Last Champagne chapter 6-10

Copyright © 2014 CamilleMarion All Rights Reserved

Chapter 1 - 5

Chapter 6. 11 Maret 2002
Birmingham, Inggris.
James Renauld, seorang pria paruh baya berambut keabu-abuan, sedang asyik menikmati kopi pahit favoritnya, pagi itu, ditemani oleh Evelyn, istri setianya.
Mereka sedang membicarakan putra mereka, Isaac, yang pada Grand Prix kemarin mendapatkan poin perdananya pada musim itu. Mereka sangat bangga pada putra mereka, dan terus mendoakan putra kesayangan mereka itu agar semakin sukses dalam karir dan mendapatkan semua yang dicita-citakannya.
Obrolan itu terhenti ketika telepon di ruang tengah berdering. James bangkit berdiri dan menjawab telepon itu.
Evelyn sedang menuang kopi untuk dirinya sendiri ketika suaminya datang sambil membawa koran pagi. “Siapa yang menelepon?” tanyanya.
James menarik kursi dan duduk, “Isaac. Dia titip salam pada mamanya.”
Evelyn menyesap kopinya. “Lalu? Dia menelpon cuma untuk mengatakan itu saja?” tanyanya lagi. Matanya yang coklat tampak bertanya.
“Dia mengatakan akan pulang ke sini, hari rabu,” jawab James sambil membolak-balik koran, mencari artikel yang dianggapnya menarik. Tak menemukan apa yang dicarinya, dia kembali pada halaman pertama dan melihat artikel yang mengulas Grand Prix Formula 1 seri pertama kemarin, berikut dengan fotonya, yang menjadi headline koran itu. “Hey, ada artikel tentang Grand Prix kemarin,” ujarnya.
“Oya?” sahut Evelyn sambil menggeser duduknya, ingin ikut membaca artikel tersebut.
Artikel itu diberi judul dengan huruf yang dicetak tebal :

Persaingan Ketat yang Tak Pernah Usai, Glauber vs GT Forrier
Apakah seorang Jose Rudolpho Alvarez sebagai Juara Dunia F1 lima kali merasa gondok karena dipecundangi pembalap muda berbakat, Ferris Rutherford?
Alvarez berkilah, sangat sulit menyalip di sirkuit Monza, dan menurutnya Rutherford sedang bernasib baik hingga bisa menyalipnya. Dan itulah yang membuat dia gagal meraih podium pertama. Pembalap berusia 35 tahun itu bertekad untuk mengerahkan segenap kemampuannya dan merebut posisi juara dunia untuk keenam kalinya. Hal itu dilakukannya untuk Glauber, sebagai kenang-kenangan yang terakhir darinya. Sebab setelah musim 2002 ini, Alvarez memutuskan untuk pensiun dari balap jet darat yang membesarkan namanya .....

Namun kemudian Evelyn terpaku begitu melihat foto yang terpampang di koran itu. Foto Ferris Rutherford sedang mengangkat trofi dengan wajah ceria penuh percaya diri di atas podium, sebagai ekspresi atas kemenangannya di seri pertama itu. Wajah Ferris terlihat begitu jelas di foto itu.
“Jim...!” desis Evelyn, sambil mencengkeram lengan James erat.
James menoleh. “Ada apa?”
“..D,dia...” ucapnya terbata sambil menunjuk foto Ferris.
“Oh. Dia kan Ferris Rutherford. Pemenangnya! Dia itu orang yang pernah diceritakan Isaac pada kita, Eve. Orang yang berwajah mirip dengan Isaac. Aku pernah sekali dua kali bertemu dengannya ketika aku menemani Isaac bertanding, dan memang mereka terlihat mirip. Bagaimana menurutmu?”
“...Bukan hanya mirip, Jim...! Jim, jangan-jangan dia....”
“Kenapa? Ada apa sih, Eve?”
“Jim, dia begitu mirip..! Dia sangat mirip dengan Isaac...! M,mungkinkah... mungkinkah orang ini adalah...”
“Eve..! Tenangkan dirimu! Sebenarnya apa sih yang ingin kau katakan?” tanya James seraya menenangkan istrinya.
“James! Bagaimana bisa kau tidak menangkap apa maksud perkataanku? Kau lupa? Kau tidak ingat, dosa besar yang dulu kita lakukan? Apa yang kita cari selama dua puluh tahun lebih ini, sampai akhirnya kita putus asa?” tegur Evelyn dengan suara bergetar.
James terdiam berjenak. “...T, tapi Eve... ini tidak mungkin. Tidak mungkin orang yang ada di foto ini, adalah dia! Tidak mungkin sekebetulan ini, Eve!”
“Kenapa tidak? Segala hal mungkin saja terjadi, Jim..! Dan... dan lagi.. naluriku mengatakan... memang inilah dia...”
“Eve! Jangan terlalu yakin akan intuisimu semata. Orang yang berwajah mirip di dunia ini banyak, aku yakin. Belum tentu Ferris Rutherford ini... adalah..”
“Kemungkinan selalu ada, Jim. Minta Isaac untuk mempertemukan kita dengan orang ini. Kita akan buktikan apakah naluriku memang salah, atau benar. Kau pikir, dari siapa Isaac mewarisi bakat dalam membalap? Dari ayahmu! Dan sekarang, ada orang yang seumuran dan berwajah mirip dengan Isaac, memiliki bakat yang sama pula, apa kau pikir itu juga sebuah kebetulan?”
James terdiam.

Stamford Bridge Stadion, 24 April 2002
Partai final Piala FA.
Ferris dan teman-teman akrabnya di tim GT Forrier menyempatkan diri untuk menonton pertandingan final itu secara langsung. Pertandingan final antara dua tim besar dari Liga Primer Inggris, Brandt versus Larx United, untuk memperebutkan Piala FA.
“Royce tahu kau datang hari ini, Fez?” tanya Dan, ketika kedua tim sudah memasuki lapangan.
Fez mengangguk. “..Hey, guys. Entah kenapa aku masih penasaran dengan kekalahanku dari Alvarez di Nürburgring hari minggu kemarin. Bisa-bisanya dia menekanku habis-habisan sebelum akhirnya dia berhasil merebut posisiku dengan sukses! Sialan,” gerutunya.
“Hey, sudahlah. Toh kau tetap naik podium, kan? Dan kau tetap mendapat poin! Kau sadar, di saat pembalap-pembalap lain sangat mensyukuri dan senang karena bisa meraih poin, apalagi naik podium, kau malah mencak-mencak! Tidak banyak pembalap yang punya keberuntungan sebesar peruntunganmu..! Dasar ambisius,” sahut salah seorang temannya.
Fez menjawab, “Hell, apa yang terjadi dengan pembalap-pembalap dari papan bawah sama sekali bukan urusanku! Aku harus terus meraih poin sempurna! Tapi pada kenyataannya sekarang? Aku kalah dalam GP kemarin, dan yang kudapat bukan poin yang sempurna. Dan gara-gara itu, poin Alvarez menjadi bertambah dekat dengan poinku. Fuck.”
“Apa sih buruknya podium ketiga?”
“’Apa sih buruknya podium ketiga?’ Gila. Hal seperti itu masih juga kau tanyakan? Buruk.  Jelas buruk. Buatku,” ujar Fez.
“Hey, kita sedang menonton bola secara langsung nih! Nikmatilah saat-saat seperti ini. Untuk apa kau masih mengungkit-ungkit yang sudah lewat? Masih tersisa 14 seri lagi buatmu untuk unjuk gigi.”
“Yeah, apalagi seri berikutnya di Silverstone, di kandang kita sendiri. Kau bisa balas ‘meneror’ Alvarez nantinya.”
Fez terdiam sejenak. “Well...” ujar Fez sekenanya. Dia melihat kedua skuad bergengsi itu sudah mengambil posisi di tempatnya masing-masing. Royce, sahabatnya, berdiri di garis terdepan timnya, tampak sedang mengambil nafas, menenangkan dirinya sendiri.
Peluit berbunyi.
Pertandingan pun dimulai, diiringi riuh rendah penonton yang begitu antusias. Kedua tim ternama itu saling menyerang, dan berusaha mencetak gol. Setelah melalui perjuangan yang sulit, salah seorang gelandang Larx berhasil menceploskan bola ke gawang Brandt melalui tendangan jarak jauh andalan gelandang itu pada menit ke-38. Para pendukung Larx bersorak gembira.
“..Wah, satu kosong, sekarang,” gumam Fez.
Namun beberapa menit sebelum babak pertama berakhir, Royce menyamakan kedudukan. Berkat kerja sama yang apik, rekan-rekan Royce memberikan umpan yang sangat bagus pada Royce dan Royce meneruskan umpan itu dengan sempurna, serta mengecoh kiper lawan. Kedudukan 1-1. Pendukung Brandt bersorak. Suasana di stadion kian memanas.
“Memang beda kalau menonton secara langsung di stadion. Menegangkan,” ujar Dan ketika wasit meniup peluit tanda berakhirnya babak pertama.
“Memang. Baru tahu?”
“Kedudukan jadi 1-1, nih. Kira-kira babak kedua nanti gimana, ya?”
“Brandt pasti menang. Yakin, deh.”
“Yeah, ada Royce si ujung tombak.”
Fez hanya tersenyum mendengar obrolan teman-temannya itu.

Babak kedua dimulai.
Hingga pada menit ke-75, skor kedua tim yang sama kuat itu tetap 1-1. Saat itu Larx sedang gencarnya melakukan serangan pada Brandt. Ketika serangan itu berlangsung di daerah kotak penalti, bola yang sedang dibawa oleh Larx terkena tangan lawan. Wasit meniup peluit dan menunjuk titik penalti. Pendukung Larx serentak bersorak gembira.
“Wah..alamat buruk nih."
“Well, jika eksekusi ini berhasil, Royce cs harus kerja keras,” sahut Fez.
Seorang pemain muda berbakat dari Larx United, yang mendapat kesempatan untuk mengeksekusi tendangan penalti kali itu, sudah berdiri kokoh di sana, siap melakukan tendangan penalti.
Peluit berbunyi. Pemain Larx itu terdiam sesaat, sebelum kemudian mengambil ancang-ancang dan menendang bola tepat menuju ke arah gawang. Kiper Brandt yang sudah menduga arah bola itu sejak awal, melentingkan tubuh dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berusaha menjangkau bola..
Namun bola itu melewatinya. Bola yang hanya berjarak beberapa inchi saja darinya itu lolos.... dan membuahkan gol. Para pemain Larx serentak berlari dan bersorak-sorak gembira. Seluruh pendukung Larx pun turut bergembira.
Tinggal sepuluh menit sebelum babak kedua usai. Brandt semakin gigih dan ‘ganas’, berusaha mencetak gol, satu saja, untuk menyamakan kedudukan. Sehingga pertandingan bisa diperpanjang hingga 120 menit.
Salah seorang pemain Brandt saat itu sedang melakukan tendangan pojok, sementara Royce dan pemain lainnya menunggu di depan mulut gawang. Bola melambung tinggi, Royce berusaha memanfaatkan tendangan itu melalui sundulan kepala. Namun ketika dia akan melakukan lompatan, pemain Larx yang berdiri di sampingnya juga melompat, dan mereka bertubrukan. Royce jatuh terjerembab, bertumpukan bahu kanannya. Pertandingan terhenti sesaat, dan Royce pun meninggalkan lapangan lantaran tidak sanggup menahan rasa sakit di bahunya.
Pendukung Brandt kecewa, juga cemas atas Royce. Mereka takut permainan Brandt tidak lagi tajam setelah Royce meninggalkan lapangan. Namun, Brandt adalah tim yang tangguh, salah satu tim yang paling solid di  Liga Primer, liga terpanas sejagad. Kepergian Royce dari lapangan tidak membuat serangan mereka melemah. Mereka tetap tajam dan berupaya keras menyamakan kedudukan menjadi 2-2. Tapi yang kini mereka hadapi juga merupakan tim yang solid, sehingga upaya mereka untuk menciptakan gol tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Kerja keras mereka berakhir setelah wasit meniup peluit panjang tanda pertandigan telah usai, dan skor tetap 2-1, untuk Larx United. Serentak ofisial dan seluruh pemain Larx tenggelam dalam kegembiraan. Puluhan ribu suporter Larx juga turut larut dalam kegembiraan.
“Runners up..?” ujar Dan.
“Yeah, kasihan Royce. Benarkah dia cedera?”
Fez menyahut, “Hell, dia tidak apa-apa, kan?”
Acara dilanjutkan dengan penyerahan medali pada tim yang menduduki posisi runner-up, yaitu Brandt. Seluruh pemain Brandt dikalungi medali perak. Pesta penyerahan trofi piala FA pun digelar sesudahnya. Para pemain, pelatih, dan ofisial tim Larx kemudian minum sampanye untuk merayakan kemenangan tersebut.
Royce yang akan kembali ke ruang ganti bersama teman-temannya, menoleh ke arah penonton di tribun – ke arah Fez cs, yang seperti biasa, berada di tribun eksklusif – dan menggerakkan kepalanya sambil tersenyum.
Fez membalas senyum Royce dan balas menggerakkan kepalanya.
“Masih bisa tersenyum.. Kusangka dia tipe yang cepat suntuk sepertimu, Fez,” komentar Dan.
Fez menjawab, “Dia tidak terobsesi untuk menang secara pribadi. Dia bermain karena dia benar-benar hobi dan mencintai dunianya ini. So, dia kalah atau menang, dia santai, yang penting dia sudah mengerahkan seluruh kemampuannya.”
“Wah! Jauh beda denganmu! Kalau kau, kau selalu terobsesi untuk menang dalam tiap seri GP! Apalagi seri keempat hari minggu kemarin, baru menempati podium ketiga saja sudah mencak-mencak. Ya kan?”
“Yaah.. yeah...penting ya, ungkit-ungkit?” sungut Fez.


Hari minggu itu seperti biasa, aku sudah duduk dengan manis di depan layar televisi. Memerhatikan dengan sungguh-sungguh percakapan para pembawa acara yang mengulas tentang perkiraan bagaimana jalannya pertandingan balap Formula 1 kali itu, yang akan dimulai beberapa saat lagi. Ah.. tiap kali menonton F1 racing, aku selalu berdebar, berharap yang terbaik untuk jagoanku, Isaac Renauld. Aku tahu mobilnya tidak setangguh tim-tim lawan.. tapi aku tahu, Isaac itu tipe pejuang yang hebat, dia tidak akan menyerah hanya karena mobilnya tidak secepat mobil lainnya.. dan aku selalu berharap yang terbaik untuknya!
Pernah saat itu, sewaktu Isaac pertama kali meraih kemenangannya di kancah Formula 1, aku sampai menangis saking terharunya.. dan saking senangnya aku karena bisa melihat Isaac berdiri dengan gagahnya di atas podium, mengangkat trofi kemenangannya tinggi-tinggi sambil tersenyum dengan lebar. Dia bukan hanya tampan.. tapi juga baik, murah hati, gentle, dan.. siapa sih wanita yang akan menolak pria seperti Isaac..?
Hanya bodohnya aku, aku tidak pernah punya keberanian untuk mendekati dia walaupun aku punya banyak kesempatan untuk melakukannya. Ah-ha, pasti kalian heran mengapa aku bisa berkata seperti itu. Yea, kalian harus tahu.. Aku dan Isaac dulu satu sekolah. Sejak high school aku satu kelas sama dia, dan membentuk kelompok gank sendiri bersama-sama dengan teman-teman kami yang lain. Dan.. aku sudah menaruh hati pada Isaac sejak aku pertama kali mengenalnya. Seharusnya banyak kesempatan buat aku untuk mendekati Isaac, tapi entah mengapa aku tidak pernah berani.. aku selalu diliputi rasa ragu untuk melakukan pendekatan, walaupun sebenarnya sikap Isaac pada diriku pun hangat, seperti sikapnya terhadap teman-teman yang lain.. Dan sekarang aku hanya bisa menyesali kenapa aku selalu tidak pernah mau melakukan pendekatan padanya, karena aku menyadari aku masih menyimpan perasaan khusus terhadapnya sampai sekarang ini.. Aku hanya bisa melihatnya dari kejauhan, dari layar televisi.. dan hanya bisa menahan rasa cemburuku ketika melihat fotonya bersama dengan pacarnya yang bernama Tanya itu. Uh.. Kenapa aku bisa sebodoh itu..??
Beberapa kali aku mencoba menjalin hubungan dengan pria, tapi tidak ada satupun dari mereka yang bisa membuat aku merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan terhadap Isaac. Bukan main ya, manusia satu itu.. teganya membuat gadis manis seperti diriku ini menderita sekian tahun lamanya..!
"Hei!!" aku tersentak kaget ketika Angie datang dan menepuk bahuku.
Angie, ia saudara sepupuku sekaligus juga salah satu anggota gank high school aku dan Isaac. Kami berdua tinggal di rumah yang sama, berhubung tempat kerja kami berdua pun jaraknya tidak begitu jauh. Ia saudara yang manis, tapi juga kadang suka cerewet dan menjengkelkan.
"Apa Ngie, kamu bikin kaget saja.." sahutku malas.
"Masih belum bosan, dukung si Ikey?" katanya sambil menghempaskan tubuhnya di sampingku.
"Maksudmu?"
"Ya itu, maksudku, kamu masih mencintai Ike, kan? Padahal kamu tidak pernah mau mendekati dia, untuk apa juga kamu masih menyimpan rasa terhadapnya?"
Aku menghela nafas. ".. Usil banget sih kamu? Suka-suka akulah, aku masih cinta dia kah, atau aku masih setia dukung dia kah, memangnya apa urusanmu?"
"Ya habis kamu tolol sih! Sudah ratusan kali, ribuan kali malahan, aku mendorongmu supaya kamu mau make a move sedikit saja, dia itu baik kok! Dia itu.... aku heran kenapa sih kamu tidak pernah mau mendekati dia? Sekarang dia sudah punya pacar, sudah berapa tahun dia memacari Tanya, kurasa sih mereka sebentar lagi akan segera menikah, lalu kamu? Masih mau stuck begitu-begitu saja, mengharapkan sesuatu yang tidak pernah kamu kejar?"
Uh.. Aku malas menanggapi kata-kata Angie yang nyinyir. Jadi aku diam saja.
"Margee," panggilnya.
Aku tetap cuek.
"Margee!"
"Diam ah, sebentar lagi pertandingan mulai!" sahutku akhirnya.
Terdengar Angie menghela nafas kesal. "Kamu tuh ya! Aku benar-benar capek ngomong sama kamu, aku cerewet begini kan demi kamu juga..! Pacarmu yang terakhir, menurutku dia pantas untukmu, cakep, easy going, sudah mapan pula, kenapa juga kamu malah memutuskan hubungan kalian.. malah lebih mengharapkan cinta pertamamu yang sama sekali tidak pernah kamu perjuangkan! Bingung aku dengan cara pikirmu Marg, benar aku bingung!"
"Ya sudah urus saja urusanmu sendiri.."
"Ihh!!" Angie mencubit lenganku keras-keras. "Kalau begitu kenapa kamu tidak pernah menonton langsung pertandingan F1? Hari ini lagi di Silverstone, sejauh apa sih Birmingham-Silverstone? Jangan bilang kamu tidak ada uang.. menabunglah, Marg. Lalu kamu nonton di sana, ajak ketemuan si Ike, tidak mungkin kan dia tidak senang lihat temannya ada yang datang dukung dia tanding. Tempo lalu sewaktu aku dan yang lain ramai-ramai menonton dia tanding, kamu tidak mau ikut sih."
"Ya waktu itu kan aku masih belum dapat pekerjaan Ngie, kamu rese sekali sih."
"Nah makanya! Karena kamu sekarang sudah punya, menabunglah! Datangi si Ike, kalau perlu kamu pakai pakaian yang seksi supaya dia gimanaaaa begitu melihatmu.."
Apa-apaan! Memangnya aku wanita gampangan! Aku memelototi Angie, eh dia malah cengar cengir. Ufff gondok rasanya aku..!


Chapter 8. Royce Beauregard
Aku sedang senggang, dan berhubung pertandingan F1 kali itu berlangsung di Silverstone, aku memutuskan untuk menemani Fez tanding. Ini kesekian kalinya aku menemani Fez di motorhome, dan aku pun sudah hafal dengan anggota-anggota tim GT Forrier yang selalu bersikap hangat menyambut kehadiranku.
Ketika aku baru saja tiba di motorhome, kulihat Fez keluar dari ruang istirahatnya, sudah berpakaian lengkap. Sudah siap tanding, rupanya. Dia langsung sumringah begitu melihatku, dan menyapaku dengan riang. Sahabatku yang satu ini memang selalu terlihat optimis, ceria dan bersemangat, apalagi pada pertandingan hari itu Fez mendapat kesempatan untuk memulai lomba dari posisi terdepan. Sungguh hal yang baik karena dengan begitu peluang Fez untuk bisa menang sangat besar.
"Hey Bro! I’m glad you could make it today. Thanks!" katanya.
"Tumben sungkan begitu."
"Itu basa basi. Hey, bagaimana bahumu yang cedera, apa masih sakit?"
Aku tersenyum. "Much better, Fez. Tidak usah khawatir. Cuma cedera kecil kok."
"Benar sudah fit? Hari kamis besok leg kedua semifinal Liga Champions, sayang kalau kau sampai absen, Brandt sudah di ambang kemenangan! Apalagi bulan depan Piala Eropa!"
"Aku ikut, Fez. Ini cedera kecil, tidak separah yang kau kira."
Fez mengangguk. "Bagus deh. Well Royce, kau tidak akan menyesal sudah datang ke sini, kuyakin 1000%, aku PASTI berdiri di podium satu!"
"Amin, dan aku merasa bangga padamu."
"Itu sudah seharusnya!" Fez tersenyum lebar. "Allright, kutinggal dulu Royce? Sudah waktunya. Jangan lupa siapkan kamera, kalau sahabatku sendiri yang mengabadikan gambarku ketika aku sukses, rasanya jauh lebih berharga. OK??"
Aku tertawa ringan. "Tenang, aku sudah siapkan lima macam kamera untuk memotretmu saat nanti berdiri di podium."
"That's cool! Ok, bye, I'll see you later mate!"
"See you Fez!"
Aku memerhatikan Fez bersiap, memakai balaclava, helm, lalu masuk ke dalam kokpit. Terlihat dia berbicara sebentar dengan salah satu anggota timnya, lalu tak lama dia membawa tunggangannya keluar, langsung menuju starting grid pertama.
Saingan berat Fez dari tim Glauber, Jose Rudolpho Alvarez, berada di grid keempat. Ada hal istimewa yang sejak kemarin menarik perhatianku. Isaac Renauld, pembalap dari tim Llinos Purvance yang notabene adalah tim kuda hitam, kemarin membuat kejutan pada dunia dengan sempat mencatat fastest lap, catatan waktunya bahkan melebihi catatan Fez, hanya saja catatan waktu Isaac yang tercepat itu terjadi ketika babak kualifikasi kedua. Jika saja dia mencatat waktu terbaik ketika babak kualifikasi ketiga, tentu saat ini Isaaclah yang berada di posisi pole! Dan dari hasil babak ketiga kualifikasi kemarin, Isaac hanya bisa menempati posisi ketiga. Tapi menurutku, prestasi Isaac makin ke sini makin mentereng, anak itu rupanya punya taji juga, tidak seperti anggapan Fez yang selalu menganggap rendah Isaac. Aku sebenarnya tidak begitu mengenal si Isaac Renauld ini, tapi karena dia punya wajah yang memang mirip dengan Fez, mau tidak mau aku jadi mengikuti perkembangan beritanya. Aku sendiri heran, bagaimana Ferris dan Isaac itu memiliki wajah yang mirip, apakah mungkin mereka bersaudara? Sementara Fez selalu beranggapan kemiripan wajah mereka hanya kebetulan belaka.
Pertandingan dimulai, Fez mengawali pertandingan dengan sangat mulus. Tanpa halangan berarti dia bisa memertahankan posisinya hingga setengah lap terlewati. Ini bagus, Fez tetap berada di paling depan, dan semakin dia memacu mobilnya semakin jauh jaraknya dengan pembalap di belakangnya, dan jika dia bisa mempertahankan posisi itu hingga 60 lap ke depan, dia tentu akan berdiri di podium satu seperti yang diyakininya. Tuhan memberkatimu, sahabatku.
Tapi rupanya pertandingan tidak semulus yang kukira. 15 lap setelahnya, langit berubah sedikit gelap, dan tak lama turun hujan dengan intensitas ringan. Strategi pit stop yang direncanakan tim bisa berubah, kataku dalam hati. Dan benar saja, Fez masuk ke pit stop dan langsung mengganti bannya dengan ban untuk trek basah, seperti yang dilakukan oleh pembalap lainnya. Tapi Fez dengan sukses bisa kembali ke lintasan dengan tetap memertahankan posisinya. Great work, Fez.
Ada sedikit perubahan di posisi sementara pembalap. Fez, tetap memimpin jalannya pertandingan, Alvarez yang sebelum masuk pit berada di posisi ketiga kini bisa berada di posisi kedua. Isaac Renauld tampaknya mengalami insiden kecil ketika mengganti ban, dia kembali ke lintasan dan menempati posisi keenam. Saat-saat menjelang pit stop dan setelahnya memang saat yang krusial dan menentukan posisi, baguslah Fez melakukan tugasnya dengan luar biasa.
Lap demi lap terlewati dan Fez tetap memimpin.. setidaknya sampai lap ke-58. Kulihat Fez sepertinya lengah sedikit, dia melibas tikungan dengan agak melebar, membuat Alvarez yang semenjak tadi menguntit di belakangnya bisa dengan mudah menyalip Fez. Fez terlihat langsung memacu mobilnya dan terjadilah adegan side by side antara Fez dan Alvarez, sang juara dunia lima kali. Pertarungan dua pembalap itu dimenangkan Alvarez yang dengan mulusnya melesat meninggalkan Fez di posisi kedua. Aha, kuyakin saat ini emosi Fez pasti naik.
Di sisi lain lintasan, kulihat Isaac Renauld di posisi keenam tergelincir dan masuk gravel. Mungkin trek masih licin karena hujan belum lama berhenti, menyebabkan ban mobil Isaac slip, atau bagaimana.. Untungnya kejadian itu tidak membuat mobilnya terbentur, dan selama mesin mobilnya tetap hidup, Isaac bisa tetap melanjutkan pertandingan yang hanya tersisa kurang dari 2 lap lagi. Ayo Isaac, rasanya excited melihat semangat dari tim kuda hitam sepertimu, tunjukkan kemampuanmu!
Tinggal satu putaran lagi, dah wah, kulihat Fez sangat beringas menekan dan menguntit Alvarez dari segala arah. Berusaha membuat Alvarez limbung sehingga Fez bisa mengovertake Alvarez, merebut kembali posisinya seperti semula. Ini merupakan tontonan yang sangat menarik.. Dua pemuncak klasemen sementara pembalap, terlibat pertarungan memperebutkan posisi pertama, sementara race hanya tersisa satu putaran lagi.
Dan.. yak, chequered flag berkibar dengan posisi Alvarez tetap di posisi nomor satu, sementara Fez nomor dua. Mungkin memang belum jodohmu, Fez, untuk memenangi pertandingan ini. Tapi coba lihat catatan waktu yang kau buat, luar biasa. Selisih jarakmu dan Alvarez hanya terpaut 0,03 detik! Buatku kau tetap seorang pemenang.
Aku mengikuti tim berjalan ke parc ferme dan menunggu kedatangan tiga pembalap yang berhasil naik podium seri kali itu.
Fez tiba pertama kali di parc ferme, tim menyambutnya dan menyorakinya dengan riang, tapi Fez hanya melambaikan tangan sekadarnya.
Hmm, kulihat dari sorot matamu, ada perasaan kecewa dan marah. Ayolah, kau hanya beda 0,03 detik dari Alvarez, tapi hal itu pun tidak membuatmu puas. Setidaknya sapalah timmu yang sudah menunggu di sini. Sahabatku yang satu itu memang penuh obsesi, dan obsesinya harus terwujud, jika tidak, dia pasti akan suntuk berhari-hari. Ah, aku sangat mangenal tabiat Fez yang satu itu.
Ketika akhirnya kulihat secara langsung wajah Fez saat muncul di podium, aku semakin yakin, dia memang suntuk. Tapi sepertinya aku masih bisa mengerti.. selama 58 lap memimpin race, tapi pada akhirnya kau tidak keluar sebagai pemenang, tentu menyesakkan hati.
Selebrasi di podium untuk tiga pembalap tercepat hari itu usai, langsung dilanjutkan dengan gelaran konferensi pers. Aku menunggu Fez di area ruang istirahat pembalap di motorhome GT Forrier.
Tak lama Fez menghampiriku, sepertinya konferensi pers sudah selesai. Tapi wajah suntuk itu tidak akan hilang sampai seminggu ke depan, ya Fez?
"Suntuk sekali kau," aku langsung berkomentar.
Fez menghempaskan badan di sampingku dan menghela nafas. "Ya, hari yang buruk."
Aku lalu mengeluarkan kamera digital dan mengunjukkan pada Fez foto dirinya ketika di podium tadi. "Lihat, aku sudah tepati janji akan ambil gambarmu, tapi apa! Wajah asem begitu, bukannya pasang wajah senang. Kapan lagi aku bisa ambil fotomu berdiri di podium?"
Fez menepis kameraku, sepertinya dia enggan melihat fotonya. "Bagaimana aku bisa tersenyum kalau aku melakukan sepersekian detik kesalahan tolol yang membuatku jadi loser seperti ini? Kampret."
"To err is human! Semua orang kan wajar melakukan kesalahan bro, dan memang rezekinya Alvarez saja yang tepat waktu menyambut kesempatan yang terbuka di depannya."
Fez melirikku dengan sinis.
"Kau itu terlalu terobsesi, take it easy. Kau terjun ke dalam dunia ini karena kecintaan pada balap kan? Kalau kau selalu bersikap seperti itu, bukannya kau malah terbebani?”
“Kau tidak mengerti, Royce," Fez menghela nafas. "Kau ini sudah berapa lama sih bersahabat denganku dan berapa lama kau paham seluk beluk dunia ini? Payah. Poinku dan Alvarez itu susul menyusul terus. Seandainya aku selalu menang, paling tidak Alvarez berada di bawahku, kan? Musim ini aku harus bisa mengalahkannya, itu targetku. Tidak bisa diganggu gugat. Apalagi seri kelima ini dilangsungkan di sini, tanah airku sendiri. Bisa-bisanya aku lengah dan membiarkan orang itu menyalipku tadi??”
Aku menggelengkan kepala, menghela nafas. "Yea terserah, Fez. Yang bisa kukatakan, syukuri yang kau dapat.. Lihat kembaranmu, walaupun hasil race ini tidak sesuai dengan ekspektasi, tapi dia tetap bisa merayakannya dengan timnya."
Fez mengerutkan kening. "Siapa maksudmu kembaranku?"
"Renauld, yang mirip denganmu itu. Tadi kulihat dia masih bisa menebar senyum lebar begitu turun dari mobil. Padahal dia start dari posisi tiga, dan finish di posisi ketujuh. Nasibnya tidak sebaikmu, Fez, tapi dia masih bisa tersenyum. Tadinya posisi enam, lalu tergelincir dan jadi posisi kedelapan. Dalam waktu satu lap dia berhasil menyalip dan akhirnya finish di posisi ketujuh. Gigih juga kembaranmu itu kan?"
"Berhenti menyebut orang itu kembaranku, sialan kau. Dia bukan siapa-siapaku, aku tidak kenal."
"Oke, oke, fine."
"Well, ikutlah makan malam dengan tim nanti, Royce. Kau tidak buru-buru mau pulang kan? Toh aku masih ingin mengobrol banyak denganmu setelah urusan di sini selesai."
"Allright, dengan senang hati."

Dan, setelah menunggu beberapa lama, akhirnya aku dan tim GT Forrier berangkat menuju kafe yang tidak jauh dari Silverstone. Kafe yang sepertinya sudah menjadi langganan tim GT Forrier. Setibanya di sana, datang lagi rombongan pengunjung, dan setelah diperhatikan, well, itu rupanya rombongan dari tim Llinos Purvance, timnya si Isaac Renauld. Tumben mereka makan di sini, kataku dalam hati. Orang-orang tim Llinos Purvance menyapa tim GT Forrier dengan ramah dan kami balas menyapa mereka. Untungnya kafe yang kami kunjungi ini cukup luas, sehingga tidak ada masalah berarti jika ada puluhan orang dari dua tim mobil tumpah ruah di sini.
Kami makan dan minum sepuasnya. Tim bersulang untuk raihan poin yang diperoleh Fez dan Shawn Renan, yang merupakan hasil kerja sama mereka juga. Sementara Fez bersulang untuk kekalahan yang didapatnya dari Alvarez. Astaga, kupikir, di saat teman-teman timnya merayakan hal positif yang didapat, Fez malah merayakan kekalahan.. manusia satu ini memang rada-rada.
Kulirik Fez yang duduk di sampingku, dia tersenyum-senyum sendiri sambil menatap ponsel. "What the hell, bro?"
Fez cengar-cengir. Dia menatapku dengan pandangan mata berbinar dan wajah berseri, air mukanya sudah berubah lagi sekarang. "Kau nanti mampir ke tempatku? Mampirlah, malam masih panjang, saatnya bersenang-senang, sahabatku."
Aku mengerutkan kening. "..Aku yakin kau pasti memanggil pacarmu, ah.. mungkin pacar-pacarmu, untuk menemanimu malam ini. Ya kan? No thanks."
Fez terbahak. "Kau ini! Kenapa sih selalu menolak kalau diajak senang-senang, heh? Akan ada tiga wanita seksi malam ini, walaupun aku dengan mudah menaklukkan mereka sendirian, tapi berbagi itu baik kan? Apalagi kau sahabatku, masa aku senang-senang sendirian, sementara sahabatku kedinginan di rumahnya! Ayolah!" Fez meninju bahuku. "Kapan lagi, mumpung aku lagi murah hati!"
Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak pernah berminat bermain seks seperti yang kau lakukan, Fez. Silakan, go ahead, bermainlah sepuasmu, tapi jangan ajak-ajak."
Fez menaikkan alis matanya. "Next time akan kucari yang potongannya seperti Audrey deh.. biar kau minat. Bagaimana?" katanya masih sambil cengengesan.
"Jangan bawa-bawa Audrey."
"Aku bingung denganmu, bisa ya kau tahan? Sudah lima tahun, enam tahun mungkin, tapi sampai sekarang aku tidak pernah lagi melihatmu mendekati wanita?"
"Kau tahu alasannya, Fez, untuk apa diungkit-ungkit."
"Bukannya begitu. Hey Royce, ada milyaran wanita di dunia ini, kenapa tidak ada satu pun yang bisa membuatmu tertarik? Sudahlah, yang sudah pergi diikhlaskan saja, dia kan tidak akan pernah hidup lagi, itu logis! Dan kau, sebagai pria kau pasti suatu saat akan mencari pendamping hidup juga, tapi? Aku takut lama-lama kau malah berubah orientasi.."
Aku mendengus. "Ya Tuhan, itu tidak mungkinlah. Bicara apa kau?? Aku tetap normal! Jangan samakan aku denganmu! Aku sekarang sedang cari pasangan yang tepat, tapi bukan dengan cara seperti yang kau lakukan.. bermain seks dengan banyak wanita lalu kau tinggalkan. Sorry, aku tidak suka cara itu."
Fez nyengir lagi. "Seks itu terlalu nikmat untuk kutinggalkan, bro. Seks itu indah. Wanita itu ciptaan yang paling sempurna. Wanita itu surga di atas bumi..! Aku mencintai wanita sebagaimana aku mencintai diriku sendiri. Kau paham betul bagaimana pandanganku terhadap wanita..!"
"Ya ya ya ya.. Go for your own pleasure."
"Ah.. Royce.. Royce. Diajak senang-senang malah menolak. Karatan tuh lama-lama.."
Audrey. Audrey. Kenapa Fez mesti ungkit-ungkit Audrey Lawson? Gadis manis yang menjadi pacarku semenjak high school. Aku sangat menyayangi gadis itu, dan aku berencana menikahinya begitu ia lulus kuliah. Tapi.. baru satu tahun Audrey menjalani masa perkuliahan, ia dipanggil Tuhan.. untuk selama-lamanya. Hanya sampai di situ jodoh kami, dan aku sadar aku masih memiliki hidup yang pantang disia-siakan hanya karena kepergiannya yang sempat membuatku down. Dan sampai sekarang, memang benar kata Fez, aku tak pernah lagi berkencan dengan seorang wanita. Itu karena aku masih terbayang Audrey. Aku belum menemukan wanita yang tepat untuk kucintai, seperti rasa cinta yang kurasakan pada Audrey. Katakanlah aku ini manusia masa lalu, ya mungkin memang benar seperti itu. Tapi buatku cinta itu tidak bisa dipaksakan.. Toh aku tidak diburu waktu untuk segera menikah kok, kutahu jodohku sudah ditentukan oleh Tuhan, dan suatu saat aku pasti akan menemukannya.

Seseorang memanggil-manggil Fez ketika aku dan yang lain bersiap mau kembali ke rumah masing-masing. Aku menoleh, dan mendapati Isaac Renauld tergopoh-gopoh mendekatiku dan Fez.
"Ah, Ferris. Maaf aku menahanmu sebentar, ada yang ingin kutanyakan," kata Isaac. Dia menoleh padaku, lalu mengulurkan tangan, aku menyambut uluran tangannya. "Hai, Royce, apa kabar?"
"Baik, thanks. Apa perlu kutinggal kalian berdua supaya lebih enak mengobrol?"
Isaac tertawa ringan. "Tidak perlu, kau di sini saja, bukan hal istimewa kok."
"Ada apa ya?" tanya Fez kemudian.
"Begini, Fez. Apa kau ada waktu? Aku ingin memastikan kapan kira-kira kau senggang, aku ingin mengajakmu bertemu dengan orangtuaku, mereka sepertinya sangat penasaran dengan kemiripan wajah kita. Ah, tapi itu pun kalau kau tidak keberatan, Fez."
Fez seperti bingung. "Jadi maksudmu, orangtuamu penasaran denganku karena wajah kita mirip? Dan mereka ingin bertemu? Lucu."
Isaac terlihat salah tingkah. "..Maafkan. Aku tahu ini permintaan yang aneh. Kalau bukan orangtuaku yang meminta hal ini, aku tidak akan mengusikmu, Fez."
Kedua orang ini memang sangat mirip. Bentuk wajah, alis, mata, hidung, hingga bibir. Seingatku, setelah semua orang menyadari kemiripan wajah kedua orang ini, kusadari Fez tidak pernah lagi bercukur. Kurasa Fez sendiri sadar kemiripan wajahnya dengan wajah Isaac. Saking miripnya aku merasa semakin yakin, kedua orang ini pasti berhubungan satu sama lain, tidak hanya sekedar kebetulan berwajah mirip. Apalagi, aku tahu latar belakang keluarga Fez, dan rahasia-rahasianya.. Kuyakin Isaac ini adalah kunci dari jawaban semua rahasia Fez. Tapi entahlah, mungkin terlalu cepat berkesimpulan seperti itu.
Fez tersenyum. "Yeah, sebenarnya aku besok dan lusa senggang. Terserah, atur saja kapan dan dimana. Toh tidak ada salahnya berkenalan dengan orang baru."
"Benarkah??" Isaac tersenyum lebar. "Thanks, Fez. Bagaimana kalau lusa, kita makan siang di Henry’s Cafe?"
Fez menaikkan alis, mengangguk. "It's ok."
"Great! I'll see you, Fez, thank you! Royce, aku duluan?"
"Bye, Ike," sahutku.
Aku menoleh pada Fez yang masih terdiam lama memandangi punggung Isaac yang menjauh. Aku tahu dia pasti memikirkan sesuatu. "..Apa kecurigaan kita sama?" tanyaku kemudian.
"Apa? Kau sangka apa?"
"Semua orang setuju wajah kalian berdua mirip, bukan hal yang aneh kalau ternyata terbukti kalian berdua bukan hanya sekadar kebetulan mirip.. tapi berhubungan satu sama lain. Apa kau tidak pernah berpikir begitu?"
"Ya, kau bisa bicara seperti itu karena kau tahu rahasia kelam hidupku. Tapi aku tidak pernah berani memikirkan soal kemiripan wajahku dan orang itu. Karena semakin berpikir semakin aku merasa tidak tenang. Dan lagipula kenapa aku harus membuang-buang waktu memikirkan hal yang tidak penting?? Dia bukan siapa-siapaku, itu yang kuyakini."
"You got pissed off."
Fez menghela nafas, menggeleng-gelengkan kepala. "Saatnya aku bersenang-senang. Kau benar tidak mau ikut Royce?? Kutanya terakhir kali, nih!" katanya sambil merangkulku.
"No thanks, kau habiskan saja sendiri pacar-pacarmu itu. Aku pantang mengganggu kesenanganmu.."
"Begitukah?? Oke nanti kusampaikan salam darimu saja ya?" Fez tergelak.


Chapter 9. Isaac Lawrence Anthony Renauld
Aku dan orangtuaku sudah sampai di Henry’s Cafe tempat kami janjian dengan Fez 15 menit lebih awal. Sedari tadi aku tidak mengajak bicara mereka, ya aku tahu mereka orangtuaku sendiri, dan mereka baru saja tiba tadi malam dari Birmingham. Mereka ingin berbicara denganku sebagaimana normalnya antara anak dan orangtua, tapi saat ini aku benar-benar tidak mau berkomunikasi dengan mereka sedikitpun. Aku merasakan kekecewaan yang teramat sangat pada mereka. Masih teringat kejadian kemarin sore yang membuatku menjadi seperti sekarang ini.
"Yeah. Pa, Ma, aku sudah bicara dengan Ferris. Dan dia setuju bertemu dengan kalian besok siang," kataku pada mereka via telepon.
Terdengar jawaban dari papa. "Oke.. thanks, Ike. Dia bilang apa?"
"Yaa, dia sedikit heran, tapi fine. Dia sudah setuju kok. Kalian besok mau langsung ke kafe atau mau bareng? Kalau bareng, lebih baik kalian sekarang segera ke sini."
"Euh, bareng saja. Boleh?"
Aku tersenyum. "Ya bolehlah, Pa. Langsung ke tempatku saja, kalian menginap di sini. Dan, euh.. karena aku sudah mengabulkan permintaan kalian, sekarang giliran kalian yang menjelaskan kepadaku kenapa kalian ingin sekali bertemu dengan Ferris. Jujur ya Pa, aku heran, sebenarnya apa yang aneh, sih, hanya karena wajah kami mirip, lalu apa? Kenapa kalian sepertinya penasaran sekali dengan kemiripan kami. Tidak ada yang aneh ah, hanya kebetulan saja, kurasa."
Papa terdiam cukup lama. "..Tapi kami merasa, itu bukanlah kebetulan, Isaac."
Aku mengernyitkan kening. "Maksud papa?"
"..Kami sudah menyembunyikan ini sedari dulu. Sekarang memang sudah saatnya kamu tahu semuanya. Rahasia kelam keluarga kita."
Giliranku yang terdiam lama. Berusaha mencerna perkataan papa, yang nyata-nyata tak bisa kucerna. "Maksud papa apa? Aku tidak mengerti sama sekali. "
"..Isaac.." papa terdiam lama. "..Kamu sebenarnya punya saudara kembar."
Hah?
"Kami pernah membuat kesalahan besar dulu, Ike. Kamu tahu kan, dulu kami miskin. Kami tak kuat menahan himpitan ekonomi, apalagi ada tanggungan dua bayi yang harus cukup gizi.. maka kami melepaskan salah satu dari kalian.. kami menitipkannya di panti asuhan. Sungguh, kami tidak akan melakukan hal itu jika kami tidak terpaksa. Tapi kami sudah tidak tahu lagi apa yang harus kami lakukan.. Isaac.. Itu adalah kesalahan kami yang terbesar. Setelah kami menyadari bahwa tindakan kami salah, kami mencarinya. Mati-matian kami mencarinya setelah kami mengetahui bahwa saudara kamu ternyata sudah diadopsi oleh keluarga lain. Bahkan kakekmu yang akhirnya mengetahui keadaan kami ikut membantu mencari sebisanya. ...Tapi nihil. Kami tidak pernah berhasil selama ini. Entah dimana dia sekarang, apakah dia masih hidup, kami bahkan tidak mengetahuinya. Tapi.. kemarin kami baru melihat foto Rutherford.. dan ibumu langsung yakin bahwa dia adalah saudara kamu, Isaac. Maka kami memintamu untuk mempertemukan kami dengannya.."
Aku speechless. Benarkah yang kudengar tadi? Apa mereka bercanda??
"Maaf kami baru memberitahumu sekarang, Ike. ..Kami sebenarnya tak ingin menyembunyikan hal ini dari kamu, tapi kami tidak tahu harus mulai dari mana.. Kami telah melakukan kesalahan tolol yang tak terlupakan seumur hidup, dan kami menderita karenanya."
"Ya dan kalian memang pantas menerimanya!" spontan kuhardik papa. "Kalian memang orangtua tolol yang tega membuang anaknya sendiri! Apa-apaan kalian, apa kalian tidak punya otak ya? Kok bisa sih kalian melakukan hal itu, hah?"
"Kami terpaksa melakukan itu, Isaac. Masalah ekonomi membuat kami terpaksa melakukan itu.."
"Itu bukan alasan! Tidak ada alasan apapun yang bisa menolerir perbuatan tolol kalian itu!! Dan kalian menyesal, hah, kalian menderita karena tidak bisa menemukannya sampai sekarang, ya memang itu yang pantas kalian dapatkan!! Lalu untuk apa kalian mencarinya? Sudah 23 tahun, untuk apa kalian mencarinya? Untuk minta maaf? Untuk memintanya kembali menjadi anak kalian? Pernahkah terpikirkan apa yang dia rasakan?! Dia bisa sakit hati, Pa! Dia sudah menjalani hidupnya sendiri selama ini, lalu kalian ingin datang secara tiba-tiba dalam hidupnya dan mengaku sebagai orangtua kandungnya! Kalian tidak ingin melakukan kesalahan tolol lagi, kan???"
Papa tidak berkomentar.
Dan aku melanjutkan lagi. "..Lalu gunanya aku, apa? Aku dibiarkan tolol begitu saja, selama ini, tak pernah tahu bahwa aku sebenarnya punya saudara. Kalau saja selama ini aku tahu cerita tolol kalian tadi itu, sudah dari dulu aku bantu mencari dia! Bahkan kalau memang Rutherford itu saudaraku, sudah dari dulu kuselidiki! Tapi aku sekarang bisa apa??!"
"..Enough, Isaac. Kami tidak ingin mendengar kemarahan kamu pada kami, kami sudah cukup menderita karena kesalahan yang kami lakukan sendiri," papa berkata pelan.
Aku menarik nafas panjang. "Kalian segeralah ke sini," kataku datar.
Dan ketika mereka tiba beberapa jam kemudian, aku tidak mengacuhkan mereka. Hanya menyapa mereka seperlunya dan menawarkan makan dan minum. Itu saja. Tidak ada pembicaraan apa-apa lagi dia antara kami. Mereka sepertinya menyesal sekali, mereka berusaha mengajakku bicara, tapi aku tetap bersikap dingin dan tidak acuh. Sampai pada siang hari ini aku masih bersikap seperti itu pada mereka. Yea, aku masih butuh waktu menerima kenyataan yang mengejutkan ini. Biar mereka juga sadar, bahwa tidak hanya kepada saudara kembarku saja mereka bersalah, tapi juga padaku dengan menyembunyikan kenyataan ini seumur hidup!
Aku menarik nafas panjang. Melirik arloji, masih 5 menit dari waktu yang dijanjikan, Fez belum datang. Kulihat papa dan mama pun sedari tadi terdiam dan melamun. Akh, apa peduliku.
Yang kupedulikan hanyalah, semoga Fez bukanlah saudara kembarku, walaupun aku sendiri sekarang curiga dia memang saudara kembarku setelah mendengar sejarah keluargaku yang kelam itu. Tapi yaah, semoga kemiripanku dan Fez memang hanyalah kebetulan semata. Jangan sampai dia benar saudara kembarku. Jangan sampai, aku atau orangtuaku menemukan saudara kembarku yang hilang itu. Bukannya apa-apa, aku sebenarnya antusias mengetahui bahwa aku punya saudara, sungguh aku antusias. Bisa bayangkan, selama ini aku kesepian sebagai anak tunggal, aku sangat ingin merasakan punya saudara. Tapi yang lebih membuatku berpikir adalah apa yang saudaraku rasakan? Apa yang akan dia rasakan jika tiba-tiba dia mengetahui keadaan dirinya yang pernah dibuang oleh orangtua kandungnya? Tentu sakit hati.
Maka daripada itu, lebih baik bagi kami untuk tidak pernah bertemu dengan saudara kembarku itu, aku hanya tidak ingin melihat saudaraku itu sakit hati. Lebih baik baginya untuk terus menjalani hidupnya sendiri dan menemukan kebahagiaannya sendiri..
Aku melihat berkeliling. Kafe siang itu tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang tengah menikmati santapannya dan ada pula yang sedang berdiskusi. Baguslah, tidak ramai. Agar pembicaraan nanti tidak terganggu oleh keadaan sekitar. Kemudian kulihat Fez akhirnya datang. Dia terlihat celingukan, mencari-cari keberadaan kami. Maka kutegakkan tubuh, dan melambaikan tangan padanya. Dia langsung melihat ke arahku, melempar senyum lalu menghampiri meja kami.
Masih dengan senyum mengembang, dia menyapa orangtuaku dengan sopan. "Selamat siang, Mr. & Mrs. Renauld..? Maaf, apa saya datang terlambat?"
Kulihat sekilas keterkejutan dari mata mama begitu melihat Fez. Tapi kemudian papa bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya pada Fez. "..Halo, nak. Kamilah yang tiba lebih cepat. Silahkan duduk," kata papa.
Fez menyambut uluran tangan papa dengan hangat, dan setelah bersalaman dengan mama dan menyapaku, dia duduk di sebelahku.
Kami memesan makanan, dan sembari bersantap, Fez mengajak bicara hal-hal yang ringan pada orangtuaku. Dia bersikap simpatik, seperti Fez yang memang selama ini kukenal. Sudahlah, kataku dalam hati. Kenapa papa mama mengulur-ulur waktu seperti ini? Jauh lebih baik katakan saja apa maksud mereka sebenarnya memanggil Fez ke sini. Kuamati ekspresi wajah kedua orangtuaku yang penuh pengharapan itu. Mereka menatap Fez seperti tengah menatap sebuah berlian langka yang sangat ingin mereka miliki, namun mereka tidak mampu. Lalu aku memandangi papa berjenak-jenak. Papa sadar kuperhatikan, dan seakan mengerti arti tatapanku, dia mengernyitkan kening dan menggeleng pelan.
Akh, taik. Lalu untuk apa pertemuan ini kalau kalian urung mencari tahu benarkah Fez itu anak kalian? Sudah sampai sini, kalian memutuskan mundur? Sumpah, aku benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran mereka!
Maka aku memberanikan diri angkat bicara. "Fez, kau tentu penasaran, apa maksud orangtuaku memintamu untuk bertemu, lalu kenapa tidak kau tanyakan?" pertanyaanku membuat Fez terlihat sedikit terkejut. Sementara papa malah terlihat panik dan menegurku.
Fez mengangkat alis. "Itu tidak sopan untuk ditanyakan pada orang yang baru kita kenal, bukan?"
Aku mendengus. "Lupakan sopan santun sekarang. Ada hal yang harusnya mereka tanyakan dari tadi padamu. Pertanyaan yang tidak pernah terjawab karena mereka terlalu takut untuk bertanya. Dan biarkan aku mewakili mereka."
"Isaac! Cukup!" tegur papa.
But it don't stops me. "Mereka ingin tahu.. latar belakangmu, Fez. Mereka menduga kau adalah saudara kembarku," kataku datar.
"..Maaf?" sahut Fez. Sepertinya hanya itu yang bisa keluar dari mulutnya sekarang ini.
Dan aku beralih pada papa dan mama. "Pa. Ma. Cukup basa basinya. Utarakan tujuan kalian ingin bertemu dengan Ferris. Aku capek melihat kalian hanya bisa memandang Ferris dengan ekspresi harap, tanpa ada langkah lebih lanjut."
Papa menarik nafas panjang. Sementara mama terlihat gugup.
"Sorry, apa maksud perkataan kau tadi, Ike?" tanya Fez.
"Mereka yang akan menjelaskannya padamu, Fez," jawabku.
"Ya. Ferris," akhirnya papa memberanikan diri. "..Sebelumnya, kami meminta maaf yang sebesar-besarnya, apabila ternyata dugaan kami salah.. Kami memang mendugamu sebagai anak kami, yaitu saudara kembar Isaac.."
Dapat kurasakan Fez menegang. Dia tidak berbicara apa-apa, hanya menatap papa dan mama, bergantian. Namun sejurus kemudian dia tersenyum tipis, "..Hmh,  bagaimana mungkin, Tn. Renauld? Saya akui, memang saya dan  Isaac mempunyai kemiripan fisik. Tapi.. manusia yang mirip di  dunia ini jumlahnya tidak sedikit, bukan? Dan lagipula.. saya  mempunyai keluarga sendiri, saya mempunyai orang tua yang menyayangi saya,” ujarnya.
“Memang benar katamu itu. Tapi... tapi kalian berdua sangat mirip! Maka kami memintamu untuk kemari... sekedar untuk membuktikan.....”  mama terhenti.
“..... Membuktikan?”
“Untuk membuktikan benarkah kau adalah anak kami yang hilang. Anak kami yang kami cari-cari selama dua puluh tahun ini...” 
Fez terlihat semakin gelisah, “...A, aku tidak mengerti. Aku sama sekali tidak mengerti. Bagaimana bisa kalian  kehilangan anak kalian sendiri? Dan apa alasan kalian menganggap  bahwa anak kalian yang hilang itu adalah aku?”
“Karena kalian sangat mirip! Dan apa kau meragukan naluri seorang ibu?” tanya mama dengan suara keras yang bergetar, hampir menghardik. Papa segera menenangkan mama.
Fez menatap dalam-dalam papa dan mama, juga menatapku, bergantian. Lalu katanya, “....Hari yang aneh, bukan? Tiba-tiba aku bertemu dengan sepasang suami istri yang tanpa alasan yang jelas, mengira aku sebagai anaknya.”
“....Dulu, kami tinggal di Stockbort, dan kami sangat miskin. Kami tidak mempunyai uang sama  sekali. Saat itu, istriku, Evelyn hamil. Kami berpikir... kalau untuk menghidupi seorang anak saja.. kami masih mampu. Tapi ternyata yang lahir dua orang. Selama beberapa bulan, kami mencoba untuk bertahan dan berupaya sekeras mungkin agar kedua anak kami bisa makan. Tapi akhirnya kami tidak mampu lagi menjalani kehidupan yang begitu berat. Aku ingin menitipkan kedua anak kami di panti asuhan.. lalu memperbaiki hidup kami, mencari  pekerjaan tetap agar bisa menghidupi keluarga, dan mengambil kembali mereka agar bisa bersama kami lagi. Tapi Evelyn menentang keinginanku. Ia tidak bisa berpisah dengan kedua  putranya. Maka setelah membicarakannya panjang lebar, dengan berat hati.. kami melepaskan salah seorang putra kami. Kami menitipkannya di panti. Dan yang kami titipkan.. adalah anak kami yang pertama. Dia lebih sehat, kuat dan tidak rewel. Pikiran kami... jika dia sudah besar kelak, dia mau mengerti mengapa kami melakukan hal ini padanya. Kami benar-benar terpaksa..” ujar papa dengan suara bergetar.
Dia melanjutkan dengan susah payah, “Beberapa bulan kemudian, orangtua kami menemukan kami dalam kemelaratan, dan karena mereka mungkin tidak tega melihat kami dan cucu mereka seperti itu keadaannya, mereka menolong kami. Mereka memarahi kami habis-habisan begitu mengetahui kami telah melepaskan salah satu anak kami di panti asuhan. Kami bermaksud mengambil anak  kami kembali. Namun yang terjadi adalah.. anak kami sudah  diadopsi oleh orang lain...! Menyesal, sungguh kami menyesali kejadian itu.. ditambah pihak panti tidak mau memberitahukan identitas dan alamat keluarga yang mengadopsi anak kami. Setelah itu kami tidak pernah berhenti mencari keberadaan anak kami itu.. Juga dengan orangtua kami, yang mengerahkan segala cara untuk menemukan anak kami yang hilang itu. Kami ingin sekali menemukannya.. sekadar untuk melihat dan memastikan... apakah dia baik-baik  saja..! Dan jika memungkinkan.... kami ingin membawanya pulang, kembali ke rumah, ke tengah-tengah keluarga kami..”
Fez mendengus. “Hmmh, cerita yang memalukan. Sangat memalukan. Bisa-bisanya kalian membuang anak kalian sendiri?"
Hmh, aku 100% setuju denganmu, Fez. Ini memang cerita tolol yang sangat memalukan. Apa jadinya jika pers tahu soal ini? Mau ditaruh mana mukaku, apalagi sudah melibatkan orang ini, sang pemuncak klasemen sementara pembalap? Huh, salah-salah bisa jadi skandal.
Fez masih melanjutkan. "Meninggalkan bayi yang tidak berdosa di depan pintu panti asuhan tengah malam? Sementara dia sebenarnya masih mempunyai orangtua kandung yang seharusnya merawatnya dan melindunginya.”
Aku terkejut menatap Fez. Tengah malam? Siapa yang bilang?
Mama pun menatap Fez heran. “..Dari mana kau tahu.. bahwa kami meletakkannya di depan pintu panti asuhan di tengah malam..?”
Fez tersentak. Dia tergagap menjawab, “...Eu.. aku hanya  menerka-nerka. Apa memang benar seperti itu? ....Aku sulit menerima dan memahami cerita kalian tadi. Aku tidak bisa mempercayainya, terutama begitu kalian mengatakan bahwa kalian dulu sangat miskin. Kupikir... kalian mempunyai hubungan darah dengan Elliot Renauld, pembalap kawakan zaman dulu?”
Huh. Memang.
Papa terdiam sesaat. “...Ya, dia memang ayahku. Tapi, dulu aku dan dia kerap bersitegang, kami tidak pernah cocok dan tidak pernah akur..”
“Lalu kalian seenaknya saja melepaskan anak kalian. Membuang anak kalian ke panti asuhan. Bukankah kalian bisa menitipkan anak itu pada orang tua kalian? Seburuk apapun hubungan kalian dengan orang tua kalian, mereka tidak mungkin menolak cucu mereka, bukan?” ujar Fez tajam.
Itulah yang sejak semalam kupikirkan. Kenapa, kenapa dan beribu kenapa lainnya. Kenapa yang tidak terjawab.
“Dulu kami masih sangat muda, naif dan bodoh. Aku pun baru menyadari mengapa dulu aku tidak melakukan seperti apa yang kamu katakan tadi..” jawab papa.
Ya Tuhan, jawaban tolol apa lagi itu??
Fez mendengus kesal. Ha-ha, bahkan orang luar seperti Fez pun kesal mendengar cerita dan ketololan orangtuaku di masa lalu. Memang benar-benar memalukan.
“..Lalu? Sekarang apa? Kalian masih menyangka aku adalah anak malang dalam cerita kalian tadi?” tanya Fez galak.
Mama menjawab, “...Naluriku mengatakan seperti itu..”
“Apa kalian mengenal putra kalian itu? Jangan asal bicara, kita baru saja bertemu dan kalian langsung mengira bahwa aku adalah anak kalian! Kalian tidak mengenalku, sama sekali!”
Mama terdiam sesaat. “...Aku... masih ingat dengan jelas.... Anakku  itu mempunyai tanda lahir.. di paha kirinya..” kenangnya seraya tersenyum tipis.
Fez terlihat terkejut tidak percaya.
“Isaac sendiri... mempunyai tanda lahir di paha sebelah kanan. Benar kan, Ike..?" mama bertanya. Dan untuk apa kujawab?
Mama tersenyum tipis dan melanjutkan. "Ya... kedua anak kami memang kompak.... Kemudian seingatku... anak kami yang hilang itu, mempunyai dua tahi lalat di dada, dan di belakang telinga kanannya....! Aku masih mengingatnya dengan  jelas, karena.. sebelum dia... dititipkan.... seharian aku memeluknya dan menciuminya..” ujar mama sambil terisak.
Mama masih melanjutkan, “...Dan.... aku memasangi dia sebuah kalung berliontinkan huruf ‘F’.. inisial namanya......”
Oh. Kalung itu. Kalung mainan berukuran kecil sekali, seukuran leher bayi, berliontinkan sebuah huruf. Yang kumiliki berliontin huruf 'I', sesuai inisial namaku. Seingatku mama pernah berpesan agar aku terus menyimpan kalung kenangan semasa bayi itu. Entah kenapa mama memintaku untuk terus menyimpannya, dan ternyata ini alasannya? Karena kalung itu adalah satu-satunya benda yang menghubungkan aku dan saudara kembarku. Satu-satunya saksi bisu yang bisa membuktikan bahwa aku dan orang itu bersaudara. Dan.. apa, punya kembaranku itu berliontin huruf 'F'? Memang namanya siapa? Kenapa nama Fez juga berinisial huruf F?
Fez menatap mama tidak bersuara. “.......Inisial namanya?” ulangnya.
Mama mengangguk dan tersenyum. Pipinya basah oleh air mata. “...Ya... Frayne.... nama sebenarnya anak kami..”
Frayne? Nama yang bagus. Jadi itu, nama saudara kembarku? Huh, lucu kan, aku saja baru tahu nama asli saudara kembarku sendiri. Siapa yang salah?
Aku memerhatikan Fez yang terdiam menundukkan kepala. Dia menopang wajahnya dengan satu tangan, seakan enggan beradu pandang dengan kedua orang yang duduk di depannya itu. Setelah beberapa saat lamanya dia terdiam, dengan tangan yang terlihat bergetar dia merogoh saku kemejanya dan mengeluarkan seuntai kalung, dan meletakkannya di atas meja. “...Inikah kalung itu?”
Oh God, itu benar-benar serupa dengan kalung yang kumiliki! Dan kalung yang Fez keluarkan itu berliontinkan huruf 'F'! Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku. Jadi.. Fez adalah..? Oh, Tuhanku!
Aku lihat papa dan mama terenyak begitu melihat kalung yang ditunjukkan Fez tadi. Papa terbata menjawab, “Ya... ya, itu  adalah kalung yang kami berikan untuk anak kami...! Jadi benar kau adalah......”
Fez memotong, “Tidak! Aku tidak percaya semua ini. ....Me,memang semua ciri-ciri yang kalian sebutkan tadi ada padaku. Bahkan aku mempunyai kalung ‘F’ sialan itu. Tapi ini semua cuma kebetulan belaka! Kalian tidak mungkin orangtuaku! Aku tidak percaya semua omong kosong ini!”
Mama mengambil kalung yang diletakkan Fez di atas meja, dan menelitinya. Semakin ia meneliti kalung itu, semakin deras air matanya mengalir. Ia menggeser tempatnya duduk dan duduk di samping Fez. Lalu ia menyentuh pipi Fez, menatap matanya lekat-lekat sambil terus mengusap kening, mata, hidung dan pipi Fez. “...Oh... Frayne..... benar kau adalah Frayne anakku.... Percayalah, kami adalah orangtua kandungmu, Nak...” ujar mama sambil terisak-isak.
Sementara Fez hanya terdiam dan menatap mata mama dalam-dalam. Beberapa saat lamanya Fez terdiam, lalu membuang muka, “.....Cukup! Aku muak dengan semua ini. Aku mau pulang,” ujar Fez melompat berdiri dan bermaksud segera pergi meninggalkan kami.
“..Apa golongan darahmu, Nak..?” tanya papa, menahan kepergian Fez.
Fez berdiri terdiam. Tidak menjawab.
“....B? Isaac bergolongan darah B. Jika benar golongan darahmu adalah B... berarti kau memang benar... putra kami. Atau, bagaimana jika kita mengadakan tes DNA untuk memastikan? Apa kamu bersedia?”
Fez menghela nafas panjang, “...Aku B. Tapi untuk lebih memastikan.. lebih baik kita ke rumah sakit. Tes DNA adalah cara terbaik untuk mengetahui kebenaran dari semua ini.”

Dan kami berempat pun menunggu dengan gelisah di sofa di ruang tunggu Rumah Sakit beberapa waktu kemudian. Masing-masing terdiam, hening dengan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk.
Jika benar... Fez itu saudaraku, lalu apa? Apa yang harus kulakukan? Apa yang bisa kuperbuat untuknya? Dia tentu sakit hati pada papa dan mama, lalu apa yang bisa kulakukan sebagai saudaranya? Aku menengadah, dan mendapati Fez berdiri bersandar pada dinding, tak jauh dari aku dan papa mama, sedang melamun. Wajahnya pucat sedari tadi.
Dokter yang menangani tes DNA aku dan Fez pun muncul untuk menyampaikan kabar. Kami berempat segera mengerubungi dokter itu dan meminta jawaban dari hasil tes.
Begitu dokter tersebut mengatakan bahwa DNA kami memiliki kecocokan satu sama lain, tangis mama meledak. Tangis yang terdengar lega dan juga bahagia. Papa menangis tak bersuara, sementara Fez berdiri terpaku dan terdiam. Dia tetap terdiam ketika papa dan mama –orangtuanya–, memeluknya dan meminta maaf padanya.
Fez memejamkan mata kuat-kuat. Mama menciuminya penuh rasa rindu dan masih mengucapkan kata maaf, namun Fez masih tetap diam bergeming. Tidak membalas pelukan mama, ibunya sendiri. Fez membuka mata, ketika mama bertanya, “--- lalu....orangtua angkatmu... apakah mereka selalu memperhatikanmu..? Mereka mengurusmu dengan baik, kan...?”
Fez terlihat memaksakan diri tersenyum, lalu mengangguk. Dia membuang muka, seperti berusaha menghindari kontak mata dengan mama. Ketika pandangan mata kami bertemu, dia melepaskan pelukan mama dan berjalan menghampiriku, orang yang mulai saat itu harus dia terima sebagai saudara kembarnya.
Kini kami berdiri berhadap-hadapan, saling menatap satu sama lain, namun tak terlontar satu patah kata pun dari mulut kami. Kubuka tanganku lebar-lebar dan kami pun berpelukan.
Ya Tuhan, inilah saudara yang selama ini aku angan-angankan! Aku yang selama masa anak-anak dan remaja kerap membayangkan punya seorang kakak - kini terkabul..? Punya seorang kakak kembar, yang ternyata adalah salah seorang rivalku sendiri di sirkuit; orang yang kukagumi prestasinya dan menjadi panutanku.. ternyata memiliki hubungan darah yang begitu kental denganku! Inikah, saudara yang memang seharusnya kumiliki sejak dulu? Begitu nyata, ada di hadapanku dan bisa kupeluk. Tidak ada sesuatu pun di dunia ini yang bisa melukiskan betapa senangnya dan beruntungnya aku bisa kembali bertemu dengan satu-satunya saudaraku, orang yang dikandung bersama-sama denganku. Orang yang menjadi rivalku di sirkuit.. dan juga orang yang menjadi inspirator dan panutanku selama ini. Thank God!
Tapi bagaimana denganmu, Fez? Apakah kau sakit hati dengan papa mama..? Apakah kau pun sakit hati denganku? Apa yang kau rasakan setelah bertemu kembali dengan kami, keluarga biologismu?
Aku melepaskan pelukan seraya tersenyum, mengambil jarak untuk memandangi Fez dan berusaha mencari apa yang dirasakannya lewat sinar matanya. Tapi dia balas tersenyum dan menyapa, "Hai, Ike."

Beberapa saat kemudian, aku, Fez dan papa mama bersama-sama mengunjungi orangtua angkat Fez.
Gale Rutherford dan Phedra Rutherford, istrinya, adalah sepasang suami istri low profile. Mereka ramah dan bersikap hangat ketika menyambut kami di rumahnya. Namun wajah ramah itu memudar ketika Fez memperkenalkan kami bertiga sebagai keluarga kandungnya.
Gale dan Phedra terlihat shock.. Mereka seperti kehilangan kata-kata, dan hanya mampu memandangi wajah papa mama dengan ekspresi kaget dan bingung. Sementara Fez terlihat gugup dan gelisah.
Well, aku maklum, Fez, kau selama ini adalah anak tunggal Rutherford, anak kesayangan semata wayang.. Belum pernah sekalipun dalam hidupmu, orangtua kandungmu datang mengunjungimu dan menemui orangtua angkatmu kan?
Papa mencoba mencairkan suasana yang tegang, “.. Mungkin anda berdua kaget, kenapa kami tiba-tiba datang menemui anda berdua, Gale, Phedra. Tapi kedatangan kami ke sini dengan maksud baik, kami hanya ingin berkenalan dengan anda berdua, dan jika memungkinkan alangkah baiknya bila kita menjalin hubungan erat selayaknya famili sendiri. Karena bagaimanapun, anda berdualah yang telah berjasa merawat dan mendidik Ferris sampai dia dewasa.” Papa menghela nafas. “..Kami sungguh berhutang budi pada anda berdua.”
“Well, James,” sahut Gale. “Maafkan, saya hanya merasa bingung, bagaimana ceritanya anda bisa bertemu dengan Ferris? Sejak kapan kalian saling mengenal?”
Fez menyahut, “Mereka penasaran karena wajahku mirip dengan Isaac, pa, ma. Ya singkat kata, mereka menemukanku. Kami baru berkenalan hari ini.”
“Wah, ini benar-benar mengejutkan..” komentar Gale.
Such an awkward moment. Huh.
“Ada alasan kenapa semua ini terjadi. Tapi buatku, yang paling penting adalah bagaimana agar orang lain tidak perlu mengetahui hal ini. Jadikanlah ini rahasia, hanya antara kita berenam saja yang tahu. Karena kurasa, kalau sampai hal ini bocor ke luar.. wartawan pasti akan mulai mengejar-ngejar kita, mengorek informasi sebanyak mungkin dari kita. Apapun bisa mereka jadikan berita besar kok! Apalagi hal semacam ini. Hal yang aku rasa hampir tidak pernah terjadi di dunia balap Formula 1. Bayangkan, seandainya berita mengenai keluarga kita ini menjadi headline media cetak.. Ferris Rutherford dan Isaac Renauld, ternyata saudara kembar yang terpisahkan! Kemiripan wajah mereka akhirnya terungkap! Bla bla bla bla.. mereka pasti mengulas habis apa dan bagaimana penyebab kenapa semua hal itu bisa terjadi. Aku hanya membayangkan, hal itu akan berdampak cukup buruk.. Apalagi papa Gale dan mama Phedra sekarang sudah tidak muda lagi, kalian tidak ingin merasakan ganasnya pers kalau sedang mencari berita kan? Dan lagipula, kurasa ini privacy, kita tidak akan membiarkan orang luar mengetahui semua hal tentang keluarga kita kan? Bagaimana menurut pendapat kalian?” kata Fez panjang lebar.
Tepat, Fez. Aku juga tidak ingin selalu dikejar pers. “Aku setuju. Kita rahasiakan hal ini.”
Orangtuaku, dan juga Gale dan Phedra, juga mengangguk-angguk setuju.
“Baiklah, kita semua setuju bahwa hal ini lebih baik dirahasiakan,” kata Gale. “Tapi.. rupanya memang benar berita itu. Isaac, kamu memang sangat mirip dengan Ferris. Di foto-fotomu tidak terlalu terlihat jelas kemiripan kalian, tapi setelah bertemu muka secara langsung sekarang ini, saya benar-benar terpukau menyadari bahwa.. kalian berdua memang mirip satu sama lain!”
Aku melempar senyum. “Kalau begitu, jika anda bersedia, anda berdua bisa menganggap saya seperti anak sendiri. Saya sendiri sangat senang, karena akhirnya bisa bertemu kembali dengan Ferris, plus bisa mendapat sepasang orangtua lagi. Tidakkah keluarga kita terberkati? Kita menjadi keluarga besar lho.”
Gale membalas senyumku dengan simpatik. “Oh ya, Ferris, Isaac, bolehkah saya berbicara dengan James dan Evelyn? Ada beberapa hal yang kalian tidak perlu tahu.. Jadi..”
Fez melengos sambil bangkit berdiri. “Ayo Ike. Kuantar kau keliling rumah.”
Kuikuti Fez, walaupun dalam hati aku merasa penasaran apa yang hendak dibicarakan oleh orangtua kami.
Fez mengantarku berkeliling rumahnya. Rumah yang nyaman dan bagus, syukurlah Fez dibesarkan di keluarga yang mapan, dan rendah hati seperti Gale dan Phedra. Seandainya saja.. dulu Fez diadopsi keluarga yang kurang harmonis, entah seperti apa nasibmu dulu.
Kupandangi Fez yang sedari tadi tidak banyak bicara. Ekspresi wajah yang datar, sungguh aku ingin tahu apa yang ada di benaknya. Coba kuajak bicara dia, “Kau tidak terlihat kaget begitu papa mama bilang kau adalah anak mereka.”
“Kata siapa? Aku kaget.”
“Bukan, maksudku, apa kau sudah tahu sebelumnya bahwa kau bukan anak kandung orangtuamu yang sekarang, begitu? Karena kalau kau belum tahu, kurasa kau pasti bakal lebih shock lagi.. Cuma pendapatku saja sih.”
Fez terdiam sejenak. “Aku memang sudah tahu kalau aku bukanlah anak kandung Rutherford. Sudah lama kutahu.”
“Jadi..”
“Dulu, waktu masih kelas 8. Aku penasaran setengah mati kenapa golongan darahku beda dari papa mama. Kutanyakan hal itu berkali-kali pada mereka, dan akhirnya ya seperti yang bisa kau tebak. Mereka akhirnya dengan berat hati memberitahuku kalau aku sebenarnya anak adopsi. Siapa orangtua kandungku, dimana mereka, seperti apa mereka, masih hidup atau tidak, tidak kupikirkan lagi karena toh aku merasa sangat berkecukupan dengan kasih sayang Gale dan Phedra.”
Walaupun aku merasa miris padamu Fez, setidaknya aku bersyukur karena orangtua angkatmu sangat baik padamu.
“Kau sendiri, Ike? Sudah lama tahu, kalau kau punya kembaran?”
Aku tertawa sumbang. “.. Aku malah baru tahu semalam. Baru semalam papa mama memberitahuku soal itu. Jadi kau tidak usah heran kenapa tadi siang aku bersikap dingin pada mereka. Kau bayangkan saja, gila ya! Sudah berapa puluh tahun, kenapa baru sekarang mereka mengakui hal itu padaku! Kenapa tidak dari dulu mereka menemukanmu Fez! Aku bukan main terkejut begitu tahu.”
“Yah, mungkin berat menceritakannya. Tidak seberat waktu melepasku,” Fez tersenyum masam.
“..Kau pasti sakit hati.”
Fez tertawa. “.. Aku cuma belum terbiasa. Plus masih shock juga. Semula kupikir kemiripan kita tuh cuma kebetulan belaka, Ike. Mana pernah kepikiran kalau kau ternyata saudaraku. Saudara kembar lagi.”
“Aku juga kaget Fez. Tapi aku senang mengetahui kau ternyata kakakku.”
“Kau tanya alasan kenapa papa mamamu tidak memberitahumu sejak dulu kalau kau punya kembaran?”
Kutatap Fez, lalu aku menggeleng. “Kuyakin bukan jawaban yang masuk akal. Seperti alasan mereka melepasmu.. Tidak masuk akal.”
Fez menghela nafas. “Yah, seandainya aku tidak dilepas, aku mungkin tidak akan bertemu dengan Gale dan Phedra. Mereka orangtua yang baik. Mereka adopsi aku karena katanya, aku mirip dengan anak mereka yang sudah lama meninggal. Jadi mereka memberiku nama sama seperti anak mereka itu. Ferris.”
“Oh, jadi mereka punya anak kandung..?”
“Ya. Mati muda karena kecelakaan, umurnya baru 24 tahun.”
“..Kasihan. Semoga dia beristirahat dalam damai.”
“Pasca meninggalnya anak mereka, mereka ingin punya anak lagi. Tapi sayangnya mama Phedra divonis oleh dokter ia tidak akan bisa lagi mengandung, karena dulu ia pernah mengalami keguguran. Jadi.. mereka memutuskan mengasuh anak, dan akulah anak yang beruntung itu.”
“..Lalu setelah kau bertemu denganku, dan papa mama, apa rencanamu?”
Fez mengangkat bahu. “.. Yang sudah pasti sih, aku akan membuatmu semakin tertinggal jauh di belakang, dan makan asapku,” katanya sambil menyeringai lebar.
Aku tergelak, kutinju bahunya. “Haha, coba saja kalau bisa!”
“Bisalah! Paling baru berapa putaran mobilmu juga meleduk. Seperti biasa.”
“Oke, kau bisa tindas aku selama aku masih di Purvance, tapi..” aku menyeringai. “tapi tidak untuk tahun depan. Keep it in the box, oke, aku sudah teken kontrak dengan Glauber, mulai tahun depan.”
Mata Fez terbelalak. Dia menatapku dengan pandangan tidak percaya. “...Kau direkrut Glauber?”
“Yap.”
“Maksudmu, kau jadi third driver?”
“Oh bukan, aku mengisi posisi setelah Fabio Ortolani, apa kau sangka aku masih harus jadi third driver? Kau kan tahu sendiri tahun ini tahun terakhir untuk Alvarez.”
“Ehm. Oke. Well. Congrats. Aku baru dengar soal ini. Hari yang penuh kejutan.”


Chapter 10. 19 Mei 2002
‘...Sialan, kenapa Glauber bisa-bisanya tertarik padanya??! Apa Glauber sudah hilang akal sehatnya?!’ rutuk Fez dalam hati. Dia meninju dinding di sebelahnya dengan tangan terkepal. ‘..Brengsek! Dia itu beruntung sekali rupanya, ya?!’ rutuknya lagi penuh kesal dan amarah.
Fez kini benar-benar dipenuhi oleh amarah. Amarah karena mengetahui karir Isaac yang tentunya akan lebih cerah setelah direkrut oleh tim mobil paling bergengsi di dunia, marah karena rasa irinya pada Isaac yang menurutnya sangat beruntung karena dilirik oleh tim mobil sekelas Glauber, juga marah karena Isaac tidak pernah merasakan menjadi dirinya, tidak pernah merasakan bagaimana sakitnya mengetahui kenyataan bahwa dirinya pernah ‘dibuang’ oleh orangtua kandung di panti asuhan!
Suara hatinya menegur dengan halus, ‘..Apa kau tidak terlalu membesar-besarkan hal ini? Persaingan itu hal yang biasa, dan kenapa kau jadi orang yang sirikan seperti itu? Isaac itu saudaramu, saudara kembarmu, malah! Apa tidak ada sedikit rasa rindu karena selama ini kau tidak pernah bertemu dengan mereka?’
Dan Fez terdiam, memikirkan bisikan yang halus itu. ‘Apakah aku terlalu berlebihan..?’ ujarnya dalam hati.

“Hee... kusangka kau ditelan bumi, bro. Kemana saja?” sapa Royce lewat telepon, ketika ditelepon Fez sore itu.
“Maaf aku tidak segera memberi kabar, padahal sebelumnya aku sudah berjanji akan segera mengabarimu, setelah bertemu orangtuanya Isaac.. Kurasa otakku sedang kacau. Aku bahkan tidak ingat ini hari apa."
“Ini hari minggu, dude. Kurasa kau terlalu banyak meracuni otakmu dengan pornografi, jadi kau linglung begitu," Royce terbahak.
"Haha. Ya mungkin juga, salah satu faktor."
"Tumben, kau lagi waras?"
“Tidak. Kurasa aku malah semakin gila. Oh ya. Sekali lagi maaf Royce.. aku bahkan tidak sempat menonton pertandinganmu kemarin. Jadi bagaimana hasilnya?”
Royce tersenyum, “Yea... well..”
“Dari suaramu, pasti hasil kemarin bagus! Ya kan? Congrats, bro! Sudah kuduga kau pasti menang, Berapa-berapa skornya?”
“Hhm, 2-0.”
“Cool..! Brandt bener-bener solid! Invincible! Kalian lolos ke final Liga Champions sekarang, aku benar-benar yakin Brandt bisa menang nanti di final!”
“Tim terbaiklah yang akan menang nanti, tapi kuamini kata-katamu tadi. Jadi, bagaimana?”
“Ha?”
“Ada kabar apa darimu?”
“..Oh. Sebuah kejutan besar untukku.”
“Maksudmu?”
“Kejutan karena.... akhirnya aku bertemu dengan orang-orang yang telah membuatku ada di dunia ini.”
“Maksudmu..”
“Hm.. yah, aku dan mereka rupanya masih berjodoh.”
“...Jadi... Isaac itu.. benar dia saudaramu?”
Fez tersenyum hambar. “Adik kembar, tepatnya. Misteri kemiripan wajahku dan Isaac terjawab juga. Rupanya dia adik kembarku sendiri."
Royce diam tidak menjawab.
"Selama ini yang kutahu ulang tahunku setiap oktober. Aku lahir tahun 1979. Begitu aku bertemu dengan orang tua kandungku, jadi jelas semuanya. Aku ternyata lebih tua dari perkiraanku selama ini. Haha," Fez tertawa sumbang. "..Aku lahir tahun 1978, tanggal 14 November. Berarti kita cuma beda beberapa bulan Royce, jadi kau jangan bersikap sok tua lagi padaku.”
“...Oh Christ. Fez, bagaimana ceritanya? Kenapa kau bisa terpisah dari orangtua kandungmu sendiri??”
Fez terdiam. “....Huh, cerita yang memalukan..! Kuceritakan nanti saja, ya. Tidak nyaman bercerita lewat telpon seperti ini.”
“Okay.   ..yang tabah, bro.”

Minggu, 26 Mei 2002.
Sirkuit Indianapolis, USA.
12:30 am. Satu setengah jam sebelum Grand Prix seri keenam itu dimulai.
Fez yang pada sesi kualifikasi hari sebelumnya menempati pole position, kini sudah berada motorhome, melakukan technical briefing dengan tim. Dia yang biasanya selalu berambisi dan bersemangat sebelum race, kini menjadi lebih pendiam dan memasang wajah suntuk. Teman-teman timnya tidak ada satu pun yang mengetahui alasan perubahan sikap Fez yang tidak biasanya itu. Namun mereka percaya, Fez adalah seorang pembalap profesional yang tidak akan membiarkan perubahan moodnya dan kehidupan pribadinya turut mempengaruhi penampilan dan kualitasnya dalam race tingkat dunia kali itu.
Tidak ada yang tahu, bahwa saat itu sebenarnya Fez sedang teringat kejadian pada malam sebelumnya. Ketika Isaac meneleponnya dan mengabarkan bahwa dia sudah menerima dan teken kontrak dengan Glauber mulai musim 2003 mendatang. Isaac terdengar ceria dan berharap bisa bersaing dengan sehat dengan saudaranya sendiri  –itu menyenangkan, menurutnya–. Bahkan kalau bisa, mereka selalu naik podium bersama-sama. Dan Fez menanggapinya dengan senyum dan antusiasme yang dibuat-buat, sekedar untuk menyenangkan hati Isaac.

Dan mereka pun bertemu ketika parade pembalap dimulai. Isaac mendekati Fez dan melempar senyum. "Hai, Fez," sapanya.
Fez balas tersenyum, dengan berbagai macam emosi yang bercampur aduk dengan perasaan iri. "Hei."
"Sudah siap? Hari ini cerah, tidak ada kemungkinan akan turun hujan. Dan kau bisa mengawali race hari ini dari posisi pole. Jangan sia-siakan kemenangan yang sudah di depan mata," ujar Isaac.
Fez tersenyum tipis. "Pasti."
"Kenapa kau, tumben tidak semangat seperti itu?"
"Kata siapa tidak semangat, mungkin perasaanmu saja. Oh ya, berapa tahun kau dikontrak Glauber?"
"Tiga tahun."
"Well, congrats, then. Kita bakal jadi rival berat, rupanya," ujar Fez seraya memaksakan diri tersenyum lebar, berupaya terlihat antusias dan positif.
Isaac membalas senyum Fez. "Thanks."
"Tapi mana gaungnya? Biasanya berita seperti ini langsung menjadi berita besar. Pers belum tahu?"
Isaac menggeleng. "Pers belum waktunya tahu. Nanti. Bahkan teman-teman pembalap yang lain juga belum tahu. Baru kau saja yang tahu."
Fez mengerutkan kening.

Isaac tengah menaiki tangga di motorhome seusai parade pembalap, dan kini dia akan melakukan pertemuan terakhir dengan tim dan para mekanik sebelum race dimulai. Namun ketika dia tiba di lantai dua, dia melihat seorang gadis berjalan sempoyongan dan terhuyung  hampir jatuh, tidak jauh darinya. Refleks dia merentangkan tangan dan menahan tubuh gadis itu sebelum sempat ambruk ke lantai, "Nona!" serunya. "Nona, anda tidak apa-apa?" tanyanya concern seraya menegakkan tubuh gadis itu.
Gadis itu tersenyum. "Tidak apa-apa, kok. Cuma sedikit pusing," jawabnya. Gadis itu adalah seorang gadis cantik berusia sekitar 15 tahun yang tadi sempat bertemu dan berfoto dengan Isaac ketika Isaac melakukan kunjungan paddock club. Nama gadis itu Camila Castellano. Gadis muda keturunan Italia itu sangat menawan hati. Berparas begitu cantik dan berambut hitam legam, membuat siapapun yang memandangnya tak akan mampu melepaskan pandangan daripadanya. Begitu pula Isaac, yang terpesona akan kecantikan gadis remaja yang saat ini berada dalam dekapannya itu.
Dan Isaac pun teringat bahwa dia pernah bertemu dengan gadis itu sebelumnya, yakni pada saat dia melakukan kunjungan paddock club siang tadi. "Lho, kamu kan.. yang tadi di paddock club? Kamu tidak apa-apa? Tentu kamu pusing karena temperatur di sini. Ayo, lebih baik kamu istirahat dulu," tawarnya ramah.
Camila tersenyum. "Trims ya.. Ike, kamu sudah menolong aku dan mengkhawatirkan aku. Tapi aku tidak apa-apa, kok. Setelah melihat kamu, pusing aku hilang.." ujarnya seraya menatap mata cokelat Isaac.
Isaac terdiam sejenak, lalu tersenyum. "Siapa namamu tadi..?"
"Camila. Camila Castellano."
"Camila.. nama yang manis," puji Isaac.
"Thanks," Camila tersenyum manis.
"Kamu sendirian, di sini? Mana temanmu yang tadi?"
"Tidak usah pikirkan dia," Camila memandangi Isaac dengan pandangan penuh pesona. "Demi Tuhan.." ujarnya.
"Lho, ada apa?"
"Kamu benar-benar makhluk Tuhan yang tercipta paling sempurna, Ike! Kamu tahu berapa banyak cewek-cewek di luar sana yang memuja kamu, terpesona akan kamu..!"
Isaac tergelak. Tawanya begitu renyah. "..Kamu naif, tidak ada manusia yang sempurna!"
"Aku tak peduli. Buatku, kamu sempurna. Aku tergila-gila sama kamu."
"Camila, Camila! Dengar, Sayang, kamu masih terlalu muda. Jalan hidupmu masih panjang, banyak hal yang bisa kamu lakukan ketimbang tergila-gila dengan orang yang tidak pantas untuk kamu."
Camila mengangkat alis. "Kenapa tidak pantas! Dan kenapa mempermasalahkan umur?"
"Karena jalan hidupmu masih panjang, dan, aku yakin sekali, di luar sana ada seseorang yang jauh lebih pantas untuk melindungi kamu ketimbang orang seperti aku. Kamu sangat cantik, Cami. Dan hanya pria yang berkualitas terbaik yang pantas memiliki kamu," ujar Isaac seraya mengusap lembut pipi Camila.
"Bukankah pria berkualitas terbaik itu ada di hadapanku, sekarang?"
Isaac tersenyum. "Sayang, kamu hanya terpesona akan keindahan fisik semata. Yang paling banyak berperan dalam suatu hubungan tidak lain adalah kasih sayang yang murni, yang tidak melihat fisik semata."
"Kupikir itu cuma teori belaka. Dalam kehidupan nyata, cowok-cowok hanya melihat fisik! Mereka tidur dengan cewek-cewek yang mereka anggap menarik, lalu setelah itu baru melakukan penjajakan! Kalau cocok, terus.. kalau tidak cocok, mereka pergi begitu saja. Apalagi bagi yang sudah dewasa, selingkuh, one night stand atau semacamnya bisa terjadi karena manusia zaman sekarang ini hanya melihat fisik, kan?"
Isaac terdiam memandangi Camila. "..Argumen yang hebat."
"Benar, kan!"
"Tapi jika aku adalah salah seorang dari tipe cowok semacam itu, kamu tidak perlu bersusah payah berdebat denganku di sini. Cami, aku menghormati wanita; aku menghormati kaum kamu dan aku menghormati kamu juga. Aku tidak mau menyakiti dan menodai kamu dengan hubungan yang hanya didasarkan pada ketertarikan seksual.." Isaac tampak terkejut mendengar perkataannya sendiri. Wajahnya agak tersipu, lalu tersenyum. "..Well, aku jadi malu sendiri kenapa membicarakan hal yang sensitif."
"Apa aku tak cukup menarik untuk kamu, ya?"
"Cami, sudah kukatakan, kamu cantik dan menarik. Tapi bukan aku yang pantas memiliki kamu."
"Seharusnya kamu tidak mengatakan hal itu. Bukankah kita tidak pernah tahu siapa jodoh kita, sampai kita menemukannya? Siapa tahu..?"
Isaac menjawab Camila dengan secercah senyum. "Jodoh yang diperuntukkan bagimu bukan aku, Cami. Aku tidak berhak melakukan itu."
Camila mulai kehilangan kata-kata untuk merayu Isaac. "Isaac.."
"Hey, ayolah! Saat ini aku sudah ditunggu kru dan tim mekanik agar performa kami lebih optimal pada saat race nanti. Sebagai pendukungku, kamu tidak ingin aku mendapat hasil buruk, kan?" tegur Isaac.
Camila merengut, merasa kesal dan gemas. "Okay.. okay! Aku tidak akan ganggu kamu lagi. Susah sekali ya, merayu kamu!" ujarnya. Ia terdiam sejenak seraya memandangi Isaac. "..Kamu sangat menggemaskan," katanya lagi seraya berjinjit dan mengecup kedua pipi Isaac dengan gemas.
Sementara yang dikecup terdiam tidak menyangka, tapi juga tidak menolak. Dia tersenyum pada Camila, "Aku tidak akan pernah lupa dengan fans yang 'bandel' seperti kamu. Gadis yang cerdas, nekat, dan pemberani."
Camila menyeringai.
"Semoga kamu tidak pernah bosan mendukung aku. Bye, Cami," pamit Isaac.
"Bye bye! Sukses ya, Ike!"
Dan Isaac meninggalkan Camila sambil menggeleng-gelengkan kepala dan tersenyum. Tidak bisa disangkalnya dia menikmati pertemuan kocaknya dengan fans yang 'bandel' seperti Camila itu, dan tidak bisa disangkalnya pula dia menikmati kecupan gratis yang diterimanya. Dan diam-diam dia berharap kecupan itu merupakan pertanda bagus yang membuatnya bisa meraup poin dalam race yang akan dimulai sebentar lagi.

01:58 pm.
Semua pembalap sudah berada di dalam kokpit mobil masing-masing; bersiap menghadapi race keenam musim itu. Fez yang sedari tadi terdiam dan melamun, masih teringat akan kejadian semalam yang membuatnya panas dan iri hati pada adiknya sendiri. Fez mengakui diri bahwa dia tidak bisa menerima kenyataan mengetahui Isaac akan segera bergabung dengan tim Glauber, tim Formula 1 yang paling kuat dan solid, musuh terbesar tim GT Forrier. Dia bagai terbangun dari tidur ketika menyadari race akan segera dimulai, dan segera memusatkan pikiran pada race yang akan segera dijalaninya. Dia bersiap dan melajukan mobilnya perlahan ketika lampu merah sudah padam, sementara mobil-mobil lainnya mengikuti di belakangnya. Parade lap, mereka mengitari sirkuit terlebih dulu sebagai pemanasan sebelum race yang sebenarnya dimulai.
Selama pemanasan, Fez berupaya melupakan segala kemarahan-kemarahan dan masalah-masalah yang ditanggungnya barang sejenak, agar dirinya dapat berkonsentrasi penuh pada race. Dia tidak ingin dan tidak akan pernah menodai penampilannya yang cemerlang di dunia balap jet darat itu dengan adanya masalah-masalah pribadi yang terus mengganggunya.
Fez tiba di starting grid pertama kali. Mobil-mobil di belakangnya pun tiba dan mereka segera menempati posisi start masing-masing. Fez memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dilakukannya itu berulang kali hingga dia merasa lebih tenang dan siap untuk berkonsentrasi penuh pada race dan mengerahkan segala daya upayanya untuk meraih hasil terbaik.
Lampu merah padam, dan race pun dimulai. Fez segera melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, dia tidak membiarkan siapapun merebut posisi pertamanya pada race kali itu. Dan dia berhasil. Tapi tidak hanya sampai di situ saja. Dia harus bisa mempertahankan posisi terdepannya, hingga akhir race. Maka dia melajukan mobilnya dengan kecepatan maksimal, berusaha membuat jarak yang jauh dengan ‘penguntit-penguntit’nya di belakang, agar mereka kesulitan mendekatinya dan bahkan mendahuluinya.
Saingan terberatnya, Alvarez, berada tepat di belakangnya sejak awal lomba. Namun hingga saat itu Alvarez belum berhasil menyalip Fez, pembalap muda berbakat yang menjadi saingan terberatnya sejak tahun lalu.
Hingga pertengahan lomba, Fez tetap terdepan. Dia sudah masuk pit sekali, dan dia tetap bisa mempertahankan posisinya. Menurutnya hal itu sangat bagus, mengingat Alvarez terus berada di belakangnya dan sebetulnya mempunyai cukup peluang untuk merebut posisi terdepan pada saat Fez masuk pit.
Fez merasa, sepertinya pada race kali itu dewi fortuna kembali berpihak padanya. Dia merasa senang dan bangga, walaupun sebenarnya dia belum berhak untuk merasa bangga, karena race belum selesai.
Dan benar saja. Pada lap ke-32, tiba-tiba mesin mobil Fez meleduk dan mengeluarkan asap tebal. Praktis Fez tidak bisa lagi melanjutkan lomba. Dengan perasaan kacau Fez keluar dari kokpit dan berjalan menuju paddock, tempat timnya menunggu.
Dia marah dan kesal, tentu saja. Dia sudah berharap terlalu banyak pada dewi fortuna yang dikiranya akan menaunginya hingga race usai. Namun pada kenyataannya dewi fortuna meninggalkannya dan membiarkan mesin mobilnya meleduk!
Fez melihat mobil Isaac melewatinya, dan keadaan hatinya menjadi semakin buruk. Dia teringat bahwa mulai musim depan, Isaac akan menjadi pembalap utama Glauber, menggantikan posisi Alvarez saingan terberatnya kini. Dia tidak mau menerima kenyataan bahwa saudaranya sendiri memiliki keberuntungan yang lebih besar dalam karir.
Dan dia semakin merasa kesal dan marah. Fez melepas helm serta balaclava, dan tampaklah seraut wajah yang ditekuk penuh amarah dan kekesalan yang menjadi-jadi. Teman-teman timnya menyambut kedatangannya di paddock namun Fez tidak mengacuhkan mereka, dia segera berlalu dan menyelinap ke ruang ganti. Di sana dia membanting helmnya keras-keras dan melontarkan segala macam sumpah serapah dan kata-kata kotor dari mulutnya.
Setelah puas menyumpahserapahi segala hal yang membuatnya kesal, dia merasa sedikit lebih lega. Terasa sedikit penyesalan di hatinya karena terlalu terbawa emosi, yang dia tahu dia tidak boleh melakukannya.
Fez berdiam diri beberapa jenak guna menetralkan emosinya, lalu dia keluar menuju pit wall, hendak mengikuti jalannya race secara lebih intensif bersama sang bos dan para perancang strategi tim. Saat ini, Alvarez turun posisi ke posisi dua setelah sempat melakukan sedikit kesalahan di tikungan pertama, dan rekan setim Fez, Shawn Renan mempergunakan kesempatan emas itu untuk menyalip Alvarez dan hingga kini Renan memimpin lomba. Setelah Fez retire, konsentrasi tertuju penuh pada Renan dan semua anggota tim ingin mengusahakan yang terbaik agar Renan dapat mempertahankan posisinya hingga akhir race.
Setelah memberikan informasi tentang apa yang terjadi pada mobilnya tadi pada sang bos, Gerhard Brautovich, dan memberikan sepatah dua patah kata pada pers yang mencegatnya di motorhome, Fez memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak di sekitar motorhome. Berusaha menghibur dirinya sendiri dengan melepaskan diri sejenak dari pekerjaan yang ada di tangannya. Dia mengurungkan niat untuk mengikuti jalannya race di pit wall; bukannya dia tidak peduli, dia percaya pada kemampuan Renan dan dia percaya Renan akan dapat mempertahankan posisinya hingga akhir race. Dia hanya sedang merasa sedikit jenuh dan suntuk memerhatikan mobil-mobil yang berseliweran di depan hidungnya sementara seharusnya dia juga masih berkutat dalam pertarungan hari itu, jika saja mesin mobilnya tidak meleduk!
Maka dia berjalan-jalan santai sejenak, memerhatikan orang-orang yang ada di sekitar paddock club timnya. Seketika dia melihat seorang gadis cantik yang tengah memerhatikan dirinya. Seorang gadis berkulit kemerahan dan berambut sebahu hitam legam.
Gadis itu, Camila, memang tengah memerhatikan Fez. Ia tidak begitu bersemangat menonton jalannya race karena Isaac masih terjebak di posisi kesepuluh. Merasa bahwa jagoannya itu tidak bisa meraih hasil yang lebih bagus lagi, ia memutuskan untuk menghilangkan kejenuhan dengan berjalan-jalan di sekitar paddock club. Tak disangkanya ia kini melihat Ferris Rutherford, pembalap yang berwajah sangat mirip dengan Isaac; pembalap GT Forrier yang prestasinya lebih mentereng dibanding Isaac. Dipenuhi rasa penasaran mengapa Ferris dan Isaac berwajah mirip, ia memerhatikan Ferris. Berusaha mencari-cari letak perbedaan fisik yang ada pada diri Ferris dan pada Isaac yang ia puja. Tidak menemukan yang dicarinya, ia hanya menemukan kenyataan bahwa Ferris dan Isaac benar-benar mirip, bagaikan sepasang kembar identik. Hanya model rambut mereka saja yang membedakan. Dan Camila tersenyum.
Fez yang tampaknya terpesona akan kecantikan gadis remaja itu, mendekati Camila dan menyapanya. "Hai," sapanya ramah.
Camila tersenyum manis. "Hai.. Kamu pasti Ferris Rutherford, senang berkenalan denganmu. Namaku Camila Castellano," katanya seraya  mengulurkan tangan.
Fez menyambut uluran tangan Camila dengan hangat. "Camila? Nama yang manis, senang berkenalan denganmu."
"Wah..! Senangnya hari ini, aku bertemu dua pembalap ganteng yang sama-sama memuji namaku," kata Camila riang.
Fez tersenyum. "Oh ya..?"
"Ya..! Tadi Isaac juga memuji namaku."
Fez mengangkat alis. "Isaac..? Well, kurasa kamu salah satu pengagum Isaac, ya?"
Camila tertawa ringan. "Tentu..! Siapa sih yang tidak terpesona pada Isaac..?"
Fez tersenyum tipis. "Aku tidak. Karena aku laki-laki," katanya, disambut gelak Camila.
"Oh.. iya ya!"
"By the way, kenapa kamu ada di sini? Tidak menonton?"
"Ah, aku bosan. Dan panas, pula. Lebih baik jalan-jalan ke sini. Kamu sendiri, kenapa ada di sini?"
Fez tersenyum. "Sedang menenangkan pikiran, mendapat kejadian mesin meleduk setelah memimpin 30 lap bukan hal yang menyenangkan, bukan?"
"I see.." sahut Camila. Wajahnya berubah murung seakan turut merasakan kekecewaan Fez.
"Keberatan, jika aku memintamu menemaniku sebentar, Camila..?" tawar Fez.
Camila tersenyum. "Tentu tidak..! Dengan senang hati. Kapan lagi ada kesempatan bisa menemani pembalap ganteng seperti kamu..?"
"Kamu gadis yang ekspresif, aku senang dengan cewek seperti kamu."
"Thank you..!"
"Sopankah kalau aku menanyakan umurmu? Kamu sepertinya masih muda sekali."
"15 tahun," jawab Camila cepat. "Memang kenapa?"
Fez mengangguk. "Oh, benar dugaanku. Kamu masih remaja. Masih muda, dan sangat cantik."
Camila tersipu. "Thanks.."
"Dan kamu tahu? Aku terpesona sama kamu. Sungguh, keelokan parasmu membuatku tidak bisa memalingkan wajah dari padamu. Apa kamu ini model, atau semacamnya?"
Camila tertawa. "Aku hanya gadis biasa..! Aku bukan model atau aktris."
"Sayang sekali, padahal kupikir kamu cocok menjadi model."
"Akh, aku tidak punya bakat melenggak lenggok di atas catwalk atau berakting. Aku tidak suka seperti itu."
Fez mengangguk. "I see. Apa kamu sendirian, ke sini?"
"Tidak. Aku bersama sepupuku, Jessica. Ia yang membuat akses masuk paddock club dan motorhome Purvance jadi sangat mudah."
"Oya..?"
"Ya! Pemilik Purvance merupakan salah satu anak buah ayah Jessica. Jadi kami bebas keluar masuk motorhome Purvance."
Fez terdiam sejenak. "..I got it. Sepertinya pamanmu itu orang yang berkuasa, ya. Orang penting di Amerika Serikat; apa kamu berasal dari New York?"
Camila tersenyum. "Ya. Memang. Dan memang pamanku orang yang berkuasa, tapi itu tidak penting untuk dibanggakanlah, walaupun berkatnya aku jadi bisa bebas keluar masuk tempat yang tidak semua orang bisa kunjungi. Aku lebih bangga pada ayahku sendiri."
Fez balas tersenyum. "Ah, aku semakin yakin, siapa gadis manis yang ada di hadapanku sekarang ini."
"He? Memang kamu tahu siapa ayahku?"
"Kenapa mesti tidak tahu, Cami? Aku tertarik dengan kasus ayah dan pamanmu itu. Dua orang Castellano yang saling mencari-cari kesalahan agar bisa menjatuhkan satu dan yang lainnya. Aku benar, kan?"
Camila tersenyum. "Tepat."
"Lalu? Mana sepupumu itu?"
"Dia ada di dalam. Asyik menonton sendirian. Biar sajalah, aku sedang kesal dengannya. Dia terlalu percaya diri dan selalu sesumbar bahwa Isaac akan jadi miliknya. Padahal kenal sama Isaac saja tidak."
"Kalian sama-sama mengidolakan Isaac Renauld? Kenapa tidak mendukung pembalap lainnya, seperti aku, begitu? Apa prestasiku kurang menarik buat kalian para gadis?"
Camila menggeleng. "Bukan begitu..! Kamu hebat, Fez. Kamu sebenarnya lebih jago ketimbang Isaac, aku tahu itu, mobilmu juga excellent. Dan kalian berdua mirip, tapi...."
"Tapi?"
"Tapi.. bukankah kamu itu senang bermain cewek ya..?"
Fez terbahak. "Cami..! Cami..! Kamu terlalu banyak membaca infotainment atau semacamnya. Aku tidak seperti yang mereka tulis, Sayang. Mereka terlalu jauh berkreasi dengan pikirannya hingga bisa menciptakan berita-berita miring tentang aku."
"Jadi, semua itu bohong..?"
Fez menatap Camila tepat di mata. "Aku pria baik-baik yang simpatik. Aku selalu memperlakukan wanita dengan penuh cinta. Aku tidak pernah dengan sengaja menyakiti hati mereka. Kamu, lebih percaya aku, atau lebih percaya pada kata-kata pers..?" tanyanya seraya mengusap pipi Camila dengan lembut.
Dan, seperti yang memang menjadi kelebihan Fez dalam memesona banyak wanita, Camila terbius oleh kata-kata manis Fez dan tatapan matanya..

"Kau punya fans yang sangat manis ya, Ike," kata Fez pada Isaac via telepon, malam itu.
"He?"
"Camila. Katanya tadi siang kalian ketemu di paddock club?"
"Camila? Tahu darimana kau, kau berkenalan dengannya? Kapan?"
"Ya tadi siang lah. Kau pikir apa yang kulakukan pasca dnf ( *dnf = did not finished* )? Stuck, tidak melakukan apa-apa di motorhome? Untuk apa, lebih baik aku jalan-jalan. Lalu aku bertemu dengan yang namanya Camila itu. Manis, ya."
Terdengar gelak Isaac. "Dasar kau, cepat sekali reaksimu kalau melihat ada cewek manis menganggur sendirian. Terus? Kau sudah menjadikan dia sebagai pendukungmu, bukan pendukungku lagi?"
"Wah, kurang tahu ya, sekarang dia lebih mendukungku atau mendukungmu. Tapi yang jelas, dia itu cewek yang sangat manis, masih muda dan masih polos. Belum pernah tersentuh siapapun."
Isaac terkejut. "Heh, kau tidak berbuat macam-macam dengan cewek itu, kan?"
Giliran Fez yang tergelak. "Kenapa aku mesti tidak berbuat yang macam-macam, kalau dia juga mau denganku?"
"Fez! Bangsat kau, dia masih anak kecil! Masih 15 tahun! Belum cukup umur untuk kau permainkan..!"
"Ah, 15 tahun sudah cukup dewasa. Kenapa kau, marah, tahu fansmu kukerjai?"
"Ya bukan begitu. Tapi Camila kan masih abg, apa yang merasukimu, sampai kau tega seperti itui? Kau perawani dia??"
Fez tertawa. "Inti dari semua itu kan yang penting 'mau sama mau', tidak ada hubungannya dengan tega atau tidak."
"Damn. Bukan main bangsatnya kau. Sadar sedikitlah, kelakuanmu itu sangat negatif."
"Hm, apapun katamu. Kau tidak tahu sesuntuk apa aku tadi. Bahkan sampai sekarang pun kalau ingat kejadian tadi siang aku masih suntuk. Apa salahnya sih kalau aku mencari kesenangan pribadi?"
Isaac menggeleng-gelengkan kepala, Fez sepertinya tidak akan pernah sadar dari kelakuan negatifnya, pikirnya. Bahkan anak gadis yang masih perawan pun, yang tidak dia kenal, disambar juga!

24 Juni 2002, Madrid, Spanyol.
Sudah hampir sebulan lebih Royce dan rekan-rekan tim nasional Inggris berada di Spanyol, mengikuti serangkaian pertandingan Piala Eropa 2002. Berkat kerja keras mereka dan juga keberuntungan yang besar, tim nasional Inggris berhasil memasuki babak semifinal. Peluang mereka untuk mempertahankan trofi Piala Eropa terbuka lebar, dan mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan peluang tersebut.
Pagi itu Royce sedang sarapan bersama dengan teman-teman timnas seraya membicarakan hal-hal ringan dan sedikit bersenda gurau, melepaskan sedikit beban sebelum memulai latihan intensif yang akan mereka jalani sebagai persiapan menghadapi tuan rumah, Spanyol, di partai semifinal 28 Juni mendatang.
Ponsel Royce berdering. Royce segera menjawab, “Halo?”
“Hey, Royce!” sapa suara di seberang.
Royce segera mengenali suara Fez, “Hei, Fez. Apa kabar?”
“Fine, thanks. Congrat, bro, sudah kuduga sejak awal, Inggris pasti bisa masuk semifinal, dan final, tentunya! Aku menonton siaran langsung pertandinganmu tadi malam lawan Belanda. 1-0. Pencetak golnya lagi-lagi kau. Makin spektakuler saja gol yang kau cetak? Kau itu memang benar-benar ‘ujung tombak’ Inggris,” cerocos Fez, seakan tidak memberikan kesempatan pada Royce untuk menyela maupun menjawab.
“....Sudah? Sekarang giliranku bicara?”
Fez tertawa. “Sorry, aku cerewet ya?”
“Kedengarannya kau sudah ceria sekarang? Syukur deh. Bukankah kau akhir-akhir ini suntuk berat?”
“Ah, ayolah, aku sedang tidak ingin mengingat persoalan-persoalanku. Hari ini aku sedang senang karena sobatku menjadi ‘man of the match’ dalam pertandingan tadi malam. Kau memang terlahir untuk menjadi pemain bola sejati. Pertahankan prestasimu, bro.”
“Thanks. Aku sedang beruntung saja tadi malam. Dimana kau sekarang?”
“Belgia.”
“Lho, belum balik? Oh ya, bagaimana hasil race kemarin?”
“...Well, aku masih beruntung karena aku bisa meraih podium ketiga. Padahal kemarin benar-benar penghabisan untukku. Bayangkan, aku dikenai penalti pengurangan dua detik! Aku terpaksa start dari posisi 15! Belum lagi aku harus terus konsentrasi penuh pada race, sementara persoalan yang harus kutanggung seakan tidak mau lepas dari otakku!”
“Sebenarnya persoalan apa yang memberatkanmu? Kalau kau bersedia, kau bisa mengandalkanku untuk cerita. Daripada ditanggung sendiri, bisa berefek ke penampilanmu di race, kan? Seperti waktu bulan lalu, F1 seri ke-6. Kudengar kau marah-marah di sirkuit. Juga waktu seri ketujuh dan kedelapan awal bulan ini.”
“Sorry, Royce. Bukannya aku tidak percaya denganmu. Tapi ini terlalu pribadi. I can handle it.”
“It’s ok, I believe that you can. Hey, kau belum pernah sekalipun menonton secara langsung pertandingan Inggris di sini, kan? Kemarin kau berjanji akan datang.”
“Man, aku pasti datang! Tanggal 28 nanti kupastikan datang dan menonton kalian bertanding. Kemarin-kemarin aku benar tidak bisa menonton langsung. Kau tahu, kan, seri F1 bulan Juni ini sangat padat. Oh ya, pas final juga aku pasti datang kok. Sampai ketemu di final.”
“Hei, Inggris kan belum tentu masuk final.”
“Pasti! Pasti masuk final. Percaya padaku.”
“Sejak kapan kau jadi peramal? Sudah bosan jadi pelukis?”
“Sialan. Serius nih.”
“Bukannya awal Juli kau ada race? Tanggal berapa? Tanggal 7 ya? Sementara partai final dan perebutan tempat ketiga dan keempat diadakan tanggal 2 dan 3 Juli. Apa tidak berbenturan dengan kegiatanmu?”
“Tidak. Race tanggal 7 di Catalunya, bro.”
“Oh, pantas. Grand Prix Spanyol rupanya.”
“Nah, tanggal 7 Juli nanti giliran kau yang menonton aksiku secara langsung di sirkuit.”
Royce tergelak. “Tenang! Kalau perlu kubawa seluruh teman-teman tim dan suporter Inggris ke Catalunya.”

3 Juli 2002.
Partai final Piala Eropa 2002.
Inggris tampil cemerlang pada saat semifinal beberapa hari sebelumnya melawan Spanyol, sang tuan rumah. Mereka secara mengesankan berhasil menundukkan Spanyol 2-0, dan itu membuat Inggris berhak melaju ke babak final, yang diadakan pada hari ini, melawan finalis lainnya, Italia.
Seperti biasa, stadion penuh dengan para penonton dan suporter setia kesebelasan Inggris dan Italia. Event besar seperti Piala Eropa memang selalu mengubah stadion menjadi lautan manusia. Di salah satu tribun eksklusif, tempat Fez dan teman-teman tim GT Forriernya  sudah duduk dengan manis, menunggu pertandingan final itu dimulai.
“Sudah kuduga sebelumnya, Inggris pasti masuk final!!” ujar Fez berapi-api pada teman-teman timnya.
“Hey kau sudah berkali-kali berbicara seperti itu,” sahut Dan.
Kedua skuad yang akan saling memperebutkan trofi Piala Eropa itu pun keluar. Mereka berdiri berjajar, dan lagu nasional kedua negara pun berkumandang di udara. Kemudian para pemain bersalaman, dan langsung mengambil posisi masing-masing.
Royce menyapukan pandangan, melihat berkeliling. Teman-teman setimnya tampak sudah siap tempur sedari tadi. Kapten tim Inggris dan kapten tim lawan tampak masih menyalami para wasit yang bertugas. Dia melihat ke arah tribun penonton eksklusif di depannya, dan menemukan sosok sahabatnya, Fez, duduk bersama dengan teman-temannya. Dia memicingkan mata, berusaha memastikan benarkah yang dilihatnya itu adalah Fez.
Fez melambai pada Royce, ketika menyadari Royce melihatnya dan teman-temannya. Royce membalas lambaian tangan Fez dengan tersenyum lebar. Fez memberikan semangat pada Royce dengan mengepalkan tangan erat-erat dan mengacungkannya ke atas. Royce membalas kepalan tangan itu.
Peluit berbunyi.
Pertandingan pun dimulai, diiringi riuh rendah penonton yang begitu antusias. Kedua negara itu masing-masing mempertahankan negaranya sendiri agar tidak kebobolan lebih dulu dan saling menyerang, berusaha mencetak gol. Beberapa kesempatan baik bagi skuad Inggris untuk mencetak gol, selalu dipatahkan oleh Italia.
Babak pertama berlalu tanpa gol.
Di babak kedua, pertandingan kian memanas, kedua tim berusaha keras mencetak gol ke gawang lawan. Namun keduanya merupakan tim yang kokoh dalam pertahanan dan juga gencar dalam menyerang, sehingga pertandingan final kali itu merupakan pertandingan yang apik dan sungguh menarik.
Hingga pada menit ke-82, skor kedua tim tetap 0-0. Para penonton tak henti-hentinya meneriakkan yel-yel pemberi semangat pada kedua tim yang sedang berlaga.
Menit demi menit berlalu dengan cepat. Saat itu Italia sedang gencarnya melakukan serangan pada Inggris. Ketika serangan itu berlangsung di daerah kotak penalti Inggris, Salah seorang pemain Inggris melakukan tackling pada salah seorang pemain Italia yang pada saat itu sedang membawa bola. Wasit meniup peluit dan menunjuk titik penalti. Pendukung Italia serentak bersorak gembira.
Seorang pemain muda berbakat dari Italia, yang mendapat kesempatan untuk mengeksekusi tendangan penalti kali itu, sudah berdiri kokoh di sana, siap melakukan tendangan penalti. Tendangan yang berkemungkinan besar dapat mengantarkan timnya merebut trofi Piala Eropa. Sementara itu, kiper Inggris, berusia sekitar 28 tahunan, yang disebut-sebut sebagai kiper termahal karena kemampuannya yang tidak usah diragukan lagi, bersiap di mulut gawang, berusaha meningkatkan ke-awas-annya dan kejeliannya dalam membaca arah bola.
Peluit berbunyi. Pemain Italia itu terdiam sesaat, sebelum kemudian mengambil ancang-ancang dan menendang bola tepat menuju ke arah gawang. Kiper Inggris yang sudah menduga arah bola itu sejak awal, melentingkan tubuh dan mengangkat tangannya tinggi-tinggi, berusaha menjangkau bola..
Namun bola itu melewatinya. Walaupun dia sudah berusaha merentangkan tangannya sejauh yang dia bisa, bola yang hanya berjarak beberapa inchi saja darinya itu lolos.... dan membuahkan gol.
Pemain Italia yang berhasil mengeksekusi tendangan penalti itu berlari mengekpresikan kesenangannya, sementara teman-temannya yang lain memeluk dan menciuminya. Seluruh pendukung Italia pun turut larut dalam suasana gembira tersebut.
Pertandingan belum selesai, dan kini Inggris berusaha semaksimal mungkin untuk membalas ketertinggalan mereka. Berkali-kali gawang Italia terancam oleh serangan Inggris yang kian gencar dan tajam, namun sayangnya keadaan tidak berubah. Hingga wasit meniup peluit tanda pertandingan telah usai, skor tetap 1-0 untuk Italia.
Serentak ofisial dan seluruh pemain Italia tenggelam dalam kegembiraan. Puluhan ribu suporter Italia juga turut larut dalam kegembiraan menyambut kemenangan mereka.
Para pemain bersalaman dan memberi hormat kepada para suporter dan penonton. Penyerahan Piala Eropa dilaksanakan dengan begitu meriah.
“Lagi-lagi... runners up,” ujar Fez.
Yang lain menyahut, “Yeah, sayang. Harusnya Inggris bisa tetap mempertahankan trofi, dan harusnya penalti itu tidak usah terjadi.”
“Apa Royce masih bisa tersenyum, kalah dalam event besar seperti ini?” tanya Dan.
Fez dan yang lainnya serentak memperhatikan Royce yang masih berada di lapangan. Mereka menyaksikan sendiri wajah Royce yang seolah tanpa beban, menyalami dan memberi selamat dengan senyum di wajah – pada para pemain Italia. Hal yang sama tidak mereka jumpai pada segelintir pemain Inggris, kiper Inggris dan juga pelatih timnas Inggris.
“Well, dia memang pemain bola sejati,” ujar Fez.
“Yeah, setuju. Dia kesayangan publik Inggris. Aku jadi tidak sabar menunggu aksi dia di Piala Dunia 2004 nanti.”
“Royce cs pasti bisa menunjukkan bahwa Inggris adalah tim tuan rumah yang solid dan tidak terkalahkan.”

Chapter 11 - 15

-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-

No comments:

Post a Comment