal si Isaac Renauld ini, tapi karena dia punya wajah yang
memang mirip dengan Fez, mau tidak mau aku jadi mengikuti perkembangan
beritanya. Aku sendiri heran, bagaimana Ferris dan Isaac itu memiliki wajah
yang mirip, apakah mungkin mereka bersaudara? Sementara Fez selalu beranggapan
kemiripan wajah mereka hanya kebetulan belaka.
Pertandingan dimulai, Fez mengawali
pertandingan dengan sangat mulus. Tanpa halangan berarti dia bisa memertahankan
posisinya hingga setengah lap terlewati. Ini bagus, Fez tetap berada di
paling depan, dan semakin dia memacu mobilnya semakin jauh jaraknya dengan
pembalap di belakangnya, dan jika dia bisa mempertahankan posisi itu hingga 60
lap ke depan, dia tentu akan berdiri di podium satu seperti yang diyakininya.
Tuhan memberkatimu, sahabatku.
Tapi rupanya pertandingan tidak semulus
yang kukira. 15 lap setelahnya, langit berubah sedikit gelap, dan tak lama
turun hujan dengan intensitas ringan. Strategi pit stop yang direncanakan tim
bisa berubah, kataku dalam hati. Dan benar saja, Fez masuk ke pit stop dan
langsung mengganti bannya dengan ban untuk trek basah, seperti yang dilakukan
oleh pembalap lainnya. Tapi Fez dengan sukses bisa kembali ke lintasan dengan
tetap memertahankan posisinya. Great work, Fez.
Ada sedikit perubahan di posisi sementara
pembalap. Fez, tetap memimpin jalannya pertandingan, Alvarez yang sebelum masuk
pit berada di posisi ketiga kini bisa berada di posisi kedua. Isaac Renauld
tampaknya mengalami insiden kecil ketika mengganti ban, dia kembali ke lintasan
dan menempati posisi keenam. Saat-saat menjelang pit stop dan setelahnya memang
saat yang krusial dan menentukan posisi, baguslah Fez melakukan tugasnya dengan
luar biasa.
Lap demi lap terlewati dan Fez tetap
memimpin.. setidaknya sampai lap ke-58. Kulihat Fez sepertinya lengah sedikit,
dia melibas tikungan dengan agak melebar, membuat Alvarez yang semenjak tadi
menguntit di belakangnya bisa dengan mudah menyalip Fez. Fez terlihat langsung
memacu mobilnya dan terjadilah adegan side by side antara Fez dan Alvarez, sang
juara dunia lima kali. Pertarungan dua pembalap itu dimenangkan Alvarez yang
dengan mulusnya melesat meninggalkan Fez di posisi kedua. Aha, kuyakin saat ini
emosi Fez pasti naik.
Di sisi lain lintasan, kulihat Isaac
Renauld di posisi keenam tergelincir dan masuk gravel. Mungkin trek masih licin
karena hujan belum lama berhenti, menyebabkan ban mobil Isaac slip, atau
bagaimana.. Untungnya kejadian itu tidak membuat mobilnya terbentur, dan selama
mesin mobilnya tetap hidup, Isaac bisa tetap melanjutkan pertandingan yang
hanya tersisa kurang dari 2 lap lagi. Ayo Isaac, rasanya excited melihat
semangat dari tim kuda hitam sepertimu, tunjukkan kemampuanmu!
Tinggal satu putaran lagi, dah wah,
kulihat Fez sangat beringas menekan dan menguntit Alvarez dari segala arah.
Berusaha membuat Alvarez limbung sehingga Fez bisa mengovertake Alvarez,
merebut kembali posisinya seperti semula. Ini merupakan tontonan yang sangat
menarik.. Dua pemuncak klasemen sementara pembalap, terlibat pertarungan
memperebutkan posisi pertama, sementara race hanya tersisa satu putaran lagi.
Dan.. yak, chequered flag berkibar dengan
posisi Alvarez tetap di posisi nomor satu, sementara Fez nomor dua. Mungkin
memang belum jodohmu, Fez, untuk memenangi pertandingan ini. Tapi coba lihat
catatan waktu yang kau buat, luar biasa. Selisih jarakmu dan Alvarez hanya
terpaut 0,03 detik! Buatku kau tetap seorang pemenang.
Aku mengikuti tim berjalan ke parc ferme
dan menunggu kedatangan tiga pembalap yang berhasil naik podium seri kali itu.
Fez tiba pertama kali di parc ferme, tim
menyambutnya dan menyorakinya dengan riang, tapi Fez hanya melambaikan tangan
sekadarnya.
Hmm, kulihat dari sorot matamu, ada
perasaan kecewa dan marah. Ayolah, kau hanya beda 0,03 detik dari Alvarez, tapi
hal itu pun tidak membuatmu puas. Setidaknya sapalah timmu yang sudah menunggu
di sini. Sahabatku yang satu itu memang penuh obsesi, dan obsesinya harus
terwujud, jika tidak, dia pasti akan suntuk berhari-hari. Ah, aku sangat
mangenal tabiat Fez yang satu itu.
Ketika akhirnya kulihat secara langsung
wajah Fez saat muncul di podium, aku semakin yakin, dia memang suntuk. Tapi
sepertinya aku masih bisa mengerti.. selama 58 lap memimpin race, tapi pada
akhirnya kau tidak keluar sebagai pemenang, tentu menyesakkan hati.
Selebrasi di podium untuk tiga pembalap
tercepat hari itu usai, langsung dilanjutkan dengan gelaran konferensi pers.
Aku menunggu Fez di area ruang istirahat pembalap di motorhome GT Forrier.
Tak lama Fez menghampiriku, sepertinya
konferensi pers sudah selesai. Tapi wajah suntuk itu tidak akan hilang sampai
seminggu ke depan, ya Fez?
"Suntuk sekali kau," aku
langsung berkomentar.
Fez menghempaskan badan di sampingku dan
menghela nafas. "Ya, hari yang buruk."
Aku lalu mengeluarkan kamera digital dan
mengunjukkan pada Fez foto dirinya ketika di podium tadi. "Lihat, aku
sudah tepati janji akan ambil gambarmu, tapi apa! Wajah asem begitu, bukannya
pasang wajah senang. Kapan lagi aku bisa ambil fotomu berdiri di podium?"
Fez menepis kameraku, sepertinya dia
enggan melihat fotonya. "Bagaimana aku bisa tersenyum kalau aku melakukan
sepersekian detik kesalahan tolol yang membuatku jadi loser seperti ini?
Kampret."
"To err is human! Semua orang kan
wajar melakukan kesalahan bro, dan memang rezekinya Alvarez saja yang tepat
waktu menyambut kesempatan yang terbuka di depannya."
Fez melirikku dengan sinis.
"Kau itu terlalu terobsesi, take it
easy. Kau terjun ke dalam dunia ini karena kecintaan pada balap kan? Kalau kau
selalu bersikap seperti itu, bukannya kau malah terbebani?”
“Kau tidak mengerti, Royce," Fez
menghela nafas. "Kau ini sudah berapa lama sih bersahabat denganku dan
berapa lama kau paham seluk beluk dunia ini? Payah. Poinku dan Alvarez itu
susul menyusul terus. Seandainya aku selalu menang, paling tidak Alvarez berada
di bawahku, kan? Musim ini aku harus bisa mengalahkannya, itu targetku. Tidak
bisa diganggu gugat. Apalagi seri kelima ini dilangsungkan di sini, tanah airku
sendiri. Bisa-bisanya aku lengah dan membiarkan orang itu menyalipku tadi??”
Aku menggelengkan kepala, menghela nafas.
"Yea terserah, Fez. Yang bisa kukatakan, syukuri yang kau dapat.. Lihat
kembaranmu, walaupun hasil race ini tidak sesuai dengan ekspektasi, tapi dia
tetap bisa merayakannya dengan timnya."
Fez mengerutkan kening. "Siapa
maksudmu kembaranku?"
"Renauld, yang mirip denganmu itu.
Tadi kulihat dia masih bisa menebar senyum lebar begitu turun dari mobil.
Padahal dia start dari posisi tiga, dan finish di posisi ketujuh. Nasibnya
tidak sebaikmu, Fez, tapi dia masih bisa tersenyum. Tadinya posisi enam, lalu
tergelincir dan jadi posisi kedelapan. Dalam waktu satu lap dia berhasil
menyalip dan akhirnya finish di posisi ketujuh. Gigih juga kembaranmu itu
kan?"
"Berhenti menyebut orang itu kembaranku,
sialan kau. Dia bukan siapa-siapaku, aku tidak kenal."
"Oke, oke, fine."
"Well, ikutlah makan malam dengan
tim nanti, Royce. Kau tidak buru-buru mau pulang kan? Toh aku masih ingin
mengobrol banyak denganmu setelah urusan di sini selesai."
"Allright, dengan senang hati."
Dan, setelah menunggu beberapa lama,
akhirnya aku dan tim GT Forrier berangkat menuju kafe yang tidak jauh dari
Silverstone. Kafe yang sepertinya sudah menjadi langganan tim GT Forrier.
Setibanya di sana, datang lagi rombongan pengunjung, dan setelah diperhatikan,
well, itu rupanya rombongan dari tim Llinos Purvance, timnya si Isaac Renauld.
Tumben mereka makan di sini, kataku dalam hati. Orang-orang tim Llinos Purvance
menyapa tim GT Forrier dengan ramah dan kami balas menyapa mereka. Untungnya
kafe yang kami kunjungi ini cukup luas, sehingga tidak ada masalah berarti jika
ada puluhan orang dari dua tim mobil tumpah ruah di sini.
Kami makan dan minum sepuasnya. Tim
bersulang untuk raihan poin yang diperoleh Fez dan Shawn Renan, yang merupakan
hasil kerja sama mereka juga. Sementara Fez bersulang untuk kekalahan yang
didapatnya dari Alvarez. Astaga, kupikir, di saat teman-teman timnya merayakan
hal positif yang didapat, Fez malah merayakan kekalahan.. manusia satu ini
memang rada-rada.
Kulirik Fez yang duduk di sampingku, dia
tersenyum-senyum sendiri sambil menatap ponsel. "What the hell, bro?"
Fez cengar-cengir. Dia menatapku dengan
pandangan mata berbinar dan wajah berseri, air mukanya sudah berubah lagi
sekarang. "Kau nanti mampir ke tempatku? Mampirlah, malam masih panjang,
saatnya bersenang-senang, sahabatku."
Aku mengerutkan kening. "..Aku yakin
kau pasti memanggil pacarmu, ah.. mungkin pacar-pacarmu, untuk menemanimu malam
ini. Ya kan? No thanks."
Fez terbahak. "Kau ini! Kenapa sih
selalu menolak kalau diajak senang-senang, heh? Akan ada tiga wanita seksi
malam ini, walaupun aku dengan mudah menaklukkan mereka sendirian, tapi berbagi
itu baik kan? Apalagi kau sahabatku, masa aku senang-senang sendirian,
sementara sahabatku kedinginan di rumahnya! Ayolah!" Fez meninju bahuku.
"Kapan lagi, mumpung aku lagi murah hati!"
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak pernah berminat bermain seks seperti yang kau lakukan, Fez.
Silakan, go ahead, bermainlah sepuasmu, tapi jangan ajak-ajak."
Fez menaikkan alis matanya. "Next
time akan kucari yang potongannya seperti Audrey deh.. biar kau minat.
Bagaimana?" katanya masih sambil cengengesan.
"Jangan bawa-bawa Audrey."
"Aku bingung denganmu, bisa ya kau
tahan? Sudah lima tahun, enam tahun mungkin, tapi sampai sekarang aku tidak
pernah lagi melihatmu mendekati wanita?"
"Kau tahu alasannya, Fez, untuk apa
diungkit-ungkit."
"Bukannya begitu. Hey Royce, ada
milyaran wanita di dunia ini, kenapa tidak ada satu pun yang bisa membuatmu
tertarik? Sudahlah, yang sudah pergi diikhlaskan saja, dia kan tidak akan
pernah hidup lagi, itu logis! Dan kau, sebagai pria kau pasti suatu saat akan
mencari pendamping hidup juga, tapi? Aku takut lama-lama kau malah berubah
orientasi.."
Aku mendengus. "Ya Tuhan, itu tidak
mungkinlah. Bicara apa kau?? Aku tetap normal! Jangan samakan aku denganmu! Aku
sekarang sedang cari pasangan yang tepat, tapi bukan dengan cara seperti yang
kau lakukan.. bermain seks dengan banyak wanita lalu kau tinggalkan. Sorry, aku
tidak suka cara itu."
Fez nyengir lagi. "Seks itu terlalu
nikmat untuk kutinggalkan, bro. Seks itu indah. Wanita itu ciptaan yang paling
sempurna. Wanita itu surga di atas bumi..! Aku mencintai wanita sebagaimana aku
mencintai diriku sendiri. Kau paham betul bagaimana pandanganku terhadap
wanita..!"
"Ya ya ya ya.. Go for your own
pleasure."
"Ah.. Royce.. Royce. Diajak
senang-senang malah menolak. Karatan tuh lama-lama.."
Audrey. Audrey. Kenapa Fez mesti
ungkit-ungkit Audrey Lawson? Gadis manis yang menjadi pacarku semenjak high
school. Aku sangat menyayangi gadis itu, dan aku berencana menikahinya begitu
ia lulus kuliah. Tapi.. baru satu tahun Audrey menjalani masa perkuliahan, ia
dipanggil Tuhan.. untuk selama-lamanya. Hanya sampai di situ jodoh kami, dan
aku sadar aku masih memiliki hidup yang pantang disia-siakan hanya karena
kepergiannya yang sempat membuatku down. Dan sampai sekarang, memang benar kata
Fez, aku tak pernah lagi berkencan dengan seorang wanita. Itu karena aku masih
terbayang Audrey. Aku belum menemukan wanita yang tepat untuk kucintai, seperti
rasa cinta yang kurasakan pada Audrey. Katakanlah aku ini manusia masa lalu, ya
mungkin memang benar seperti itu. Tapi buatku cinta itu tidak bisa dipaksakan..
Toh aku tidak diburu waktu untuk segera menikah kok, kutahu jodohku sudah
ditentukan oleh Tuhan, dan suatu saat aku pasti akan menemukannya.
Seseorang memanggil-manggil Fez ketika
aku dan yang lain bersiap mau kembali ke rumah masing-masing. Aku menoleh, dan
mendapati Isaac Renauld tergopoh-gopoh mendekatiku dan Fez.
"Ah, Ferris. Maaf aku menahanmu
sebentar, ada yang ingin kutanyakan," kata Isaac. Dia menoleh padaku, lalu
mengulurkan tangan, aku menyambut uluran tangannya. "Hai, Royce, apa
kabar?"
"Baik, thanks. Apa perlu kutinggal
kalian berdua supaya lebih enak mengobrol?"
Isaac tertawa ringan. "Tidak perlu,
kau di sini saja, bukan hal istimewa kok."
"Ada apa ya?" tanya Fez
kemudian.
"Begini, Fez. Apa kau ada waktu? Aku
ingin memastikan kapan kira-kira kau senggang, aku ingin mengajakmu bertemu
dengan orangtuaku, mereka sepertinya sangat penasaran dengan kemiripan wajah
kita. Ah, tapi itu pun kalau kau tidak keberatan, Fez."
Fez seperti bingung. "Jadi maksudmu,
orangtuamu penasaran denganku karena wajah kita mirip? Dan mereka ingin
bertemu? Lucu."
Isaac terlihat salah tingkah.
"..Maafkan. Aku tahu ini permintaan yang aneh. Kalau bukan orangtuaku yang
meminta hal ini, aku tidak akan mengusikmu, Fez."
Kedua orang ini memang sangat mirip.
Bentuk wajah, alis, mata, hidung, hingga bibir. Seingatku, setelah semua orang
menyadari kemiripan wajah kedua orang ini, kusadari Fez tidak pernah lagi
bercukur. Kurasa Fez sendiri sadar kemiripan wajahnya dengan wajah Isaac.
Saking miripnya aku merasa semakin yakin, kedua orang ini pasti berhubungan
satu sama lain, tidak hanya sekedar kebetulan berwajah mirip. Apalagi, aku tahu
latar belakang keluarga Fez, dan rahasia-rahasianya.. Kuyakin Isaac ini adalah
kunci dari jawaban semua rahasia Fez. Tapi entahlah, mungkin terlalu cepat
berkesimpulan seperti itu.
Fez tersenyum. "Yeah, sebenarnya aku
besok dan lusa senggang. Terserah, atur saja kapan dan dimana. Toh tidak ada
salahnya berkenalan dengan orang baru."
"Benarkah??" Isaac tersenyum
lebar. "Thanks, Fez. Bagaimana kalau lusa, kita makan siang di Henry’s
Cafe?"
Fez menaikkan alis, mengangguk.
"It's ok."
"Great! I'll see you, Fez, thank
you! Royce, aku duluan?"
"Bye, Ike," sahutku.
Aku menoleh pada Fez yang masih terdiam
lama memandangi punggung Isaac yang menjauh. Aku tahu dia pasti memikirkan
sesuatu. "..Apa kecurigaan kita sama?" tanyaku kemudian.
"Apa? Kau sangka apa?"
"Semua orang setuju wajah kalian
berdua mirip, bukan hal yang aneh kalau ternyata terbukti kalian berdua bukan
hanya sekadar kebetulan mirip.. tapi berhubungan satu sama lain. Apa kau tidak
pernah berpikir begitu?"
"Ya, kau bisa bicara seperti itu
karena kau tahu rahasia kelam hidupku. Tapi aku tidak pernah berani memikirkan
soal kemiripan wajahku dan orang itu. Karena semakin berpikir semakin aku
merasa tidak tenang. Dan lagipula kenapa aku harus membuang-buang waktu
memikirkan hal yang tidak penting?? Dia bukan siapa-siapaku, itu yang
kuyakini."
"You got pissed off."
Fez menghela nafas, menggeleng-gelengkan
kepala. "Saatnya aku bersenang-senang. Kau benar tidak mau ikut Royce??
Kutanya terakhir kali, nih!" katanya sambil merangkulku.
"No thanks, kau habiskan saja
sendiri pacar-pacarmu itu. Aku pantang mengganggu kesenanganmu.."
"Begitukah?? Oke nanti kusampaikan
salam darimu saja ya?" Fez tergelak.
Chapter 9. Isaac Lawrence Anthony Renauld
Aku dan orangtuaku sudah sampai di
Henry’s Cafe tempat kami janjian dengan Fez 15 menit lebih awal. Sedari tadi
aku tidak mengajak bicara mereka, ya aku tahu mereka orangtuaku sendiri, dan
mereka baru saja tiba tadi malam dari Birmingham. Mereka ingin berbicara denganku
sebagaimana normalnya antara anak dan orangtua, tapi saat ini aku benar-benar
tidak mau berkomunikasi dengan mereka sedikitpun. Aku merasakan kekecewaan yang
teramat sangat pada mereka. Masih teringat kejadian kemarin sore yang membuatku
menjadi seperti sekarang ini.
"Yeah. Pa, Ma, aku sudah bicara
dengan Ferris. Dan dia setuju bertemu dengan kalian besok siang," kataku
pada mereka via telepon.
Terdengar jawaban dari papa. "Oke..
thanks, Ike. Dia bilang apa?"
"Yaa, dia sedikit heran, tapi fine.
Dia sudah setuju kok. Kalian besok mau langsung ke kafe atau mau bareng? Kalau
bareng, lebih baik kalian sekarang segera ke sini."
"Euh, bareng saja. Boleh?"
Aku tersenyum. "Ya bolehlah, Pa.
Langsung ke tempatku saja, kalian menginap di sini. Dan, euh.. karena aku sudah
mengabulkan permintaan kalian, sekarang giliran kalian yang menjelaskan
kepadaku kenapa kalian ingin sekali bertemu dengan Ferris. Jujur ya Pa, aku
heran, sebenarnya apa yang aneh, sih, hanya karena wajah kami mirip, lalu apa?
Kenapa kalian sepertinya penasaran sekali dengan kemiripan kami. Tidak ada yang
aneh ah, hanya kebetulan saja, kurasa."
Papa terdiam cukup lama. "..Tapi
kami merasa, itu bukanlah kebetulan, Isaac."
Aku mengernyitkan kening. "Maksud
papa?"
"..Kami sudah menyembunyikan ini
sedari dulu. Sekarang memang sudah saatnya kamu tahu semuanya. Rahasia kelam
keluarga kita."
Giliranku yang terdiam lama. Berusaha
mencerna perkataan papa, yang nyata-nyata tak bisa kucerna. "Maksud papa
apa? Aku tidak mengerti sama sekali. "
"..Isaac.." papa terdiam lama.
"..Kamu sebenarnya punya saudara kembar."
Hah?
"Kami pernah membuat kesalahan besar
dulu, Ike. Kamu tahu kan, dulu kami miskin. Kami tak kuat menahan himpitan
ekonomi, apalagi ada tanggungan dua bayi yang harus cukup gizi.. maka kami
melepaskan salah satu dari kalian.. kami menitipkannya di panti asuhan.
Sungguh, kami tidak akan melakukan hal itu jika kami tidak terpaksa. Tapi kami
sudah tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan.. Isaac.. Itu adalah
kesalahan kami yang terbesar. Setelah kami menyadari bahwa tindakan kami salah,
kami mencarinya. Mati-matian kami mencarinya setelah kami mengetahui bahwa
saudara kamu ternyata sudah diadopsi oleh keluarga lain. Bahkan kakekmu yang
akhirnya mengetahui keadaan kami ikut membantu mencari sebisanya. ...Tapi
nihil. Kami tidak pernah berhasil selama ini. Entah dimana dia sekarang, apakah
dia masih hidup, kami bahkan tidak mengetahuinya. Tapi.. kemarin kami baru
melihat foto Rutherford.. dan ibumu langsung yakin bahwa dia adalah saudara kamu,
Isaac. Maka kami memintamu untuk mempertemukan kami dengannya.."
Aku speechless. Benarkah yang kudengar
tadi? Apa mereka bercanda??
"Maaf kami baru memberitahumu
sekarang, Ike. ..Kami sebenarnya tak ingin menyembunyikan hal ini dari kamu,
tapi kami tidak tahu harus mulai dari mana.. Kami telah melakukan kesalahan
tolol yang tak terlupakan seumur hidup, dan kami menderita karenanya."
"Ya dan kalian memang pantas
menerimanya!" spontan kuhardik papa. "Kalian memang orangtua tolol
yang tega membuang anaknya sendiri! Apa-apaan kalian, apa kalian tidak punya
otak ya? Kok bisa sih kalian melakukan hal itu, hah?"
"Kami terpaksa melakukan itu, Isaac.
Masalah ekonomi membuat kami terpaksa melakukan itu.."
"Itu bukan alasan! Tidak ada alasan
apapun yang bisa menolerir perbuatan tolol kalian itu!! Dan kalian menyesal,
hah, kalian menderita karena tidak bisa menemukannya sampai sekarang, ya memang
itu yang pantas kalian dapatkan!! Lalu untuk apa kalian mencarinya? Sudah 23
tahun, untuk apa kalian mencarinya? Untuk minta maaf? Untuk memintanya kembali
menjadi anak kalian? Pernahkah terpikirkan apa yang dia rasakan?! Dia bisa
sakit hati, Pa! Dia sudah menjalani hidupnya sendiri selama ini, lalu kalian
ingin datang secara tiba-tiba dalam hidupnya dan mengaku sebagai orangtua
kandungnya! Kalian tidak ingin melakukan kesalahan tolol lagi, kan???"
Papa tidak berkomentar.
Dan aku melanjutkan lagi. "..Lalu
gunanya aku, apa? Aku dibiarkan tolol begitu saja, selama ini, tak pernah tahu
bahwa aku sebenarnya punya saudara. Kalau saja selama ini aku tahu cerita tolol
kalian tadi itu, sudah dari dulu aku bantu mencari dia! Bahkan kalau memang
Rutherford itu saudaraku, sudah dari dulu kuselidiki! Tapi aku sekarang bisa
apa??!"
"..Enough, Isaac. Kami tidak ingin
mendengar kemarahan kamu pada kami, kami sudah cukup menderita karena kesalahan
yang kami lakukan sendiri," papa berkata pelan.
Aku menarik nafas panjang. "Kalian
segeralah ke sini," kataku datar.
Dan ketika mereka tiba beberapa jam
kemudian, aku tidak mengacuhkan mereka. Hanya menyapa mereka seperlunya dan
menawarkan makan dan minum. Itu saja. Tidak ada pembicaraan apa-apa lagi dia
antara kami. Mereka sepertinya menyesal sekali, mereka berusaha mengajakku
bicara, tapi aku tetap bersikap dingin dan tidak acuh. Sampai pada siang hari
ini aku masih bersikap seperti itu pada mereka. Yea, aku masih butuh waktu
menerima kenyataan yang mengejutkan ini. Biar mereka juga sadar, bahwa tidak
hanya kepada saudara kembarku saja mereka bersalah, tapi juga padaku dengan
menyembunyikan kenyataan ini seumur hidup!
Aku menarik nafas panjang. Melirik
arloji, masih 5 menit dari waktu yang dijanjikan, Fez belum datang. Kulihat
papa dan mama pun sedari tadi terdiam dan melamun. Akh, apa peduliku.
Yang kupedulikan hanyalah, semoga Fez
bukanlah saudara kembarku, walaupun aku sendiri sekarang curiga dia memang
saudara kembarku setelah mendengar sejarah keluargaku yang kelam itu. Tapi
yaah, semoga kemiripanku dan Fez memang hanyalah kebetulan semata. Jangan
sampai dia benar saudara kembarku. Jangan sampai, aku atau orangtuaku menemukan
saudara kembarku yang hilang itu. Bukannya apa-apa, aku sebenarnya antusias
mengetahui bahwa aku punya saudara, sungguh aku antusias. Bisa bayangkan,
selama ini aku kesepian sebagai anak tunggal, aku sangat ingin merasakan punya
saudara. Tapi yang lebih membuatku berpikir adalah apa yang saudaraku rasakan?
Apa yang akan dia rasakan jika tiba-tiba dia mengetahui keadaan dirinya yang
pernah dibuang oleh orangtua kandungnya? Tentu sakit hati.
Maka daripada itu, lebih baik bagi kami
untuk tidak pernah bertemu dengan saudara kembarku itu, aku hanya tidak ingin
melihat saudaraku itu sakit hati. Lebih baik baginya untuk terus menjalani
hidupnya sendiri dan menemukan kebahagiaannya sendiri..
Aku melihat berkeliling. Kafe siang itu
tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang tengah menikmati santapannya dan
ada pula yang sedang berdiskusi. Baguslah, tidak ramai. Agar pembicaraan nanti
tidak terganggu oleh keadaan sekitar. Kemudian kulihat Fez akhirnya datang. Dia
terlihat celingukan, mencari-cari keberadaan kami. Maka kutegakkan tubuh, dan
melambaikan tangan padanya. Dia langsung melihat ke arahku, melempar senyum
lalu menghampiri meja kami.
Masih dengan senyum mengembang, dia
menyapa orangtuaku dengan sopan. "Selamat siang, Mr. & Mrs. Renauld..?
Maaf, apa saya datang terlambat?"
Kulihat sekilas keterkejutan dari mata
mama begitu melihat Fez. Tapi kemudian papa bangkit berdiri dan
mengulurkan tangannya pada Fez. "..Halo, nak. Kamilah yang tiba lebih
cepat. Silahkan duduk," kata papa.
Fez menyambut uluran tangan papa dengan
hangat, dan setelah bersalaman dengan mama dan menyapaku, dia duduk di
sebelahku.
Kami memesan makanan, dan sembari
bersantap, Fez mengajak bicara hal-hal yang ringan pada orangtuaku. Dia
bersikap simpatik, seperti Fez yang memang selama ini kukenal. Sudahlah, kataku
dalam hati. Kenapa papa mama mengulur-ulur waktu seperti ini? Jauh lebih baik
katakan saja apa maksud mereka sebenarnya memanggil Fez ke sini. Kuamati
ekspresi wajah kedua orangtuaku yang penuh pengharapan itu. Mereka menatap Fez
seperti tengah menatap sebuah berlian langka yang sangat ingin mereka miliki,
namun mereka tidak mampu. Lalu aku memandangi papa berjenak-jenak. Papa sadar
kuperhatikan, dan seakan mengerti arti tatapanku, dia mengernyitkan kening dan
menggeleng pelan.
Akh, taik. Lalu untuk apa pertemuan ini
kalau kalian urung mencari tahu benarkah Fez itu anak kalian? Sudah sampai
sini, kalian memutuskan mundur? Sumpah, aku benar-benar tidak mengerti dengan
jalan pikiran mereka!
Maka aku memberanikan diri angkat bicara.
"Fez, kau tentu penasaran, apa maksud orangtuaku memintamu untuk bertemu,
lalu kenapa tidak kau tanyakan?" pertanyaanku membuat Fez terlihat sedikit
terkejut. Sementara papa malah terlihat panik dan menegurku.
Fez mengangkat alis. "Itu tidak
sopan untuk ditanyakan pada orang yang baru kita kenal, bukan?"
Aku mendengus. "Lupakan sopan santun
sekarang. Ada hal yang harusnya mereka tanyakan dari tadi padamu. Pertanyaan
yang tidak pernah terjawab karena mereka terlalu takut untuk bertanya. Dan
biarkan aku mewakili mereka."
"Isaac! Cukup!" tegur papa.
But it don't stops me. "Mereka ingin
tahu.. latar belakangmu, Fez. Mereka menduga kau adalah saudara kembarku,"
kataku datar.
"..Maaf?" sahut Fez. Sepertinya
hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya sekarang ini.
Dan aku beralih pada papa dan mama.
"Pa. Ma. Cukup basa basinya. Utarakan tujuan kalian ingin bertemu dengan
Ferris. Aku capek melihat kalian hanya bisa memandang Ferris dengan ekspresi
harap, tanpa ada langkah lebih lanjut."
Papa menarik nafas panjang. Sementara
mama terlihat gugup.
"Sorry, apa maksud perkataan kau
tadi, Ike?" tanya Fez.
"Mereka yang akan menjelaskannya
padamu, Fez," jawabku.
"Ya. Ferris," akhirnya papa
memberanikan diri. "..Sebelumnya, kami meminta maaf yang sebesar-besarnya,
apabila ternyata dugaan kami salah.. Kami memang mendugamu sebagai anak kami,
yaitu saudara kembar Isaac.."
Dapat kurasakan Fez menegang. Dia tidak
berbicara apa-apa, hanya menatap papa dan mama, bergantian. Namun sejurus
kemudian dia tersenyum tipis, "..Hmh,
bagaimana mungkin, Tn. Renauld? Saya akui, memang saya dan Isaac mempunyai kemiripan fisik. Tapi..
manusia yang mirip di dunia ini
jumlahnya tidak sedikit, bukan? Dan lagipula.. saya mempunyai keluarga sendiri, saya mempunyai
orang tua yang menyayangi saya,” ujarnya.
“Memang benar katamu itu. Tapi... tapi
kalian berdua sangat mirip! Maka kami memintamu untuk kemari... sekedar untuk
membuktikan.....” mama terhenti.
“..... Membuktikan?”
“Untuk membuktikan benarkah kau adalah anak kami yang hilang. Anak kami
yang kami cari-cari selama dua puluh tahun ini...”
Fez terlihat semakin gelisah, “...A, aku
tidak mengerti. Aku sama sekali tidak mengerti. Bagaimana bisa kalian kehilangan anak kalian sendiri? Dan apa
alasan kalian menganggap bahwa anak
kalian yang hilang itu adalah aku?”
“Karena kalian sangat mirip! Dan apa kau
meragukan naluri seorang ibu?” tanya mama dengan suara keras yang bergetar,
hampir menghardik. Papa segera menenangkan mama.
Fez menatap dalam-dalam papa dan mama,
juga menatapku, bergantian. Lalu katanya, “....Hari yang aneh, bukan? Tiba-tiba
aku bertemu dengan sepasang suami istri yang tanpa alasan yang jelas, mengira
aku sebagai anaknya.”
“....Dulu, kami tinggal di Stockbort, dan
kami sangat miskin. Kami tidak mempunyai uang sama sekali. Saat itu, istriku, Evelyn hamil. Kami
berpikir... kalau untuk menghidupi seorang anak saja.. kami masih mampu. Tapi
ternyata yang lahir dua orang. Selama beberapa bulan, kami mencoba untuk bertahan
dan berupaya sekeras mungkin agar kedua anak kami bisa makan. Tapi akhirnya
kami tidak mampu lagi menjalani kehidupan yang begitu berat. Aku ingin
menitipkan kedua anak kami di panti asuhan.. lalu memperbaiki hidup kami,
mencari pekerjaan tetap agar bisa
menghidupi keluarga, dan mengambil kembali mereka agar bisa bersama kami lagi.
Tapi Evelyn menentang keinginanku. Ia tidak bisa berpisah dengan kedua putranya. Maka setelah membicarakannya
panjang lebar, dengan berat hati.. kami melepaskan salah seorang putra kami.
Kami menitipkannya di panti. Dan yang kami titipkan.. adalah anak kami yang
pertama. Dia lebih sehat, kuat dan tidak rewel. Pikiran kami... jika dia sudah
besar kelak, dia mau mengerti mengapa kami melakukan hal ini padanya. Kami
benar-benar terpaksa..” ujar papa dengan suara bergetar.
Dia melanjutkan dengan susah payah,
“Beberapa bulan kemudian, orangtua kami menemukan kami dalam kemelaratan, dan
karena mereka mungkin tidak tega melihat kami dan cucu mereka seperti itu
keadaannya, mereka menolong kami. Mereka memarahi kami habis-habisan begitu
mengetahui kami telah melepaskan salah satu anak kami di panti asuhan. Kami
bermaksud mengambil anak kami kembali.
Namun yang terjadi adalah.. anak kami sudah
diadopsi oleh orang lain...! Menyesal, sungguh kami menyesali kejadian
itu.. ditambah pihak panti tidak mau memberitahukan identitas dan alamat
keluarga yang mengadopsi anak kami. Setelah itu kami tidak pernah berhenti
mencari keberadaan anak kami itu.. Juga dengan orangtua kami, yang mengerahkan
segala cara untuk menemukan anak kami yang hilang itu. Kami ingin sekali
menemukannya.. sekadar untuk melihat dan memastikan... apakah dia
baik-baik saja..! Dan jika
memungkinkan.... kami ingin membawanya pulang, kembali ke rumah, ke
tengah-tengah keluarga kami..”
Fez mendengus. “Hmmh, cerita yang
memalukan. Sangat memalukan. Bisa-bisanya kalian membuang anak kalian
sendiri?"
Hmh, aku 100% setuju denganmu, Fez. Ini
memang cerita tolol yang sangat memalukan. Apa jadinya jika pers tahu soal ini?
Mau ditaruh mana mukaku, apalagi sudah melibatkan orang ini, sang pemuncak
klasemen sementara pembalap? Huh, salah-salah bisa jadi skandal.
Fez masih melanjutkan. "Meninggalkan
bayi yang tidak berdosa di depan pintu panti asuhan tengah malam? Sementara dia
sebenarnya masih mempunyai orangtua kandung yang seharusnya merawatnya dan
melindunginya.”
Aku terkejut menatap Fez. Tengah malam?
Siapa yang bilang?
Mama pun menatap Fez heran. “..Dari mana
kau tahu.. bahwa kami meletakkannya di depan pintu panti asuhan di tengah
malam..?”
Fez tersentak. Dia tergagap menjawab,
“...Eu.. aku hanya menerka-nerka. Apa
memang benar seperti itu? ....Aku sulit menerima dan memahami cerita kalian
tadi. Aku tidak bisa mempercayainya, terutama begitu kalian mengatakan bahwa
kalian dulu sangat miskin. Kupikir... kalian mempunyai hubungan darah dengan
Elliot Renauld, pembalap kawakan zaman dulu?”
Huh. Memang.
Papa terdiam sesaat. “...Ya, dia memang
ayahku. Tapi, dulu aku dan dia kerap bersitegang, kami tidak pernah cocok dan
tidak pernah akur..”
“Lalu kalian seenaknya saja melepaskan
anak kalian. Membuang anak kalian ke panti asuhan. Bukankah kalian bisa
menitipkan anak itu pada orang tua kalian? Seburuk apapun hubungan kalian
dengan orang tua kalian, mereka tidak mungkin menolak cucu mereka, bukan?” ujar
Fez tajam.
Itulah yang sejak semalam kupikirkan.
Kenapa, kenapa dan beribu kenapa lainnya. Kenapa yang tidak terjawab.
“Dulu kami masih sangat muda, naif dan
bodoh. Aku pun baru menyadari mengapa dulu aku tidak melakukan seperti apa yang
kamu katakan tadi..” jawab papa.
Ya Tuhan, jawaban tolol apa lagi itu??
Fez mendengus kesal. Ha-ha, bahkan orang
luar seperti Fez pun kesal mendengar cerita dan ketololan orangtuaku di masa
lalu. Memang benar-benar memalukan.
“..Lalu? Sekarang apa? Kalian masih
menyangka aku adalah anak malang dalam cerita kalian tadi?” tanya Fez galak.
Mama menjawab, “...Naluriku mengatakan
seperti itu..”
“Apa kalian mengenal putra kalian itu?
Jangan asal bicara, kita baru saja bertemu dan kalian langsung mengira bahwa
aku adalah anak kalian! Kalian tidak mengenalku, sama sekali!”
Mama terdiam sesaat. “...Aku... masih
ingat dengan jelas.... Anakku itu mempunyai
tanda lahir.. di paha kirinya..” kenangnya seraya tersenyum tipis.
Fez terlihat terkejut tidak percaya.
“Isaac sendiri... mempunyai tanda lahir
di paha sebelah kanan. Benar kan, Ike..?" mama bertanya. Dan untuk apa
kujawab?
Mama tersenyum tipis dan melanjutkan.
"Ya... kedua anak kami memang kompak.... Kemudian seingatku... anak kami
yang hilang itu, mempunyai dua tahi lalat di dada, dan di belakang telinga
kanannya....! Aku masih mengingatnya dengan
jelas, karena.. sebelum dia... dititipkan.... seharian aku memeluknya
dan menciuminya..” ujar mama sambil terisak.
Mama masih melanjutkan, “...Dan.... aku
memasangi dia sebuah kalung berliontinkan huruf ‘F’.. inisial namanya......”
Oh. Kalung itu. Kalung mainan berukuran
kecil sekali, seukuran leher bayi, berliontinkan sebuah huruf. Yang kumiliki
berliontin huruf 'I', sesuai inisial namaku. Seingatku mama pernah berpesan
agar aku terus menyimpan kalung kenangan semasa bayi itu. Entah kenapa mama
memintaku untuk terus menyimpannya, dan ternyata ini alasannya? Karena kalung
itu adalah satu-satunya benda yang menghubungkan aku dan saudara kembarku.
Satu-satunya saksi bisu yang bisa membuktikan bahwa aku dan orang itu
bersaudara. Dan.. apa, punya kembaranku itu berliontin huruf 'F'? Memang
namanya siapa? Kenapa nama Fez juga berinisial huruf F?
Fez menatap mama tidak bersuara.
“.......Inisial namanya?” ulangnya.
Mama mengangguk dan tersenyum. Pipinya
basah oleh air mata. “...Ya... Frayne.... nama sebenarnya anak kami..”
Frayne? Nama yang bagus. Jadi itu, nama
saudara kembarku? Huh, lucu kan, aku saja baru tahu nama asli saudara kembarku
sendiri. Siapa yang salah?
Aku memerhatikan Fez yang terdiam
menundukkan kepala. Dia menopang wajahnya dengan satu tangan, seakan enggan
beradu pandang dengan kedua orang yang duduk di depannya itu. Setelah beberapa
saat lamanya dia terdiam, dengan tangan yang terlihat bergetar dia merogoh saku
kemejanya dan mengeluarkan seuntai kalung, dan meletakkannya di atas meja.
“...Inikah kalung itu?”
Oh God, itu benar-benar serupa dengan
kalung yang kumiliki! Dan kalung yang Fez keluarkan itu berliontinkan huruf
'F'! Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Jadi.. Fez adalah..? Oh,
Tuhanku!
Aku lihat papa dan mama terenyak begitu
melihat kalung yang ditunjukkan Fez tadi. Papa terbata menjawab, “Ya... ya,
itu adalah kalung yang kami berikan
untuk anak kami...! Jadi benar kau adalah......”
Fez memotong, “Tidak! Aku tidak percaya
semua ini. ....Me,memang semua ciri-ciri yang kalian sebutkan tadi ada padaku.
Bahkan aku mempunyai kalung ‘F’ sialan itu. Tapi ini semua cuma kebetulan
belaka! Kalian tidak mungkin orangtuaku! Aku tidak percaya semua omong kosong
ini!”
Mama mengambil kalung yang diletakkan Fez
di atas meja, dan menelitinya. Semakin ia meneliti kalung itu, semakin deras
air matanya mengalir. Ia menggeser tempatnya duduk dan duduk di samping Fez.
Lalu ia menyentuh pipi Fez, menatap matanya lekat-lekat sambil terus mengusap
kening, mata, hidung dan pipi Fez. “...Oh... Frayne..... benar kau adalah
Frayne anakku.... Percayalah, kami adalah orangtua kandungmu, Nak...” ujar mama
sambil terisak-isak.
Sementara Fez hanya terdiam dan menatap
mata mama dalam-dalam. Beberapa saat lamanya Fez terdiam, lalu membuang muka,
“.....Cukup! Aku muak dengan semua ini. Aku mau pulang,” ujar Fez melompat
berdiri dan bermaksud segera pergi meninggalkan kami.
“..Apa golongan darahmu, Nak..?” tanya
papa, menahan kepergian Fez.
Fez berdiri terdiam. Tidak menjawab.
“....B? Isaac bergolongan darah B. Jika
benar golongan darahmu adalah B... berarti kau memang benar... putra kami.
Atau, bagaimana jika kita mengadakan tes DNA untuk memastikan? Apa kamu
bersedia?”
Fez menghela nafas panjang, “...Aku B.
Tapi untuk lebih memastikan.. lebih baik kita ke rumah sakit. Tes DNA adalah
cara terbaik untuk mengetahui kebenaran dari semua ini.”
Dan kami berempat pun menunggu dengan
gelisah di sofa di ruang tunggu Rumah Sakit beberapa waktu kemudian.
Masing-masing terdiam, hening dengan berbagai macam perasaan yang bercampur
aduk.
Jika benar... Fez itu saudaraku, lalu
apa? Apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kuperbuat untuknya? Dia tentu
sakit hati pada papa dan mama, lalu apa yang bisa kulakukan sebagai saudaranya?
Aku menengadah, dan mendapati Fez berdiri bersandar pada dinding, tak jauh dari
aku dan papa mama, sedang melamun. Wajahnya pucat sedari tadi.
Dokter yang menangani tes DNA aku dan Fez
pun muncul untuk menyampaikan kabar. Kami berempat segera mengerubungi dokter
itu dan meminta jawaban dari hasil tes.
Begitu dokter tersebut mengatakan bahwa
DNA kami memiliki kecocokan satu sama lain, tangis mama meledak. Tangis yang
terdengar lega dan juga bahagia. Papa menangis tak bersuara, sementara Fez
berdiri terpaku dan terdiam. Dia tetap terdiam ketika papa dan mama
–orangtuanya–, memeluknya dan meminta maaf padanya.
Fez memejamkan mata kuat-kuat. Mama
menciuminya penuh rasa rindu dan masih mengucapkan kata maaf, namun Fez masih
tetap diam bergeming. Tidak membalas pelukan mama, ibunya sendiri. Fez membuka
mata, ketika mama bertanya, “--- lalu....orangtua angkatmu... apakah mereka selalu
memperhatikanmu..? Mereka mengurusmu dengan baik, kan...?”
Fez terlihat memaksakan diri tersenyum,
lalu mengangguk. Dia membuang muka, seperti berusaha menghindari kontak mata
dengan mama. Ketika pandangan mata kami bertemu, dia melepaskan pelukan mama
dan berjalan menghampiriku, orang yang mulai saat itu harus dia terima sebagai
saudara kembarnya.
Kini kami berdiri berhadap-hadapan,
saling menatap satu sama lain, namun tak terlontar satu patah kata pun dari
mulut kami. Kubuka tanganku lebar-lebar dan kami pun berpelukan.
Ya Tuhan, inilah saudara yang selama ini
aku angan-angankan! Aku yang selama masa anak-anak dan remaja kerap
membayangkan punya seorang kakak - kini terkabul..? Punya seorang kakak kembar,
yang ternyata adalah salah seorang rivalku sendiri di sirkuit; orang yang
kukagumi prestasinya dan menjadi panutanku.. ternyata memiliki hubungan darah
yang begitu kental denganku! Inikah, saudara yang memang seharusnya kumiliki
sejak dulu? Begitu nyata, ada di hadapanku dan bisa kupeluk. Tidak ada sesuatu
pun di dunia ini yang bisa melukiskan betapa senangnya dan beruntungnya aku
bisa kembali bertemu dengan satu-satunya saudaraku, orang yang dikandung
bersama-sama denganku. Orang yang menjadi rivalku di sirkuit.. dan juga orang
yang menjadi inspirator dan panutanku selama ini. Thank God!
Tapi bagaimana denganmu, Fez? Apakah kau
sakit hati dengan papa mama..? Apakah kau pun sakit hati denganku? Apa yang kau
rasakan setelah bertemu kembali dengan kami, keluarga biologismu?
Aku melepaskan pelukan seraya tersenyum,
mengambil jarak untuk memandangi Fez dan berusaha mencari apa yang dirasakannya
lewat sinar matanya. Tapi dia balas tersenyum dan menyapa, "Hai,
Ike."
Beberapa saat kemudian, aku, Fez dan papa
mama bersama-sama mengunjungi orangtua angkat Fez.
Gale Rutherford dan Phedra Rutherford,
istrinya, adalah sepasang suami istri low profile. Mereka ramah dan bersikap
hangat ketika menyambut kami di rumahnya. Namun wajah ramah itu memudar ketika
Fez memperkenalkan kami bertiga sebagai keluarga kandungnya.
Gale dan Phedra terlihat shock.. Mereka
seperti kehilangan kata-kata, dan hanya mampu memandangi wajah papa mama dengan
ekspresi kaget dan bingung. Sementara Fez terlihat gugup dan gelisah.
Well, aku maklum, Fez, kau selama ini
adalah anak tunggal Rutherford, anak kesayangan semata wayang.. Belum pernah
sekalipun dalam hidupmu, orangtua kandungmu datang mengunjungimu dan menemui
orangtua angkatmu kan?
Papa mencoba mencairkan suasana yang
tegang, “.. Mungkin anda berdua kaget, kenapa kami tiba-tiba datang menemui
anda berdua, Gale, Phedra. Tapi kedatangan kami ke sini dengan maksud baik,
kami hanya ingin berkenalan dengan anda berdua, dan jika memungkinkan alangkah
baiknya bila kita menjalin hubungan erat selayaknya famili sendiri. Karena
bagaimanapun, anda berdualah yang telah berjasa merawat dan mendidik Ferris
sampai dia dewasa.” Papa menghela nafas. “..Kami sungguh berhutang budi pada
anda berdua.”
“Well, James,” sahut Gale. “Maafkan, saya
hanya merasa bingung, bagaimana ceritanya anda bisa bertemu dengan Ferris?
Sejak kapan kalian saling mengenal?”
Fez menyahut, “Mereka penasaran karena
wajahku mirip dengan Isaac, pa, ma. Ya singkat kata, mereka menemukanku. Kami
baru berkenalan hari ini.”
“Wah, ini benar-benar mengejutkan..”
komentar Gale.
Such an awkward moment. Huh.
“Ada alasan kenapa semua ini terjadi.
Tapi buatku, yang paling penting adalah bagaimana agar orang lain tidak perlu
mengetahui hal ini. Jadikanlah ini rahasia, hanya antara kita berenam saja yang
tahu. Karena kurasa, kalau sampai hal ini bocor ke luar.. wartawan pasti akan
mulai mengejar-ngejar kita, mengorek informasi sebanyak mungkin dari kita.
Apapun bisa mereka jadikan berita besar kok! Apalagi hal semacam ini. Hal yang
aku rasa hampir tidak pernah terjadi di dunia balap Formula 1. Bayangkan,
seandainya berita mengenai keluarga kita ini menjadi headline media cetak..
Ferris Rutherford dan Isaac Renauld, ternyata saudara kembar yang terpisahkan!
Kemiripan wajah mereka akhirnya terungkap! Bla bla bla bla.. mereka pasti
mengulas habis apa dan bagaimana penyebab kenapa semua hal itu bisa terjadi.
Aku hanya membayangkan, hal itu akan berdampak cukup buruk.. Apalagi papa Gale
dan mama Phedra sekarang sudah tidak muda lagi, kalian tidak ingin merasakan
ganasnya pers kalau sedang mencari berita kan? Dan lagipula, kurasa ini
privacy, kita tidak akan membiarkan orang luar mengetahui semua hal tentang
keluarga kita kan? Bagaimana menurut pendapat kalian?” kata Fez panjang lebar.
Tepat, Fez. Aku juga tidak ingin selalu
dikejar pers. “Aku setuju. Kita rahasiakan hal ini.”
Orangtuaku, dan juga Gale dan Phedra,
juga mengangguk-angguk setuju.
“Baiklah, kita semua setuju bahwa hal ini
lebih baik dirahasiakan,” kata Gale. “Tapi.. rupanya memang benar berita itu.
Isaac, kamu memang sangat mirip dengan Ferris. Di foto-fotomu tidak terlalu
terlihat jelas kemiripan kalian, tapi setelah bertemu muka secara langsung
sekarang ini, saya benar-benar terpukau menyadari bahwa.. kalian berdua memang
mirip satu sama lain!”
Aku melempar senyum. “Kalau begitu, jika
anda bersedia, anda berdua bisa menganggap saya seperti anak sendiri. Saya
sendiri sangat senang, karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan Ferris, plus
bisa mendapat sepasang orangtua lagi. Tidakkah keluarga kita terberkati? Kita
menjadi keluarga besar lho.”
Gale membalas senyumku dengan simpatik.
“Oh ya, Ferris, Isaac, bolehkah saya berbicara dengan James dan Evelyn? Ada
beberapa hal yang kalian tidak perlu tahu.. Jadi..”
Fez melengos sambil bangkit berdiri. “Ayo
Ike. Kuantar kau keliling rumah.”
Kuikuti Fez, walaupun dalam hati aku
merasa penasaran apa yang hendak dibicarakan oleh orangtua kami.
Fez mengantarku berkeliling rumahnya.
Rumah yang nyaman dan bagus, syukurlah Fez dibesarkan di keluarga yang mapan,
dan rendah hati seperti Gale dan Phedra. Seandainya saja.. dulu Fez diadopsi
keluarga yang kurang harmonis, entah seperti apa nasibmu dulu.
Kupandangi Fez yang sedari tadi tidak
banyak bicara. Ekspresi wajah yang datar, sungguh aku ingin tahu apa yang ada
di benaknya. Coba kuajak bicara dia, “Kau tidak terlihat kaget begitu papa mama
bilang kau adalah anak mereka.”
“Kata siapa? Aku kaget.”
“Bukan, maksudku, apa kau sudah tahu
sebelumnya bahwa kau bukan anak kandung orangtuamu yang sekarang, begitu?
Karena kalau kau belum tahu, kurasa kau pasti bakal lebih shock lagi.. Cuma
pendapatku saja sih.”
Fez terdiam sejenak. “Aku memang sudah
tahu kalau aku bukanlah anak kandung Rutherford. Sudah lama kutahu.”
“Jadi..”
“Dulu, waktu masih kelas 8. Aku penasaran
setengah mati kenapa golongan darahku beda dari papa mama. Kutanyakan hal itu
berkali-kali pada mereka, dan akhirnya ya seperti yang bisa kau tebak. Mereka
akhirnya dengan berat hati memberitahuku kalau aku sebenarnya anak adopsi.
Siapa orangtua kandungku, dimana mereka, seperti apa mereka, masih hidup atau
tidak, tidak kupikirkan lagi karena toh aku merasa sangat berkecukupan dengan
kasih sayang Gale dan Phedra.”
Walaupun aku merasa miris padamu Fez,
setidaknya aku bersyukur karena orangtua angkatmu sangat baik padamu.
“Kau sendiri, Ike? Sudah lama tahu, kalau
kau punya kembaran?”
Aku tertawa sumbang. “.. Aku malah baru
tahu semalam. Baru semalam papa mama memberitahuku soal itu. Jadi kau tidak
usah heran kenapa tadi siang aku bersikap dingin pada mereka. Kau bayangkan
saja, gila ya! Sudah berapa puluh tahun, kenapa baru sekarang mereka mengakui
hal itu padaku! Kenapa tidak dari dulu mereka menemukanmu Fez! Aku bukan main
terkejut begitu tahu.”
“Yah, mungkin berat menceritakannya.
Tidak seberat waktu melepasku,” Fez tersenyum masam.
“..Kau pasti sakit hati.”
Fez tertawa. “.. Aku cuma belum terbiasa.
Plus masih shock juga. Semula kupikir kemiripan kita tuh cuma kebetulan belaka,
Ike. Mana pernah kepikiran kalau kau ternyata saudaraku. Saudara kembar lagi.”
“Aku juga kaget Fez. Tapi aku senang
mengetahui kau ternyata kakakku.”
“Kau tanya alasan kenapa papa mamamu
tidak memberitahumu sejak dulu kalau kau punya kembaran?”
Kutatap Fez, lalu aku menggeleng.
“Kuyakin bukan jawaban yang masuk akal. Seperti alasan mereka melepasmu.. Tidak
masuk akal.”
Fez menghela nafas. “Yah, seandainya aku
tidak dilepas, aku mungkin tidak akan bertemu dengan Gale dan Phedra. Mereka
orangtua yang baik. Mereka adopsi aku karena katanya, aku mirip dengan anak
mereka yang sudah lama meninggal. Jadi mereka memberiku nama sama seperti anak
mereka itu. Ferris.”
“Oh, jadi mereka punya anak kandung..?”
“Ya. Mati muda karena kecelakaan, umurnya
baru 24 tahun.”
“..Kasihan. Semoga dia beristirahat dalam
damai.”
“Pasca meninggalnya anak mereka, mereka
ingin punya anak lagi. Tapi sayangnya mama Phedra divonis oleh dokter ia tidak akan bisa lagi mengandung, karena dulu ia pernah mengalami keguguran. Jadi.. mereka memutuskan
mengasuh anak, dan akulah anak yang beruntung itu.”
“..Lalu setelah kau bertemu denganku, dan
papa mama, apa rencanamu?”
Fez mengangkat bahu. “.. Yang sudah pasti
sih, aku akan membuatmu semakin tertinggal jauh di belakang, dan makan asapku,”
katanya sambil menyeringai lebar.
Aku tergelak, kutinju bahunya. “Haha,
coba saja kalau bisa!”
“Bisalah! Paling baru berapa putaran
mobilmu juga meleduk. Seperti biasa.”
“Oke, kau bisa tindas aku selama aku
masih di Purvance, tapi..” aku menyeringai. “tapi tidak untuk tahun depan. Keep
it in the box, oke, aku sudah teken kontrak dengan Glauber, mulai tahun depan.”
Mata Fez terbelalak. Dia menatapku dengan
pandangan tidak percaya. “...Kau direkrut Glauber?”
“Yap.”
“Maksudmu, kau jadi third driver?”
“Oh bukan, aku mengisi posisi setelah
Fabio Ortolani, apa kau sangka aku masih harus jadi third driver? Kau kan tahu sendiri tahun ini tahun terakhir untuk Alvarez.”
“Ehm. Oke. Well. Congrats. Aku baru
dengar soal ini. Hari yang penuh kejutan.”
Chapter 10. 19 Mei 2002
‘...Sialan, kenapa Glauber bisa-bisanya
tertarik padanya??! Apa Glauber sudah hilang akal sehatnya?!’ rutuk Fez dalam
hati. Dia meninju dinding di sebelahnya dengan tangan terkepal. ‘..Brengsek!
Dia itu beruntung sekali rupanya, ya?!’ rutuknya lagi penuh kesal dan amarah.
Fez kini benar-benar dipenuhi oleh
amarah. Amarah karena mengetahui karir Isaac yang tentunya akan lebih cerah
setelah direkrut oleh tim mobil paling bergengsi di dunia, marah karena rasa
irinya pada Isaac yang menurutnya sangat beruntung karena dilirik oleh tim
mobil sekelas Glauber, juga marah karena Isaac tidak pernah merasakan menjadi
dirinya, tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya mengetahui kenyataan bahwa
dirinya pernah ‘dibuang’ oleh orangtua kandung di panti asuhan!
Suara hatinya menegur dengan halus,
‘..Apa kau tidak terlalu membesar-besarkan hal ini? Persaingan itu hal yang
biasa, dan kenapa kau jadi orang yang sirikan seperti itu? Isaac itu saudaramu,
saudara kembarmu, malah! Apa tidak ada sedikit rasa rindu karena selama ini kau
tidak pernah bertemu dengan mereka?’
Dan Fez terdiam, memikirkan bisikan yang
halus itu. ‘Apakah aku terlalu berlebihan..?’ ujarnya dalam hati.
“Hee... kusangka kau ditelan bumi, bro.
Kemana saja?” sapa Royce lewat telepon, ketika ditelepon Fez sore itu.
“Maaf aku tidak segera memberi kabar,
padahal sebelumnya aku sudah berjanji akan segera mengabarimu, setelah bertemu
orangtuanya Isaac.. Kurasa otakku sedang kacau. Aku bahkan tidak ingat ini hari
apa."
“Ini hari minggu, dude. Kurasa kau
terlalu banyak meracuni otakmu dengan pornografi, jadi kau linglung
begitu," Royce terbahak.
"Haha. Ya mungkin juga, salah satu
faktor."
"Tumben, kau lagi waras?"
“Tidak. Kurasa aku malah semakin gila. Oh ya. Sekali lagi maaf Royce.. aku bahkan tidak sempat menonton pertandinganmu kemarin. Jadi bagaimana hasilnya?”
“Tidak. Kurasa aku malah semakin gila. Oh ya. Sekali lagi maaf Royce.. aku bahkan tidak sempat menonton pertandinganmu kemarin. Jadi bagaimana hasilnya?”
Royce tersenyum, “Yea... well..”
“Dari suaramu, pasti hasil kemarin bagus!
Ya kan? Congrats, bro! Sudah kuduga kau pasti menang, Berapa-berapa skornya?”
“Hhm, 2-0.”
“Cool..! Brandt bener-bener solid!
Invincible! Kalian lolos ke final Liga Champions sekarang, aku benar-benar
yakin Brandt bisa menang nanti di final!”
“Tim terbaiklah yang akan menang nanti,
tapi kuamini kata-katamu tadi. Jadi, bagaimana?”
“Ha?”
“Ada kabar apa darimu?”
“..Oh. Sebuah kejutan besar untukku.”
“Maksudmu?”
“Kejutan karena.... akhirnya aku bertemu
dengan orang-orang yang telah membuatku ada di dunia ini.”
“Maksudmu..”
“Hm.. yah, aku dan mereka rupanya masih
berjodoh.”
“...Jadi... Isaac itu.. benar dia
saudaramu?”
Fez tersenyum hambar. “Adik kembar,
tepatnya. Misteri kemiripan wajahku dan Isaac terjawab juga. Rupanya dia adik
kembarku sendiri."
Royce diam tidak menjawab.
"Selama ini yang kutahu ulang
tahunku setiap oktober. Aku lahir tahun 1979. Begitu aku bertemu dengan orang
tua kandungku, jadi jelas semuanya. Aku ternyata lebih tua dari perkiraanku
selama ini. Haha," Fez tertawa sumbang. "..Aku lahir tahun 1978,
tanggal 14 November. Berarti kita cuma beda beberapa bulan Royce, jadi kau
jangan bersikap sok tua lagi padaku.”
“...Oh Christ. Fez, bagaimana ceritanya?
Kenapa kau bisa terpisah dari orangtua kandungmu sendiri??”
Fez terdiam. “....Huh, cerita yang
memalukan..! Kuceritakan nanti saja, ya. Tidak nyaman bercerita lewat telpon
seperti ini.”
“Okay.
..yang tabah, bro.”
Minggu, 26 Mei 2002.
Sirkuit Indianapolis, USA.
12:30 am. Satu setengah jam sebelum Grand
Prix seri keenam itu dimulai.
Fez yang pada sesi kualifikasi hari
sebelumnya menempati pole position, kini sudah berada motorhome, melakukan
technical briefing dengan tim. Dia yang biasanya selalu berambisi dan bersemangat
sebelum race, kini menjadi lebih pendiam dan memasang wajah suntuk. Teman-teman
timnya tidak ada satu pun yang mengetahui alasan perubahan sikap Fez yang tidak
biasanya itu. Namun mereka percaya, Fez adalah seorang pembalap profesional
yang tidak akan membiarkan perubahan moodnya dan kehidupan pribadinya turut
mempengaruhi penampilan dan kualitasnya dalam race tingkat dunia kali itu.
Tidak ada yang tahu, bahwa saat itu
sebenarnya Fez sedang teringat kejadian pada malam sebelumnya. Ketika Isaac
meneleponnya dan mengabarkan bahwa dia sudah menerima dan teken kontrak dengan
Glauber mulai musim 2003 mendatang. Isaac terdengar ceria dan berharap bisa
bersaing dengan sehat dengan saudaranya sendiri
–itu menyenangkan, menurutnya–. Bahkan kalau bisa, mereka selalu naik
podium bersama-sama. Dan Fez menanggapinya dengan senyum dan antusiasme yang
dibuat-buat, sekedar untuk menyenangkan hati Isaac.
Dan mereka pun bertemu ketika parade
pembalap dimulai. Isaac mendekati Fez dan melempar senyum. "Hai,
Fez," sapanya.
Fez balas tersenyum, dengan berbagai
macam emosi yang bercampur aduk dengan perasaan iri. "Hei."
"Sudah siap? Hari ini cerah, tidak
ada kemungkinan akan turun hujan. Dan kau bisa mengawali race hari ini dari
posisi pole. Jangan sia-siakan kemenangan yang sudah di depan mata," ujar
Isaac.
Fez tersenyum tipis. "Pasti."
"Kenapa kau, tumben tidak semangat
seperti itu?"
"Kata siapa tidak semangat, mungkin
perasaanmu saja. Oh ya, berapa tahun kau dikontrak Glauber?"
"Tiga tahun."
"Well, congrats, then. Kita bakal
jadi rival berat, rupanya," ujar Fez seraya memaksakan diri tersenyum
lebar, berupaya terlihat antusias dan positif.
Isaac membalas senyum Fez.
"Thanks."
"Tapi mana gaungnya? Biasanya berita
seperti ini langsung menjadi berita besar. Pers belum tahu?"
Isaac menggeleng. "Pers belum
waktunya tahu. Nanti. Bahkan teman-teman pembalap yang lain juga belum tahu.
Baru kau saja yang tahu."
Fez mengerutkan kening.
Isaac tengah menaiki tangga di motorhome
seusai parade pembalap, dan kini dia akan melakukan pertemuan terakhir dengan
tim dan para mekanik sebelum race dimulai. Namun ketika dia tiba di lantai dua,
dia melihat seorang gadis berjalan sempoyongan dan terhuyung hampir jatuh, tidak jauh darinya. Refleks dia
merentangkan tangan dan menahan tubuh gadis itu sebelum sempat ambruk ke
lantai, "Nona!" serunya. "Nona, anda tidak apa-apa?"
tanyanya concern seraya menegakkan tubuh gadis itu.
Gadis itu tersenyum. "Tidak apa-apa,
kok. Cuma sedikit pusing," jawabnya. Gadis itu adalah seorang gadis cantik
berusia sekitar 15 tahun yang tadi sempat bertemu dan berfoto dengan Isaac
ketika Isaac melakukan kunjungan paddock club. Nama gadis itu Camila
Castellano. Gadis muda keturunan Italia itu sangat menawan hati. Berparas
begitu cantik dan berambut hitam legam, membuat siapapun yang memandangnya tak
akan mampu melepaskan pandangan daripadanya. Begitu pula Isaac, yang terpesona
akan kecantikan gadis remaja yang saat ini berada dalam dekapannya itu.
Dan Isaac pun teringat bahwa dia pernah
bertemu dengan gadis itu sebelumnya, yakni pada saat dia melakukan kunjungan
paddock club siang tadi. "Lho, kamu kan.. yang tadi di paddock club? Kamu
tidak apa-apa? Tentu kamu pusing karena temperatur di sini. Ayo, lebih baik
kamu istirahat dulu," tawarnya ramah.
Camila tersenyum. "Trims ya.. Ike,
kamu sudah menolong aku dan mengkhawatirkan aku. Tapi aku tidak apa-apa, kok.
Setelah melihat kamu, pusing aku hilang.." ujarnya seraya menatap mata
cokelat Isaac.
Isaac terdiam sejenak, lalu tersenyum.
"Siapa namamu tadi..?"
"Camila. Camila Castellano."
"Camila.. nama yang manis,"
puji Isaac.
"Thanks," Camila tersenyum
manis.
"Kamu sendirian, di sini? Mana
temanmu yang tadi?"
"Tidak usah pikirkan dia,"
Camila memandangi Isaac dengan pandangan penuh pesona. "Demi Tuhan.."
ujarnya.
"Lho, ada apa?"
"Kamu benar-benar makhluk Tuhan yang
tercipta paling sempurna, Ike! Kamu tahu berapa banyak cewek-cewek di luar sana
yang memuja kamu, terpesona akan kamu..!"
Isaac tergelak. Tawanya begitu renyah.
"..Kamu naif, tidak ada manusia yang sempurna!"
"Aku tak peduli. Buatku, kamu
sempurna. Aku tergila-gila sama kamu."
"Camila, Camila! Dengar, Sayang,
kamu masih terlalu muda. Jalan hidupmu masih panjang, banyak hal yang bisa kamu
lakukan ketimbang tergila-gila dengan orang yang tidak pantas untuk kamu."
Camila mengangkat alis. "Kenapa
tidak pantas! Dan kenapa mempermasalahkan umur?"
"Karena jalan hidupmu masih panjang,
dan, aku yakin sekali, di luar sana ada seseorang yang jauh lebih pantas untuk
melindungi kamu ketimbang orang seperti aku. Kamu sangat cantik, Cami. Dan
hanya pria yang berkualitas terbaik yang pantas memiliki kamu," ujar Isaac
seraya mengusap lembut pipi Camila.
"Bukankah pria berkualitas terbaik
itu ada di hadapanku, sekarang?"
Isaac tersenyum. "Sayang, kamu hanya
terpesona akan keindahan fisik semata. Yang paling banyak berperan dalam suatu
hubungan tidak lain adalah kasih sayang yang murni, yang tidak melihat fisik
semata."
"Kupikir itu cuma teori belaka.
Dalam kehidupan nyata, cowok-cowok hanya melihat fisik! Mereka tidur dengan
cewek-cewek yang mereka anggap menarik, lalu setelah itu baru melakukan
penjajakan! Kalau cocok, terus.. kalau tidak cocok, mereka pergi begitu saja.
Apalagi bagi yang sudah dewasa, selingkuh, one night stand atau semacamnya bisa
terjadi karena manusia zaman sekarang ini hanya melihat fisik, kan?"
Isaac terdiam memandangi Camila.
"..Argumen yang hebat."
"Benar, kan!"
"Tapi jika aku adalah salah seorang
dari tipe cowok semacam itu, kamu tidak perlu bersusah payah berdebat denganku
di sini. Cami, aku menghormati wanita; aku menghormati kaum kamu dan aku
menghormati kamu juga. Aku tidak mau menyakiti dan menodai kamu dengan hubungan
yang hanya didasarkan pada ketertarikan seksual.." Isaac tampak terkejut
mendengar perkataannya sendiri. Wajahnya agak tersipu, lalu tersenyum. "..Well,
aku jadi malu sendiri kenapa membicarakan hal yang sensitif."
"Apa aku tak cukup menarik untuk
kamu, ya?"
"Cami, sudah kukatakan, kamu cantik
dan menarik. Tapi bukan aku yang pantas memiliki kamu."
"Seharusnya kamu tidak mengatakan
hal itu. Bukankah kita tidak pernah tahu siapa jodoh kita, sampai kita
menemukannya? Siapa tahu..?"
Isaac menjawab Camila dengan secercah
senyum. "Jodoh yang diperuntukkan bagimu bukan aku, Cami. Aku tidak berhak
melakukan itu."
Camila mulai kehilangan kata-kata untuk
merayu Isaac. "Isaac.."
"Hey, ayolah! Saat ini aku sudah
ditunggu kru dan tim mekanik agar performa kami lebih optimal pada saat race
nanti. Sebagai pendukungku, kamu tidak ingin aku mendapat hasil buruk,
kan?" tegur Isaac.
Camila merengut, merasa kesal dan gemas.
"Okay.. okay! Aku tidak akan ganggu kamu lagi. Susah sekali ya, merayu
kamu!" ujarnya. Ia terdiam sejenak seraya memandangi Isaac. "..Kamu
sangat menggemaskan," katanya lagi seraya berjinjit dan mengecup kedua
pipi Isaac dengan gemas.
Sementara yang dikecup terdiam tidak
menyangka, tapi juga tidak menolak. Dia tersenyum pada Camila, "Aku tidak
akan pernah lupa dengan fans yang 'bandel' seperti kamu. Gadis yang cerdas,
nekat, dan pemberani."
Camila menyeringai.
"Semoga kamu tidak pernah bosan
mendukung aku. Bye, Cami," pamit Isaac.
"Bye bye! Sukses ya, Ike!"
Dan Isaac meninggalkan Camila sambil
menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum. Tidak bisa disangkalnya dia
menikmati pertemuan kocaknya dengan fans yang 'bandel' seperti Camila itu, dan
tidak bisa disangkalnya pula dia menikmati kecupan gratis yang diterimanya. Dan
diam-diam dia berharap kecupan itu merupakan pertanda bagus yang membuatnya
bisa meraup poin dalam race yang akan dimulai sebentar lagi.
01:58 pm.
Semua pembalap sudah berada di dalam
kokpit mobil masing-masing; bersiap menghadapi race keenam musim itu. Fez yang
sedari tadi terdiam dan melamun, masih teringat akan kejadian semalam yang
membuatnya panas dan iri hati pada adiknya sendiri. Fez mengakui diri bahwa dia
tidak bisa menerima kenyataan mengetahui Isaac akan segera bergabung dengan tim
Glauber, tim Formula 1 yang paling kuat dan solid, musuh terbesar tim GT
Forrier. Dia bagai terbangun dari tidur ketika menyadari race akan segera
dimulai, dan segera memusatkan pikiran pada race yang akan segera dijalaninya.
Dia bersiap dan melajukan mobilnya perlahan ketika lampu merah sudah padam,
sementara mobil-mobil lainnya mengikuti di belakangnya. Parade lap, mereka
mengitari sirkuit terlebih dulu sebagai pemanasan sebelum race yang sebenarnya
dimulai.
Selama pemanasan, Fez berupaya melupakan
segala kemarahan-kemarahan dan masalah-masalah yang ditanggungnya barang
sejenak, agar dirinya dapat berkonsentrasi penuh pada race. Dia tidak ingin dan
tidak akan pernah menodai penampilannya yang cemerlang di dunia balap jet darat
itu dengan adanya masalah-masalah pribadi yang terus mengganggunya.
Fez tiba di starting grid pertama kali.
Mobil-mobil di belakangnya pun tiba dan mereka segera menempati posisi start
masing-masing. Fez memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dan
mengembuskannya perlahan. Dilakukannya itu berulang kali hingga dia merasa
lebih tenang dan siap untuk berkonsentrasi penuh pada race dan mengerahkan
segala daya upayanya untuk meraih hasil terbaik.
Lampu merah padam, dan race pun dimulai.
Fez segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, dia tidak membiarkan
siapapun merebut posisi pertamanya pada race kali itu. Dan dia berhasil. Tapi
tidak hanya sampai di situ saja. Dia harus bisa mempertahankan posisi
terdepannya, hingga akhir race. Maka dia melajukan mobilnya dengan kecepatan
maksimal, berusaha membuat jarak yang jauh dengan ‘penguntit-penguntit’nya di
belakang, agar mereka kesulitan mendekatinya dan bahkan mendahuluinya.
Saingan terberatnya, Alvarez, berada
tepat di belakangnya sejak awal lomba. Namun hingga saat itu Alvarez belum
berhasil menyalip Fez, pembalap muda berbakat yang menjadi saingan terberatnya
sejak tahun lalu.
Hingga pertengahan lomba, Fez tetap
terdepan. Dia sudah masuk pit sekali, dan dia tetap bisa mempertahankan
posisinya. Menurutnya hal itu sangat bagus, mengingat Alvarez terus berada di
belakangnya dan sebetulnya mempunyai cukup peluang untuk merebut posisi
terdepan pada saat Fez masuk pit.
Fez merasa, sepertinya pada race kali itu
dewi fortuna kembali berpihak padanya. Dia merasa senang dan bangga, walaupun
sebenarnya dia belum berhak untuk merasa bangga, karena race belum selesai.
Dan benar saja. Pada lap ke-32, tiba-tiba
mesin mobil Fez meleduk dan mengeluarkan asap tebal. Praktis Fez tidak bisa
lagi melanjutkan lomba. Dengan perasaan kacau Fez keluar dari kokpit dan
berjalan menuju paddock, tempat timnya menunggu.
Dia marah dan kesal, tentu saja. Dia
sudah berharap terlalu banyak pada dewi fortuna yang dikiranya akan menaunginya
hingga race usai. Namun pada kenyataannya dewi fortuna meninggalkannya dan
membiarkan mesin mobilnya meleduk!
Fez melihat mobil Isaac melewatinya, dan
keadaan hatinya menjadi semakin buruk. Dia teringat bahwa mulai musim depan,
Isaac akan menjadi pembalap utama Glauber, menggantikan posisi Alvarez saingan
terberatnya kini. Dia tidak mau menerima kenyataan bahwa saudaranya sendiri
memiliki keberuntungan yang lebih besar dalam karir.
Dan dia semakin merasa kesal dan marah.
Fez melepas helm serta balaclava, dan tampaklah seraut wajah yang
ditekuk penuh amarah dan kekesalan yang menjadi-jadi. Teman-teman timnya
menyambut kedatangannya di paddock namun Fez tidak mengacuhkan mereka, dia
segera berlalu dan menyelinap ke ruang ganti. Di sana dia membanting helmnya
keras-keras dan melontarkan segala macam sumpah serapah dan kata-kata kotor
dari mulutnya.
Setelah puas menyumpahserapahi segala hal
yang membuatnya kesal, dia merasa sedikit lebih lega. Terasa sedikit penyesalan
di hatinya karena terlalu terbawa emosi, yang dia tahu dia tidak boleh
melakukannya.
Fez berdiam diri beberapa jenak guna
menetralkan emosinya, lalu dia keluar menuju pit wall, hendak mengikuti
jalannya race secara lebih intensif bersama sang bos dan para perancang
strategi tim. Saat ini, Alvarez turun posisi ke posisi dua setelah sempat
melakukan sedikit kesalahan di tikungan pertama, dan rekan setim Fez, Shawn
Renan mempergunakan kesempatan emas itu untuk menyalip Alvarez dan hingga kini
Renan memimpin lomba. Setelah Fez retire, konsentrasi tertuju penuh pada Renan
dan semua anggota tim ingin mengusahakan yang terbaik agar Renan dapat
mempertahankan posisinya hingga akhir race.
Setelah memberikan informasi tentang apa
yang terjadi pada mobilnya tadi pada sang bos, Gerhard Brautovich, dan
memberikan sepatah dua patah kata pada pers yang mencegatnya di motorhome, Fez
memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di sekitar motorhome. Berusaha
menghibur dirinya sendiri dengan melepaskan diri sejenak dari pekerjaan yang
ada di tangannya. Dia mengurungkan niat untuk mengikuti jalannya race di pit
wall; bukannya dia tidak peduli, dia percaya pada kemampuan Renan dan dia
percaya Renan akan dapat mempertahankan posisinya hingga akhir race. Dia hanya
sedang merasa sedikit jenuh dan suntuk memerhatikan mobil-mobil yang
berseliweran di depan hidungnya sementara seharusnya dia juga masih berkutat
dalam pertarungan hari itu, jika saja mesin mobilnya tidak meleduk!
Maka dia berjalan-jalan santai sejenak,
memerhatikan orang-orang yang ada di sekitar paddock club timnya. Seketika dia
melihat seorang gadis cantik yang tengah memerhatikan dirinya. Seorang gadis
berkulit kemerahan dan berambut sebahu hitam legam.
Gadis itu, Camila, memang tengah
memerhatikan Fez. Ia tidak begitu bersemangat menonton jalannya race karena
Isaac masih terjebak di posisi kesepuluh. Merasa bahwa jagoannya itu tidak bisa
meraih hasil yang lebih bagus lagi, ia memutuskan untuk menghilangkan kejenuhan
dengan berjalan-jalan di sekitar paddock club. Tak disangkanya ia kini melihat
Ferris Rutherford, pembalap yang berwajah sangat mirip dengan Isaac; pembalap
GT Forrier yang prestasinya lebih mentereng dibanding Isaac. Dipenuhi rasa
penasaran mengapa Ferris dan Isaac berwajah mirip, ia memerhatikan Ferris.
Berusaha mencari-cari letak perbedaan fisik yang ada pada diri Ferris dan pada
Isaac yang ia puja. Tidak menemukan yang dicarinya, ia hanya menemukan
kenyataan bahwa Ferris dan Isaac benar-benar mirip, bagaikan sepasang kembar
identik. Hanya model rambut mereka saja yang membedakan. Dan Camila tersenyum.
Fez yang tampaknya terpesona akan
kecantikan gadis remaja itu, mendekati Camila dan menyapanya. "Hai,"
sapanya ramah.
Camila tersenyum manis. "Hai.. Kamu
pasti Ferris Rutherford, senang berkenalan denganmu. Namaku Camila
Castellano," katanya seraya
mengulurkan tangan.
Fez menyambut uluran tangan Camila dengan
hangat. "Camila? Nama yang manis, senang berkenalan denganmu."
"Wah..! Senangnya hari ini, aku
bertemu dua pembalap ganteng yang sama-sama memuji namaku," kata Camila
riang.
Fez tersenyum. "Oh ya..?"
"Ya..! Tadi Isaac juga memuji
namaku."
Fez mengangkat alis. "Isaac..? Well,
kurasa kamu salah satu pengagum Isaac, ya?"
Camila tertawa ringan. "Tentu..!
Siapa sih yang tidak terpesona pada Isaac..?"
Fez tersenyum tipis. "Aku tidak.
Karena aku laki-laki," katanya, disambut gelak Camila.
"Oh.. iya ya!"
"By the way, kenapa kamu ada di
sini? Tidak menonton?"
"Ah, aku bosan. Dan panas, pula.
Lebih baik jalan-jalan ke sini. Kamu sendiri, kenapa ada di sini?"
Fez tersenyum. "Sedang menenangkan
pikiran, mendapat kejadian mesin meleduk setelah memimpin 30 lap bukan hal yang
menyenangkan, bukan?"
"I see.." sahut Camila.
Wajahnya berubah murung seakan turut merasakan kekecewaan Fez.
"Keberatan, jika aku memintamu menemaniku
sebentar, Camila..?" tawar Fez.
Camila tersenyum. "Tentu tidak..!
Dengan senang hati. Kapan lagi ada kesempatan bisa menemani pembalap ganteng
seperti kamu..?"
"Kamu gadis yang ekspresif, aku
senang dengan cewek seperti kamu."
"Thank you..!"
"Sopankah kalau aku menanyakan
umurmu? Kamu sepertinya masih muda sekali."
"15 tahun," jawab Camila cepat.
"Memang kenapa?"
Fez mengangguk. "Oh, benar dugaanku.
Kamu masih remaja. Masih muda, dan sangat cantik."
Camila tersipu. "Thanks.."
"Dan kamu tahu? Aku terpesona sama
kamu. Sungguh, keelokan parasmu membuatku tidak bisa memalingkan wajah dari
padamu. Apa kamu ini model, atau semacamnya?"
Camila tertawa. "Aku hanya gadis
biasa..! Aku bukan model atau aktris."
"Sayang sekali, padahal kupikir kamu
cocok menjadi model."
"Akh, aku tidak punya bakat
melenggak lenggok di atas catwalk atau berakting. Aku tidak suka seperti
itu."
Fez mengangguk. "I see. Apa kamu
sendirian, ke sini?"
"Tidak. Aku bersama sepupuku,
Jessica. Ia yang membuat akses masuk paddock club dan motorhome Purvance jadi
sangat mudah."
"Oya..?"
"Ya! Pemilik Purvance merupakan
salah satu anak buah ayah Jessica. Jadi kami bebas keluar masuk motorhome
Purvance."
Fez terdiam sejenak. "..I got it.
Sepertinya pamanmu itu orang yang berkuasa, ya. Orang penting di Amerika
Serikat; apa kamu berasal dari New York?"
Camila tersenyum. "Ya. Memang. Dan
memang pamanku orang yang berkuasa, tapi itu tidak penting untuk
dibanggakanlah, walaupun berkatnya aku jadi bisa bebas keluar masuk tempat yang
tidak semua orang bisa kunjungi. Aku lebih bangga pada ayahku sendiri."
Fez balas tersenyum. "Ah, aku
semakin yakin, siapa gadis manis yang ada di hadapanku sekarang ini."
"He? Memang kamu tahu siapa
ayahku?"
"Kenapa mesti tidak tahu, Cami? Aku
tertarik dengan kasus ayah dan pamanmu itu. Dua orang Castellano yang saling
mencari-cari kesalahan agar bisa menjatuhkan satu dan yang lainnya. Aku benar,
kan?"
Camila tersenyum. "Tepat."
"Lalu? Mana sepupumu itu?"
"Dia ada di dalam. Asyik menonton
sendirian. Biar sajalah, aku sedang kesal dengannya. Dia terlalu percaya diri
dan selalu sesumbar bahwa Isaac akan jadi miliknya. Padahal kenal sama Isaac
saja tidak."
"Kalian sama-sama mengidolakan Isaac
Renauld? Kenapa tidak mendukung pembalap lainnya, seperti aku, begitu? Apa
prestasiku kurang menarik buat kalian para gadis?"
Camila menggeleng. "Bukan begitu..!
Kamu hebat, Fez. Kamu sebenarnya lebih jago ketimbang Isaac, aku tahu itu,
mobilmu juga excellent. Dan kalian berdua mirip, tapi...."
"Tapi?"
"Tapi.. bukankah kamu itu senang
bermain cewek ya..?"
Fez terbahak. "Cami..! Cami..! Kamu
terlalu banyak membaca infotainment atau semacamnya. Aku tidak seperti yang
mereka tulis, Sayang. Mereka terlalu jauh berkreasi dengan pikirannya hingga
bisa menciptakan berita-berita miring tentang aku."
"Jadi, semua itu bohong..?"
Fez menatap Camila tepat di mata.
"Aku pria baik-baik yang simpatik. Aku selalu memperlakukan wanita dengan
penuh cinta. Aku tidak pernah dengan sengaja menyakiti hati mereka. Kamu, lebih
percaya aku, atau lebih percaya pada kata-kata pers..?" tanyanya seraya
mengusap pipi Camila dengan lembut.
Dan, seperti yang memang menjadi
kelebihan Fez dalam memesona banyak wanita, Camila terbius oleh kata-kata manis
Fez dan tatapan matanya..
"Kau punya fans yang sangat manis
ya, Ike," kata Fez pada Isaac via telepon, malam itu.
"He?"
"Camila. Katanya tadi siang kalian
ketemu di paddock club?"
"Camila? Tahu darimana kau, kau
berkenalan dengannya? Kapan?"
"Ya tadi siang lah. Kau pikir apa
yang kulakukan pasca dnf ( *dnf = did not finished* )? Stuck, tidak melakukan
apa-apa di motorhome? Untuk apa, lebih baik aku jalan-jalan. Lalu aku bertemu
dengan yang namanya Camila itu. Manis, ya."
Terdengar gelak Isaac. "Dasar kau,
cepat sekali reaksimu kalau melihat ada cewek manis menganggur sendirian.
Terus? Kau sudah menjadikan dia sebagai pendukungmu, bukan pendukungku
lagi?"
"Wah, kurang tahu ya, sekarang dia
lebih mendukungku atau mendukungmu. Tapi yang jelas, dia itu cewek yang sangat
manis, masih muda dan masih polos. Belum pernah tersentuh siapapun."
Isaac terkejut. "Heh, kau tidak
berbuat macam-macam dengan cewek itu, kan?"
Giliran Fez yang tergelak. "Kenapa
aku mesti tidak berbuat yang macam-macam, kalau dia juga mau denganku?"
"Fez! Bangsat kau, dia masih anak
kecil! Masih 15 tahun! Belum cukup umur untuk kau permainkan..!"
"Ah, 15 tahun sudah cukup dewasa.
Kenapa kau, marah, tahu fansmu kukerjai?"
"Ya bukan begitu. Tapi Camila kan
masih abg, apa yang merasukimu, sampai kau tega seperti itui? Kau perawani
dia??"
Fez tertawa. "Inti dari semua itu
kan yang penting 'mau sama mau', tidak ada hubungannya dengan tega atau
tidak."
"Damn. Bukan main bangsatnya kau.
Sadar sedikitlah, kelakuanmu itu sangat negatif."
"Hm, apapun katamu. Kau tidak tahu
sesuntuk apa aku tadi. Bahkan sampai sekarang pun kalau ingat kejadian tadi
siang aku masih suntuk. Apa salahnya sih kalau aku mencari kesenangan
pribadi?"
Isaac menggeleng-gelengkan kepala, Fez
sepertinya tidak akan pernah sadar dari kelakuan negatifnya, pikirnya. Bahkan
anak gadis yang masih perawan pun, yang tidak dia kenal, disambar juga!
24 Juni 2002, Madrid, Spanyol.
Sudah hampir sebulan lebih Royce dan
rekan-rekan tim nasional Inggris berada di Spanyol, mengikuti serangkaian
pertandingan Piala Eropa 2002. Berkat kerja keras mereka dan juga keberuntungan
yang besar, tim nasional Inggris berhasil memasuki babak semifinal. Peluang
mereka untuk mempertahankan trofi Piala Eropa terbuka lebar, dan mereka akan
berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan peluang tersebut.
Pagi itu Royce sedang sarapan bersama
dengan teman-teman timnas seraya membicarakan hal-hal ringan dan sedikit
bersenda gurau, melepaskan sedikit beban sebelum memulai latihan intensif yang
akan mereka jalani sebagai persiapan menghadapi tuan rumah, Spanyol, di partai
semifinal 28 Juni mendatang.
Ponsel Royce berdering. Royce segera
menjawab, “Halo?”
“Hey, Royce!” sapa suara di seberang.
Royce segera mengenali suara Fez, “Hei,
Fez. Apa kabar?”
“Fine, thanks. Congrat, bro, sudah kuduga
sejak awal, Inggris pasti bisa masuk semifinal, dan final, tentunya! Aku
menonton siaran langsung pertandinganmu tadi malam lawan Belanda. 1-0. Pencetak
golnya lagi-lagi kau. Makin spektakuler saja gol yang kau cetak? Kau itu memang
benar-benar ‘ujung tombak’ Inggris,” cerocos Fez, seakan tidak memberikan
kesempatan pada Royce untuk menyela maupun menjawab.
“....Sudah? Sekarang giliranku bicara?”
Fez tertawa. “Sorry, aku cerewet ya?”
“Kedengarannya kau sudah ceria sekarang?
Syukur deh. Bukankah kau akhir-akhir ini suntuk berat?”
“Ah, ayolah, aku sedang tidak ingin
mengingat persoalan-persoalanku. Hari ini aku sedang senang karena sobatku
menjadi ‘man of the match’ dalam pertandingan tadi malam. Kau memang terlahir
untuk menjadi pemain bola sejati. Pertahankan prestasimu, bro.”
“Thanks. Aku sedang beruntung saja tadi
malam. Dimana kau sekarang?”
“Belgia.”
“Lho, belum balik? Oh ya, bagaimana hasil
race kemarin?”
“...Well, aku masih beruntung karena aku
bisa meraih podium ketiga. Padahal kemarin benar-benar penghabisan untukku.
Bayangkan, aku dikenai penalti pengurangan dua detik! Aku terpaksa start dari
posisi 15! Belum lagi aku harus terus konsentrasi penuh pada race, sementara
persoalan yang harus kutanggung seakan tidak mau lepas dari otakku!”
“Sebenarnya persoalan apa yang
memberatkanmu? Kalau kau bersedia, kau bisa mengandalkanku untuk cerita.
Daripada ditanggung sendiri, bisa berefek ke penampilanmu di race, kan? Seperti
waktu bulan lalu, F1 seri ke-6. Kudengar kau marah-marah di sirkuit. Juga waktu
seri ketujuh dan kedelapan awal bulan ini.”
“Sorry, Royce. Bukannya aku tidak percaya
denganmu. Tapi ini terlalu pribadi. I can handle it.”
“It’s ok, I believe that you can. Hey,
kau belum pernah sekalipun menonton secara langsung pertandingan Inggris di
sini, kan? Kemarin kau berjanji akan datang.”
“Man, aku pasti datang! Tanggal 28 nanti
kupastikan datang dan menonton kalian bertanding. Kemarin-kemarin aku benar
tidak bisa menonton langsung. Kau tahu, kan, seri F1 bulan Juni ini sangat
padat. Oh ya, pas final juga aku pasti datang kok. Sampai ketemu di final.”
“Hei, Inggris kan belum tentu masuk
final.”
“Pasti! Pasti masuk final. Percaya
padaku.”
“Sejak kapan kau jadi peramal? Sudah
bosan jadi pelukis?”
“Sialan. Serius nih.”
“Bukannya awal Juli kau ada race? Tanggal
berapa? Tanggal 7 ya? Sementara partai final dan perebutan tempat ketiga dan
keempat diadakan tanggal 2 dan 3 Juli. Apa tidak berbenturan dengan
kegiatanmu?”
“Tidak. Race tanggal 7 di Catalunya,
bro.”
“Oh, pantas. Grand Prix Spanyol rupanya.”
“Nah, tanggal 7 Juli nanti giliran kau
yang menonton aksiku secara langsung di sirkuit.”
Royce tergelak. “Tenang! Kalau perlu
kubawa seluruh teman-teman tim dan suporter Inggris ke Catalunya.”
3 Juli 2002.
Partai final Piala Eropa 2002.
Inggris tampil cemerlang pada saat
semifinal beberapa hari sebelumnya melawan Spanyol, sang tuan rumah. Mereka
secara mengesankan berhasil menundukkan Spanyol 2-0, dan itu membuat Inggris
berhak melaju ke babak final, yang diadakan pada hari ini, melawan finalis
lainnya, Italia.
Seperti biasa, stadion penuh dengan para
penonton dan suporter setia kesebelasan Inggris dan Italia. Event besar seperti
Piala Eropa memang selalu mengubah stadion menjadi lautan manusia. Di salah
satu tribun eksklusif, tempat Fez dan teman-teman tim GT Forriernya sudah duduk dengan manis, menunggu
pertandingan final itu dimulai.
“Sudah kuduga sebelumnya, Inggris pasti
masuk final!!” ujar Fez berapi-api pada teman-teman timnya.
“Hey kau sudah berkali-kali berbicara
seperti itu,” sahut Dan.
Kedua skuad yang akan saling
memperebutkan trofi Piala Eropa itu pun keluar. Mereka berdiri berjajar, dan
lagu nasional kedua negara pun berkumandang di udara. Kemudian para pemain
bersalaman, dan langsung mengambil posisi masing-masing.
Royce menyapukan pandangan, melihat
berkeliling. Teman-teman setimnya tampak sudah siap tempur sedari tadi. Kapten
tim Inggris dan kapten tim lawan tampak masih menyalami para wasit yang
bertugas. Dia melihat ke arah tribun penonton eksklusif di depannya, dan menemukan
sosok sahabatnya, Fez, duduk bersama dengan teman-temannya. Dia memicingkan
mata, berusaha memastikan benarkah yang dilihatnya itu adalah Fez.
Fez melambai pada Royce, ketika menyadari
Royce melihatnya dan teman-temannya. Royce membalas lambaian tangan Fez dengan
tersenyum lebar. Fez memberikan semangat pada Royce dengan mengepalkan tangan
erat-erat dan mengacungkannya ke atas. Royce membalas kepalan tangan itu.
Peluit berbunyi.
Pertandingan pun dimulai, diiringi riuh
rendah penonton yang begitu antusias. Kedua negara itu masing-masing
mempertahankan negaranya sendiri agar tidak kebobolan lebih dulu dan saling
menyerang, berusaha mencetak gol. Beberapa kesempatan baik bagi skuad Inggris
untuk mencetak gol, selalu dipatahkan oleh Italia.
Babak pertama berlalu tanpa gol.
Di babak kedua, pertandingan kian
memanas, kedua tim berusaha keras mencetak gol ke gawang lawan. Namun keduanya
merupakan tim yang kokoh dalam pertahanan dan juga gencar dalam menyerang,
sehingga pertandingan final kali itu merupakan pertandingan yang apik dan
sungguh menarik.
Hingga pada menit ke-82, skor kedua tim
tetap 0-0. Para penonton tak henti-hentinya meneriakkan yel-yel pemberi
semangat pada kedua tim yang sedang berlaga.
Menit demi menit berlalu dengan cepat.
Saat itu Italia sedang gencarnya melakukan serangan pada Inggris. Ketika
serangan itu berlangsung di daerah kotak penalti Inggris, Salah seorang pemain
Inggris melakukan tackling pada salah seorang pemain Italia yang pada saat itu
sedang membawa bola. Wasit meniup peluit dan menunjuk titik penalti. Pendukung
Italia serentak bersorak gembira.
Seorang pemain muda berbakat dari Italia,
yang mendapat kesempatan untuk mengeksekusi tendangan penalti kali itu, sudah
berdiri kokoh di sana, siap melakukan tendangan penalti. Tendangan yang
berkemungkinan besar dapat mengantarkan timnya merebut trofi Piala Eropa.
Sementara itu, kiper Inggris, berusia sekitar 28 tahunan, yang disebut-sebut
sebagai kiper termahal karena kemampuannya yang tidak usah diragukan lagi,
bersiap di mulut gawang, berusaha meningkatkan ke-awas-annya dan kejeliannya
dalam membaca arah bola.
Peluit berbunyi. Pemain Italia itu
terdiam sesaat, sebelum kemudian mengambil ancang-ancang dan menendang bola
tepat menuju ke arah gawang. Kiper Inggris yang sudah menduga arah bola itu
sejak awal, melentingkan tubuh dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berusaha
menjangkau bola..
Namun bola itu melewatinya. Walaupun dia
sudah berusaha merentangkan tangannya sejauh yang dia bisa, bola yang hanya
berjarak beberapa inchi saja darinya itu lolos.... dan membuahkan gol.
Pemain Italia yang berhasil mengeksekusi
tendangan penalti itu berlari mengekpresikan kesenangannya, sementara
teman-temannya yang lain memeluk dan menciuminya. Seluruh pendukung Italia pun
turut larut dalam suasana gembira tersebut.
Pertandingan belum selesai, dan kini
Inggris berusaha semaksimal mungkin untuk membalas ketertinggalan mereka.
Berkali-kali gawang Italia terancam oleh serangan Inggris yang kian gencar dan
tajam, namun sayangnya keadaan tidak berubah. Hingga wasit meniup peluit tanda
pertandingan telah usai, skor tetap 1-0 untuk Italia.
Serentak ofisial dan seluruh pemain
Italia tenggelam dalam kegembiraan. Puluhan ribu suporter Italia juga turut
larut dalam kegembiraan menyambut kemenangan mereka.
Para pemain bersalaman dan memberi hormat
kepada para suporter dan penonton. Penyerahan Piala Eropa dilaksanakan dengan
begitu meriah.
“Lagi-lagi... runners up,” ujar Fez.
Yang lain menyahut, “Yeah, sayang.
Harusnya Inggris bisa tetap mempertahankan trofi, dan harusnya penalti itu
tidak usah terjadi.”
“Apa Royce masih bisa tersenyum, kalah
dalam event besar seperti ini?” tanya Dan.
Fez dan yang lainnya serentak
memperhatikan Royce yang masih berada di lapangan. Mereka menyaksikan sendiri
wajah Royce yang seolah tanpa beban, menyalami dan memberi selamat dengan
senyum di wajah – pada para pemain Italia. Hal yang sama tidak mereka jumpai
pada segelintir pemain Inggris, kiper Inggris dan juga pelatih timnas Inggris.
“Well, dia memang pemain bola sejati,”
ujar Fez.
“Yeah, setuju. Dia kesayangan publik
Inggris. Aku jadi tidak sabar menunggu aksi dia di Piala Dunia 2004 nanti.”
“Royce cs pasti bisa menunjukkan bahwa
Inggris adalah tim tuan rumah yang solid dan tidak terkalahkan.”
Chapter 11 - 15
Chapter 11 - 15
-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-
No comments:
Post a Comment