Copyright © 2014 CamilleMarion All Rights Reserved
Chapter 16. Margot Eglantyne Carol
Bainbridge
Entah aku mimpi apa sebelum ini, aku
tidak pernah menyangka Isaac tiba-tiba mulai mengirim pesan singkat padaku dan
sejak saat itu kami jadi intens berhubungan melalui pesan singkat.. Beberapa
kali dia meneleponku, dan sesekali kami janjian minum teh setelah aku pulang
kerja.. Membicarakan banyak hal, dan terutama, sharing kisah kehidupan kami
masing-masing. Rupanya banyak hal yang aku belum tahu tentangmu Ikey! Termasuk
film favorit dan band favoritmu.. kupikir selama ini aku tahu tapi rupanya aku
salah.. hahaha.. aku sungguh bersyukur karena kamu akhirnya bersedia melakukan
pendekatan padaku, walaupun aku masih belum paham ada angin apa sebenarnya kamu
kok tiba-tiba melakukan pendekatan padaku. Apakah... apakah Isaac sudah tahu
bahwa aku selama ini menyimpan perasaan padanya? Oh tidak! Tidak.. tidak
mungkin dia tahu.. darimana dia tahu?
Sudahlah Margee, daripada memusingkan hal
itu, lebih baik nikmati saja kebersamaanmu sekarang ini dengannya.. Kapan lagi
dia punya banyak waktu luang seperti sekarang ini? Bayangkan, orang sesibuk
Isaac, yang hampir setiap minggu harus bertarung di sirkuit, tapi selama
liburannya kali ini dia sepertinya lebih sering menghabiskan waktu denganku,
kurang beruntung apa aku??
Dan kurang beruntung apa aku, diajak oleh
Isaac ke Monako untuk menjadi teman kencannya pada malam penganugerahan FIA
beberapa hari lalu! Oh Ike, sudah sejauh ini, benarkah aku boleh berharap
padamu? Kenapa kamu tidak juga mengatakan apa pun mengenai hubungan kita?
Ah Margee, kenapa kamu tidak sabaran
sekali? Siapa yang tahu apa rencana Isaac sebenarnya, apalagi dia baru beberapa
bulan yang lalu putus dengan Tanya, mungkin baginya tidak semudah itu menjalin
hubungan asmara lagi dengan wanita lain. Sabarlah, jika memang dia
diperuntukkan bagiku, dia tidak akan kemana-mana, bukan?
Dan sabtu itu, Isaac mengajakku makan
siang di salah satu kafe favoritnya..
"Wah tidak terasa sudah mau akhir
tahun ya Ike! Kamu sudah akan kembali ke rutinitas seperti biasa, tidak ada
waktu untuk hang out dengan teman-teman lagi dong?"
Isaac tertawa, "Yeah, bukannya tidak
ada waktu sama sekali. Bisa saja kuusahakan sebenarnya. Seperti yang pernah
kukatakan dulu, Marg, sekarang aku lebih bebas. Dulu aku seperti tidak punya
kehidupan sosial yang lain selain bersama dengan Tanya, tapi sekarang semua itu
sudah berubah."
"Oh.. I see.."
"Tapi sepertinya tidak berlaku untuk
Aldo ya Marg? Sejak terakhir kali aku bertemu dengannya.. itu kira-kira
setengah tahun yang lalu! Setelah itu aku sudah tidak pernah lagi melihatnya.
Kurasa dia bahkan jauh lebih sibuk daripadaku ya??" Isaac terbahak.
Aku mengangguk. "Aldo memang super
sibuk, Ike! Yang kutahu dia sekarang di Sydney. Dan apa kamu sudah dengar, Aldo
mendapat predikat DJ terfavorit? Aldo mengalahkan 99 DJ lainnya yang tidak
kalah keren.. bakat dan kemampuannya sudah terakui oleh semua clubbers di
seluruh dunia!"
"Hey that's cool!!"
"Yeah..! Jalan hidup memang tidak
disangka-sangka yah, Ike.. Aldo, sudah jadi DJ ternama. Kamu, pembalap F1
terkenal.. Fans kamu pasti sangat banyak yah?"
"Haha, tidak sebanyak itu juga
mungkin. Memang, ada yang menyukaiku, tapi ada juga yang tidak menyukaiku.
Semua berjalan dengan sewajarnya, kok," Isaac terdiam sejenak, lalu
menyeringai. "Aku jadi ingat.. saat itu Grand Prix Indianapolis, tahun
lalu. Ada seorang gadis, kira-kira umurnya lima belas tahun. Anaknya manis,
cerdas dan enerjik, namanya Camila. Nama belakangnya aku lupa, tapi aku tahu
itu adalah nama Italia. Ia merayu aku, Marg. Bayangkan, anak-anak zaman
sekarang sudah berani merayu pria yang tidak dikenalnya sama sekali!"
"Apa? Anak kecil, masih lima belas
tahun merayu kamu? Pasti cewek nakal.."
Isaac menggeleng. "Tidak, tidak.
Kuyakin ia bukan tipe cewek nakal seperti itu. Kurasa ia hanya sekedar
penasaran, karena katanya sih ia jatuh cinta padaku. Aku dipuji-puji, aku ini
pria sempurnalah, aku ini pria berkualitas terbaiklah, aku ini sangat
menggemaskanlah! Pokoknya kata-katanya tuh bisa-bisanya saja ia buat sendiri!
Tapi kujawab semua rayuannya.. aku tidak luluh, well bahkan kami sampai
berdebat! Sampai pada akhirnya ia menyerah kalah karena sudah tidak tahu lagi
bagaimana cara merayuku. Pada saat itulah ia mengatakan bahwa aku sangat
menggemaskan untuknya, lalu ia mengecup pipiku!" Isaac tergelak. "Aku
tidak akan pernah lupa pada cewek itu. Ia fans yang pintar, nekad dan bandel.
Bandel yang kumaksud bukan dalam artian cewek nakal, tapi bandelnya bocah
remaja! Aku jadi penasaran, siapa ya nama belakangnya? Kenapa aku sampai
lupa?"
Asyik dong dicium cewek.. kataku dalam
hati. Uh.. siapa lagi sih gadis yang bernama Camila itu? Kenapa kamu laris
banget sih Ikey... Terus kesempatan buat aku kapaaan? "Dicium cewek yang
tidak kamu kenal, kamu tidak menolak?"
Isaac terbahak-bahak. "Ya tidak
mungkin kutolak Marg! Siapa juga yang menolak dicium oleh cewek semanis
dia!"
Aku menggeleng-gelengkan kepala.
"Dasar cowok.. Kalau begitu kenapa kamu tolak rayuannya?"
"Well," Isaac mengangkat bahu.
"Kalau memang aku mau, hal itu bisa dengan mudah terjadi. Kejadian seperti
itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, tapi sering. Setiap kali ada saja
wanita yang menghampiriku dan merayuku, tapi aku selalu berpegang pada
komitmenku dengan pasanganku, itulah yang membuatku kuat iman. Aku tidak
tergoda."
Maksudnya Tanya, ya.. kataku dalam hati.
Isaac melanjutkan, "Aku selalu
menjaga hati dan tubuhku karena aku menghormati Tanya, tapi Tanya tidak
melakukan hal yang sebaliknya untukku. Aku seperti menabur garam di laut,"
pandangan Isaac menerawang.
"Isaac.."
"Tapi sudahlah. Toh cerita kami
sudah selesai. Aku hanya berharap kelak aku akan menemukan wanita yang
kepadanya hanya kuserahkan hati dan tubuhku.. Wanita yang pantas untuk
kuperjuangkan, dan kuhormati sepanjang hidupku."
Aku tersenyum. "Kamu pasti bisa move
on dengan sukses, Ike.. Percaya deh sama aku."
Isaac balas tersenyum. "Aku percaya
sama kamu. Makanya aku sering ajak kamu ngobrol dan ketemuan. Aku nyaman
ngobrol sama kamu, Marg. Coba aku tahu soal ini sejak dulu ya? Aku tidak pernah
tahu kalau di sekelilingku ternyata ada teman sejati yang bisa kuajak ngobrol
dengan enak. Tempat berbagi suka dan duka."
Oh.... seandainya.. Kenapa kamu
menganggapku sebagai teman sejati? Cuma sebagai teman..? Teman..? Aku
mencintaimu sejak delapan tahun yang lalu Ikey..
"Lalu libur akhir tahun ini kamu ada
rencana kemana, Marg?"
"Ehm.. belum ada rencana sama
sekali. Kamu sendiri..?"
"Aku berencana jalan-jalan, ke
Singapura, Malaysia, atau mungkin Filipina. Atau mungkin ke Bali? Aku selalu
penasaran dengan negara-negara di Asia Tenggara. Kamu mau ikut?"
Apa? APA?? Dia ajak aku? Ajak aku
jalan-jalan...??
"Kamu ajak aku jalan-jalan..?"
Isaac mengangguk. "Yeah, tidak ada
teman yang bisa menemaniku jalan-jalan. Kalau kamu mau sih.. aku senang
sekali."
"Kamu sungguhan..?"
"Sungguh. Aku traktir kamu. Dan tentunya, kita beda kamar," Isaac
menyeringai. "Atau kamu mau request kita sebaiknya satu kamar saja?"
Ya ampuun... tidak kuat deh aku...
"Astaga Ike, nanti aku khilaf lho.." aku berguyon.
"Sama dong!" sahut Isaac, dan
kami berdua sama-sama tergelak.
Chapter 17. Magnum
Tanpa ada angin, tanpa ada hujan
Dillinger tiba-tiba menghubungi kami, anak buahnya untuk segera berkumpul di
markas. Kami semua keheranan, tempo hari Dillinger menyatakan dia telah puas
karena tujuannya tercapai, lalu mengapa kami dipanggil lagi? Apakah dia menginginkan
sesuatu lagi untuk diperjuangkan?
Sebenarnya semenjak dahulu aku sudah
menaruh rasa curiga, tujuan sebenarnya Dillinger tidak hanya sebatas
kontroversi undang-undang yang sempat kami ributkan. Aku tahu Dillinger masih
punya tujuan dan maksud lain, maka dia memanggil kami untuk berkumpul.
"Apa kabar guys? Bagaimana liburan
kalian?" sambut Dillinger.
"Ada angin apa Boss? Ada pekerjaan
lagi yang kau ingin kami selesaikan?" Shotgun menyahut.
Revolver balas menyahut, "Asal
jangan katakan kau kangen pada kami.." kami semua terbahak mendengar gurau
Revolver.
"Man, beri kesempatan Boss untuk
bicara," kataku.
Dillinger tersenyum. "Aku memang
sudah puas aksi kita terakhir kemarin ini berjalan dengan sukses. Tapi selama
liburan kemarin ini, aku tidak tenang. Masih ada yang memberatkan pikiranku,
kalian tahu?"
"Jangan membuat semua orang di sini
penasaran, Boss. Cepat beritahu. Apa yang ingin kau enyahkan?" tanyaku
langsung.
Dillinger melirikku dengan tatapan
dingin. "Noah. Noah Sprague, Perdana Menteri kita yang agung. Aku muak
melihatnya duduk di kursi yang seharusnya diperuntukkan bagiku. Sudah habis
kesabaranku selama bertahun-tahun ini menjadi pijakan kakinya."
Kudengar Shotgun dan Revolver
terperanjat. Aku menarik nafas. Sudah kuduga Dillinger memang menginginkan hal
ini, sejak awal dia membentuk kelompok ini, dia memang sudah menginginkan hal
ini. Dan baru sekarang dia mengungkapkan hal ini secara resmi padaku, Revolver
dan Shotgun.
"Kau menginginkan kepalanya?"
tanyaku lagi.
Dillinger menggeleng. "Tidak perlu
sampai seperti itu. Cukup buat dia lengser, Magnum. Kurasa ini akan menjadi
proyek kita yang terakhir, jadi kuminta bantuan dari kalian, guys. Sungguh aku
berharap banyak dari kalian."
"Well then, kita minta saja supaya
dia segera lengser.." aku menjawab. "Mungkin dengan memberikan
sedikit kejutan pada pemerintah. Kebetulan sebentar lagi Natal, dan seminggu
setelahnya tahun baru. Kupikir kita jangan lewatkan momentum ini."
Dillinger mengangguk setuju. "I'm
with you, Magnum."
"Apa yang akan kita ledakkan
nanti?" tanya Revolver.
Dillinger mengangkat bahu.
"Bagaimana agar heboh? Meledakkan gereja pada saat malam Natal kurasa
salah satu yang terbaik."
Shotgun terlihat menggaruk dagu.
"..Aku harus sesegera mungkin merekrut orang. Tapi karena ini mendadak,
aku tidak yakin bisa merekrut banyak, Dillinger."
"Lakukan sebisamu, Shotgun,"
aku menyahut. "Kalau memang terpaksa aku sendiri yang turun ke jalan pun
tak apa. Toh, berkat pertemuan hari ini aku jadi mendapat ide untuk melenyapkan
korban incaranku selama ini."
"Semoga operasi kali ini sukses,
berusahalah semampu kalian," Dillinger menepuk bahuku, "Terutama kau,
Magnum. Jadikanlah ini sebagai pemacu motivasimu. Sudah sejak lama kau
memikirkan cara untuk melenyapkan orang-orang incaranmu, tapi kau tidak pernah
berhasil kan? Lakukan sebaik mungkin kali ini. Menurut pengalaman, jika kita
menyentuh gereja, pemerintah tampaknya dengan senang hati langsung mengabulkan
permintaan kita. Untuk kali ini kita coba sentuh dua gereja, jangan gereja-gereja
kecil! Itu sama sekali tidak berguna dan membuang-buang uang, langsung saja
kita sentuh St.Paul dan Liverpool Cathedral, bagaimana menurut kalian?"
Dillinger mengincar dua gereja terbesar
di Inggris. Benar-benar pekerjaan rumah untukku. Tapi benar kata Dillinger, aku
harus memanfaatkan kesempatan ini untuk melenyapkan incaranku semenjak dulu. Oh
ya, apakah kalian sudah tahu kabar terbaru? Aku rupanya sudah bertemu dengan
dua orang incaranku selama ini. Sudah agak lama kami bertemu dan saling berkenalan
satu sama lain, dan kurasa bukan hal yang sulit membujuk mereka untuk pergi
menghadiri misa malam Natal bersama di St. Paul yang kini menjadi target
sasaran kami selanjutnya.
Sekitar 5 hari kemudian kami berkumpul
lagi, kali itu Shotgun sudah membawa dua orang rekrutan, Assault Rifle 1 dan 2.
Dua target bangunan, dan eksekutornya juga hanya dua.. Sulit, tapi pasti bisa
diakali.
Dillinger, tumben-tumbennya, mengatakan
akan ikut turun tangan secara langsung. Mungkin karena ini proyek terakhir dia
dan motivasinya benar-benar menguntungkan untuknya, maka dia mau turun tangan.
Dillinger akan membantu meringankan tugasku sebagai perancang strategi. Dia
akan merancang strategi untuk meledakkan Liverpool Cathedral, sementara aku
cukup merancang strategi untuk St. Paul's Cathedral. Baguslah jika dia mau
turun tangan karena proyek ini sangat mendadak dan tanpa persiapan apa-apa..
setidaknya dia memang harus mengotori tangannya sedikit.
Assault Rifle 1 bertugas menjadi kurir
untuk Liverpool Cathedral, dia otomatis berada di bawah komando langsung
Dillinger. Semoga Dillinger bisa melaksanakan tugas ini dengan baik. Sementara
Assault Rifle 2 akan bekerja sama denganku meledakkan St. Paul, kuharap semua
ini juga berjalan dengan baik.
Revolver masih mempersiapkan material
yang harus dibawa oleh para eksekutor, dibantu juga oleh Shotgun. Sementara aku
dan Dillinger sibuk membahas bagaimana skenario yang harus kami jalankan saat
hari H. Dillinger akan diam di dalam hotel tak jauh dari lokasi liverpool
cathedral, dan ketika Assault Rifle 1 sudah berada di dalam gereja, Dillinger
yang akan menekan tombol detonator. Sementara rencanaku untuk St. Paul
Cathedral pun sudah disetujui oleh Dillinger. Aku akan mengikuti misa malam
Natal dari awal, dimana Assault Rifle 2 pun sudah harus siap di dalam gereja
sejak awal misa. Di tengah acara aku akan meninggalkan gereja, dan aku akan
menekan tombol detonator setelahnya.
Menuju hari H kami rutin mengadakan
pertemuan, mematangkan segala rencana kami, juga melakukan pengecekan ulang pada
seluruh material yang harus dipersiapkan. Sungguh aku tidak sabar ingin segera
melenyapkan orang-orang incaranku itu malam Natal nanti!!
Dan.. coba tebak! Orang-orang incaranku,
mereka begitu mudahnya percaya padaku. Mereka tanpa ragu langsung mengiyakan
ajakanku untuk mengikuti misa Malam Natal bersama di St. Paul's Cathedral. Oh.
Akhirnya Tuhan berpihak padaku! Tinggal menunggu waktu.. sampai tujuanku selama
ini tercapai.
24 Desember 2003. Hari yang
dinanti-nantikan ini pun tiba! Tidak ada yang bisa melukiskan seberapa besar
semangat yang kurasakan! Operasi kali ini berbeda dari operasi kami yang
sebelumnya, karena pada hari ini aku memiliki kesempatan yang besar untuk
melenyapkan nyawa orang-orang yang menjadi incaranku selama ini! Sampai sore
hari tiba, rencanaku sepertinya akan berjalan dengan lancar dan mulus.
Namun tanpa kusangka.. ketika aku dan
orang-orang incaranku ini hendak bersiap-siap untuk pergi ke St Paul, datanglah
kedua orang lain yang memintaku agar memperbolehkan mereka bergabung bersama
kami mengikuti misa di St Paul. Kontan aku kebingungan. Tak mungkin aku
mengorbankan kedua orang ini juga dalam rencana peledakan St Paul malam ini!
Yang ingin kukorbankan hanyalah orang incaranku, bukan kedua orang ini! Kenapa
mereka tiba-tiba datang dan meminta ikut pergi ke St Paul??
Maka dengan berat hati, aku membatalkan
rencanaku terhadap orang incaranku. Dengan mengarang alasan aku membujuk mereka
semua agar membatalkan niat pergi ke St Paul, dan aku menawarkan pada mereka
untuk mengikuti acara misa Malam Natal di gereja St. Annes, yang terletak di
arah yang berlawanan dari St Paul. Beruntung mereka tidak banyak omong dan
langsung mengiyakan tawaranku. Menurut mereka, tidak masalah di gereja mana
saja, yang penting mereka ingin merayakan Malam Natal bersamaku. Yeah Yeah..
Kupikir rencanaku akan berjalan dengan lancar, ternyata malah gagal total!
Brengsek.. tertunda lagi niatku
melenyapkan nyawa incaranku selama ini. Hanya karena kedatangan dua orang yang
tidak ingin kulukai sedikitpun. Apakah aku ini lemah atau pengecut??
Tanpa menunggu waktu lama, aku
menginformasikan hal ini pada rekanku, Assault Riffle 2. Aku menyuruhnya agar
tetap pergi ke St Paul dan bersikap
sewajar mungkin, agar tidak menimbulkan kecurigaan. Dan aku nanti yang akan
menekan tombol detonator..
Sungguh. Aku sangat menyesal. Seharusnya
aku bisa memanfaatkan kesempatan emas ini untuk melenyapkan orang-orang
incaranku, tapi... AH. Entah bagaimana rencanaku ini gagal hanya dalam waktu
beberapa jam sebelum pesta dimulai!!
Malam telah larut, sebagian besar warga
merayakan malam ini dengan khidmat. Aku melirik arloji di pergelangan tanganku,
masih kurang tiga menit menuju tengah malam. Dan pikiranku masih terbelenggu
oleh kegagalanku hari ini. Orang-orang yang kuincar nyawanya saat ini sedang
bergembira merayakan malam ini, kulihat senyum dan tawa riang gembira terukir
pada wajah mereka. Sementara seharusnya mereka itu saat ini sudah berada di
dalam St Paul yang akan segera kuledakkan!! Kenapa Tuhan tidak berpihak
padaku!!
Aku menarik nafas panjang, tinggal 30
detik menuju jam 12 malam. 20 detik. 10 detik. Kukosongkan pikiranku, dan
kutekan tombol yang sedari tadi kugenggam dengan erat itu. Langsung terdengar
suara ledakan di kejauhan. Seandainya saja... orang-orang laknat yang sedang duduk
dan minum wine di depanku ini berada di St Paul!! Mereka saat ini tentu sudah
jadi tanah!!
Chapter 18. Isaac Lawrence Anthony
Renauld
Ya Tuhan berita macam apa yang kudengar
pagi ini di televisi?? Inggris lagi-lagi gempar karena peristiwa bom, dan parahnya
lagi, mereka lakukan itu tepat pada Malam Natal!! Malam yang suci bagi jutaan
manusia di seluruh dunia.. mengapa mereka mengotori malam suci dengan perbuatan
bejat mereka?? Tidak tanggung-tanggung, dua gereja besar diledakkan pada waktu
yang bersamaan, St Paul dan Liverpool Cathedral! Ada apa dengan dunia ini??
Sebenarnya apa mau mereka?? Apakah mereka itu termasuk salah satu anggota
berbasis agama yang tidak senang dengan perayaan Malam Natal?? Ataukah..??
Sampai sekarang misteri ini sama sekali belum terpecahkan. Intel, Polisi,
bahkan seperti tidak berdaya menghadapi teror orang-orang ini.. Sebenarnya apa
tujuan mereka??
Kudengar berita terbaru yang mengabarkan
bahwa para kelompok teror itu sempat meninggalkan sebuah surat kaleng yang
berisi pesan agar Noah Sprague sebagai Perdana Menteri Inggris lengser tanpa
syarat. Titik. Mereka rupanya menginginkan Perdana Menteri Sprague lengser.
Entah apa dan mengapa.
Margee pun terlihat bingung dan stress
kenapa Inggris berubah menjadi negara yang tidak seaman dulu lagi. Margee? Oh,
apakah aku belum bilang? Yeah, saat ini aku dan Margee sedang berada di
Singapura, yeah berdua saja! Aku memintanya menemaniku liburan di sini, dan ia
bersedia. Sudah empat hari ini kami di sini, dan sudah seluruh Singapura telah
kami jelajahi, rencananya besok kami akan kembali ke London.
Margee meletakkan ponsel di atas meja,
lalu menyeruput tehnya perlahan. Ia menghela nafas, "Puji Tuhan seluruh
keluargaku baik-baik saja semuanya. Kamu sendiri bagaimana, Ike?"
Dengan kesal kutekan tombol off call pada
ponselku, sudah berkali-kali kutelepon papa dan mama tapi tidak ada satupun
yang menjawab! "Orangtuaku tidak menjawab. Coba kutelepon Fez,"
sahutku, lalu mencari nomor Fez di phonebook. Kudengar nada dering sekali. Dua
kali.
"Halo," terdengar suara dari
seberang telepon.
"Hey, Fez!"
"Isaac?"
"Yeah. Hey, bagaimana kabar di
sana?? Aku baru mendengar berita buruk mengenai kejadian di Inggris semalam,
bagaimana bisa semua itu terjadi??"
Kudengar Fez menarik nafas panjang.
"Yeah.. Ike. Entahlah. Kau dimana?"
"Aku masih di Singapura. Lalu..
apakah.. keluarga kita semua baik-baik saja, kan? Kuharap kau tidak memberikan
berita yang tidak mengenakkan untukku, please."
"Well, kau tenang saja. Kami semua
di sini baik-baik saja, kami masih dilindungi Tuhan. Tidak perlu kuatir."
Aku menghela nafas lega. Cukup kata-kata
itu yang ingin kudengar sekarang ini. "..Syukurlah. Aku sudah berpikir
yang tidak-tidak tadi.. Papa dan mama sama sekali tidak menjawab
teleponku."
"Ah, semalaman mereka ada di sini,
merayakan Natal bersama denganku, Gale dan Phedra. Kurasa sejak semalam mereka
memang tidak membawa ponsel."
"Oh.. Pantas saja! Mereka masih di
situ?"
"Yeah. Gale dan James asyik bermain
catur, sementara Evelyn dan Phedra sibuk di dapur. Kalau kau mau biar
kupanggilkan mereka?"
"Oh, tidak usah. Aku memang cemas
saja.. Aku kepikiran seandainya saja semalam papa dan mama pergi juga ke St.
Paul..... Entah bagaimana nasib mereka.."
"Kami hampir pergi ke St. Paul
semalam."
Perkataan Fez barusan membuatku
terhenyak. "..Kau.. bercanda?"
"Tidak. Semalam kami berlima memang
berencana mengikuti misa di St. Paul. Rencana itu batal, syukurnya, kau masih
bisa berbicara dengan jelas denganku sekarang ini, kan?" Fez tertawa.
"Nah, kau sendiri, bagaimana proyekmu dengan gadis itu? Sudah kau
taklukkan dia?"
Hah? "Apa maksudmu, Fez? Jangan
bicara macam-macam."
Terdengar gelak tawa Fez. "Apa yang
ada di otakmu, kiddo?? Jauh-jauh kau bawa Margee ke ujung dunia, apa gunanya
itu semua? Ah, mungkin kau butuh waktu agak sedikit lebih lama, huh? Kalau
begitu malam ini! Jangan sampai kau lewatkan Ike!"
Awkward moment. Fez terdengar sangat
bersemangat membicarakan Margee, sementara subyek yang sedang dibicarakan saat
ini tengah memandangiku! Aku lantas berdiri, lalu berjalan menjauhi Margee.
Fez masih melanjutkan, "Apa sulitnya
bawa dia ke kamarmu, puji dan rayu dia.. katakan dia cantik.. kujamin Margee
pasti luluh dan akan jadi milikmu, Ike."
Aku menarik nafas panjang, "Yang
benar saja. Kau sekarang mencoba mengajariku?"
"Hey Ike! Justru itu yang mau
kutanyakan padamu! Kenapa untuk hal kecil seperti itu saja harus kuajari
terlebih dahulu?"
"Dengar ya, aku menghormati wanita
ini. Saat ini kami tidak.. kami belum menjalin hubungan asmara secara resmi,
jadi hal-hal seperti yang kau katakan tadi tidak mungkin kulakukan..
Paham?"
"Lalu untuk apa kau bawa dia pergi
jauh-jauh?"
"Ya ini salah satu caraku melakukan
penjajakan.. kenapa juga harus kujelaskan padamu sih? Kurasa kau tidak akan
pernah mengerti! Karena ketika kau menjalin hubungan dengan wanita, hal pertama
yang kau lakukan adalah urusan ranjang, betul kan? Kau tidak pernah membina
hubungan yang dekat secara emosional, eh? Coba kau ubah sedikit demi sedikit
hobimu bermain wanita.. Wanita adalah makhluk lemah yang harusnya kau hargai,
hormati dan kau lindungi, bro. Bukan sebagai obyek seksualmu saja!"
"Well, mereka itu memang obyek
Ike!" Fez tergelak lagi. "Salah sendiri mereka cantik!
Hahahahahaha!"
Aku menggelengkan kepala, dan menghela
nafas panjang.
"Liburanmu sepertinya membosankan,
Ike," kata Fez lagi. "Mau ikut denganku ke Las Vegas? Berangkat lusa,
kalau kau mau segera kupesankan tiket untukmu. Kau harus belajar bersikap
bengal sedikit. Kau ini membosankan, kau tahu?"
"No, thanks."
"Kenapa?"
"Pertama, kau hanya membuang-buang
uang di sana. Kedua, aku tidak mau terjebak dalam pesta yang pasti kau rencanakan
dengan teman-temanmu."
"Kau.. Kuper sekali, Ike. Sesekali
cobalah! Tidak ada salahnya kan, sesekali mengundang stripper dan bermain-main
dengan mereka? Kalau kau takut tertular penyakit, ada banyak kondom!"
Astaga.. "Well hidupmu penuh warna,
ya Fez? Hati-hati, salah sedikit kau bisa terjebak skandal."
"Tidak mungkinlah!" Fez tertawa
lagi. "Lalu bagaimana Ike?? Berminat?? Ayolah!"
"Tidak, aku tidak berminat."
"Hmm. Payah kau. Apa jangan-jangan
kau takut, gadismu Margee tahu kelakuanmu? Dia tidak akan tahu kecuali kalau
kau sendiri yang bilang, tolol kau."
"Terserah apa katamu, aku tidak
berminat. Kau bersenang-senanglah."
Fez terdengar menghela nafas panjang.
"Ok. Sudah kuduga kau memang membosankan. Allright, selamat berlibur juga
untukmu Ike. Kalau aku boleh saran, segera bawa Margee ke ranjang, kurasa dia
sendiri kebingungan dengan sikapmu yang seperti itu! Hahahahaha.."
Tidak henti-hentinya Fez meledekku.
"Thanks atas saranmu, selamat liburan!"
Aku kembali ke tempatku duduk,
"Keluargaku juga aman, Marg. Puji Tuhan," kataku pada Margee sambil
tersenyum.
Margee menyahut, "Syukurlah.."
"Isaac? Margee?" terdengar
suara dari belakang memanggil nama kami berdua. Dan begitu menoleh.. ternyata
Aldo, salah satu teman gankku dan Margee juga! Dia si Disc Jockey paling
terkenal tahun ini, kenapa dia ada di sini?
"Hey, Aldo!!" aku bangkit
berdiri dan memeluknya. "Selamat Natal, bro! Kau natalan di sini,
eh?"
"Selamat Natal juga untukmu,
Ike," Aldo menghampiri Margee lalu mengecup pipinya, "Selamat Natal,
Marg!"
"Selamat Natal Aldo.. Ayo duduk
sini..! Sudah sarapan?"
Aldo menarik kursi di sampingku, lalu
memesan kopi pada pelayan. "Benar tidak apa nih aku ikut nimbrung sarapan
bersama kalian? Tampaknya aku menjadi pengganggu," cengirnya.
Aku tertawa. "Apa yang kau lakukan
di sini, bro??"
"Tentu saja show! Aku ada jadwal di
Zouk, malam ini, dan karena kalian kebetulan ada di sini juga, kuundang kalian
secara khusus di Zouk nanti malam!" Aldo menyeringai lebar.
Aku memandang Margee, "Bagaimana
Marg?" tanyaku.
"Ayo saja.. Kapan lagi diundang
secara khusus oleh DJ terfavorit tahun ini.."
Aldo tertawa. "Mereka salah
mengategorikanku! Seharusnya aku adalah DJ tertampan, terkeren, most high
quality!!"
Spontan kutimpali, "Most high, dari
sudut pandang mana??" kataku sambil tergelak.
"Ahh. Kau tidak mungkin
mengerti!" Aldo menyesap kopinya perlahan. "Oh ya, sedari tadi ada
satu hal yang ingin sekali kutanyakan pada kalian berdua."
"Ya?"
"Apa yang kalian berdua lakukan di
sini? Honeymoon?"
"Tentu saja bukan!!" jawabku,
berbarengan dengan Margee. Aku dan Margee berpandangan, lalu tawa kami berdua
pun pecah.
"Hei, aku serius bertanya! Kalian
sudah jadian? Sudah resmi?? Kenapa aku baru dengar? Marg?"
"Tidak, Aldo," aku menjawab.
"Margee bersedia menemaniku liburan di sini, itu saja."
"Heeee.." sahut Aldo tidak
jelas. Kulihat dia mempertahankan pandangan mata lurus pada Margee, "Jadi
kalian berdua terbang jauh-jauh dari London ke sini, murni hanya untuk liburan,
tanpa ada unsur romansa sama sekali antara kalian berdua? Ah, aku tidak
percaya."
"Kami memang cuma liburan di
sini.." sahut Margee.
"Kalau memang ada unsur seperti yang
kau bilang tadi, memang kenapa? Apa aku tidak boleh mendekati
Margee?" ujarku spontan.
Margee menatapku, kulihat wajahnya
bersemu merah. Sementara Aldo menyeringai lebar. "Tentu saja boleh! Siapa
yang berani melarangmu, sobat??" jawabnya riang. "Aku hanya masih
terkejut, tiba-tiba bertemu kalian di sini, berdua saja! Kalian tampak seperti
sepasang kekasih yang sedang dimabuk cinta, rupanya feelingku itu memang
tepat!" Aldo terbahak-bahak.
"Ok, sekarang diamlah," kataku.
"Daritadi kau tertawa keras-keras, kau bisa membuat seluruh pengunjung di
sini kabur, kau tahu?"
"Benarkah?? Ok ok, aku diam
sekarang."
"Lalu? Kau ada jadwal show dimana
lagi setelah dari sini?"
"Besok aku harus langsung terbang ke
Perth!"
"Padat sekali jadwalmu, Aldo.."
komentar Margee.
"Jelas padat! Tapi, bisa menyaksikan
sendiri energi dan semangat crowd dari turntable.. Well, itu priceless.
Semangat dari merekalah yang memotivasiku sampai bisa sejauh ini!"
"Kau benar-benar entertainer
sejati," sahutku.
"Berarti kalau jadwalmu sepadat itu,
bisa-bisa kamu absen dong, saat reuni gank kita akhir tahun ini?"
Aku menoleh pada Margee. "Ada acara
reuni? Kok aku baru dengar?"
"Lho, memang aku belum katakan
padamu ya Ike? Iya, tanggal 31 besok di vila tempat kita berkumpul seperti
biasa.. Sekalian kita rayakan tahun baruan di sana."
Aldo menggelengkan kepala. "..Tidak
bisa. Aku tidak akan bisa hadir. Sampai seminggu setelah tahun baru aku ada di
LA. Kurasa aku absen dalam acara reunian nanti. Aku titip salam saja untuk yang
lain ya Marg?"
"Oke.. Memang sulit kalau ingin
mengumpulkan seluruh anggota gank kita.. Masing-masing punya kesibukan sendiri.
Kamu, Ike? Bisa hadir kan?"
Aku tersenyum dan mengangguk,
"Tentu."
Jadi malam itu juga, aku dan Margee
memenuhi undangan dari Aldo dengan menghadiri shownya di Zouk, salah satu
nightclub di Singapura. Terakhir kali aku bersenang-senang di nightclub, adalah
ketika aku dan Tanya masih berhubungan.
Namun sekarang ini aku bersama Margee.
Margee yang kalem dan manis, ia sepertinya tidak begitu nyaman dengan hingar
bingar keriuhan dunia malam. Kurasa aku juga tidak akan berlama-lama di sini,
aku tidak enak jika Margee terpaksa harus bertahan dalam ketidaknyamanan
seperti ini. Aku pun sejujurnya tidak pernah merasa nyaman dan bebas
mengekspresikan diri di tempat-tempat seperti ini.. Hanya karena dulu Tanya
rutin mengajakku berpesta, lama kelamaan aku pun terbiasa.
Dan rupanya sekarang ini aku sedang
mendekati wanita yang satu pemikiran dan satu selera denganku. Margee, kau
tahu, sampai saat ini aku sudah menemukan sekian banyak kecocokan antara kita,
aku ingin segera meresmikan hubungan kita! Tapi apakah kamu pun merasakan hal
yang sama denganku?
Sekitar pukul 3 pagi kami bertiga pun
kembali ke hotel. Kepalaku rasanya berat!! Kurasa aku sedikit kebanyakan minum
tadi..
Setelah mengantarkan Margee sampai ke
depan kamarnya, Aldo tiba-tiba menarik tanganku.
"Wow! Slow down, man!" tegurku.
"Ada apa?"
Aldo tidak menggubris kata-kataku
barusan, dia tetap menarik tanganku, memaksaku masuk lagi ke lift. Kulihat dia
menekan tombol angka 1.
Dan, aku merasa risih melihat manusia
satu ini masih tetap memegang tanganku, seakan enggan melepaskannya sampai
dunia kiamat. Mungkin manusia satu ini masih dalam pengaruh minuman keras.
Sepertiku. "Ok, aku mulai paranoid," kataku. "Bisa kau lepaskan
tanganku?"
Aldo seperti tersadar. "Oh! Iya.
Sorry," katanya sambil melepaskan tanganku.
"What the hell happened with
you?"
"Tenang, aku masih normal, Ike.
Normal dan tidak cukup mabuk!" katanya lagi sambil terkekeh.
Aku malah semakin paranoid.
Untungnya lift segera sampai di lantai
satu, dan Aldo langsung membimbingku ke cafe, memesan kopi dan susu.
"Susu bagus untuk membuatmu sadar
dari mabuk," kata Aldo sambil menarik kursi untuk dirinya sendiri.
"Aku tidak mabuk," sanggahku.
"Kau kan yang mabuk? Tanpa alasan menarik tanganku, hampir saja aku mati
ketakutan dijebak di dalam lift berdua, olehmu!"
Aldo menatapku heran, lalu
menggeleng-gelengkan kepala. ".. Berapa banyak kau minum tadi, heh?"
"Aku tidak mabuk, sialan!"
"Jadi, apa kau juga cukup mabuk
dengan mengajak Margee datang ke Singapura, berdua? Seperti sepasang pengantin
baru begitu??"
"Hah?"
Pesanan kopi hitam dan susu datang, dan
Aldo memaksaku minum susu beberapa teguk. Sabar, masih panas!
"Better? Sudah kembali ke alam
nyata? Atau masih di nirwana?" tanya Aldo, beberapa saat kemudian.
Kepalaku masih sakit. ".. Kau bicara
apa sih?" sahutku malas.
"Sudah mendingan sepertinya
sekarang," Aldo menyimpulkan sendiri. "So, Ike, sejak dari pagi tadi,
sejak kita ketemu di sini, ada yang ingin kutanyakan padamu."
"Apa?"
"Kau, benar, kau berlibur berdua
saja dengan Margee?"
Aku menyesap minumanku perlahan.
"Hmm.."
"Belanja?"
"Tidak juga. Iya juga sebenarnya
sih. Kenapa kau jadi banyak tanya begitu?"
"Kau yang mengajak, atau Margee yang
minta ikut??" Aldo masih mencecar.
"Aku yang mengajak. Kenapa
memangnya?? Salah?"
"Kau mabuk atau bagaimana? Dengan
begitu kau malahan memberi Margee harapan, bro! Apa kau tidak sadar selama
ini?"
"Sadar apa?"
"Sadar kalau Margee menyimpan
perasaan terhadapmu!"
"HAH?"
Aldo menggeleng-gelengkan kepala.
".. Kau tidak tahu apa pura-pura tidak tahu? Sejak high school Margee
genit padamu!"
Aku menyela, "Kayaknya Margee bukan
cewek genit."
"Dengar dulu, bastard. Aku tahu
jelas Margee sejak high school menaruh hati padamu. Aku tahu karena aku sering
menjadi tempat curhatnya. Dia bukan tipe yang mau melangkah duluan, dia tipe
pasif. Makanya dia tidak pernah menunjukkan kalau dia menyukaimu. Aku terpaksa
mengatakan ini karena aku mau tanya apa alasanmu sebenarnya Ike, kenapa kau mengajak
Margee liburan?? Apa tidak ada cewek lain yang bisa kau ajak? Kalau kau ajak
Margee, aku takut Margee malah salah sangka padamu, Ike! Kau tidak akan memberi
harapan palsu pada seorang cewek, kan? Dia bukan tipemu, lagipula. Memang kau
mau sama dia?"
Aku terdiam lama. ".. Jadi Margee
menaruh hati padaku, sejak high school? Sampai sekarang?"
"Sampai detik ini!" Aldo
menegaskan.
Aku tidak bisa menahan cengiranku.
"... Well, bagus dong kalau begitu!"
"Sudah siap semua, Marg?"
tanyaku ketika akan berangkat ke airport. Kami berencana kembali ke London
siang itu.
"Yup.. Sudah semua, kamu sendiri,
ada yang ketinggalan tidak?"
"Hmm.. Ada."
Margee menatapku bingung. ".. Kalau
ada, cepat ambil lagi barangmu di kamar! Aku tunggu kamu di sini.."
"Yang ketinggalan bukan barang,
Marg. Tapi rasa terima kasihku padamu karena sudah berperan menjadi sahabat
yang paling baik selama ini," aku melempar senyum sehangat mungkin pada
Margee. Kulihat gadis itu agak terkejut mendengar kata-kataku.
".. Ah.. Ohh.. Kamu kenapa jadi
formal begitu? Santai saja, Ike.. Aku juga senang kok menjadi
sahabatmu..."
Tes terakhir. Kutarik tubuh Margee dan
kudekap.. Margee seperti salah tingkah. Hoho. "..Tetaplah menjadi
sahabatku yang paling baik," bisikku tepat di kupingnya.
"..Mmm," sahutnya tidak jelas.
Ia tampak ragu-ragu mau membalas
pelukanku atau tidak. Jadi kubelai rambutnya yang halus itu perlahan, lalu
kutepuk-tepuk bahunya, "Thanks ya."
Margee melempar senyum, pipinya merona
kemerahan. "Santai saja lagi, kamu kenapa jadi aneh begini..?"
"Tidak apa-apa. Jalan sekarang yuk,
nanti telat."
Galashiels, 31 Desember 2003.
Acara tahun baruan bersama the gank di
vila sewaan. Rasanya sangat menyenangkan bisa berkumpul lagi bersama-sama
seperti dulu, seperti saat high school. Melakukan hal-hal gila, berguyon,
tertawa lepas, membicarakan hal-hal yang ringan.. jauh dari rasa stres. Tempat
dimana aku tidak perlu jaga image dan menjadi diriku sendiri, oh, mereka memang
teman-temanku yang paling baik.
Ada Margee, Angie, Louisa, Sally dan
Terry, dan juga aku, cukup beruntung bisa berkumpul bersama lagi seperti
sekarang ini. Hal yang sangat jarang terjadi karena kami biasanya selalu
disibukkan dengan pekerjaan kami masing-masing. Hanya satu anggota gank kami
yang berhalangan hadir, yaitu Aldo. Pekerjaannya sebagai DJ rupanya jauh lebih
menuntut waktunya ketimbang pekerjaanku, haha.. Yang membuat aku agak jengkel,
adalah, hanya aku dan Margee yang tidak membawa pasangan ke acara reunian itu.
Wah. Ini sebenarnya acara reuni, atau apa? Kenapa bawa pasangan?
Dan sebagai akibatnya, kamar di villa
penuh terisi oleh pasangan-pasangan itu. Tinggal tersisa satu kamar kosong,
sehingga aku dan Margee sebagai orang-orang yang masih single sendiri terpaksa
berbagi kamar. Rasanya aku excited.. kira-kira Margee bersedia berbagi kamar
tidak denganku??
Setelah puas makan dan minum, merayakan
pergantian tahun baru bersama-sama, satu per satu dari kami mulai berguguran
dan masuk ke kamar masing-masing. Aku berniat untuk tidak tidur, lebih baik aku
stand by di ruang tengah sambil menonton acara tv. Tapi rasanya udara semakin
dingin, aku butuh pakaian yang lebih tebal.. Dan ketika aku masuk ke dalam
kamar untuk mengambil sweater, kulihat Margee tengah merapikan pakaiannya di
lemari.
"Hei, Marg." sapaku.
"Oh.. hai.."
"Sudah mau tidur?"
"Iya.. Kamu sendiri?" Margee
memerhatikanku yang sedang membuka tas dan mengambil sweater.
Aku tertawa ringan. "..Tidak begitu
ngantuk sih, aku mau menonton tv. Kamu kalau mau tidur, ya tidur saja,
sepertinya agak tidak mungkin kan kita berbagi ranjang? Walaupun udaranya
dingin dan pasti enak kalau tidur berpelukan.." aku berguyon.
Margee tertawa, ".. Sebenarnya aku
beruntung banget, punya kesempatan tidur berpelukan dengan seorang pembalap..
hehe.."
"Oh, jadi kamu mengizinkanku tidur
di sini nih? Di sini, denganmu? Aku sih tidak bakal menolak.. kalau itu
kemauanmu."
Margee tampak salah tingkah. "..
Ehm! .. Kayaknya aku tidur sendiri saja deh.."
Aku menyeringai. "Oke. Tidak takut
kan tidur sendirian?"
"Ya ampun Ike, masa iya aku
takut.."
Aku terkekeh. "Oke, good night
Marg."
Kira-kira satu jam berlalu, kulihat
Margee menyusulku ke ruang tengah, lalu duduk di sampingku, ikut menonton acara
tv.
".. Aku tidak bisa tidur," kata
Margee tanpa ditanya.
"Well, temani aku saja menonton di
sini."
"Dari tadi kamu menonton sendirian
Ike?"
"Tadi sih ada si Terry, tapi Sally
minta ditemani tidur.. Ya kamu pahamlah," jawabku malas.
Margee menghela nafas. "Enaknya..
yang double, pada bawa pasangan. Kedinginan, ada yang menghangatkan. Ada yang
menemani. Tidak kasihan sama yang single nih.. Acara reunian begini seharusnya
tidak boleh bawa pasangan."
"Kapan terakhir kali kamu pacaran,
Marg?"
"Eng.. dua tahun yang lalu."
"Wah, sudah lama dong. Belum
menemukan yang pas di hati?"
"..Aku sekarang mencari yang benar-benar
serius denganku.. tidak cuma untuk main-main saja. Sudah bosan dengan yang
seperti itu. Tidak aneh dong kalau aku bilang aku ingin menikah..?"
"Sama sekali tidak. Kebetulan aku
juga sedang mencari calon istri," aku memancing.
"Mmm. Yang mau sama kamu kan banyak,
mengantri.. pilih saja salah satu."
"Tidak seperti itu juga. Sebenarnya
ada sih, satu orang calon. Orangnya manis, sopan, halus, murah hati, penyabar.
Kira-kira kamu kenal tidak?"
Margee terlihat memaksakan diri
tersenyum. ".. Ya mana aku tahu, Ike.. Temanmu kan banyak, aku tidak kenal
semuanya kan..?"
"Masa sih kamu tidak kenal? Wajahnya
oval, hidungnya kecil, senyumnya manis.. matanya coklat. Rambutnya juga coklat,
lurus sebahu."
Margee menatapku dengan pandangan
bingung. Oh Tuhan, Kau telah menciptakan wanita yang benar-benar cantik dan
memesona!
Aku melanjutkan. ".. Satu sekolah
denganku. Dan katanya sih, sejak sekolah ia sudah menaruh hati padaku. Akunya
saja yang tolol, tidak pernah sadar ada gadis semanis dirinya menaruh perhatian
begitu besar padaku. Seandainya kutahu, sudah dari dulu kutembak."
".. Oh.. satu sekolah, Ike? Berarti
aku juga kenal dong..?"
Yah, masih belum paham juga rupanya.
"Kenal, kupastikan kamu sangat mengenalnya," jawabku. "Sekarang
juga ada di sini, ikut acara reuni ini, kok."
"Hah...?"
Aku segera melanjutkan sebelum ia menerka
orang yang salah. "Yang jelas sekarang ini ia statusnya single,"
kalau tidak mengerti juga, kucium kamu, Marg!
Margee terdiam lama. "... Kok
ciri-cirinya aku semua? Ike, aku pikir kamu serius ah.. Jangan bercanda dong,
kamu sedang mengerjaiku yah?"
Aku menggeleng. "Tidak ada untungnya
mengerjaimu. ..Aku serius, Marg, aku menyayangimu," kataku sambil menatap
mata Margee dalam-dalam. "Would you be my girl?"
Margee menahan nafas. "... Oh Ike..
kamu.. kamu tidak main-main kan....?" ia menatapku dengan pandangan tidak
percaya.
"Aku serius, Margee, harus bagaimana
aku meyakinkanmu?"
Margee langsung memelukku. "Ikey...
Ikey.. Akhirnya kamu sadar yah..? Iya aku memang menyimpan perasaan ini sejak
dulu..! Akhirnya kamu sadar.. Thank you, Ike.. Aku juga sayang kamu.."
Kubelai rambut Margee dan kukecup
kepalanya, tercium aroma yang manis dari rambutnya. "Aku juga,
sayang."
Aku terbangun ketika mendengar
suara-suara orang berkumpul di sekitarku.
Kulihat Angie, Sally, Terry, Louisa,
tengah tersenyum-senyum menatapku, ada apa ini? Lalu aku sadar setelah melihat
Margee tertidur di bahuku... Oh. Ya. Aku ingat. Rupanya kami berdua tertidur
semalam, dalam keadaan berpelukan. Oh Christ. Kami asyik mengobrol dan
cuddling, tidak terasa sampai jatuh tertidur, dan sekarang dipergoki
teman-teman segank. Sarapan yang nikmat untuk hari yang baru di tahun yang baru
ini. Greaaatt!
Margee terbangun juga, dan paduan suara
the gank langsung membahana, mereka menyoraki kami.
".. Ada apa ini guys..? Ya
ampun.." Margee dengan muka semerah udang rebus berusaha menghentikan
sorakan teman-temannya.
Aku sendiri tidak tahu bagaimana
penampilanku sekarang.
"Memangnya aneh yah kalau aku tidur
di sini?" protes Margee lagi.
"Tidak aneh sama sekali, Marg.. Kita
justru senang loh kamu dan Ike bisa sebegitu akrabnya.." Angie menyahut.
"Kalian berdua sudah resmi kan??"
sambung Louisa.
"Aduh, kalian ini.. Jangan seperti
ini doong.." Margee menjawab.
"GUYS!!" Terry berseru sambil
membawa sebotol sampanye dan beberapa gelas. "Kita cheers, untuk kemesraan
Margee dan Isaac!!"
"Oh Christ.." aku bergumam.
Terry menuangkan segelas sampanye
untukku, dan memberikannya segelas juga untuk Margee. "Ayo ambil, Ike! Ini
untuk perayaan kalian berdua!" katanya.
"Hey, biasa saja dong. Aku dan
Margee jadian, kenapa harus disoraki begini? Kalian ini seperti bocah!"
aku berusaha protes.
"Tidak mungkin Ike, hal ini mutlak
harus dirayakan! Kau harus tahu, kita semua di sini, 1000% mendukungmu dan
Margee! Jadi harus dirayakan!!"
"Iya, betul itu Ike," sahut
Angie.
Terry mengangkat gelas tinggi-tinggi,
"CHEERS, GUYS??? Untuk Margee dan Isaac yang akhirnya jadian setelah
sekian puluh tahun lamanya!! LONG LAST!!"
"CHEERS...!!" paduan suara the
gank membahana lagi.
Aku dan Margee saling berpandangan, lalu
toh akhirnya kami ikutan minum juga. Aku merasa geli sendiri.
"Harusnya Aldo juga ada di sini, dia
pasti yang paling ramai menyoraki kalian berdua," kata Terry.
"Kalian saja sudah cukup
ramai!" koreksiku.
"Nah sekarang saatnya raja dan ratu
sehari kita ini, diberi privasi yang terjamin untuk saling memadu cinta!!"
seru salah seorang, aku tidak percaya aku tidak bisa mengenali suara orang ini.
Who the hell said that???
Dan paduan suara the gank makin
membahana, menyahuti ide asal tadi. Aku dan Margee dipaksa bangun, lalu
didorong masuk ke dalam kamar. Dan mereka mengunci pintu dari luar.
Aku tidak bisa menahan tawa karena
kejadian ini, dasar bocah-bocah hiperaktif!
Masih sambil terbahak aku berseru dari
dalam kamar, “Hey guys! Buka pintunya!”
“Jaga image sekali kau, Ike! Sudah tidak
usah ragu-ragu, kami tunggu sampai kalian berdua selesai!” terdengar sorakan
dari luar.
“Dasar kalian idiot, bilang saja mau
menguping!”
Tawaku terhenti ketika melihat Margee
duduk terdiam di atas ranjang. Ia seperti gelisah, maka aku mendekatinya.
“Hey, Marg,” sapaku sambil memegang bahu
Margee, lalu berlutut di depannya. “Ada apa, kok cemas begitu?”
“Eng..” Margee terdiam. “Kamu.. mau
menuruti kata-kata mereka..?” tanyanya setengah berbisik. “..Aku sedang
halangan sekarang..”
Spontan aku terbahak lagi. “Marg...
Marg!” seruku. Kulihat wajah Margee semakin terlihat bingung, aku gemas sekali
melihat gadis ini. Pelan kucubit kedua pipinya, “Kamu membuatku gemas!”
“Kamu kok malah tertawa begitu..!” Margee
memprotes.
“Dengar, Sayang,” kataku. “Aku..” aku
menarik nafas dalam-dalam. “Aku bukan tipe yang terburu-buru, let it flow saja.
Aku ingin, malam pertama kita, kita lakukan setelah kencan kita berikutnya..
Bagaimana, atau kamu ada pemikiran lain..?” aku menatap matanya sambil
tersenyum.
Margee membalas senyumku. “Kurasa itu
jauh lebih baik..”
“Nah, begitu dong, senyum!” aku tersenyum
lebar. “I love you, Margee,” kudekatkan wajahku dengan wajah Margee, lalu
mengecup dahinya.
Kudengar Margee menyahut, “I love you
too, Ike..”
Aku tersenyum, dan, demi melihat senyuman
Margee yang manis, aku lalu mengecup bibirnya.. Margee menatapku, pipinya
bersemu merah. Kurasa aku benar-benar dimabuk cinta saat ini.
“Nah,” kataku kemudian. “Ayo kita keluar
dari sini,” aku bangkit berdiri sambil menggamit tangan Margee.
“Guys! Kalian bisa buka pintu sekarang,
kami sudah selesai!” seruku. Aku mengedipkan sebelah mata pada Margee, ia
tertawa ringan.
Langsung terdengar jawaban dari balik
pintu, “Cepat sekali, Ike?? Quickie tidak secepat itu juga kan?”
Lagi-lagi aku terbahak. “Sudah, cepat
buka pintunya, idiot..!”
Terdengar suara anak kunci bersinggungan
dengan lubang kunci, dan ketika kubuka pintu dari dalam, kulihat the gank
berjongkok semua di depan pintu kamar, mereka menyeringai pada kami.
Astaga.......
Terry langsung berkata, “Kok, tidak
kedengaran apa-apa? Padahal dari tadi kita stand by di sini!”
“Tidak sopan!” sahutku. “Sudah, bubar
semuanya!” seruku lagi sambil menahan tawa. Mereka ini tidak pernah berubah!
Mereka yang kumaksud tidak lain adalah,
Pers. Mereka yang bertugas mencari berita dan mengolah berita itu semaksimal
mungkin hingga memiliki nilai jual yang tinggi. Tidak peduli berapa besar
persentase kebenaran yang terkandung dalam berita yang mereka buat. Juga tidak
peduli apakah berita yang mereka buat itu menyinggung pihak yang terkait atau
tidak. Seperti yang kualami sekarang ini.
Pagi-pagi aku mendapatkan kejutan manis
dari salah satu media cetak langgananku. Mereka memuat artikel mengenai diriku,
dengan judul yang fantastis, dicetak dengan huruf besar dan tebal : "Royce
Beauregard Mandul."
Judul yang singkat, padat, jelas, dan
menusuk hati.
Kuakui, aku memang tidak memberikan
kontribusi gol pada pertandingan-pertandinganku beberapa bulan terakhir ini.
Kuakui, mungkin aku memang tidak seproduktif seperti saat final Liga Champions
pertengahan tahun lalu. Setelah event itu aku memang merasa sedikit kurang
beruntung karena tidak bisa lagi menemukan celah untuk merobek jaring gawang
lawan. Pada event FIFA Club World Cup yang baru saja digelar akhir tahun
kemarin pun, aku juga tidak menemukan kesempatan untuk mencetak gol. Event yang
diadakan dengan mempertemukan para juara Liga Champions dari masing-masing
benua, dimana sudah pasti asa para pecinta sepak bola di seluruh Eropa tertuju
pada Brandt, dan padaku sebagai ujung tombak.
Dan inilah hasilnya. Judul berita yang
fantastis itu tadi, ditujukan khusus untukku.
Tapi pantaskah aku dicap mandul hanya
karena setengah tahun terakhir aku sulit mencetak gol??
Hal ini menjadi beban tersendiri untukku,
dan telak membuatku galau.
Kuhubungi Fez, dia rupanya baru kembali
dari liburan di Las Vegas. Gaya hidupmu Fez, terlalu hedonis, pikirku. Kuajak
dia untuk makan siang bersama di Cafe Royal, cafe favorit Fez tak jauh dari Piccadily, dan Fez tanpa banyak komentar mengiyakan ajakanku.
"Kau tak usah pikirkan sampai
sebegitunya, Royce," komentar Fez begitu kuceritakan apa yang mengganggu
pikiranku.
Dia melanjutkan, "Kau tahu sendiri
pers itu seperti apa! Kau harus paham, mereka itu tidak peduli apapun selain
tulisan kacangan mereka laris terjual!"
"Yeah dan aku yang menjadi subyek
dalam tulisan kacangan mereka. Tidak hanya koran langgananku yang memuat berita
itu! Coba kau lihat di koran lain, atau di media online! Mereka seperti sepakat
menjatuhkanku!" sahutku.
"Kau benar, dan seperti itu jugalah
posisimu saat kau menjadi anak baru di Brandt, kau ingat? Kau mencuri perhatian
dunia karena prestasimu. Dan seluruh dunia bisa mengetahui prestasi dan
bakatmu, itu semua karena apa? Pers. Tentu saja pers. Mereka yang berada di
balik kesuksesanmu! Tapi jangan lengah juga, karena dari mereka jugalah yang
menentukan kehancuranmu di masa depan.. Itu kalau kau tidak bijak menyikapi hal
ini."
Aku terdiam.
"Untuk apa kau beratkan pikiranmu
pada kicauan pers, Royce? Tugas mereka memanglah membuat berita yang fantastis,
itu saja! Fantastis dalam arti positif, atau negatif, itu tergantung pada
usahamu. Bisakah kau membuktikan pada mereka, dan pada dunia, kalau kau tidak
mandul. Begitu kan?"
Aku menarik nafas panjang.
"Kau pasti bisa menghapus anggapan
mereka itu, berpikirlah positif."
"Entahlah."
Fez menatapku. "Kurasa kau ini
memang butuh liburan, Royce. Kau belum pergi berlibur kemana-mana kan, beberapa
tahun ini?? Itu tidak baik, memangnya kau tidak merasa jenuh? Kemarin kuajak
kau ikut denganku ke Vegas, kau malah menolak. Padahal tidak setiap hari juga
aku berjudi di sana," Fez terbahak.
"Tujuanmu berwisata terlalu berat
bagiku."
"Ok. Lalu kenapa kau tidak liburan
ke tempat-tempat yang kau suka? Jadwalmu tidak sepadat itu juga kan."
Aku menarik nafas. Aku memang kurang suka
berpetualang. Aku lebih suka berdiam di rumah, duduk di depan perapian sambil
membaca buku. Lebih indah lagi jika ditemani oleh pasangan hidupku..
"Bawa pacarmu, berjemur di
Maldives," Fez duduk bersandar sambil menyilangkan tangan, pandangan
matanya tampak menerawang jauh. "Lalu minta ia untuk berpose.. latar
belakangnya adalah langit laut sore dengan semburat merah dan jingga di ufuk
barat.. Dan akan kulukis ia. Pasti akan menjadi mahakaryaku."
Fez malah berkhayal aneh-aneh, aku
menggelengkan kepala. "Itu kan impianmu, Fez. Aku tidak bisa
melukis."
"Ha! Memang kau tidak punya impian
sama sekali, heh, Royce?? Impian itu adalah motivasi, bro! Coba kutanya
sekarang, apa impianmu?"
"Apa?"
"Apa impianmu?? Menjadi pemain sepak
bola? Itu profesimu sekarang! Membawa Brandt menjuarai Liga Champions, atau
menjuarai EPL? Mencetak gol kemenangan di ajang Piala Dunia tahun ini? Menikah?
Berkeluarga? Menemukan pengganti Audrey..."
Kupotong Fez sebelum dia melanjutkan
lebih jauh. "Cukup."
"Ah, ingat Audrey aku jadi ingat
sesuatu! Kau ingat Margee? Teman Isaac yang kubilang, sangat mirip dengan
Audrey?"
Aku mengangguk.
"Dulu sudah kukatakan padamu, kan,
Royce. Kalau kau memang berminat pada Margee, segeralah bangun, lari dan
kejarlah gadis itu! Karena sekarang ini kau sudah terlambat! Margee dan Isaac
sekarang sudah resmi berhubungan. Bagaimana?"
"Bagaimana apanya? Yaa biar saja.
Sejak awal berkenalan dengan Margee, aku tahu ia dan Isaac memang pasangan yang
cocok dan saling mencintai."
"Hmm.. ternyata kau tidak begitu
terpengaruh dengan keadaan Margee yang mirip sekali dengan Audrey."
Sejak pertama kali berkenalan dengan
Margee, aku memang selalu terbayang-bayang Audrey. Aku merasa kagum sekaligus
heran, kenapa bisa ada dua orang yang mirip di dunia ini? Karena Margee sangat
mirip dengan Audrey, kekasihku yang sudah pergi meninggalkanku. Dan aku yakin,
kasus kemiripan kedua wanita ini bukan karena mereka bersaudara, seperti kasus
kemiripan sahabatku Fez dan Isaac.
"Lalu? Margee juga sudah diberitahu
soal kau dan Isaac?" aku menyesap tehku perlahan.
Fez menghela nafas. "Sudah pasti.
Itu hal pertama yang dilakukan Isaac. Dengan begitu ada orang luar yang
mengetahui keadaan ini, yaitu mantan Isaac, Tanya. Aku tidak yakin ia bisa
menjaga mulut. Makanya aku dari awal tidak setuju Isaac membocorkan hal ini
pada Tanya!"
"Semoga saja Tanya tidak
membocorkannya pada orang lain lagi."
"Yeah, cuma bisa berharap
begitu."
"Sudahlah, gadis itu sudah terlanjur
tahu, mau bagaimana lagi?" kataku.
Kami terdiam beberapa saat.
"Segera carilah pendamping untukmu
sendiri, Royce. Kurasa kau bisa galau begini salah satu faktor penyebabnya
adalah karena kau tidak tersalur sedemikian lamanya," celetuk Fez.
Aku terkejut. "Apa urusanmu, Fez?
Sialan kau."
"Sudah kubilang, tidak perlu 100%
menjadi orang baik, bersikaplah bengal sedikit, Royce. Tak akan ada yang
dirugikan."
"Terserah apa katamu," kulempar
tissue kertas yang sedari tadi kuremas pada Fez. "Ayo pulang!"
Kami menyusuri Regent street yang
bersalju. Aku sengaja mempercepat langkahku agar tidak terlalu merasakan udara
dingin yang menggigit, namun Fez masih terus berceloteh tanpa henti.
"Aku kenal kau dengan baik,"
ulang Fez kesekian kalinya. "Kali ini dengarlah kata-kataku, kau itu
sedang sangat membutuhkan liburan! Jenuh, lelah, jengkel dengan tulisan media,
oh, aku tahu betul apa yang kau rasakan! Saatnya kau mencari tempat untuk
melarikan diri sejenak, Royce."
Aku menarik nafas panjang, dapat kulihat
hembusan nafasku berwarna putih. "Yeah. Mungkin."
"Bukan mungkin lagi! Memang seperti
itu! Dengarkan kata-kataku!"
"Yea aku dengar."
"Ah, begini saja Royce. Tanggal 13
aku dan semua rekanku di GT Forrier akan bermain ski di Italia, kau ikut saja!
Jangan menolak!"
"Acara gathering tim-mu kan? Aku
sama sekali bukan bagian dari tim-mu, Fez."
"Tak apa! Mereka sudah mengenalmu
dengan baik, Royce. Kurasa tidak masalah kalau kau ikut kami. Toh, hanya acara
jalan-jalan biasa. Bagaimana? Ayolah!"
Aku terdiam.
Fez melanjutkan lagi, "Jangan kau
anggap remeh keadaanmu seperti yang sekarang ini, kau itu HARUS berlibur."
"Berapa hari kalian di sana?"
"Kenapa?" Fez terdiam sejenak.
"Ah! Memang kau ada jadwal tanding lagi tanggal berapa?"
Kami berdua berhenti, menunggu lampu lalu
lintas menyala hijau. Aku menarik nafas, "18. Kurasa sangat mepet. Tak
usahlah, biar kucari waktu lagi."
"Jangan. Sudahlah kau ikut
saja!"
Fez masih saja memaksa. Aku paham aku
memang butuh liburan, tapi tidak mendadak seperti ini juga.. Kulihat lampu
menyala hijau, dan kami berdua menyeberangi jalan.
"Kau butuh suasana baru, Royce.
Sekarang juga, jangan ditunda," kata Fez lagi.
Kudengar suara orang-orang dari kejauhan,
mereka meneriakkan sesuatu. Tapi sebelum aku sempat menoleh, kulihat sebuah
mobil SUV hitam melaju tanpa kendali menuju ke arahku dan Fez!! Sialan!!
Aku refleks melompat, kurasa lenganku
sempat terbentur spion mobil itu, dan aku mendarat jatuh di atas trotoar.
Untungnya salju cukup tebal! Kurasa aku tidak apa-apa, hanya sedikit nyeri
kurasakan pada lenganku, tapi bagaimana dengan Fez??
Orang banyak mulai berkerumun kira-kira
sepuluh meter dariku, dan kulihat Fez tergeletak tak berdaya di tengah jalan!!
Oh Tuhan! Apa yang terjadi??
Tanpa menghiraukan nyeri pada lenganku,
aku melompat bangun dan berlari mendekati Fez. Dia terbaring di sana,
sepertinya tidak sadarkan diri!
"Fez!!" panggilku, aku berlutut
di sampingnya. Kulihat tak ada darah atau apapun di sekitarnya, kuharap dia
tidak mengalami luka yang serius! Aku harus segera membawamu ke rumah sakit,
bertahanlah!! Tapi.. tapi bagaimana aku membawamu, bagaimana aku tahu
seandainya ada tulangmu yang retak, dan bagaimana caraku menggotongmu naik ke
mobilku tanpa membuat keadaanmu menjadi lebih parah??
"Kau.. Royce Beauregard kan?"
terdengar suara dari kerumunan orang.
Terdengar lagi sahutan, "Yeah, kau
Beauregard, dan yang tertabrak adalah Ferris Rutherford..! Oh Tuhan..!"
Aku tidak memedulikan mereka,
"Tolong bantu kami, bawa Ferris segera ke rumah sakit..!!" kataku
setengah berteriak.
Seorang pria paruh baya mengangkat
tangannya dari kerumunan orang itu, "..Saya sudah menelepon ambulans tadi,
Royce Beauregard, mereka akan segera tiba di sini..!"
"Ya, lebih baik jangan sentuh korban
sampai tenaga medis datang! Kita tidak tahu korban terluka seperti apa!"
Oh Tuhan.. Fez, bertahanlah! Paling tidak
bangunlah, buka matamu, Fez!
"Aku.. Aku lihat kejadian
tadi...!" seru salah seorang lagi dari tengah kerumunan. "Mobil hitam
itu seperti kesetanan dari arah selatan! Setelah menabrak Ferris, dia langsung
kabur begitu saja!!"
Mobil itu tadi! "Adakah di antara
kalian yang sempat melihat nomor plat mobil itu??" tanyaku.
Tak ada sahutan.
"Kurasa aku ingat nomor
platnya.." seorang pemuda bertubuh kurus mengangkat tangannya.
"Bagus! Tolong bantu kami untuk
melaporkan kejadian ini pada polisi, mau ya??" aku sungguh cemas sekali.
Fez sama sekali tidak sadarkan diri.... Pun ketika akhirnya mobil ambulans
datang dan membawa Fez ke rumah sakit, Fez masih tetap tidak sadarkan diri.
Aku berjalan mondar-mandir di ruang tunggu.
Fez langsung dibawa ke unit gawat darurat tadi, namun sampai sekarang belum ada
kabar lagi! Ya Tuhan, mohon lindungi Fez! Berilah kekuatan padanya!!
James dan Evelyn, serta Gale dan Phedra,
juga sudah ada di ruang tunggu ini bersamaku. Mereka pun terlihat cemas
sepertiku, Phedra sedari tadi tidak henti-hentinya berdoa. Isaac muncul
setengah jam kemudian, dia bersama dengan Margee. Benar rupanya kata Fez, Isaac
dan Margee sudah resmi berhubungan.. Kurasakan kabut tipis menyelubungi rongga
dadaku, tapi segera kutepis perasaan itu. Apa yang kau pikirkan Royce?? Saat
ini sahabatmu tengah berjuang mempertahankan hidupnya di dalam ruang gawat
darurat! Kau malah masih memikirkan wanita?!
Aku memalingkan wajah.
"Beau," Isaac menepuk bahuku,
aku menoleh. "Sebenarnya apa yang terjadi?" air muka Isaac terlihat
bingung dan cemas.
Aku menarik nafas panjang. "Kami
baru selesai makan siang, dan ketika kami menyeberang, sebuah SUV hitam
meluncur tanpa kendali.. dan menabrak kami berdua. Aku hanya terserempet, tapi
Fez.. aku tidak tahu bagaimana dengannya, tapi sejak kejadian tadi sampai
sekarang dia tidak sadarkan diri," aku menarik rambutku dengan kesal.
"Aku bersumpah, jika pengemudi mobil itu tertangkap... aku tak akan
membiarkannya lolos dari jerat hukum!"
Isaac memejamkan mata. "Kita semua
berharap tidak terjadi apa-apa pada Fez..!" ujarnya. "Christ, rupanya
inilah jawaban atas kecemasan tak beralasan yang kurasakan semenjak bangun
tidur tadi!" nada suara Isaac terdengar getir.
Pintu ruang gawat darurat terbuka, dan
seperti dikomando, kami bertujuh langsung menghampiri dokter yang menangani
Fez. Kulihat ketegangan dari raut muka dokter itu, tapi dia tampak berusaha
keras menyembunyikan raut wajah itu dengan senyuman yang simpatik.
"Selamat sore. Mohon maaf, pasien
saat ini belum bisa ditengok," ujar dokter. "Maaf, siapakah di antara
Anda semua yang merupakan orangtua dari pasien?"
Aku menoleh pada James dan Gale. Kulihat
mereka berpandangan sejenak, lalu James maju dan menjawab, "Saya.. saya
ayahnya."
Dokter tersenyum, "Mari ikut ke
ruangan saya sebentar.." ujarnya sambil berlalu.
James dan Evelyn, kebingungan dan
kecemasan makin nyata terlihat, tapi tanpa banyak komentar mereka langsung
mengikuti dokter.
"Perasaanku tidak enak..."
desis Phedra.
Gale menyahut, "Berpikirlah positif,
sayang."
"Dokter itu... dia cuma harus
mengatakan, Fez hanya luka lecet dan bisa langsung pulang ke rumah! Atau yang
paling parah, Fez mengalami patah tulang dan harus menjalani perawatan sekian
lama! Kenapa dokter itu tidak mengatakan apa-apa dan malah meminta berbicara
khusus dengan papa mama??" ujar Isaac kesal.
"Mungkin ada yang harus ditanyakan
pada papa mama kamu, Ike.." Margee meletakkan tangan di bahu Isaac.
"...Sabarlah.."
Kami semua di sini merasa sangat cemas
padamu, Fez. Kuharap kau tidak menderita luka yang serius dan bisa cepat pulang
ke rumah!
Tak lama James dan Evelyn keluar dari
ruangan dokter, tampak kesedihan dari raut wajah keduanya. Perutku serasa
diaduk.. Apa yang dikatakan dokter??
"James! James, bagaimana, apa kata
dokter??" Gale menghampiri James.
James terdiam.
Isaac mendesak, "Pa, cepat beritahu
kami apa yang tadi dokter katakan...? Bagaimana keadaan Fez, dia tidak
kenapa-kenapa, kan?"
"Fez..." bergetar suara James.
"..Kecelakaan itu.. langsung berpengaruh pada syaraf tulang belakangnya.. Dan... dokter mengatakan Fez
tidak akan pernah bisa berjalan lagi.."
Lututku terasa lemas. Tuhan, ini tidak
benar!
"Apa... apa yang kau katakan,
Pa??" Isaac panik. "Tidak bisa berjalan lagi, apa maksudnya??"
James tercekat, "Fez lumpuh..
Isaac.."
Tidak.. Kumohon Tuhan, apa yang telah
kulakukan pada Fez??
"Itu tidak mungkin!! Tidak mungkin!!
Dokter pasti salah menganalisa!!" Isaac langsung berlari dan mendobrak
masuk ke ruang rawat Fez.
Tanpa sadar aku mengikuti Isaac masuk ke
kamar Fez.
.. dan melihat Fez terbaring di tempat
tidur. Dia sudah sadar. Dia melihat kami masuk, lalu tersenyum lebar. "Hey,
Ike! Hey, Royce!"
Isaac mendekati Fez. "..Hey, Fez.
Bagaimana keadaanmu?"
"Yea I'm good! Hanya luka kecil,
pasti sebentar lagi juga boleh pulang!"
Kau...? Apa kau tidak tahu keadaanmu?
"..Benarkah? Apa yang kau rasakan sekarang?" tanyaku.
Fez menyentuh lengan kiri atasnya.
"Hanya sedikit nyeri, itu saja. Kau tidak apa-apa? Kau tertabrak juga
kan?"
"Aku.. aku hanya terserempet."
"Kurasa pengemudi mobil itu sakit
jiwa, atau mabuk! Telak sekali dia menabrakku!"
"Kau ingat kejadian tadi?
Semuanya?"
"Tentu! Apa kau sudah laporkan
kejadian ini?"
Aku mengangguk. "Ya, polisi sedang
melacak keberadaan pengemudi itu, kau tenang saja."
"Baguslah!"
Apakah Fez benar-benar tidak tahu
keadaannya yang sekarang ini?
"Pa, Ma? Kalian semua datang
juga?" Fez menyapa James, Evelyn, serta Gale dan Phedra yang baru masuk ke
dalam ruangan. Margee menyusul di belakang mereka. "Eh.. ada Margee. Ike,
kau pasti sedang kencan dengan Margee tadi ya?"
"..Oh. Ah, iya, kau tahu saja,"
sahut Isaac. Wajahnya terlihat bingung.
Mungkin dia sama bingungnya sepertiku. Fez
masih bersikap seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa padanya!
Aku memberikan tempatku pada Evelyn,
kulihat air mata sudah membasahi wajahnya. Ia membungkuk dan memeluk Fez.
"Sayang.. sayang.. tabah dan kuatkan hatimu ya, Fez..? Kami mencintaimu,
kamu tahu kan..? Kamu harus kuat.."
"Hey, Ma, aku tidak apa-apa, kenapa
menangis seperti itu??" Fez melihat Phedra juga telah bercucuran air mata,
"Mama Phedra juga kenapa menangis?? Ada apa sih ini?? Kalian ini aneh!
Seperti menganggapku akan lumpuh atau mati saja!"
Kami semua terkejut mendengar kata-kata
Fez.
"Kalian tidak percaya aku baik-baik
saja?" kata Fez lagi. "Kutunjukkan ya, aku akan turun dari tempat
tidur ini dan melompat-lompat! Kalau perlu aku berlari sampai ke rumah
Highgate! Lihat!"
Fez menyingkirkan selimutnya, dia mencoba
untuk turun!!
James berseru, "Fez! Fez, kamu
jangan nekat!!"
Kulihat Fez mendorong kedua kakinya
dengan tangan hingga turun dari tempat tidur. Gale dan James turun tangan
menahan Fez agar tidak nekat. "Fez, kumohon, jangan lakukan ini!"
ujar Gale.
Tapi Fez menepis kuat-kuat tangan James
dan Gale sembari berteriak, "Jangan menahanku!" Fez menapakkan kaki
ke lantai... dan dia langsung jatuh terjerembab.
Spontan kutolong Fez, lalu James dan
Isaac membantunya naik kembali ke tempat tidur. Terdengar erangan Fez,
"....tidak mungkin.. aku tidak mungkin begini ... tidak mungkin aku
lumpuh...!! Tidak mungkin!!!"
Aku tak percaya dengan penglihatanku! Oh
Tuhan.... Kakinya... seperti karet! Seperti tidak lagi bertulang, kedua kakinya
sudah tidak mampu lagi menahan bobot tubuhnya sendiri! Jangankan untuk
berjalan.. untuk berdiri saja Fez tidak sanggup!! Dia.. dia benar-benar
lumpuh??
Isaac meninju dinding koridor kuat-kuat,
lalu menyandarkan kepalanya pada satu tangan di dinding. "...Ini tidak
mungkin...." desisnya.
Margee mendekati Isaac dan mengusap
punggungnya. "Ike... Kamu harus kuat.."
Isaac menoleh pada Margee, "..Kamu
lihat seperti apa keadaannya ketika dia berdiri tadi? Kakinya sudah seperti
kain! Dia... dia berdiri saja tidak bisa, Marg..!" ujarnya dengan suara
tertahan. "..Fez seorang atlet.. dan bagaimana jika seorang atlet
kehilangan kedua kakinya?? Karirnya tamat sudah!!"
Kulihat Margee tidak bisa berkata apapun
lagi, hanya air mata mengalir di kedua pipinya.
"..Fez.. bagaimana nasibnya kelak..?
Dia pembalap nomor satu sekarang ini! Dia Juara Dunia, bagaimana
bisa....."
"Isaac, cukup!!" seru James. "..Cukup! Bukan kau saja yang
menanggung beban!"
Ya. Semua yang terjadi hari ini.. Malapetaka
yang menimpa Fez ini.. Bukan kepada keluarga inilah beban berat ini ditanggung.
Tapi padaku. Aku yang mengajak Fez pergi makan siang. Aku yang mengajaknya
pergi hari ini. Ke tempat kejadian terkutuk itu. Semua ini menimpa Fez.. Fez
kehilangan kedua kakinya karena perbuatanku.
Ah! Seandainya saja aku tidak mengajaknya
pergi!! Seandainya saja tujuan kami bukan ke Piccadilly!! Mungkin saat ini Fez
masih bisa berdiri dan berlari dengan kedua kakinya yang utuh!! Dan aku tidak
memutus karir dan statusnya yang tengah berada di puncak saat ini!!
Oh Tuhan, mengapa Kau begitu tega
merancang hal ini untuk terjadi padaku dan pada Fez, mengapa??
Chapter 20. 17 Januari 2004
Sudah beberapa minggu Fez dirawat di
rumah sakit. Berita mengenai kecelakaannya pun sudah sampai di seluruh penjuru
dunia. Media massa di seluruh dunia ramai membahas tentang kecelakaan fatal
yang menimpa Fez. Wajar saja, Fez yang baru beberapa bulan menikmati kursi
singgasana juara dunia F1, sudah harus melepas impian dan cita-citanya karena
lumpuh. Penyakit yang bisa dibilang sebagai akhir dari perjalanan karir seorang
olahragawan, ataupun pembalap seperti Fez.
Banyak wartawan dan juga reporter
televisi yang ingin mewawancarai dan mengambil gambar Fez, namun semuanya
ditolak, tidak diperkenankan bertemu ataupun mengambil gambar Fez.
Fans-fans fanatik Fez dari seluruh
penjuru dunia berbondong-bondong pergi ke London, ingin menjenguknya. Namun Fez
menolak, ia tidak mau dikasihani. Dia benci membayangkan pandangan penuh belas
kasihan dari fansnya. Dia benci dikasihani, baginya hal itu merendahkan
martabat dirinya.
Tentu hal ini mengecewakan para
penggemar, namun mereka tetap saja ingin menunjukkan rasa simpati mereka yang
terdalam. Maka mereka mengumpulkan bunga-bunga dan meletakkannya di depan rumah
sakit, dan berdoa agar Fez cepat sembuh dan pulih. Setiap hari halaman rumah
sakit tempat Fez dirawat, penuh dengan bunga dari para penggemar..
Namun, Fez tidak peduli pada apa yang
dilakukan para penggemarnya untuknya.
Teman-teman dari GT Forrier, bahkan
sampai presiden tim GT Forrier dan presiden FIA rutin menjenguknya dan
menemaninya. Mula-mula Fez senang akan kedatangan mereka, namun lama-lama Fez
marah, Fez merasa mereka datang hanya karena rasa kasihan, ditambah, beberapa
minggu lagi Grand Prix 2004 akan segera dimulai, yang tentunya Fez tidak akan
bisa mengikutinya. Fez sungguh marah, dan mengusir semua teman-temannya dan
orang-orang yang terkait dengan tim GT Forrier, dan berkata bahwa dia tidak mau
dikunjungi oleh mereka lagi.
Teman-temannya heran akan penolakan Fez.
Namun mereka sadar dan ingat bagaimana sifat Fez dibalik sifatnya yang
menyenangkan dan ramai; angkuh, sombong, egois dan yang terutama: benci
dikasihani.
Maka mereka memutuskan untuk sementara
waktu tidak menjenguk Fez dulu, hingga suasana hatinya baik kembali.
Suatu siang, di rumah sakit.
Fez sedang terlelap.
Dia bermimpi tentang kecelakaan yang
menimpanya itu. Dia berhadapan dengan sebuah SUV yang melaju sangat kencang,
dan dia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya berdiam diri....
“...Fez? Hey Fez?” tegur Isaac sambil
menepuk-nepuk pelan pipi Fez.
Fez tersentak dan terbangun.
“Ada apa? Kau bermimpi buruk ya?”
Fez menghela nafas, “....Rupanya kau,
Ike. Iya, aku bermimpi tentang kecelakaan yang menimpaku kemarin.”
Isaac terdiam.
“Kau sendirian..?” tanya Fez.
“Iya, papa dan mama sedang makan di
bawah. Oh ya, ada kabar baik. Kau akan diperiksa sekali lagi, dan kalau
hasilnya baik, kau sudah boleh pulang ke rumah!”
Fez tersenyum hambar. “.....Hmm. Sebentar
lagi season 2004 akan dimulai ya. Kau harus bersyukur, masih punya badan yang
utuh, tidak cacat sama sekali." Fez menaikkan alisnya, "Tentu
fans-fansku akan sangat kecewa mengetahui aku cuma bisa berbaring tidak berdaya
di sini. Aku tak mungkin lagi bisa tanding di sirkuit.”
“Fez, kau salah! Justru mereka prihatin
dan bersimpati padamu! Bisa kau lihat di bawah sana, fans-fansmu itu setiap
hari berdatangan ke sini. Dan karena kau menolak menemui mereka, mereka hanya
bisa meletakkan bunga di depan pintu gerbang sebagai tanda simpati mereka
padamu. Mereka menyayangimu, dan aku yakin mereka akan tetap memujamu.”
“Yeah, paling dalam waktu beberapa bulan
mereka sudah melupakanku, percayalah! ...Oh, ya. Dengan tidak adanya
keberadaanku, sekarang kau tak ada saingannya lagi, ya? ..Oh, lupa. Masih ada
Grønbaek. Berarti cuma dia seorang yang menjadi saingan beratmu, kan? Kau pasti
bisa deh, menang terus.”
“Sudahlah, jangan bicara seperti itu!”
Fez tersentak. Dia menatap Isaac yang
sedang menatapnya dengan pandangan prihatin, pandangan yang paling Fez benci.
Fez membuang muka dan berkata, "Pergi.”
“Apa?”
“PERGI!! Pergi kau jauh-jauh!!” bentak
Fez.
Isaac mengangguk, walaupun masih merasa
sedikit kaget karena dibentak. Dia pun pergi meninggalkan kamar Fez. Dalam
beberapa minggu itu, Isaac sudah terbiasa akan bentakan-bentakan Fez. Akan
kemarahan-kemarahan Fez. Isaac tidak mau memasukkan hati kata-kata kasar Fez,
sebab dia sadar, pasti sulit bagi Fez untuk menerima kenyataan pahit yang
dialaminya. Sungguh ingin sekali dia meringankan penderitaan Fez. Ingin sekali
dia yang mengalami lumpuh, bukannya Fez. Fez sudah terlalu banyak menderita,
menurutnya. Sebagai anak yang pernah dibuang oleh orangtuanya, sungguh tidak adil
jika kini kebahagiaan akan karirnya yang sukses pun direnggut, karena
kecelakaan itu.
Fez duduk melamun di ranjangnya, dengan
mata menerawang jauh entah kemana.
‘Kenapa? Aku ini seorang pembalap! Kenapa
aku sekarang terbaring tidak berdaya di tempat terkutuk ini?! Kenapa aku!?
Kenapa harus aku, Tuhan???! ....Apa ini balasan dari-Mu? Apakah ini balasan
atas apa yang telah kuperbuat selama ini? Kalau begitu kumohon maafkan aku,
Tuhan... kumohon! Aku tidak ingin menjadi cacat! Aku benci dengan keadaanku yang
sekarang ini! Aku sama sekali tidak bisa apa-apa! Aku akan selalu tergantung
belas kasihan orang lain! Aku takkan bisa lagi mengikuti Grand Prix – Grand
Prix Formula 1! Ini mimpi yang sangat buruk bagiku, Tuhan!! Bahkan lebih buruk
dari kematian!! Kumohon mukjizat-Mu, Tuhan... aku tak ingin menjadi seperti
ini!! Kumohon dengarlah doaku!’ mohon Fez dalam hati dengan pedih.
Terdengar suara ketukan pintu kamarnya.
‘Ah, taik! Siapa lagi, sih?!’ sungut Fez
dalam hati.
Pintu terbuka, dan seorang wanita muda
masuk ke dalam kamar Fez. Wanita itu sangat cantik. Ia bertubuh tinggi
langsing, rambut lurusnya yang hitam sebahu tampak berkilau dan sehat. Parasnya
yang cantik dan lembut memancarkan aura dan pesona dari dalam dirinya.
“Hai.. Kamu masih ingat aku, kan..?” sapanya
sambil tersenyum lembut.
Wanita itu, Holden Bannister (21), adalah
seorang aktris dan model ternama asal Scotland. Tahun lalu ia pernah
bersama-sama dengan Fez dan Shawn Renan membintangi iklan mobil Forrier
keluaran terbaru.
Fez mengerutkan kening. “..Hollie?”
Hollie tersenyum dan berjalan mendekati
Fez. “Kupikir kamu sudah lupa. Apa kabar..?”
Fez tersenyum hambar. “Yah.. beginilah.
Menyedihkan.”
“..Aku turut prihatin atas musibah yang
kamu alami ini, Fez.. Semoga kamu cepat sembuh, ya..?”
Fez mengibaskan tangan dan membuang muka.
“Tidak. Jangan kasihani aku. Kalau kamu datang hanya untuk menyatakan belas
kasihan dan rasa prihatinmu padaku, maaf, dengan tegas aku menolak dan silakan
pergi dari sini.”
Hollie terenyak. “..Maaf kalau aku
menyinggungmu..”
Pintu kamar Fez terbuka dan Royce masuk.
“Hei, Fez!” sapanya. “Oh, kau sedang ada tamu.”
Hollie menatap Royce dan tersenyum. Ia
mengulurkan tangannya pada Royce, “Hai. Kamu Royce Beauregard, kan..? Aku tahu
kamu. Pemain muda berbakat yang menyabet banyak penghargaan FIFA, dan aku tahu
kamu adalah sahabat Fez sejak kecil. Apa kabar, aku Hollie..”
Royce membalas senyum manis Hollie dan
menyambut uluran tangannya. “Siapa yang tidak mengenalmu? Sang penakluk
Hollywood dengan pesona dan kemampuan akting yang luar biasa..!”
Hollie tersipu, “Ah, kamu berlebihan..”
ujarnya merendah.
Percakapan Royce dan Hollie terhenti
ketika mendengar Fez berdeham keras, “Kalian berdua bisa pergi sekarang. Aku
sedang malas bertemu siapapun, aku mau istirahat. Datanglah kembali, kapan-kapan.
Tapi jauh lebih baik kalau kalian tidak pernah ke sini lagi. Sana pergi!”
usirnya.
Royce mengangkat bahu. “Okay. See you,
Fez. Yuk, Hollie! Kita pulang bareng,” ajaknya sambil meraih lengan Hollie dan
menariknya keluar. Sementara Hollie yang masih sedikit heran dan shock karena
kata-kata Fez tadi, hanya menatap Fez tidak mengerti.
“..Dia benar-benar tidak menginginkan
kedatanganku, ya..” keluh Hollie ketika ia dan Royce sudah berada di luar kamar
Fez.
Royce menatap Hollie. “..Apa yang terjadi
tadi, apa kamu membuatnya tersinggung?”
Hollie menggeleng pelan. “Aku tidak tahu
dia tadi sebenarnya tersinggung atau tidak, tapi kata-katanya memang ketus..
padahal aku cuma mengutarakan rasa simpatiku padanya, dan mendoakannya supaya
cepat sembuh..!”
Royce tersenyum, “Ya, dia tersinggung
kalau begitu. Dia paling benci dikasihani. Dia juga tidak mau terlihat lemah
dan tidak berdaya, apalagi di hadapan seorang wanita cantik sepertimu. Kau
lihat banyak orang berbondong-bondong di luar sana, meletakkan berbuket-buket
bunga dan berdoa? Mereka itu fans-fans Fez. Fez tidak mau menemui mereka,
alasannya ya itu tadi, dia tidak mau dikasihani.”
“..Lalu.. apa yang harus kulakukan jika
sedang menjenguknya?”
“Ya.. bicarakanlah hal-hal lain selain
kecelakaan yang menimpanya, kelumpuhannya, dan juga perkembangan dunia F1,
dunianya. Kalau kamu membicarakan hal itu, dia bisa tersinggung dan marah. Dan
kalau sudah marah, dia bisa membentakmu dengan keras.”
Hollie menatap Royce tidak percaya.
“Sebelum lumpuh saja dia memang
temperamen, apalagi setelah mengetahui kakinya lumpuh! Bisa kamu bayangkan
sendiri, kan? ..Well.. Yah, itulah yang sering dia lakukan pada kami,
orang-orang yang sering menengoknya. Tapi kami sudah terbiasa mendengar
bentakan-bentakannya,” lanjut Royce.
“Tapi.. aku masih ingin menjenguknya, apa
dia masih mau menerimaku..?”
“Tentu, sejauh kamu tidak
menyinggungnya.”
Hollie meletakkan tangannya di belakang
leher dan memijat tengkuknya. “..Aku baru tahu dia setemperamen itu..”
“Beau!”
Mendengar namanya dipanggil, Royce
menoleh dan mendapati Isaac sedang berjalan dengan langkah lebar ke arahnya.
“Hey, Ike!” sapa Royce.
Isaac melihat wanita yang sedang bersama
Royce. “Lho, kamu kan..”
“Kenalkan Hollie, ini Isaac Renauld. Ike,
dia Holden Bannister,” ujar Royce, sementara Isaac dan Hollie saling
bersalaman.
Hollie tersenyum menatap Isaac. “Kamu
memang benar-benar mirip, ya, dengan Fez? Apa kamu yakin, kamu dan Fez tidak
punya hubungan darah sedikitpun..?”
Isaac menjawab dengan secercah senyum,
“...Yakin. Aku dan Fez hanya sahabat, kok,” jawabnya. Kemudian dia menatap
Hollie, "Kamu menengok Fez..?"
Hollie mengangguk. "Ya.. tapi
sepertinya dia tidak senang melihatku.. Padahal sudah lama kami tidak
bertemu.."
Royce menyahut, "Fez sedang tidak
ingin diganggu, Ike. Tadi dia sempat mengusirku dan Hollie. Moodnya sedang
buruk, rupanya."
“Oh, orang itu. Aku tadi sudah menjenguk
Fez, kok. Mengobrol sebentar, lalu tiba-tiba moodnya berubah dan mengusirku
juga. Ternyata dia juga mengusir kalian berdua?”
“Yeah. Kasihan Hollie, ia baru sekali ini
menjenguk Fez, dan langsung diusir seperti itu.”
Isaac menatap Hollie. “Maafkan dia, ya.
Dia memang sulit. Terlalu pemarah dan egois. Kuharap kamu tidak memasukkan ke
dalam hati jika dia berkata kasar.”
“Aku tadinya berpikir dia tidak senang
melihatku... tapi setelah mendengar bahwa Fez sekarang moody, aku jadi paham..
Dan setelah dipikir-pikir, siapa sih yang tidak emosional jika mengalami hal
yang dialami Fez..? Dia pasti butuh waktu untuk menerima kenyataan pahit ini..”
ujar Hollie seraya tersenyum.
Isaac dan Royce balas tersenyum.
Hollie menatap kedua pria yang sedari
tadi mengobrol dengannya itu dan berkata, “Oh ya, kalian berdua ada waktu,
sekarang? Kita minum kopi, yuk! Aku ingin sekali kenal lebih dekat dengan
kalian, dan kupikir.. kita bisa menjadi teman baik..!”
Mereka bertiga menghabiskan waktu dengan
minum kopi dan mengobrol, banyak hal. Dan berkat dukungan plus saran yang
berguna dari Isaac dan Royce, Hollie akhirnya tahu bagaimana cara menyenangkan
hati Fez dan tidak membuatnya marah.
Cara itu ampuh, dan kini Hollie bisa
lebih sering menjenguk Fez di rumah sakit dan menemaninya mengobrol.
Fez pun senang dengan Hollie, karena
baginya Hollie sangat enak diajak mengobrol, lagipula ia atraktif dan cerdas.
Fez lebih merindukan sosok Hollie ketimbang Isaac dan Royce, juga ketimbang
kedua pasang orangtuanya, karena menurutnya, Hollie merupakan ‘orang luar’ yang
tidak tahu apa-apa tentangnya, sehingga dia bisa lebih bebas bercerita.
Sering pula, Fez, Hollie, Isaac dan Royce
menghabiskan waktu bersama dan mengobrol... Hingga tidak terasa hubungan mereka
berempat kian akrab dan mereka menjadi teman baik.
-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-
No comments:
Post a Comment