Last Champagne (Curse the twenty-first)


Copyright © 2014 CamilleMarion All Rights Reserved


Chapter 1. Januari 2002.
Sirkuit Catalunya siang itu dipenuhi ratusan jurnalis dan reporter yang meliput peluncuran mobil balap Formula 1 terbaru dari tim mobil GT Forrier. GT02, nama mobil itu, akan menjadi saingan terberat Glauber, seperti tahun lalu. Namun team principal GT Forrier, Gerhard Brautovich, mangatakan bahwa GT02 merupakan mahakarya sempurna yang tercipta berkat kolaborasi antara insinyur-insinyur terkemuka. Sehingga, Brautovich menambahkan, tidak akan ada yang mampu menandingi kecepatan dan ketahanan GT02, bahkan Glauber sekalipun. Pers sibuk mencatat dan mengambil gambar. Mereka tahu pasti bahwa ucapan-ucapan Brautovich yang sering kontroversial bisa mendatangkan banyak keuntungan bagi mereka. Mereka pun tahu pasti, setelah mendengar sesumbar Brautovich, Friedrich Sheppard selaku team principal Glauber akan membalas sesumbar itu, dan terjadilah perang urat syaraf pra-kompetisi, seperti yang biasanya terjadi.
Sementara itu Ferris Rutherford (23), pembalap nomor satu GT Forrier, tersenyum mendengar sesumbar sang bos yang pernah secara terang-terangan mengaku bahwa dia menganggap Ferris Rutherford sebagai anak emasnya, dan pada Ferris-lah, seluruh keberuntungan GT Forrier berada. Dan bagi Fez, nama kecil Ferris Rutherford, menyandang status sebagai anak emas tidaklah membebani dirinya. Malahan semangat dan rasa cintanya pada GT Forrier terus bertumbuh di dalam dirinya. Dia telah menemukan tempatnya yang nyaman untuk mengembangkan karir dan hidupnya di bunia balap jet darat itu. Dan kini, menyambut musim kompetisi 2002, Fez bertekad untuk merebut gelar juara dunia konstruktor bagi tim, bila perlu gelar dunia pembalap pun diraihnya. Sekaligus juga membalaskan 'dendam'nya pada Jose Rudolpho Alvarez, pembalap utama tim Glauber, yang telah menikmati singgasana juara dunia pembalap sebanyak empat kali. Tahun lalu Fez dan Alvares bertarung habis-habisan di tiap seri Grand Prix , namun pada akhirnya Alvarezlah yang memenangkan musim kompetisi 2001, dan Fez menempati peringkat kedua pada klasemen akhir pembalap. Itulah prestasi terbaiknya setelah empat tahun berkiprah  sebagai pembalap di kancah Formula 1. Banyak yang memuji dan menyalutinya, sebab empat tahun adalah waktu yang singkat bagi pembalap pemula menjelma menjadi pembalap profesional seperti dirinya sekarang ini. Pers pun banyak menulis hal-hal positif tentang dirinya, dan prestasi runner-up yang diraihya tahun lalu. Namun, Fez tidak menganggap hal itu sebagai prestasi; dia beranggapan dirinya adalah pecundang. Kekalahannya dari Alvarez disebutnya sebagai kegagalan terbesar sepanjang hidupnya. Sehingga kini dia bertekad akan menuntaskan 'dendam'nya pada Alvarez dan memberikan gelar tertinggi pada timnya.
Usai konferensi pers, sesi pemotretan, dan unjuk kebolehan GT02 yang digeber Fez di depan ratusan kamera, Fez bermaksud segera kembali ke hotel tempatnya menginap ketika sahabatnya sejak kecil meneleponnya.
"Hey, Royce," sapa Fez.
"Belum selesai, launchingnya?" Royce Beauregard (23), seraya menempelkan earphone yang tersambung pada ponselnya di telinganya. Pria berperawakan jangkung dengan rambut pirang ikal sebahu itu duduk di bangku tepi lapangan seraya mengusap keringat di wajahnya dengan handuk. Alisnya yang tebal serta mata hijaunya yang teduh, membuatnya tampak semakin menawan. Pria berdarah Inggris - Prancis ini baru saja selesai mengikuti latihan intensif klub yang dibelanya sejak beranjak dewasa, Brandt, sebuah klub sepakbola yang berlaga di Liga Primer, liga internasional yang terbilang eksklusif dan terpanas di dunia.
"Sudah, ini baru mau balik. Gimana persiapan Brandt menjelang big match lawan Slochney besok malam?"
"Ya.. begitulah. Ini hidup mati Brandt. Kalau sampai Brandt kalah, peluang Brandt untuk menjuarai liga primer semakin kecil."
Fez tergelak. "Bro, Slochney sedang krisis! Banyak pemain yang cedera dan mereka belum pernah menang dalam tiga laga terakhir. Apa susahnya buat Brandt untuk memenangkan pertandingan? Brandt sedang dalam kondisi on fire, juga dengan keberadaanmu sebagai striker serba bisa yang selalu membawa kemenangan buat Brandt. Kutegaskan ya, Brandt pasti menang!"
Royce tersenyum. "Kau memang optimis. Doakan saja. By the way kamu sungguh tidak bisa datang, besok?"
"Ah.. sayangnya aku tidak bisa berjanji. Tapi kuusahakan datang. Tidak ada yang lebih seru, selain menonton secara langsung big match Brandt vs Slochney, aku ingin datang dan menyaksikan kemenanganmu. Tapi aku tidak bisa berjanji, I’m sorry bro."
"It's Ok! Aku paham, kau pasti sibuk di Forrier."
"Ya, pokoknya nanti kukabari lagi. Ok?"


Chapter 2. Royce Beauregard
Aku dan Fez bersahabat sejak kecil. Sejak hampir 20 tahun yang lalu.. 19 tahun, tepatnya. Dan aku jadi teringat masa-masa ketika kami berkenalan, dulu. Waktu itu, aku baru saja berulang tahun yang kelima, diajak orangtuaku liburan ke Bordeaux, Prancis, tempat kakek-nenekku tinggal dan mengurus kebun anggur mereka. Aku diperkenalkan pada Fez, putra dari sahabat kakek, yang juga seorang juragan anggur seperti kakek. Karena aku dan Fez seumuran, kami menjadi cepat akrab. Bermain dan berlarian di kebun anggur, mengusili para pekerja kakek atau ayahnya Fez.. haha, kami berdua memang sama-sama bocah usil.
Dan ternyata, Fez dan keluarganya pun sebenarnya tinggal di London. Di kompleks yang sama seperti keluargaku juga! Rumah kami hanya beda beberapa blok. Maka makin akrablah kami, apalagi setelah aku dan Fez masuk ke sekolah yang sama. Setiap hari bermain dan belajar bersama, bermain baseball, sampai mencuri apel tetangga. Bukan main badungnya. Kami memang disebut perusuh-perusuh kecil. Makanya kami sering dimarahi dan dihukum tidak boleh keluar rumah. Tapi setiap malam selama masa hukuman, aku dan dia malah mengendap-endap keluar rumah dan duduk-duduk di atas atap! Benar-benar keterlaluan.
Masa-masa sekolah.. masa-masa remaja kami lewati bersama. Mengecengi cewek-cewek di sekolah, kencan dengan mereka.. Tidak lupa contek-contekan pas ujian dan masih banyak lagi. Tapi kenakalan-kenakalan yang kami buat, masih dalam taraf wajar. Biasalah, remaja.
Sebagai sahabat, wajarlah jika kami saling mendukung kemajuan karir dan bakat kami masing-masing. Fez, yang sejak umur lima tahun tertarik dan sangat tertarik pada balap gokart, berkat kemampuan dan kerja kerasnya, dia selalu memenangi kejuaraan-kejuaraan karting, F3 dan GP2 hingga dilirik oleh salah satu pabrikan mobil yang berlaga di Formula1, Protone Racing. Dia direkrut menjadi test driver sebelum kemudian menjadi test driver Ferrau Racing setelah melihat kemampuan dan kapabilitas Fez menjuarai ajang GP2 pada musim balap 1996. Tidak butuh waktu lama bagi Fez untuk menunjukkan kebolehannya. Dia dipercaya menjadi second driver Ferrau yang saat itu tengah menggebrak papan menengah Formula1. Dan kini namanya melejit, setelah dipercaya menjadi pembalap pertama dari sebuah tim papan atas yang mumpuni; GT Forrier. Yang kerap berebut tampuk singgasana juara dunia konstruktor dengan seteru abadi, Glauber F1. Nama Fez semakin melejit setelah tahun kemarin berhasil mengukuhkan diri di posisi dua klasemen akhir pembalap, tepat di bawah Jose Rudolpho Alvarez yang sudah berkali-kali menjadi Juara Dunia. Pembalap muda yang baru empat musim di Formula1 menantang pembalap senior yang sudah mengantungi gelar Juara Dunia sebanyak empat kali. Menurutku itu suatu hal yang fenomenal. Apalagi Alvarez itu pernah mengakui kapabilitas Fez dan tidak memandangnya sebelah mata, ketika dia diwawancara pers belum lama ini. Tapi apa komentar Fez sendiri? Dia bilang prestasi runner up nya tahun lalu adalah musibah. Seharusnya dia bisa memanfaatkan kesempatan menyalip Alvarez saat seri terakhir musim lalu dan merebut podium tertinggi darinya. Dan Fezlah sang Juara Dunia 2001. Tapi dia telah gagal, menurutnya. Dan bukannya merayakan posisi runner up yang diperolehnya, dia malahan merayakan kekalahannya dari Alvarez. Hell, dia itu terlalu ambisius atau perfeksionis?
Padahal tadinya kupikir dia akan terjun ke dunia seni. Sejak sekolah sudah terlihat bakatnya yang satu itu. Dia pelukis andal. Semua lukisannya terlihat natural, alami, dengan detail yang mengagumkan. Aku selalu terkagum-kagum dengan semua hasil karyanya, dan yah, bisa dibilang aku merasa iri dengan bakatnya yang banyak dan menjanjikan itu. Tidak sepertiku, yang hanya bisa bermain bola. Tapi sebenarnya buat apa perasaan iri itu, semua itu kan ada yang mengatur. Benar kan?
..Sementara aku sendiri, tadinya kupikir akan menjalani karir yang biasa saja, seperti orang-orang pada umumnya. Atau mungkin membangun usaha sendiri. Tapi Fez, dia mendorongku untuk mencoba masuk ke sekolah football milik Brandt, klub papan atas liga primer. Itu kira-kira waktu kelas lima atau enam. Tadinya aku bersikap skeptis, sepertinya aku tidak sebegitu hebatnya mengolah si kulit bundar, bisakah aku diterima di situ? Lagipula kalaupun diterima, belum tentu juga ke depannya aku akan menjadi pemain bola. Tapi Fez terus mendorongku, dia bilang apa salahnya dicoba. Dan entah kenapa dia yakin sekali itulah jalan hidupku. Aku pun menuruti saran dan dorongannya... dan sampailah aku di sini. Menjadi seorang striker yang bisa diandalkan, seperti apa yang kuimpikan sejak kecil. Menjadi seorang idola di klub yang kugandrungi sejak dulu, sesuatu yang tidak pernah kubayangkan. Bahkan, puji Tuhan, aku selalu dipanggil untuk memperkuat tim nasional Inggris. Dipercaya untuk memperkuat timnas demi berbagai gengsi dan piala itu. Sungguh, aku sangat mensyukuri anugerah dan rahmat yang Tuhan berikan padaku. Thanks to God, to my parents, untuk orang-orang yang selalu mendukung dan mempercayaiku, dan terutama, untuk Fez. Sahabat yang paling kupercaya dan kusayangi.
Well, apa yang membuat aku senang dan nyaman bersahabat dengan Fez? Fez itu teman yang aktif, bersemangat, pintar bicara, hangat, ramah, dan optimistis. Singkatnya dia friendly dan terbuka. Aku merasa cocok berteman dan bersahabat dengannya. Maka dari itu, kami sempat melakukan sebuah perjanjian. Waktu itu - umur kami masih kurang lebih sembilan tahun - kami sedang sama-sama melewati libur musim panas di Bordeaux, dan kami mengadakan perjanjian jari untuk saling menganggap saudara. Perjanjian yang masih berlaku sampai sekarang, aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri - berhubung umurku lebih tua satu tahun darinya -. Persoalan apakah dia pun masih ingat perjanjian itu dan menganggapku seperti kakak, sejujurnya aku belum pernah menanyakannya langsung. Kuhanya berbekal keyakinan, bahwa Fez pun masih mengingat perjanjian itu.


Chapter 3. Februari 2002
Ferris Rutherford, sosok pemuda tinggi semampai yang begitu menawan hati. Rambutnya yang cokelat dibiarkan tumbuh hingga melebihi telinga, pun dengan rambut di rahang dan dagunya yang membingkai wajah tirusnya. Alisnya tebal, dia memiliki mata cokelat sewarna batu amber yang selalu bersinar-sinar memancarkan kekuatan dan semangat yang dimilikinya dalam menjalani hidup. Terpancar pula sifat congkak dan keangkuhan yang terpancar melalui sinar matanya.
Pembalap Formula 1 yang sedang naik daun ini, memang menyita perhatian banyak pihak; pencinta olahraga balap di dunia, sponsor-sponsor utama dalam balap mobil Formula 1, pabrikan-pabrikan mobil Formula 1 bergengsi di Eropa, para pemburu berita, dan tak lain adalah para gadis di seluruh belahan dunia yang tergila-gila padanya dan mereka mendadak menjadi penggemar balap mobil Formula 1. Hanya untuk melihat dan mengharap kemenangan Fez di tiap serinya dan menunggu Fez naik podium, mengangkat trofi dan menyemburkan sampanye kemenangan. Pembawaan Fez yang tenang dan cool membuat para penggemarnya –gadis-gadis–, semakin tergila-gila padanya.
Wajah rupawan dan juga fisik yang memesona menjadikan Fez diincar oleh berbagai perusahaan ternama di dunia, dan mereka  menawarkan diri untuk menjadi sponsor pribadi Fez. Fez menyambutnya dengan antusias, dan teken kontrak pun terjadi. Dia membintangi iklan fashion merk ternama di dunia, arloji bermerk, sepatu bermerk, dan juga yang lainnya, seperti yang baru-baru ini dijalani Fez guna mengisi waktu sebelum musim balap dimulai, yakni menjadi bintang iklan sebuah perusahaan handphone ternama yang menjadi salah satu sponsor terbesar tim mobilnya. Pekerjaan barunya itu dilakoninya dengan sangat bersemangat dan dia sangat menikmatinya.  Wajahnya kini menghiasi billboard, iklan di televisi dan juga iklan di majalah-majalah. Membuat para gadis di seluruh penjuru dunia semakin terpikat pada pesonanya, dan jatuh cinta padanya.
Fez yang memiliki sifat narsistik dalam dirinya, tahu betul dan menyadari bahwa dirinya menjadi sorotan publik di seluruh penjuru dunia dan disukai oleh para gadis. Maka dia terus bersikap cool dan tenang pada saat berhadapan dengan fans-fansnya, dan juga pada saat pers mewawancarainya dan menyorotnya dengan kamera. Dia sungguh menikmati sorotan publik dari seluruh penjuru dunia yang ditujukan padanya.

Hari itu, di sebuah lounge mewah di London, Fez dan teman-teman akrabnya di tim mobil GT Forrier sedang asyik menghabiskan waktu. Mengisi perut seraya membicarakan hal-hal yang menarik.
Fez duduk santai sambil menyilangkan kaki. Kedua tangannya terletak di perut, ujung jemari saling bersisipan. Mendengarkan obrolan teman-temannya itu. Walaupun tidak ada pers yang mengerubunginya seperti nyamuk, dia tetap berusaha tampil cool. Dia menyadari sekelompok gadis yang duduk di seberang mereka terpikat pada pesonanya dan selalu mencuri-curi pandang ke arahnya. Fez tertawa dalam hati, kemudian melempar senyum pada salah seorang gadis yang tertangkap basah olehnya sedang mengamati dirinya. Gadis itu membalas senyum Fez malu-malu.
“Heh! Tebar pesona terus!” tegur Shawn Renan, sambil meninju bahu Fez, membuat Fez tersentak kaget. Shawn Renan juga merupakan driver tim GT Forrier, yaitu partner Fez, yang lebih tua empat tahun dari Fez.
“Shit, jangan menggangguku,” jawab Fez.
“Sudahlah, Fez. Kau tidak sadar kau sudah punya sekian lusin pacar? Apa kau tidak kasihan pada mereka yang kau isengi?” yang lain, usil.
Fez tampak bosan, “Yaah... yeah...”
"Terus? Apa kau kerjai juga wanita itu? Siapa namanya..? Holden Bannister. Sudah berapa kali kau dan dia syuting iklan Forrier yang baru, masa tidak kau incar? She’s pretty hot."
"Holden Bannister?" sahut Fez. "Hah, she's not my type! Cakep sih cakep, tapi.."
Salah seorang dari mereka yang bernama Dan memotong, "Tapi Holden kurang montok. Itu kan maksudmu, Fez? Tidak seperti pacar Fez yang sekarang."
"Hah, ganti lagi? Perasaan baru minggu kemarin kau mengenalkan pacarmu yang orang Prancis itu? Sudah ganti lagi?"
"Kau seperti tidak mengenal temanmu yang satu ini," sahut Dan. "Mana pernah sih ada gadis yang bertahan di dalam dekapan Fez lebih dari seminggu? Pacar Fez yang sekarang, aktris Bollywood. Wanita India yang kuacungi jempol, montok dan seksi luar biasa! Namanya Maya Priyadarshavi. Nih, tanyalah sang Don Juan kita tentang pacar barunya itu," ujarnya lagi seraya menyikut Fez.
Fez tersenyum lebar. "Yea.. Maya memang bukan main seksi. Hollie.. maksudku, si Holden Bannister itu kalah jauh. Maya punya daya tarik tersendiri. ..you know, her boobs. Ukuran wanita India seperti dia jauh lebih besar daripada wanita Eropa. Yea.. I think I'm addicted to the lumps," ujarnya jujur, tanpa sensor sama sekali, seraya tergelak.
"Hell.. dasar playboy maniak," komentar Shawn.
"Dengan Vivian Pramoj? Si Thailand itu juga seksi, kurasa. Tidak jauh beda dengan tipikal orang India. Apalagi dia pernah dinobatkan 'Sexiest Woman' versi FHM."
"Ah! Cerita lama! Aku sudah lupa dengan Vivian. Pokoknya, mau Maya, Vivian, Sophie, Sabine, err.. dan yang lain-lainnya itu, kukerjai mereka sesuai mood. Hari ini aku mood dengan yang montok, besok mood dengan yang bodynya biasa, tapi berpengalaman. Begitulah, ganti-ganti," terang Fez, seakan sedang menerangkan suatu hal yang paling wajar sedunia.
"Tiap seminggu ganti.. Apa tidak bosan, kawin terus?"
Dan tergelak. "Orang macam Fez ini mana pernah bosan kawin! Cuma yaa.. ruginya buat kita adalah, pilihan wanita yang bisa kita kencani jadi berkurang banyak, lantaran kebanyakan dari mereka sudah pernah dihabisi oleh Fez. Memang kau mau mendekati wanita 'bekas' Fez? Aku menolak dengan tegas, terima kasih."
Fez mencibir. "Yah, itu urusanmu. Apa peduliku? Yang jelas, dari semuanya itu, sudah terpilih delapan cewek yang kujadikan mahakarya. Keindahan yang mereka miliki sudah kuabadikan di atas kanvas."
"Kau, melukis mereka?"
"Tapi mereka bukan selebritis, kan?"
Fez mengangguk. "Mereka selebritis. Semuanya. Jadi bisa dibilang aku bukan hanya mendapat sekedar guratan tanda tangan dari para selebritis kondang, tapi juga guratan kuas bergambar tubuh molek mereka," jawabnya, sementara teman-temannya hanya menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepala. "Hey, memang apa salahnya? Mereka mau-mau saja, kok. Dan lagi, tenang saja, lukisan-lukisan itu tidak untuk dikomersilkan. Hanya untuk koleksi pribadi," ujar Fez enteng.
"Ya iyalah. Kau berbuat kriminal kalau sampai memperlihatkan atau bahkan menjual lukisan-lukisan itu pada orang lain. Pacar-pacarmu bisa menuntutmu," komentar Shawn. "Dan lagi, kasihan mereka," tambahnya.
"Yaah.. yaah... apa katamu," sahut Fez bosan.
"Yah, sesukamu lah, Fez. Yang paling penting kau tidak menomorduakan karirmu setelah wanita, karena Forrier masih memerlukanmu. Kau sudah siap menghadapi musim balap tahun ini, kan?" tanya Steffan Ahlquist, manajer Fez, yang sedari tadi terdiam.
Fez menyeringai lebar. "Oh, sure! Seorang pembalap harus selalu siap tempur, bro. Dan jangan khawatir, buatku, sex itu urusan kesekian -walaupun dari luar kelihatannya aku menomorsatukan sex- Aku jauh lebih mementingkan karier.. dan uang, tentunya."
Steffan tersenyum. "Glad to hear that."
"You can count on me! Lagipula, dalam keadaan pertarungan sengit melawan Alvarez, apa kau pikir aku akan menyerah, seperti tahun lalu? Tidak akan!" seru Fez bersemangat.
Shawn berkomentar, "Optimis dan ambisius. Itulah dirimu."
Salah seorang dari mereka berkata, "“Hey, entah kenapa, sejak mobil baru kita di-tes, dan sejak launchingnya, aku punya firasat baik Grand Prix musim ini.”
“Semoga firasatmu tidak ngaco,” sahut Dan.
Fez menyambung, “Guys, apa yang kurang dari GT Forrier? Ada aku dan Shawn di garis terdepan. Mobil yang akan kita pakai tahun ini, GT02, jauh lebih baik daripada mobil yang kita pakai tahun lalu. Keberuntungan, pasti ada karena Dewi Fortuna pasti akan terpikat padaku. Masalahnya tinggal mematangkan strategi yang akan kita pakai, untuk mengalahkan Glauber sialan, tim mobil saingan terberat kita!” serunya bersemangat, membuat teman-temannya terdiam.
Shawn menimpali, “Sungguh. Semenjak kau bergabung di tim ini, kita selalu bisa tampil yakin dan percaya diri. Ini semua karena sifat optimismu yang menular,” ujarnya seraya menepuk-nepuk bahu Fez.
“Hoo, jadi selama ini kalian tidak optimis?” sahut Fez. “Pokoknya, tahun ini kita lakukan yang sebaik-baiknya untuk tim! Kita rancang strategi-strategi jitu agar kita bisa selalu berada di atas Glauber. Terutama dari sang juara dunia bertahan kita, Jose Rudolpho Alvarez. Cukup satu musim dia menjadikanku pecundang. Tidak akan kubiarkan musim ini menjadi miliknya dan milik Glauber lagi. Akan kubuktikan pada dunia,” lanjutnya bersemangat.
“Tidak salah sebutan yang dihadiahkan dunia padamu, Fez. Kau memang ambisius.”
“Yeah, tidak heran juga si juara dunia bertahan tidak memandangmu sebelah mata.”
Fez tersenyum. “Sudah layak dan sepantasnya seperti itu."
"Tapi, sepertinya kau juga mesti berhati-hati terhadap orang itu.”
"Orang itu?"
"Isaac Renauld! Orang yang wajahnya mirip dengan Ferris. Dia bisa saja menjadi salah satu saingan berat Ferris."
"Ha! Kualitas Llinos Purvance di bawah kita! Mustahil dia bisa menjadi saingan berat GT Forrier."
"Ya, memang di atas kertas kualitas Purvance di bawah kita. Tapi seandainya Friedrich Sheppard selaku bos Glauber membidik Isaac Renauld sebagai pembalap pengganti Jose Rudolpho Alvarez, bagaimana?"
"Ya, ya, aku juga mendengar isu itu! Kabarnya Sheppard sering mengadakan pertemuan dengan agennya si Renauld."
"Lho, untuk apa dia repot-repot cari pengganti? Apa gunanya third driver dan test driver mereka?"
"Kau seperti tidak tahu bos Glauber seperti apa orangnya. Sheppard itu perfeksionis. Sepertinya dia tidak begitu mempercayai kemampuan test driver yang dimilikinya, terlebih, test driver mereka sudah mulai menua. Sheppard butuh darah segar dengan merekrut pembalap muda berbakat. Kalau perlu dia rampok pembalap dari tim lain. Saat ini, pembalap-pembalap muda yang bersinar antara lain Ferris, dan si Renauld itu."
"Memang seberapa tangguh sih, orang itu?"
"Apa kau buta? Kau tidak memperhatikan aksi dia musim lalu? Dia tangguh, kegigihannya membuat tim-tim lain kerepotan. Bahkan dia sempat beberapa kali menyusahkan Fez dan Shawn. Kalau bukan karena performa dan ketahanan mobilnya yang jelek, yang sering membuatnya tidak bisa finish, tentu dia bisa meraup banyak poin dan bahkan merebut podium!"
"Yaa, oke, kuakui dia memang gigih dan cepat. Mobilnya saja yang payah. Tapi yang kalian dengar tentang Glauber berpihak padanya itu baru isu saja, kan? Tidak ada konfirmasi yang jelas dari pihak Glauber maupun dari pihak Renauld. At least untuk tahun ini dia tidak akan mejadi saingan berat tim kita, karena dia masih dimiliki Llinos Purvance, bukan Glauber! Kecemasan-kecemasan itu simpan sajalah, sampai ada berita yang jelas mengenai hal itu."
Fez yang sedari tadi duduk diam sambil mendengarkan perdebatan antara teman-temannya, angkat bicara. "Sudahlah, guys. Orang itu tidak akan pernah menjadi saingan beratku. Kalau dilihat-lihat.. menurutku, dia tipe pembalap yang tidak beruntung dan akan selalu menunggangi tim mobil papan menengah ke bawah. Yah, doakan saja begitu."
"Kenapa kau bisa yakin?" tanya temannya.
"Yakin dong," jawab Fez. "Seorang pembalap harus selalu yakin."
Shawn menggeleng-gelengkan kepalanya. "Brengsek. Dari semua pembalap Formula 1 yang kukenal, cuma kau seorang, satu-satunya pembalap yang paling sombong dan paling bermulut besar."
Fez mengangkat bahu. "Sombong itu masih jauh lebih baik ketimbang minder."
“By the way.. sampai sekarang aku masih heran, kok bisa ya, Ferris dan Renauld itu punya wajah mirip? Sebenarnya kau merasa seperti itu atau tidak, Fez?”
“Hhm.. yahh.. sedikit,” jawab Fez malas.
“Kau dan Renauld memang mirip. Itu benar. Kurasa kalian berdua jodoh,” gurau Dan.
Fez meremas tisu kertas yang dipegangnya dan melemparkannya pada Dan, “Kau pikir aku gay?!” serunya, sementara Dan dan yang lainnya tergelak.
“Mungkin dia saudaramu, Fez?”
Fez mengernyitkan dahi. “Saudara dari mana.”

Ferris tengah terbaring bertelanjang dada di dalam kamar studionya dengan seorang wanita India di sampingnya, memeluk tubuhnya manja.
Wanita itu, Maya Priyadarshavi, memandangi lukisan nudis dirinya yang ada di seberang ruangan. Lukisan itu belum selesai digarap oleh Fez, Fez masih harus menambahkan efek-efek cahaya dan shadow, juga finishingnya. Namun dengan kemampuan Fez yang sudah menggarap ratusan lukisan semenjak masa sekolahnya itu, menyelesaikan sebuah lukisan tidak membutuhkan waktu lama. Walaupun lukisan itu belum jadi, keindahan lukisan itu sudah terlihat jelas. Maya menyadari, dirinya di lukisan itu tampak begitu cantik dan menawan, seperti apa yang selalu dikatakan Fez pada dirinya. Dan ia merasa yakin, jika lukisan itu selesai, lukisan itu akan menjadi sebuah lukisan yang amat indah, sebuah mahakarya seni.
"Baru kali ini.. aku dilukis nudis. Ternyata seperti ini ya, rasanya.." ujar Maya.
Fez tersenyum. "Seperti apa?"
"..Aku merasa memilikimu. Karena selama dilukis tadi, hanya aku yang ada di dalam matamu. Hanya aku seorang yang membuatmu terus menatap diriku. .. dan aku bahagia. Dan kamu pun memilikiku. Aku ingin waktu berhenti berputar.."
Fez merasa puas mendengar pengakuan Maya. Dibelainya rambut panjang Maya yang hitam legam. "Kamu bahagia denganku?" tanyanya.
"Tentu! Tentu.. tapi ada satu hal yang aku kesal."
"Apa?"
"Aku cemburu melihat kamu dengan Holden Bannister. Kamu dan dia juga masih harus syuting bersama. Aku cemburu membayangkan kalian hanya berduaan.. mengobrol dengan akrab, atau sekedar berlatih syuting."
"Lho! Kenapa kamu harus merasa cemburu? Kamu pikir aku bermain mata dengannya?"
Maya menggeleng lalu menengadahkan wajahnya hingga bertatapan dengan Fez. "Bukan kamu.. tapi aku yakin dia menaruh perhatian padamu. Aku tahu dari pandangan matanya! Dia mengharapkan sesuatu yang lebih dari kamu. Kamu jangan tergoda olehnya ya.."
Fez tergelak ringan. "Kamu ada-ada saja, kenapa aku harus tergoda pada Holden? Seribu orang Holden pun tidak ada artinya, karena yang aku gila-gilai cuma kamu. Kamu, kamu dan kamu. Kamu selalu membuatku hilang kendali, tapi aku menikmatinya," ujarnya seraya meraih bibir Maya dengan bibirnya sendiri, lalu mencumbunya penuh gairah. Sementara tangannya sibuk berkelana menelusuri tiap inci tubuh molek Maya.


Chapter 4. Magnum
"Aku ingin, tugas kali ini bisa berjalan dengan lancar, seperti sebelumnya. Ini tugas berat karena target kita sekarang bukanlah sebuah gedung dengan fasilitas keamanan yang rendah. Melainkan gedung dengan tingkat pengamanan tertinggi. Maka dari itu kuminta totalitas kalian. Kerahkan kemampuan kalian secara maksimal agar tujuan kita tercapai. Dan untuk operasi kali ini, kembali kupercayakan pada Magnum."
Aku tersenyum penuh percaya diri. Aku senang dengan kepercayaan yang Dillinger berikan. Maka kujawab Dillinger, "You can count on me. I won’t fail you."
Dillinger mengangguk. "I know you won’t fail. Allright sekian untuk hari ini. Saatnya kembali bekerja."

Aku dan beberapa rekan yang lain tengah mematangkan rencana kami sebelum salah satu dari kami masuk ke dalam Hotel Four Seasons yang kami incar. Dengan menyamar sebagai tamu, check in, dan lalu meledakkan gedung mewah bernilai milyaran poundsterling itu dalam sekali tepuk. Berbekal alat peledak yang tidak lebih dari kepalan tangan, yang berkat kejeniusan kelompok kami dapat merakit alat peledak berkekuatan besar, cukup untuk meluluhlantakkan gedung dengan pengamanan terketat, sekaligus beberapa bangunan di sekitarnya.
Namaku Magnum, itu nama sandi. Akulah yang selalu menyusun strategi-strategi dan pengeksekusian setiap proyek kelompok ini. Kelompok yang terbentuk baru beberapa tahun yang lalu, yea, kira-kira lima tahun yang lalu. Dengan Dillinger sebagai pemimpin kelompok; dialah yang mencetuskan terbentuknya kelompok ini, dan menyuplai seluruh kebutuhan finansial guna menjadikan kelompok ini seperti yang kami inginkan. Dalam hierarki kepemimpinan kelompok, ada Revolver yang mengandalkan otaknya untuk menciptakan berbagai alat peledak yang berkekuatan dahsyat, yang sekaligus juga praktis untuk dibawa dan akan lolos sensor pendeteksi logam. Lalu aku, Magnum. Seperti yang sudah kubilang tadi, aku perancang strategi dan pengeksekusian setiap proyek kelompok yang, seringkali, ditujukan pada pemerintah Inggris yang kerap mengambil keputusan-keputusan tolol dalam segala hal, terutama dalam hubungan internasional. Ada satu kapten lagi dalam kelompok, Shotgun. Dia yang yang merekrut semua rekanan yang membantu kinerja Revolver, dan juga yang menjadi pengeksekutor final proyek. Berkat kepiawaian Shotgun berbicara, banyak orang yang mau direkrut olehnya hanya untuk menjadi.. well, kusebut pekerjaan itu sebagai 'kurir pembawa pesan alam baka'. Di tangan merekalah alat peledak kelompok kami mereka bawa, mereka pula yang mengaktifkan detonator, dan ikut meledak..
Semua rekanan yang bekerja pada kelompok kami, memiliki nama sandi Assault Riffle, diikuti dengan nomor urut mereka.
Semua sudah siap. 'Kurir' yang saat itu kuutus, Assault Riffle 3, pun sudah siap melaksanakan proyek kali ini. Dia turun ke lantai bawah gedung apartemen yang kami singgahi sementara ini, lalu dengan menggunakan taksi dia menuju Hotel. Kami mengawasinya melalui alat pelacak yang dikenakannya, kalau-kalau dia kehilangan akalnya dan menggagalkan semua rencana kami. Tapi tidak, Assault Riffle 3 sudah tiba di tempat dimana seharusnya dia berada. Dan dengan batas waktu lima menit yang kuberikan setelah dia tiba di hotel untuk meledakkan gedung itu, kami menunggu. Lewat batas waktu, maka kami yang akan turun tangan dan mengaktifkan detonator dari jarak jauh. Ribet, memang, tapi kami lebih suka menyiapkan plan B, plan C, dan seterusnya. Semua itu demi tercapainya keberhasilan proyek.
Ada alasan pribadi mengapa aku bergabung dengan kelompok Dillinger. Dendam. Dendam pribadi, bukan pada pemerintah, hell, mereka sama sekali tidak ada hubungannya, bukan pula pada para pemilik gedung-gedung yang telah kami ledakkan dan akan kami hancurkan. Melainkan pada sepasang suami istri, warga sipil biasa, yang sudah membuat jalan hidupku berubah 180 derajat. Yang sudah membuat masa mudaku hancur oleh tangis darah. Mereka, harus membayar mahal atas apa yang sudah mereka perbuat.
Hanya ada satu masalahnya. Aku tidak pernah tahu siapa mereka. Dimana mereka. Bagaimana mereka. Aku sama sekali belum pernah melihat mereka, sejauh kubisa mengingat. Maka aku memutuskan bergabung dengan kelompok ini. Aku selalu berharap, dari gedung-gedung yang kuledakkan, ada mereka di dalam gedung itu, dan mereka tewas karena ledakan. Hanya itu tujuanku bergabung dengan Dillinger. Alasan yang rasional, kan? Dibandingkan dengan motif Dillinger dengan semua ini; hanya untuk menekan pemerintah yang telah mengesahkan Undang Undang anti alkohol? Hell, Dillinger irasional. Dia psikopat sejati. Itu pendapatku tentang Dillinger.
Empat menit berselang, malam yang tenang di London saat itu seketika berubah menjadi terang benderang. Dari jendela apartemen kami menyaksikan Hotel mewah milyaran pounds itu sudah rata dengan tanah berkat kembang api yang dibawa oleh mantan rekan kami, Assault Riffle 3. Juga dengan gedung-gedung di sekitarnya, yang hancur total. Bisa kubayangkan, saat ini banyak orang sedang menangis; kaget, shock, sedih dan takut bercampur menjadi satu. Dengan ratusan nyawa melayang, aku puas...


Aku melompat keluar dari kokpit mobil, membuka helm, dan setelah menimbang berat sesuai regulasi, aku meneguk air mineral banyak-banyak. Udara masih lembab pasca hujan deras yang mengguyur sirkuit sesiangan tadi. Setelah melewati babak kualifikasi kemarin, tak ada yang mengharapkan hari ini hujan akan turun dengan deras, membuat banyak tim mobil, termasuk tim mobil kami, terpaksa mengubah strategi karena sirkuit menjadi basah dan tricky. Tapi bagaimanapun aku bersyukur, karena hari ini aku berhasil meraih poin. Yea, walaupun cuma 1 poin, tapi ini permulaan yang bagus di seri perdana Grand Prix musim ini. Semoga ke depannya aku bisa meraih lebih banyak poin dan tim kami tidak lagi menjadi tim kuda hitam yang kerap gagal pada saat-saat krusial..
Kulihat tiga peraih podium hari itu, duo Glauber, Alvarez dan Ortolani, serta jagoan tim GT Forrier, Rutherford, saling menyemburkan sampanye kemenangan usai penyerahan trofi. Luar biasa, Ferris Rutherford ini. Dia dan Alvarez benar-benar mendominasi jalannya pertandingan tadi, seakan sirkuit hanya milik mereka berdua saja. Di tengah pertandingan sepertinya Alvarez sempat melambat dan kesempatan itu langsung dimanfaatkan oleh Ferris, yang hingga pertandingan usai tetap kukuh berada di posisi pertama.
Ferris Rutherford yang konon katanya berwajah persis denganku. Ferris yang selalu tampil di depan publik dengan facial hair yang menjadi ciri khasnya, kurasa dia memang tidak pernah bercukur. Berbeda denganku yang tidak pernah sekalipun membiarkan rambut tumbuh di wajahku. Bukan apa-apa, aku hanya selalu ingin tampil rapi dan bersih. Kurasa, jika aku memanjangkan rambut di wajahku, atau jika Ferris itu mencukur habis rambut di wajahnya, kami berdua memang akan terlihat seperti pinang dibelah dua. Aku sendiri tidak paham mengapa bisa terjadi kejadian yang kebetulan seperti itu! Dua pembalap yang membawa nama Inggris di kancah dunia Formula 1, berwajah hampir serupa... namun beda nasib. Ferris yang sejak dulu memiliki karir yang mentereng dan sudah didaulat menjadi pembalap papan atas, denganku, Isaac Renauld yang rupanya masih belum bisa menunjukkan pada dunia bahwa aku pun sebenarnya punya taji! Aku tidak pernah bermain-main dengan karir. Aku selalu melakukan yang terbaik, bahkan aku kerap memberikan masukan yang berharga pada tim agar tim Llinos Purvance ini bisa melakukan pengembangan mesin dan performa mobil, hingga tidak lagi dipandang sebelah mata oleh dunia. Tapi, mungkin memang aku harus berusaha lebih keras lagi.
Antara aku dan Ferris sebenarnya tidak begitu dekat. Kami hanya sekedar saling mengenal, tapi hampir tidak pernah berbicara secara empat mata. Namun begitu, kesuksesan yang digapai Ferris menginspirasi dan mengobarkan semangatku, bisa dibilang aku menjadikan Ferris sebagai panutan selama ini.
Sekawanan pemburu berita mencegat langkahku ketika hendak menuju paddock club menjemput Tanya. Seperti biasa, pers mencoba mencari berita sebanyak mungkin, termasuk sepatah dua patah kata dariku mengenai jalannya pertandingan tadi. Dan aku seperti biasa selalu meladeni setiap pertanyaan mereka dengan seramah mungkin. Aku paham bagaimana peran pers terhadap kemajuan karir seorang atlet. Dalam beberapa hal setiap atlet bergantung pada pemberitaan-pemberitaan yang baik di media melalui pers, aku merasa keberadaan pers itu sungguh penting. Maka aku selalu berusaha membangun hubungan yang baik dengan mereka, setidaknya aku tidak pernah menolak diwawancara ataupun difoto.
Tanya Frost, wanita yang sudah 7 tahun menjadi pacarku, tiba-tiba datang menghampiri. "Sayang..." panggilnya manja.
"Hey, honey, kok jadi kamu yang ke sini?"
"Ah tidak apa, aku bosan di club.. urusan kamu sudah selesai? Kalau belum aku balik duluan ya ke hotel. Capek."
"Hmm. Tidak bisa tunggu aku sebentar?"
"Aku jenuh di sini, tidak ada yang bisa aku ajak ngobrol, sementara kamu sibuk banget. Kalau tahu akan begini aku tidak usah ke sini deh.." Tanya cemberut. Matanya yang coklat seperti merajuk, ah pacarku yang satu ini memang agak manja.
"Di hotel kan lebih tidak ada teman ngobrol lagi, sayang. Sebentar lagi urusanku selesai kok. Besok jadi kan, acara kamu mau jalan-jalan di Milan? Aku temani sampai kamu puas belanja deh."
Dan seketika mata Tanya berbinar. "Benar??"
Aku tersenyum, mengangguk.
"Janji?"
"Iya, janji."
Senyum lebar terkembang di wajah Tanya, dia bergelayut di lenganku, "Okee.. kamu temani aku belanja.. bayarin juga yah. Aku akan tunggu kamu di sini sampai urusan kamu selesai dehh.. janji."

Chapter 6-10

-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-