Copyright © 2014 CamilleMarion All Rights Reserved
Chapter 11. Royce Beauregard
Sudah hampir dua minggu ini Fez menghabiskan waktu di mansionnya, asyik melukis. Entah angin apa yang merasukinya, karena biasanya jika jadwal sedang kosong dia pasti pergi berlibur dengan teman-temannya, entah traveling, atau bermain di Maldives. Dan hari ini, aku bermaksud mengunjunginya di mansion. Mansion Fez terletak cukup jauh dari London, jauh dari keramaian kota, dan tempatnya memang memberikan rasa nyaman, mungkin karena itu Fez betah berlama-lama mengurung diri di dalam rumah.
Ketika aku tiba di sana, benarlah, Fez ada di ruang lukisnya, dia bahkan sepertinya tidak menyadari kedatanganku.
"Hei, Fez!"
Fez menoleh. "Hai Royce! Kok aku tidak mendengar kau datang?"
"Kau mana mungkin sadar aku datang. Barangkali kalau ada penyusup yang masuk ke sini kau juga tidak bakal tahu, Fez," aku tergelak. Aku menarik kursi, lalu duduk. "Tumben. Liburan begini tidak kemana-mana. Tidak bosan?"
“..Aku sedang ingin melukis dan membuat banyak karya. Lebih memuaskan dan membuatku rileks.”
“Pelampiasan beban pikiranmu, huh?”
Fez tersenyum. “Yeah. Aku bisa gila karena stress memikirkan bagaimana cara menyelesaikan semua persoalanku.”
“..Dan hal itu sangat berefek pada penampilanmu di Grand Prix, kan?”
“Aku juga menyesal kenapa bisa berefek ke penampilanku. Padahal aku tidak pernah punya niat untuk menodai penampilanku. Apalagi.. hasil 4 seri kemarin yang jauh dari lumayan, dan tidak membantu menaikkan poinku di klasemen sementara. Semua ini gara-gara penampilan dan peruntunganku yang buruk semenjak seri keenam, Mei lalu. Well, ini adalah masa-masa terburuk untukku. Aku tidak tahu apakah aku masih bisa mengejar ketertinggalan poinku dari Alvarez, dan juga dari yang lainnya. "
Fez menarik nafas, sepertinya dia belum selesai mengeluh, "..Huh, padahal di awal tahun ini rencanaku adalah membalas kekalahanku dari Alvarez di tahun 2001. Tapi pada kenyataannya sekarang? Selisih poinku dan dia semakin jauh! Dia selalu fix di posisi pertama klasemen, sementara aku terus terlempar jauh ke belakang. Aku tidak bisa maksimal, sementara penampilan Alvarez selalu konsisten dan maksimal! ....Rupanya aku sudah menjadi seorang pecundang,” ujar Fez datar. “Ditambah lagi, aku selalu mendapat banyak tekanan terselubung dari tim mobilku sendiri, yang mengharap agar aku selalu memenangi tiap seri. Yang mengharap... ah, bukan, yang seakan memaksa agar aku mampu meraih dan mempertahankan posisi di puncak klasemen sementara pembalap, dan juga di puncak klasemen sementara konstruktornya. Damn, Royce. Aku tidak bisa bekerja di bawah tekanan seperti itu, apalagi tekanan itu berasal dari dalam!”
Keningku berkerut mendengar perkataan Fez, “Ini musim kelima kau berkecimpung di dalam Formula 1, Fez! Harusnya kau sudah biasa menghadapi tekanan-tekanan seperti itu! Entah tekanan dari timmu, atau tekanan yang muncul pada saat kau tanding! Kau masih bisa mengatasi segala macam tekanan seperti itu, kan?”
“Setiap orang punya batas kesabaran dan batas kemampuan.”
Huh? Fez berubah. Lama kupandangi dirinya. “...Ini bukan Fez yang kukenal. Fez yang kukenal selalu optimis! Tidak pernah menyerah dan selalu mau berusaha! Kau juga bukan tipe orang yang cepat menyerah jika sedang berada di bawah tekanan! Itu sebabnya kau eksis dan bertahan selama ini!”
Fez menghela nafas, “..Royce, dengar..”
Aku tidak memberinya kesempatan untuk bicara. “Look, Fez! Setelah lima tahun kau berkutat di F1, dan belasan tahun kau habiskan di ajang gokart, F3 dan segala macam itu, kau mau menyerah, hanya demi alasan ‘setiap orang punya batas kemampuan dan kesabaran’?!”
Fez memandangiku tidak bersuara. “Yaa.. mungkin bisa jadi catatan buatmu, jika Fez yang sekarang sudah tidak sama lagi dengan Fez yang dulu."
“Aku tidak percaya dan tidak pernah menyangka kau bisa jadi seperti ini. Apa kau rela, karirmu yang cemerlang ini rusak gara-gara beban persoalanmu yang tidak kunjung usai? ....Fez, kau tahu aku sangat ingin membantumu.”
“..Aku tahu maksudmu baik, Royce. Tapi thanks, aku bisa mengatasinya sendiri.”
Aku sahabatmu sejak lama, Fez. Rahasia apa tentangmu yang tidak kutahu, busuknya dirimu pun aku tahu, dan sekarang kau tidak bersedia berbagi masalahmu denganku? Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan?
Fez bangkit berdiri dan berjalan menuju dapur. “Kau mau Irish Coffee?” tawarnya.
“..Boleh.”
Aku bangun, lalu berjalan menuju ruang tempat penyimpanan semua hasil karya Fez. Dalam sekejap aku asyik melihat-lihat lukisan Fez semenjak sekolah hingga sekarang ini.
“Nih.” Fez tiba-tiba sudah berdiri di belakangku seraya menyodorkan secangkir Irish Coffee. Irish Coffee adalah kopi yang diseduh dengan whisky Irlandia dan disajikan dengan krim.
“Trims. aku boleh melihat-lihat, kan?”
Fez tersenyum. “Bolehlah, kenapa tidak,” ujarnya ringan sambil kembali fokus pada lukisan yang tengah digarapnya.
Sedari tadi aku tidak berhenti berdecak kagum melihat karya-karya lukisan Fez yang jumlahnya sudah mencapai ratusan itu. Semua lukisan yang dibuatnya – entah itu lukisan manusia, pemandangan alam, suasana maupun benda mati – membuatku terpesona. Detail tiap lukisan begitu mengagumkan dan membuat siapapun yang melihatnya terpesona dan takkan berhenti menatap. Termasuk aku, sekarang.
“Kenapa kau tidak mengadakan pameran saja, Fez? Lukisanmu sudah sangat banyak, dan semuanya, WOW!"
Fez menyahut, “Apa bagusnya?”
“Ini bagus, dude. Keren, cool. Jarang-jarang ada pembalap ambisius yang diam-diam jago melukis seperti kau.”
“Melukis cuma hobi untukku.”
“Kan lumayan kalau lukisanmu laku? Menambah tabungan,” kataku lagi. Kubuka kain penutup pada salah satu lukisan, dan aku terpana begitu mendapati sebuah lukisan wanita cantik sedang berdiri di atas batu karang dan terpaan ombak, seraya menatap langit laut yang mulai beranjak senja. Wanita dalam lukisan tersebut hanya mengenakan sehelai kain tipis, menampilkan siluet yang indah berlatar langit senja yang mengagumkan. Wanita itu menatap langit dengan pandangan dan sinar mata yang misterius – membuat siapapun yang melihatnya akan berpikir dan menerka-nerka apa yang sedang dilamunkan oleh wanita dalam lukisan tersebut. Detail yang mengagumkan, ditambah dengan keindahan langit senja dan deburan ombak... Jesus Christ. Ini masterpiece.
Fez rupanya menyadari aku terpikat pada salah satu lukisannya. “Itu kubuat tiga tahun yang lalu. Kau tertarik? Ambil saja,” tawarnya.
“Siapa modelnya, Fez? Aku tidak pernah liat.”
"Kau tidak perlu tahulah.”
“Ayolah!”
“Bukan siapa-siapa. Karanganku sendiri.”
“Tidak percaya. Lukisan seindah ini karangan sendiri? Minimal kau memotret suasana pantai seperti ini terlebih dahulu, baru kemudian melukisnya. Benar begitu? Apa kau melukis langsung? Kok bisa sangat detail seperti ini? Apalagi waktu senja hari itu kan cuma sebentar, apa kau melukis secepat itu? Kau memang sangat berbakat.”
“Aku tidak seartistik itulah.”
“He? Tumben kau merendah. Ayolah Fez, katakan siapa modelnya?”
“Kubilang karanganku sendiri.”
“Tidak percaya.”
“Ya sudah,” jawab Fez tak acuh sambil menyapukan kuas pada kanvasnya. “..Kudengar kau ditawari kontrak oleh klub Slochney dan klub dari Spanyol, La Varente?”
Aku tersenyum. Dia sudah dengar juga berita itu. “Yeah.”
“Dengan harga seberapa tinggi mereka berani menawarimu kontrak?”
Aku menarik nafas. Rasanya tidak nyaman membicarakan soal 'harga', maka aku berusaha mengalihkan pembicaraan.“..Entahlah, aku lupa.”
“Hm, tidak mungkin kau lupa. Nilai kontrakmu pastinya setinggi langit. Bagaimana, kau mau terima tawaran salah satu dari mereka, atau kau memilih tetap di Brandt?”
“Aku tidak akan pindah klub. Berapapun kontrak yang mereka tawarkan. Aku sudah memutuskan kelak akan gantung sepatu sebagai pemain Brandt.”
“Senang mendengarnya.”
Aku menyesap kopi perlahan. “..Kau dengar berita, kan? Dimana-mana marak bom-bom kecil. Walaupun tidak menimbulkan korban, tapi tetap saja itu merupakan teror buat warga Inggris, London khususnya. Sebenernya apa sih tujuan kelompok itu?”
“Bukankah tujuan mereka itu agar pemerintah mengubah salah satu Undang-Undang yang baru disahkan..”
“Ya, aku tahu. Tapi menurutku cara mereka sungguh konyol dan kekanak-kanakan. Seperti seorang anak kecil yang merengek pada orangtuanya agar membelikannya mobil remote kontrol keluaran terbaru. Persis seperti itu.”
“Oh ya? Bisa saja kau Royce, memberi perumpamaan seperti itu. Terus? Menurutmu apa pemerintah akan menuruti mereka?”
“Tidak mungkinlah! Pemerintah tidak bodoh dan tidak akan mau menuruti tuntutan kelompok yang tidak jelas seperti mereka itu. Mereka sekarang sedang berusaha untuk membongkar siapa sebenarnya dalang dibalik semua teror ini dan siapa saja anggotanya. Semoga mereka punya cukup waktu sebelum kelompok itu berbuat yang lebih jauh lagi.”
Fez tidak berkomentar.
Chapter 12. 1 September 2002
Seri ke-14, Grand Prix Jepang.
Grand Prix musim 2002 hampir usai. Tinggal lima seri pamungkas untuk membuktikan siapa yang lebih pantas untuk menduduki gelar juara dunia Formula 1. Saat ini pemimpin klasemen sementara pembalap adalah Jose Rudolpho Alvarez, dari tim Glauber, yang memimpin dengan 66 poin. Di posisi kedua ditempati Ferris Rutherford dengan 59 poin. Menyusul di posisi ketiga adalah rekan setim Alvarez, yakni Fabio Ortolani, yang terpaut 18 angka dari Ferris. Morten Grønbæk, rival terdekat Ferris dan Alvarez, menempati posisi keempat. Ferris harus mampu menunjukkan performa terbaiknya pada Grand Prix Jepang kali itu, untuk memperkecil gap poinnya dengan Alvarez, dan juga untuk merebut posisi yang lebih baik pada klasemen sementaranya. Jika tidak, maka impiannya untuk mengalahkan sang juara dunia bertahan itu akan pupus.
Race seri ke-14 itu pun dimulai. Fez menempel pada Alvarez semenjak lap pertama. Berulangkali dia mencoba menyalip seniornya itu, bahkan mereka sempat side by side, namun Fez tidak mampu mengubah keadaan. Race masih bersisa 10 lap lagi, dan keadaan tidak berubah. Fez masih terus berusaha menyalip Alvarez, namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Ketika dia masih mencari celah untuk menyalip, Fez tiba-tiba spin. Mobilnya masuk gravel dan langsung menabrak dinding pembatas. Kontan Fez tidak bisa melanjutkan race karena mobilnya rusak berat. Dengan mendongkol dia kembali ke paddock.
Dia semakin marah ketika pada akhir race, Alvarez finish pertama kalinya, dan Grønbæk menyusul di belakangnya. Kini poin Alvarez semakin mustahil dikejar olehnya, mengingat Grand Prix musim 2002 tinggal 4 seri lagi. Merasa semakin kesal dan sangat marah, dia memutuskan untuk menyiapkan strategi bersama timnya dan membahas tiap detail pada race berikutnya, Grand Prix Shanghai, yang akan dilangsungkan pada tanggal 22 September, 3 minggu lagi.
22 September 2002. Grand Prix Shanghai.
29 September 2002. Grand Prix Melbourne.
13 Oktober 2002. Grand Prix Bahrain.
20 Oktober 2002. Grand Prix Turki.
Fez terlihat begitu serius dalam persiapan menghadapi empat seri terakhir. Dia dan timnya tidak hanya sekali, dua kali memperbincangkan dan membahas race yang akan dihadapi dan bagaimana strategi mereka, namun mereka membahasnya hingga berulang kali! Mereka tidak mau mengalami nasib buruk pada empat seri terakhir. Mereka berusaha semaksimal mungkin untuk – paling tidak memperkecil gap poin antara Glauber dengan GT Forrier.
Fez berusaha untuk tetap tenang dan tidak terbawa emosinya, walaupun saat itu emosinya sungguh sedang meledak-ledak, –mengetahui bahwa Alvarez berpeluang hampir seratus persen untuk menjadi Juara Dunia keenam kalinya, dan mengetahui bahwa dirinya lagi-lagi kalah dari rival terberatnya itu.
...Dan usaha keras mereka membuahkan hasil yang cukup bagus, walaupun mereka tidak berhasil menyabet gelar juara dunia konstruktor, dan gelar juara dunia pembalap. Dalam klasemen akhir konstruktor, Glauber menempati urutan pertama dengan selisih 24 poin dari GT Forrier. Walaupun GT Forrier telah berusaha keras selama itu, namun pada akhirnya mereka tetap tunduk pada keperkasaan Glauber.
Pada klasemen akhir pembalap, Alvarez menempati posisi pertama, 85 poin, dan hal itu berarti Alvarez berhasil menyabet gelar juara dunia untuk yang keenam kalinya. Dia pun menyabet gelar juara dunia konstruktor untuk Glauber, persembahan terakhirnya bagi tim Glauber sebelum dia meninggalkan dunia yang telah membesarkan namanya. Sebuah perpisahan yang mengharukan namun juga indah..
Sementara itu, Fez berhasil mengukuhkan diri pada posisi kedua, di bawah Alvarez dengan selisih 13 poin. Penampilan Alvarez yang selalu konsisten dan tidak pernah gagal finish berbanding terbalik dengan kondisi Fez yang kadang tidak konsisten karena banyaknya pikiran yang membebaninya. Hal yang patut disayangkan karena pada seri-seri awal, Fez kerap menorehkan prestasi-prestasi yang mentereng yang membuatnya patut digadang-gadangkan sebagai calon juara dunia, menggantikan keperkasaan seorang Jose Rudolpho Alvarez. Namun sebuah kejutan yang tidak pernah disangkanya terjadi pada pertengahan musim, yakni pertemuannya dengan orang tua kandungnya, yang rupanya membuat Fez kehilangan taji dan kekonsistenannya dari balik kemudi. Dan itu terjadi selama beberapa seri. Tidaklah mengherankan jika kemudian posisinya di klasemen diambil alih oleh Alvarez hingga seri-seri terakhir. Dan Fez telah berusaha, kerja kerasnya di empat seri terakhir patut diacungi jempol. Dia tidak lagi menyerah pada segala macam tekanan yang menimpanya selama menjalani latihan, selama race dan bahkan di luar sirkuit. Dia berhasil menekan emosinya yang meledak-ledak dan mengatasi tekanan-tekanan yang datang padanya sehingga dia mampu mencetak hasil yang lebih bagus daripada seri-seri dimana dirinya terpuruk dan hanya meraih poin kecil.
Chapter 13. Magnum
Well! Tak terasa sudah bulan februari 2003. Waktu cepat berlalu, huh?
Aku dan teman-temanku masih terhanyut dalam euforia tahun baru selama ini. Kami kerap memeriahkan langit London dengan 'kembang api' beraneka warna setiap minggu. Indah, menurutku. Tapi orang lain justru ketakutan dan menganggap kami biadab. Haha, mereka sungguh tidak tahu soal seni!
Cara ini kami tempuh, karena kami tidak sabar menunggu apa jawaban pemerintah terhadap tuntutan kami. Apa yang kami lakukan ini sebenarnya tidak begitu menimbulkan dampak yang buruk, sungguh, tidak seperti aksi-aksi kami sebelumnya. Malahan bisa dibilang kami hanya sekedar bermain 'kembang api' seperti yang tadi kukatakan, hanya bom-bom kecil yang kami ledakkan dan sama sekali tidak menimbulkan korban jiwa. Itu, kalian tahu, hanya merupakan gertakan kami saja terhadap para penguasa. Lambat laun mereka pasti akan menuruti tuntutan kami, itu keyakinan kami. Entah kapan tepatnya mereka akan menuruti kami, kami tidak akan pernah berhenti sampai tujuan kami tercapai.
Meskipun aksi 'kembang api' kami menuai banyak kecaman, tapi hingga sekarang ini tak ada tanda-tanda pemerintah akan mengabulkan tuntutan kami. Apakah yang kami lakukan kurang meriah, huh, kalian ingin yang lebih lagi? Rupanya Dillinger pun merasa seperti itu juga, diperintahkannya kami untuk mencari target yang lebih besar dan lebih krusial. Ini tugasku, untuk merancang venue dan juga strategi operasi, aku selalu merasa bergairah dalam memutuskan target operasi kami. Oh, aku ada ide. Nafas kehidupan masyarakat pasti akan terhenti jika kami mengincar gereja.
Setelah dibicarakan dan dipertimbangkan masak-masak, akhirnya diputuskan kami akan meledakkan satu atau dua gereja. Sebenarnya lebih baik jika event ini diadakan ketika tiba masa Natal atau Paskah, karena semakin banyak korban berjatuhan akan semakin bagus. Tapi hal itu bukan masalah, aku tahu gereja mana saja yang memiliki puluhan umat yang setia datang ke gereja setiap minggu. Entah kenapa aku mempunyai feeling, orang-orang yang sedari dulu kuincar nyawanya, ada di antara puluhan umat itu. Mereka sudah melakukan dosa yang teramat besar dan menghancurkan hidupku, dan seiring berlalunya waktu, bukan tidak mungkin mereka sekarang sedang dalam masa pertobatan.. Pergi ke gereja, mendengarkan sabda Tuhan, melakukan semua hal yang sekiranya dapat menebus dosa mereka di masa lalu. Tapi, apa peduliku? Mereka memang berdosa terhadap Tuhan, biarlah itu menjadi urusan mereka dengan Tuhan. Tapi dosa mereka terhadapku? Aku tak akan puas jika aku belum membuat mereka celaka. Seperti yang sudah pernah kukatakan, mereka harus membayar mahal apa yang telah mereka perbuat padaku.
Dan operasi kami meledakkan dua buah gereja dalam waktu bersamaan pun terlaksana dengan sangat baik! Well done to our team! Hahaha.
Dan seperti yang sudah kami prediksikan, pemerintah semakin panik dan kalang kabut. Dunia luar pun turut mengecam Inggris yang berkat kami menjadi bahan pembicaraan internasional. Tapi kalian tahu apa yang paling membuatku merasa senang? Identitas kami, jejak kami, sama sekali belum tercium. Kami masih terlalu cerdik dan terlalu pintar daripada mereka. Hahaha.
Dan akhirnya, pemerintah mau mengubah kembali Undang Undang yang kami permasalahkan itu dan kami puas. Dillinger memutuskan untuk menonaktifkan kegiatan kami sementara waktu dan pergi berlibur. Tapi Dillinger mewanti-wanti, memperingatkan kami untuk selalu waspada. Dia yakin pemerintah tidak begitu saja mengiyakan keinginan kami, dia yakin mereka punya rencana memata-matai dan menyelidiki kelompok kami. Well, apapun Dillinger, yang penting salah satu tujuanmu sudah tercapai, kan? Saatnya berlibur..!
Chapter 14. Februari 2003
“Prihatin, ya, dengan kondisi Inggris yang seperti ini. Padahal dulu rasanya Inggris selalu aman dan tenteram, tidak pernah terjadi hal seperti ini. Semenjak ada kelompok gila itu, stabilitas Inggris menurun. Nilai Inggris di mata dunia juga menurun,” komentar Isaac ketika dia dan Fez tengah makan siang bersama di Nobu Berkeley, sebuah restaurant mewah di London.
“Hmm, bukan urusanku,” sahut Fez tak acuh.
“Asosial. Kau tidak pernah mau peduli ya?”
“Oh. Buang-buang waktu.”
Isaac hanya menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “..Well, launching dan pengetesan mobil baru untuk semua tim sudah selesai, dan sebentar lagi Grand Prix musim 2003 akan dimulai. Tidak terasa ya?”
Fez terdiam sejenak. “Ini akan menjadi musim perdanamu di Glauber. Bagaimana rasanya?”
Isaac menyeringai lebar. “Excited!”
“Baguslah, kalau kau senang di situ.”
“Yeah, ini musim perdanaku di Glauber, dan lagi.. Hey, Fez, aku tidak sabar menantikan saat-saat side by side antara kita berdua!”
“Well, dua pembalap Inggris yang sama-sama berumur 24 tahun dan berwajah mirip, saling kejar mengejar. Tampaknya tahun ini media massa akan terus menyorot kita. Fansku pasti bertambah.”
Isaac tergelak. “Jadi itu tujuanmu? Brengsek. Narsis juga kau ternyata!”
“Heh, tentu aku harus narsis!”
“Kapan Royce ada pertandingan lagi? Aku ingin juga sekali-sekali menonton secara langsung di stadion.”
“Nanti tanggal 21, dia tanding di Manchaster, lawan La Varente. Klub asal Spanyol yang tahun lalu sempat menawarkan kontrak pada Royce.”
“Liga Champions, ya.”
“Yeah, enam belas besar.”
“Royce itu, selain jadi atlet, juga model, huh? Dia menjadi brand ambassador banyak industri bermerk. Fashion, parfum, sampai sepatu. Dan.. yang kudengar, dia menginvestasikan uangnya dengan membeli saham di beberapa perusahaan fashion dan lainnya?”
Fez mengangkat bahu. “Aku terkadang suka merasa iri padanya. Kontraknya dengan Brandt saja sudah bernilai puluhan juta pounds, ditambah gajinya per musim, plus ditambah penghasilannya sebagai model, belum lagi ditambah saham-saham yang dia punya? Wuih.”
“Hey, memang kau pikir kontrakmu di GT Forrier, ditambah gajimu setahun, plus honor yang kau dapat dari tiap poin yang kau raih tidak bernilai puluhan juta, apa? Ditambah lagi, wajahmu masih terpampang di billboard, di majalah-majalah, yang dengan sombongnya memamerkan arloji mewah di tanganmu,” Isaac terkekeh. "Itu semua bukankah dibayar dengan poundsterling juga, heh?"
“Kau bilang aku sombong?”
“Tidak perlu iri. Kita masing-masing punya kelebihan dan kekurangan, itu saja. Royce, dia memang punya tampang yang ‘menjual’. Wajar dia memanfaatkannya.”
“Aku punya wajah yang jauh lebih menawan daripada Royce, seharusnya aku yang banjir tawaran menjadi brand ambassador!”
"Oh, thank you, Fez," Isaac terkekeh.
Fez mengerutkan kening, "Apa maksudmu, kid?"
“Dengan memuji diri sendiri, berarti kau memujiku juga tentunya, ya kan?” Isaac tertawa renyah. "Dasar narsis kau!"
Spontan Fez merengut, tapi mau tak mau dia tertawa juga. "Ah, kau copycat!" sahutnya sambil melempar tissue kertas pada Isaac.
Hockenheim, Jerman.
Seri pertama Grand Prix Formula 1, 9 Maret 2003.
Fez menempati pole position, sementara Isaac, yang saat itu merupakan musim perdananya bergabung dengan Glauber, berada di grid kedua, di belakang Fez.
Fez menatap lurus ke depan dari dalam kokpit. Siap menjalani race seri pertama di Jerman itu. Lampu merah padam, dan race pun dimulai. Serentak mobil-mobil jet darat itu meraung dan melaju, berusaha menempatkan diri di posisi teratas. Fez yang berada di posisi terdepan dengan mudah mempertahankan posisinya hingga pertengahan lomba. Sementara Isaac terus menempel di belakangnya, berusaha mencari celah untuk menyalip saudara kembarnya itu.
Ferris, sedikit senewen menyadari kegigihan Isaac yang terus menguntitnya dan mengancam posisinya. Berbeda dengan Grand Prix–Grand Prix sebelumnya, sewaktu Jose Rudolpho Alvarez masih menjadi driver Glauber, Alvarez selalu menerornya sepanjang race dengan tekanan berskala 9,5 dari 10. Sementara saat ini, teror Isaac berskala 10 dari 10 bagi Fez! Jika dia tidak ingin dipecundangi oleh adik kembarnya sendiri – maka Fez harus terus memaksa diri mendapatkan hasil yang lebih daripada hasil yang diperoleh Isaac. Hal itu menambah beban di punggungnya, namun dia harus menerima beban itu dan menyelesaikannya.
Fez asyik berbicara dengan dirinya sendiri, dan itu membuatnya lengah. Dia melambat pada tikungan pertama sirkuit, Nordkurve, dan Isaac yang jeli segera mengambil kesempatan tersebut untuk menusuk dari dalam. Fez segera sadar dari kelengahannya dan memacu mobilnya, tidak mau membiarkan Isaac merebut posisinya. Dia melirik pada Isaac yang saat itu berada tepat di sampingnya, side by side, sedang berusaha memacu mobilnya.
Fez terus berusaha memacu mobilnya maksimal, namun akhirnya dia tidak mampu menahan kegigihan Isaac ketika pada tikungan kedua, Einfarhrt Parabolica, Isaac mendahuluinya dan memimpin race kali itu.
Fez hanya dapat menatap mobil Isaac yang melesat jauh meninggalkannya. ‘Anjing! Bisanya dia memperdayaku!’
Terdengar suara tim dari radio komunikasi Fez, [“Hei, padahal seharusnya kau tadi bisa menahannya.”]
“Tahu! Aku lengah! Jangan khawatir, aku pasti bisa merebut kembali posisiku, walaupun mesti bertindak kasar!”
[“Apa maksudmu? Jangan nekat! Salah-salah kau bisa didiskualifikasi!” ]
“Diamlah! Percaya dan serahkan padaku! Aku bisa melakukan apa pun. Dan kujamin, stewards tidak akan menilaiku bersalah,” ujar Fez sambil melewati tikungan Spitzkehre, tanpa keluar dari jalur sejengkal pun. Dia terus memacu mobilnya, berusaha sedekat mungkin dengan Isaac.
[“Hei..”]
“Kubilang diam!”
Sementara itu di pitwall, manager Fez, Steffan bersungut-sungut karena cemas memikirkan apa yang akan dilakukan Fez. “Apa-apaan orang ini! Kalau sampai dia nekad dan membuat masalah dengan stewards dan FIA... aku tidak akan memaafkannya!”
“Tenang saja, Steffan,” sahut Gerhard Brautovich, team principal GT Forrier. “Aku yakin dia bisa.”
Steffan menatap Brautovich berjenak-jenak. “..Tentu. Dia pembalap kesayanganmu.”
Brautovich tergelak. “Memang. Dia sangat berbakat, walaupun sedikit emosional. Dan aku yakin dia akan menjadi Juara Dunia tahun ini.”
Steffan menatapnya heran. “Kau seyakin itu?”
“Kau tidak dengar, tadi dia masih mampu berbicara dengan jelas pada kita, padahal saat itu dia sedang menikung tajam di hairpin. Hal yang sulit dilakukan oleh racer lainnya, terkecuali seorang juara dunia.”
“..Oh ya?”
“Dulu sewaktu aku menjadi manager Jose Rudolpho, kuperhatikan dia mampu berbicara dengan lafal jelas ketika menikung. Begitu juga dengan Elijah Gouche, dan Lloyd Neumann, juara-juara dunia sebelumnya. Fez termasuk pembalap yang mampu melakukan hal itu, dia memiliki tanda-tanda seorang juara dunia. Jadi.. kita tinggal menunggu waktu saja.”
Lap.34. Isaac masih memimpin race, sementara Fez terus menempel di belakangnya dengan selisih waktu sepersekian ribu detik. Isaac merasa senang sekaligus senewen. Senang karena dia bisa menikmati persaingan yang sehat dengan kakaknya, di event bergengsi di seluruh dunia. Dia juga merasa senewen karena dia harus bisa mempersembahkan hasil yang terbaik untuk Glauber, di seri perdananya bersama Glauber saat ini, sementara Fez terus menekan dan mengancam posisinya.
Lagi-lagi terjadi side by side antara mereka berdua, di Mobil1 Kurve. Fez terus mendesak maju, namun Isaac tidak bersedia memberi kesempatan pada Fez untuk menyusulnya.
Mereka tiba di tikungan Sachs dan terjadi sedikit benturan antara keduanya, yang menyebabkan mobil Isaac kehilangan keseimbangan. Mobil Isaac langsung masuk gravel dan menabrak dinding pembatas, mengakibatkan kerusakan yang parah pada mobilnya. Praktis Isaac out, dia tidak bisa lagi melanjutkan pertandingan.
‘..Ups. Apa benturan tadi cukup keras? Ini baru yang namanya kecelakaan yang menguntungkan!’ ujar Fez dalam hati sambil tersenyum senang. Kini pertandingan seri pertama itu menjadi miliknya.
Terdengar suara Steffan dari radio komunikasi miliknya. [“Kau dalam masalah, young man.”]
“Tenang, Steffan! Tidak akan terjadi apa-apa!”
[“Hei, jelas-jelas kau menabraknya! Sudah kuperingatkan kau berkali-kali, jangan berbuat nekad dan jangan cari masalah dengan stewards! Mereka bisa mendiskualifikasimu dengan mudah! Kau membahayakan dirimu sendiri dan tim!”]
“Well, kenapa kau menyalahkanku? Nasib sial sangat mungkin terjadi dalam balapan F1. Dia sedang sial saja tadi. I did nothing, trust me!”
Isaac keluar dari kokpit mobilnya. Setelah melihat seberapa parah kerusakan mobilnya, dia menggeleng-gelengkan kepala dan segera kembali ke paddock.
Sepanjang perjalan kembali menuju paddock, Isaac terus bertanya-tanya dalam hati, ‘Hell, dia menabrakku! Sengaja-kah?’
Teman-teman timnya menyambut dirinya begitu dia tiba di paddock. Sementara bos tim Glauber, Friedrich Sheppard, terlihat kesal dan marah, lantaran pembalap barunya yang dia andalkan itu mengalami kecelakaan dan tidak berhasil meraih poin pada seri perdana.
Segera terdengar bisik-bisik di motorhome tiap tim mobil F1, terutama di Glauber. Sebagian dari mereka yakin, Ferris sengaja menabrak Isaac hingga kehilangan kontrol dan menabrak dinding pembatas. Namun sebagian lagi tidak melihat adanya unsur kesengajaan. Maka mereka kini menunggu keputusan stewards dengan hati cemas.
Namun hingga race usai, hingga Fez dan kedua peraih podium lainnya naik ke atas podium dan menerima piala, stewards tidak mengeluarkan keputusan bahwa Fez bersalah. FIA pun sependapat dengan stewards. Hal ini mengecewakan dan juga memicu kemarahan di tim Glauber yang meyakini bahwa Fez jelas-jelas bersalah. Mereka mengajukan protes, dan mencurigai FIA dan stewards bekerja sama memuluskan jalan bagi tim GT Forrier untuk meraih poin kemenangan. Namun keputusan stewards tidak dapat diganggu gugat, dan tim Glauber semakin kecewa dan mendongkol.
Isaac berdiri bersedekap di ambang pintu ruang jumpa pers, sambil menyimak wawancara terbuka antara pers dengan ketiga peraih podium di seri pertama Grand Prix kali itu. Beberapa rekan timnya mendekatinya dan memanas-manasi dirinya.
“Ike, lihat senyum penuh kemenangannya yang memuakkan itu. Dia sengaja menabrakmu!”
“Yeah, padahal seharusnya kemenangan berada dalam genggamanmu, tapi orang itu merebutnya dengan cara curang!”
“Dia memang betul-betul licik.”
“Entah kenapa FIA dan stewards mendukungnya. Mereka sudah gila, barangkali. F1 bukan lagi olahraga, kita tidak menemukan sportifitas di sini. Mereka sungguh mengecewakan.”
Isaac menyahut setelah sedari tadi diam. “Guys, diamlah! Aku sedang menyimak wawancara ini.”
Beberapa lama kemudian, wawancara terbuka itu selesai. Fez hendak bangkit berdiri ketika dilihatnya Isaac sedang berdiri bersedekap di pojok, mengamati dirinya.
Fez terdiam sejenak, lalu dia menghampiri Isaac dan menyapanya, “..Hey. Euhh.. kau tidak apa-apa, kan?”
Isaac tersenyum hambar. “I’m Okay.”
“Sorry. Aku sungguh tidak sengaja, Ike. Aku tidak sangka akan menjadi seperti ini. Seri perdanamu di Glauber yang sekiranya bakalan mulus, malah kukacaukan. Sorry.”
Senyum Isaac melebar. “Sudahlah! Ini resiko menjadi pembalap. Aku sedang sial saja tadi sampai bisa hilang kontrol. Selamat, ya. Poin sempurna!”
Fez balas tersenyum, dan merangkul Isaac.
Fez menyadari, kemenangannya di Hockenheim pada seri pertama F1 membawa banyak pertentangan dan kontroversial menyangkut kelakuannya yang menabrak Isaac hingga gagal finish. Sampai seri keempat usai, masih banyak pihak yang mengungkit-ungkit masalah itu.
Dia cemas, hal itu akan menurunkan imagenya, terutama di mata publik dan pers. Maka dia sadar diri. Dia bertekad tidak akan mengulangi perbuatannya yang kontroversial itu. Dia akan berusaha keras, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk meraih podium demi podium dan kemenangan demi kemenangan, tanpa cara licik, murni dari hasil jerih payahnya sendiri. Walaupun itu berat, karena saingannya adalah Isaac. Saudara kembarnya sendiri sekaligus lawan yang baginya jauh lebih berat dibandingkan ketika menghadapi Jose Rudolpho Alvarez.
Seri keenam Grand Prix, 25 Mei 2003.
Fez harus berupaya sekuat tenaga untuk memenangi Grand Prix kali itu. Dia cukup kesal karena pada seri kelima kemarin dia hanya bisa finish ketiga, sementara Isaac berhasil memenangi Grand Prix, yang merupakan kemenangan keduanya sepanjang karirnya di F1.
Lap demi lap dilaluinya dengan baik dan kekonsistenannya begitu memukau. Fez mampu memimpin jalannya lomba seri keenam itu hingga pertengahan lap. Namun keadaan tiba-tiba berubah. Ketika Fez baru saja keluar dari pit, mesin mobilnya tiba-tiba terbakar dan mengeluarkan asap tebal. Tentu dia out, tidak bisa melanjutkan balapan.
Keinginannya untuk meraih poin penuh pada seri keenam itu pupus sudah. Dia semakin kesal ketika Isaac dan Grønbæk, saingan beratnya yang lain, lagi-lagi naik podium. Dan hal itu berarti Fez tidak lagi berada di puncak klasemen sementara pembalap. Dia hanya memiliki 32 poin, tertinggal sepuluh poin dari Isaac dan Grønbæk yang memiliki poin yang sama dan merajai klasemen sementara pembalap untuk saat itu. Semakin beratlah tugas Fez untuk merebut kembali posisinya di puncak klasemen pembalap – dan juga klasemen konstruktor – dan mempertahankannya.
Fez sempat berpikir untuk melakukan lagi cara-cara curang agar dia dapat menang di seri-seri berikutnya, dan dia juga sempat menyesalkan mengapa dia pernah bertekad untuk menempuh jalan ‘lurus’. Namun setelah mempertimbangkannya kembali, dan demi menjaga imagenya di mata dunia, Fez mengurungkan niatnya itu.
Tim GT Forrier pun kesal mengapa mobil Fez bisa mengalami engine failure lagi, tepat satu tahun ketika mobil mereka juga mengalami engine failure di Indianapolis, USA. Maka mereka segera mengadakan rapat intensif di motorhome, membahas secara detail segala kemungkinan penyebab rusaknya mesin, sekaligus berupaya keras mempersiapkan diri menghadapi seri-seri yang akan datang.
Kegigihan dan upaya keras tim GT Forrier membuahkan hasil. Mereka tidak lagi mengalami nasib buruk pada seri-seri berikutnya. Fez berhasil finish kedua pada seri ketujuh, sementara pada seri kedelapan dan kesembilan, Fez berhasil memenanginya secara fantastis! Tentu ini merupakan kepuasan tersendiri bagi Fez, karena dia meraih dua kemenangan yang berturut-turut itu dari hasil jerih payahnya sendiri dan juga teman-teman tim yang senantiasa mendukungnya.
Kini Fez berada di posisi kedua klasemen sementara pembalap, hanya selisih 6 poin dari puncak klasemen yang saat itu dipegang oleh Isaac. Nasib baik yang dialaminya membuat Fez merasa bangga dan juga senang, meskipun untuk meraih itu semua dia harus jatuh bangun, membanting tulang dan juga dia harus menahan hasratnya untuk tidak berbuat curang, demi nama baiknya di mata dunia.
Pertarungan yang semakin sengit antara Ferris, Isaac dan juga Grønbæk, menyita perhatian publik seluruh dunia. Namun dari tiga pembalap itu, yang paling disorot media adalah duel antara Ferris dan Isaac, sebagai pemegang dua posisi teratas pada klasemen. Tentu, karena mereka berdua mempunyai keistimewaan. Mereka sama-sama orang Inggris, mereka sama-sama berbakat, mereka sama-sama digandrungi oleh (terutama) gadis-gadis di seluruh dunia yang terjerat pesona mereka. Umur mereka sama, dan bahkan wajah mereka pun mirip! Gosip dan berita tentang mereka pun semakin dinantikan oleh para penggemar.
Chapter 15. Isaac Lawrence Anthony Renauld
Fez dan aku diundang secara spesial oleh tim Brandt untuk makan siang bersama, wah, ini pasti seru. Royce, yang sekarang kupanggil dengan nama Beau, pun menyambutku dengan hangat.
Beau terlihat bersemangat dan riang, entah karena tidak sabar menyambut pertandingan nanti malam, atau memang karena pembawaannya yang riang seperti itu.
"Guys! Thanks sudah menyempatkan diri datang ke sini, kalian membuatku bersemangat," ujar Beau. "Sekarang kalian jadi akrab, heh?" katanya lagi sambil tersenyum lebar.
"Isaac meminta ikut denganku pergi ke sini, kasihan dia tidak punya teman," jawab Fez sambil tergelak.
"Enak saja," sahutku. "Teman-temanku nanti menyusul ke sini, kau jadi mengajak teman-teman Forrier, Fez?"
"Yeah, mereka sedang dalam perjalanan."
Beau tersenyum-senyum memerhatikan aku dan Fez. "Hey. Jadi, yang tahu perihal kalian, hanya aku saja kah?" tanyanya setengah berbisik.
"Ya, kau," Fez mengangguk. "Dan pacar Isaac, yang namanya Tanya itu. Sudah kubilang padanya jangan katakan pada pacarmu, tapi dia katakan juga. Orang ini sungguh sulit diberitahu."
Aku segera menyahut, "Kau memberitahu sahabatmu, kenapa aku dilarang memberitahu Tanya? Tanya harus tahu semua hal tentangku, kau paham?"
"Ini beda, Royce itu sangat bisa dipercaya! Pacarmu? Semua wanita itu diciptakan hobi bergosip! Mereka punya dua mulut, apa kau bisa menutup kedua mulutnya dengan baik?"
"Dua mulut?" tanyaku bingung.
Beau terbahak. "Jangan dihiraukan, Ike. Aku tahu arah pembicaraan Fez. Abaikan saja dia."
"Rasanya aku mengerti, ini pasti menjurus ke konotasi negatif," aku mengangguk-angguk. "Fez, kau pokoknya tenang saja, Tanya bisa dipercaya! Aku mahir menutup mulutnya.." aku tergelak.
"Oke, kupegang kata-katamu, walaupun aku tidak yakin."
"Fez, Ike, kalian tahu apa yang baru kemarin kubaca di media berita online? Kalian diberi predikat 'Penakluk Hati Wanita', sebenarnya apa yang kalian lakukan, heh? Benar-benar menebar pesona rupanya."
Aku menggeleng-gelengkan kepala seraya tertawa, "Tidak seperti itu jugalah. Kau kan tahu pers selalu melebih-lebihkan."
"Hell, Royce!" Fez menyahut. "Seharusnya kau sudah sadar sejak dulu, aku ini memang penakluk banyak wanita! Rupanya baru sadar sekarang, huh?"
“Well, kata-kata yang lebih cocok ditujukan untukmu adalah, ‘Playboy’,” ujar Beau sambil tertawa ringan.
"Bukan, lebih tepatnya, aku ini pecinta. Pejantan tangguh," Fez tergelak. "Man, prinsipku adalah, jangan kau sia-siakan masa mudamu! Kau tahu ada berapa milyar wanita cantik di dunia ini?? Jangan sampai kau membiarkan wanita-wanita itu menganggur sendirian, kencani saja mereka satu per satu."
Apa?! Kupandangi Fez dengan mata terbelalak. "Hey! Wanita bukan mainan! Seperti itu cara pandangmu terhadap wanita??"
Fez malah mengangkat bahu tidak peduli.
"Ike," panggil Beau. "Percuma saja kau menegurnya. Sejak junior high school, pandangannya terhadap perempuan memang seperti itu. Permanen. Tidak bisa diganggu gugat, apalagi diubah."
Fez menyeringai. "Nice words, dude! Like it!"
Aku mendengus kesal. "Yeah. Wajah dan fisik yang mirip, bukan jaminan adanya persamaan sifat dan cara berpikir, ya Beau?"
Beau mengangguk.
"Beau?" Fez menatapku dengan bingung. "Seenaknya saja kau memanggil nama orang."
"Tidak masalah kau kupanggil Beau, kan, Royce?"
Beau tersenyum. "Selama itu masih namaku, terserah saja."
Malam itu, partai final Liga Champions akan segera dimulai. Aku mengajak teman-teman SMA-ku, yakni Aldo dan Terry, dan kami bertiga bergabung bersama teman-teman Fez. Dari bangku tribun vip kulihat ratusan ribu penonton dan suporter sudah memadati stadion, kurasa mereka bahkan sudah stand by di stadion beberapa jam sebelumnya. Mereka mendukung tim kesayangan mereka dengan berpakaian, memakai berbagai atribut dan dandanan yang mencerminkan identitas dari kedua klub yang bertanding.
Tak lama, kedua tim yang akan bertanding memasuki lapangan, dan pertandingan sengit pun dimulai. Kedua tim saling menyerang dengan gencar, berusaha mencari celah dan kesempatan untuk mencetak gol. Namun hingga paruh waktu, bahkan hingga pertandingan babak kedua sudah berjalan selama 35 menit, skor masih tetap 0-0. Tampaknya akan menjadi pertandingan yang minim gol, namun tontonan ini tetap seru!
Tak terasa, waktu yang tersedia tinggal 10 menit, dan jika mereka belum ada yang mencetak gol maka pertandingan akan diperpanjang hingga 120 menit.
Kedua tim sama-sama bermain bagus, sebenarnya banyak kesempatan emas bagi Brandt maupun bagi Boudreau untuk mencetak gol, namun pertahanan dari masing-masing tim pun sama-sama kokoh dan tak bisa ditembus. Juga didukung oleh kiper dari kedua tim yang saat itu sama-sama tampil dengan gemilang.. Luar biasa, apalagi ketika menyaksikan sendiri para pendukung Brandt dan Boudreau yang tampak tidak kenal lelah menyanyikan yel-yel dan memberi semangat pada tim yang mereka dukung.
Akhirnya usaha keras Brandt membuahkan hasil di menit-menit akhir babak perpanjangan waktu. Diawali umpan bek kiri Brandt pada rekannya, Campbell, yang menusuk kotak penalti. Ah, tapi sayang sekali! Gerakan Campbell dihadang kiper Boudreau! Padahal nyaris saja gol! Bola pun mental, dan tanpa kusangka ada Beau di sana yang langsung menendang bola tepat ke arah gawang!! 1-0!!!
Tepat pada saat itu juga, wasit meniup peluit panjang tanda pertandingan telah usai. Serentak ofisial dan seluruh pemain Brandt tenggelam dalam kegembiraan. Aku dan yang lain pun turut bersorak gembira, kurasakan pula euforia yang meluap-luap saat melihat tim Brandt mengangkat trofi Liga Champions tinggi-tinggi..
Grand Prix Imola, San Marino, 3 Agustus 2003.
Tampaknya hari ini akan cerah sampai menjelang sore, ini bagus, karena pada kali ini aku mengawali lomba dari posisi pole. Dan sudah menjadi rahasia umum jika sirkuit ini seakan adalah milik Glauber. Semenjak tahun 1993, yang menjadi juara Grand Prix Imola adalah Glauber. Ini fantastis, dan aku sendiri tidak ingin menodai rekor Glauber di Imola ini. Diawali dengan kesuksesanku menjuarai babak kualifikasi hari sabtu kemarin, yang membuatku berhak mengawali lomba dari posisi terdepan. Semoga pertandingan kali ini akan menjadi milikku..
Fez menghampiriku ketika parade pembalap sedang berlangsung, dan dia menyeringai lebar.
"Hey, Fez!" sapaku hangat.
"Akan kupatahkan rekor Glauber," katanya dengan yakin.
"Yeah? Try me."
"Sekarang sudah bukan era Glauber lagi, kau tahu, musim ini adalah milik GT Forrier."
"Well, baru setengah musim berjalan, dan poin kita hampir sama. Jangan omong besar, dude. Nanti kau kecewa.. Jangan sampai kau mengamuk tidak jelas dan membanting helm sampai hancur lagi. Sayang, helmmu bagus," gurauku sambil tertawa ringan.
Fez terbahak, dia pasti ingat kelakuannya setahun yang lalu saat mengamuk di Indianapolis. "Tak akan, akan kupastikan kau yang akan mengamuk seperti itu, nanti."
"Maaf, aku bukan orang berkepala panas sepertimu, ancamanmu tidak kena."
"Hm, kita lihat saja nanti, kid. Kita lihat nanti," ujarnya sambil menepuk bahuku.
Aku berhasil memulai lomba dengan baik, posisiku tetap yang terdepan. Menyusul di belakangku adalah Fez, dia dekat sekali denganku. Kurasakan gelombang adrenalinku meluap seperti air bah, aku harus mampu mempertahankan posisiku sampai akhir race nanti, tak peduli seberapa gigihnya Fez menghantuiku dari belakang. Kalau dipikir-pikir, aku ini sangat beruntung. Karena pada akhirnya aku bisa bersaing secara langsung dengan orang yang kuidolakan semenjak menjadi anak baru di Formula 1, yeah, orang yang ternyata sangat akrab denganku. Kalian tidak akan pernah bisa membayangkan seberapa excitednya aku!
Berulang kali Fez menemukan celah untuk menyalipku, tapi aku tidak pernah memberinya jalan. Cobalah kalau kau bisa, saudaraku, ini saatnya kau makan asapku! Aku tertawa dalam hati.
Kira-kira 23 lap menjelang finish, aku melakukan pit stop keduaku. Fez tertinggal 5 detik di belakang, itu karena dia sudah melakukan pit stopnya yang kedua.. 5 detik, tidak akan cukup waktu agar bisa kembali ke lintasan dengan tetap berada di posisi terdepan. Dan benar saja, ketika aku kembali ke lintasan, Fez sudah melesat mendahuluiku. Kini dia yang memimpin pertandingan! Aku harus berusaha keras merebut kembali posisiku dari Fez!
Tanpa membuang waktu lagi aku menggeber mobil. Kupangkas sebanyak mungkin gap jarak antara aku dan Fez, aku bermaksud menekannya agar dia limbung dan memberiku celah untuk menyalip. Fez, sirkuit ini milik Glauber, tak kan kubiarkan kau mematahkan rekor kami! Kurasakan adrenalinku semakin melesak-lesak.. oh, sungguh aku menikmati duel kami yang sportif ini!
Tapi rupanya memang sulit menaklukkanmu, Fez. Pertandingan hampir usai tapi aku masih tetap mengekor di belakangmu, dan kau tidak juga terpengaruh dengan keberadaanku yang menekanmu dari segala arah. Apa yang kau lakukan sudah sangat sempurna, kurasa kau memang pantas menjadi juara dunia tahun ini.
Garis finish tinggal beberapa ratus meter lagi..... aku tetap saja tidak bisa menjangkau Fez. Dan... sial, Ferrislah yang mendapat kibaran chequered flag.
Aku telah gagal memertahankan rekor Glauber di Imola! Tapi walaupun begitu, duel antara aku dan Fez jauh lebih berharga buatku.
Aku tiba lebih dulu di parc ferme, dan ketika Fez tiba, tim GT Forrier menyambutnya dengan sangat meriah. Fez keluar dari kokpit, lalu berdiri di atas hidung mobilnya, merentangkan tangan lebar-lebar lalu mengepalkan tinju ke udara. Seperti itulah yang selalu dilakukannya jika berhasil meraih podium pertama. Dia lalu melompat dari atas mobil, menghampiri timnya dan memeluk mereka satu per satu. Mereka terlihat tengah terhanyut dalam euforia yang meluap-luap.. Yeah, mereka berhasil mematahkan rekor Glauber, saingan terberat mereka, sudah tentu mereka terhanyut euforia.
Kini poin raihan aku dan Fez sama besar, yakni 96 poin. Namun Fez lebih berhak menduduki puncak klasemen sementara pembalap karena Fez sudah lima kali memenangi seri Grand Prix pada tahun ini, sementara aku baru empat kali. Tak apa, musim ini baru separuh jalan, dan kami masing-masing memiliki peluang yang sama besar untuk menjadi juara dunia.. Aku bukan lagi pembalap dari tim kuda hitam dengan performa yang kadang bagus kadang buruk, kini aku salah satu pembalap yang patut diperhitungkan, karena jarakku dengan titel juara dunia semakin dekat.. walaupun untuk itu aku harus berduel dengan saudara kembarku sendiri. Duel yang sehat dan sportif, tentunya! Oh Tuhan, terima kasih karena Kau telah memberiku anugerah dan kesempatan ini, aku sungguh bersyukur.
Oktober 2003, sudah empat seri Grand Prix terlewati. Poinku dan Fez masih saling susul menyusul, Fez berada di puncak klasemen sementara pembalap dengan raihan 128 poin, selisih 4 poin denganku. Pun dengan poin konstruktor antara Glauber dan GT Forrier. Jika pada tahun-tahun sebelumnya, peraih gelar juara dunia konstruktor bisa diprediksi pada dua seri terakhir, maka berbeda dengan tahun ini. Grand Prix musim ini masih menyisakan satu seri lagi, namun gelar juara konstruktor masih belum bisa diprediksi, apakah Glauber, ataukah GT Forrier. Semua ini karena kedua tim sama-sama memiliki performa yang luar biasa. Maka, Grand Prix di Brasil, tanggal 26 mendatang, merupakan seri terakhir dan seri penentu dari keseluruhan Grand Prix musim 2003 ini. Yang kuyakini satu, siapapun yang kelak meraih gelar juara dunia konstruktor, dan yang meraih gelar juara dunia pembalap, adalah yang terbaik.
Hari penentu itu pun tibalah. Dari hasil babak kualifikasi kemarin, Fezlah yang berhak memulai lomba dari posisi start terdepan. Kesempatan emas untukmu, Fez. Langkahmu sudah sangat dekat dengan titel Juara Dunia. Tapi kau jangan lupa, masih ada aku. Dari sekian puluh lap yang harus kita lewati bersama, aku pasti bisa menyusulmu dan merebut posisimu.. Yang harus kulakukan hanyalah berusaha sebaik mungkin, dan menyerahkan semua ini pada Tuhan. Tuhanlah penentu segalanya, yang berkehendak, dan yang menggariskan nasib kita masing-masing. Selamat berjuang untukku dan untukmu, saudaraku.
Terakhir aku bertemu Fez, tadi pagi, kulihat dia tampak seperti gelisah. Mungkin juga dia merasa senewen karena ini seri terakhir dan seri penentu gelar juara dunia. Sebenarnya aku pun senewen, tapi aku bisa mengatasi hal ini dengan baik. Apalagi orangtuaku dan orangtua Fez akan datang dan menyaksikan duel kami secara langsung, aku menjadi lebih tenang karena kehadiran mereka.
Aku sudah berada di starting grid kedua, di dalam kokpit Glauber, menunggu detik-detik dimulainya seri terakhir kali ini. Usai parade lap, kurasakan jantungku berdebar lebih kencang, apalagi ketika kulihat kelima lampu merah yang satu per satu padam... Aku menarik nafas panjang.
Lampu merah kelima padam : inilah saatnya!!
Damn, aku terjebak dalam sedikit chaos yang terjadi pasca start dengan pembalap lainnya, dan ketika aku berhasil meloloskan diri, kusadari Fez sudah melesat sangat jauh di depan. Tak ingin tertinggal begitu jauh, aku memacu mobilku.
Tanpa kusangka, langit mendadak gelap, oh sial, kurasa sebentar lagi hujan akan turun dengan deras! Dan benar saja, hujan deras langsung mengguyur sirkuit tanpa ampun. Bukan main derasnya hujan kali ini, bahkan pandangan 10 meter pun tampak kabur! Dari earphone kudengar tim-ku memberi instruksi agar aku masuk pit dan mengganti ban. Kuharap hujan sederas ini tidak berlangsung lama! Semua bisa semakin berantakan..
Setelah melakukan pit stop, aku mendapati Fez masih memimpin race. Dia sudah mengganti ban dengan ban basah, yang harus dia lakukan hanyalah mempertahankan posisinya apapun yang terjadi. Tapi ingat Fez, masih ada aku. Aku bisa jadi ancaman buatmu karena bukan hanya kau saja yang menginginkan trofi world champion!
Selang dua lap kemudian, intensitas hujan berangsur turun. Tidak sederas tadi, tapi setidaknya ini memudahkan karena jarak pandang berangsur kembali normal. Mungkin berkat hujanlah, aku jadi mampu memangkas gap antara aku dan Fez. Kini posisi kami cukup dekat, cukup banyak kesempatanku untuk menekan dan membuatnya limbung. Ah, inilah saatnya aku menikmati pertarungan ini!
Aku menjadi bayang-bayang Fez, kutekan dia dari kiri, kanan.. Ah ha, aku senang membuatnya limbung.
Menjelang tikungan Curva doSol, aku menyejajarinya dan terjadilah side by side antara kami. Kulirik Fez, kenapa kau terlihat tegang sekali, brother? Kami masih saling menempel satu sama lain ketika kami tiba di tikungan Descida do Lago, dan tiba-tiba tanpa sengaja aku menyenggol mobil Fez! Mobil Fez langsung spin dan masuk ke gravel! Oh! Rupanya aku terlalu dalam mengambil ke kiri! Maafkan Fez, kau tidak apa kan?? Kau masih bisa melanjutkan race kan??
Gawat, aku mulai kehilangan fokus karena kecemasanku. Lantas kukontak timku, dan mereka mengatakan aku tidak perlu kuatir. Fez tidak apa dan dia langsung rejoin walaupun sempat terlewati oleh beberapa pembalap lainnya. Oh Thank God, kupikir aku sudah mencelakakan Fez. Dalam hati aku berharap Fez cepat kembali menyusulku di sini, lalu mengulang kembali side by side kami yang sempat terhenti.
Race masih menyisakan kira-kira 14 lap lagi, dan aku masih berada di posisi terdepan. Tapi.. oh kulihat Fez sudah ada di belakangku! Kau benar-benar gigih, brother, ayo kita lihat sampai sejauh mana kemampuanmu. Kurasakan Fez begitu gencar membayangiku dari kiri ke kanan, aku yakin pertarungan ini menjadi sorotan semua media karena posisi kami sama-sama kuat. Fez pasti sangat senang jika popularitasnya semakin terdongkrak, tapi dengar Fez, aku takkan biarkan kau saja yang mendulang popularitas sedemikan besar, ini saatnya bagiku untuk membuktikan bahwa aku mampu mengalahkanmu!
Waktu berlalu sedemikan cepat, secepat pacuan mobilku kali ini, dan kusadari race tinggal menyisakan 7 lap. Ops! Aku kembali melebar ketika melibas tikungan Pinheirinho, dan rupanya hal itu tidak disia-siakan oleh Fez. Dia langsung melesat dan meninggalkanku!
4 lap lagi berlalu, kini giliranku kembali merebut posisi terdepan ketika menyalip Fez di Subida do Boxes. Aku tidak akan menyerahkan posisi ini kepadamu lagi, Fez.
Dan... selama 3 lap penentu ini kami saling susul menyusul. Lebih sering terjadi side by side antara kami, pada akhir race nanti akan kita buktikan, siapa yang paling layak menjadi juara.
Garis finish tinggal beberapa ratus meter lagi, aku dapat melihatnya! Tapi Fez masih saja menempel di sampingku, ini benar-benar pertarungan yang seru.. aku menikmatinya, dan kuharap semua orang yang menonton pertandingan ini juga bisa menikmatinya! Aku sudah mengerahkan seluruh kemampuan dan usahaku, dan demi chequered flag yang akan berkibar pada salah satu dari kami, aku memasrahkan semuanya pada Tuhan..
Entah kekuatan dari mana, Fez tiba-tiba mendahuluiku! Dan dialah yang mendapat kibasan chequered flag! Oh God you made it!!
Oh Tuhan, inilah akhirnya! Fez menyabet gelar juara dunia pembalap dan juara dunia konstruktor untuk GT Forrier sekaligus! Aku harus mengakui kekalahanku, Fez memang sangat tangguh! Aku salut padamu, dan aku bangga padamu. Selamat, Fez! Aku berencana akan memeluknya nanti ketika tiba di parc ferme.
Aku tiba di parc ferme setelah Fez. Kulihat dia melakukan selebrasi kemenangannya seperti biasa, berdiri di atas hidung mobilnya, merentangkan tangan lebar-lebar lalu mengepalkan tinju ke udara. Dia lalu menghampiri teman-temannya yang menunggu dan memeluk mereka sambil bersorak gembira. Shawn Renan yang finish di posisi ketiga menghampiri Fez dan memeluknya erat, dapat kurasakan euforia GT Forrier yang meluap-luap.. ini memang hari mereka.
Setelah Fez selesai meluapkan kegembiraannya bersama dengan partner dan teman-teman timnya, aku berjalan mendekatinya dan memeluknya, "Fez!! Selamat, kau memang berhak mendapat gelar juara dunia!!" ujarku riang.
Fez menepuk-nepuk helmku, "Thanks, it's awesome!!"
Aku menyeringai lebar padanya, "Hey, kita benar-benar berduel, tadi!"
Lalu tak lama, aku, Fez dan Shawn Renan sudah berjejer di podium, dan lagu kebangsaan Inggris berkumandang. Kuhayati lagu kebangsaan kami dengan khidmat, dan begitu selesai, kulihat Fez tersenyum lebar, wajahnya tampak cerah, secerah matahari yang kini menyinari kami setelah tadi bersembunyi cukup lama di balik awan.
Penyerahan trofi juara Grand Prix seri kali itu diserahkan pada Fez, dan melihat Fez yang sesumringah itu, perlukah kujabarkan? Dia terlihat sangat puas dan bahagia. Begitu pula dengan Mr. Gerhard Brautovich, principal GT Forrier, yang menerima trofi juara konstruktor. Setelah itu barulah aku menerima trofi runner up... Inilah saat pencapaian tertinggi dalam karirku. Terima kasih Tuhan. Kukecup trofiku, lalu kuangkat tinggi-tinggi, mengunjukkannya pada teman-teman Glauber di bawah podium sana. Guys, lihatlah, tak peduli hasil lomba hari ini, KITA tetaplah PEMENANG!!
Renan pun menerima trofinya, dan kami bertiga langsung membuka sampanye bersama-sama. Fez meneguk banyak-banyak sampanyenya, nih Fez, kutambahkan sampanye untukmu! Aku dan Shawn Renan bersamaan menyemburkan sampanye langsung pada wajah Fez, dan kami bertiga tertawa-tawa. Renan maju ke depan lalu menyemburkan sampanye pada teman-teman Forrier di bawah, aku pun menyemburkan sampanye pada teman-teman Glauberku, kami semua turut larut dalam keceriaan.
"Race yang benar-benar memukau dan menakjubkan! Inilah kompetisi balapan yang paling seru sepanjang abad! Bagaimana tanggapan Anda, Rutherford, setelah melewati sekian belas seri yang berat?" tanya salah satu wartawan ketika acara jumpa pers digelar.
Fez langsung menjawab lugas, "Seri terakhir ini memang sungguh fantastis dan penuh dengan persaingan side by side! Benar-benar menguras adrenalin, pikiran dan tenaga. Saya juga merasa sangat puas, karena saya berhasil memenangkan seri ini dalam pertarungan adu otot di atas trek, bukan di pit stop. Selama balapan berlangsung saya tidak berani memikirkan peluang saya untuk menjadi Juara Dunia sebelum mencapai garis finish. Namun setelah melewati itu semua, saya bisa bernafas lega. Ini adalah hari yang sangat emosional dan membahagiakan bagi tim, dan juga tentunya bagi saya pribadi."
Aku tersenyum mendengar jawaban Fez. Dia benar, aku pun merasakan hal yang sama dengannya. Semoga persaingan sehat ini akan terus berlangsung..
Kini giliran aku yang diwawancara, dan aku menjawab semua pertanyaan mereka dengan ramah dan sesimpatik mungkin. Ketika kupikir acara ini sudah selesai, terdengar dari barisan belakang salah seorang dari mereka melontarkan pertanyaan lagi padaku, "Satu pertanyaan lagi, Isaac Renauld. Banyak sekali orang yang mengatakan bahwa Anda dan Ferris Rutherford adalah saudara? Sebab Anda berdua memiliki kemiripan fisik yang jelas terlihat."
"Oh, soal itu," aku tertawa ringan. Dari sebelah mata kulihat Fez menatapku tanpa bersuara. "Kalian benar, secara fisik kami memang mirip. Lalu apa? Apa itu berarti kami adalah saudara? Tidak," aku menggelengkan kepala. "Kami tidak punya hubungan darah sama sekali."
Luar biasa. Itu yang bisa kukatakan setelah menyaksikan kepulangan kami ke Inggris disambut dengan meriah. Beberapa minggu setelahnya, Fez diundang ke Istana Buckingham untuk mendapatkan gelar MBE dari Ratu Inggris! Oh man, sungguh aku ingin menjadi seperti dirimu, apakah aku bisa mendapatkan gelar itu juga tahun depan? Well, kalau kau bisa Fez, tentu aku juga bisa.. walaupun untuk itu aku harus berjuang sekuat tenaga, lebih daripada perjuanganku tahun ini mengalahkanmu! Semoga Tuhan memberikan jalan..
Kini aku tengah menikmati masa liburku, sembari menunggu gelaran acara FIA Gala Prize Dinner Giving Ceremony yang akan diadakan Desember nanti. Saatnya aku menikmati hasil pencapaianku selama ini. Bersantai di mansion yang baru kubangun di tepi laut.. ditemani oleh Tanya pacarku tercinta.. Oh, could life be better?
Tanya... gadisku yang manis. Walaupun mungkin wajahnya sering terlihat jutek, tapi ia punya kepribadian yang menarik. Ia kritis, cerdas, riang dan penuh semangat, walaupun terkadang suka bermanja berlebihan dan kerap merajuk, tapi aku menyayanginya, sudah delapan tahun ini kami menjalin hubungan. Aku berencana melamar Tanya, tapi jujur aku sendiri masih harus mematangkan niatku untuk berumah tangga. Bagiku menikah itu sakral, dan hanya terjadi satu kali untuk seumur hidup. Maka aku menggunakan waktuku sebaik mungkin untuk mematangkan niatku melepas masa lajang ini dan memulai hidup yang baru bersamanya..
Oh ya, apakah tadi sudah kusebutkan, Tanya tidak bisa masak? Ya, ia rupanya bukan tipe wanita yang mau repot mengurus segala pekerjaan rumah tangga. Ia mengisi waktunya dengan bekerja sampai larut malam, dan jika weekend tiba ia selalu mengajakku pergi ke klub malam, berpesta hingga pagi tiba. Bersenang-senang, berbelanja, menonton, bermanja dan menghabiskan waktunya bersamaku, yeah, itulah kegiatan rutinnya setiap weekend.
Dan sore itu usai bercinta, Tanya tiba-tiba bertanya padaku, "Jadi.. kamu yakin tahun depan kamu pasti bisa menjadi juara dunia juga seperti Fez? Aku tidak sabar ingin lihat kamu mendapat gelar juga seperti dia... Member of the Most Excellent Order of the British Empire. MBE. Kan keren, sayang.."
Aku tersenyum, kupeluk erat tubuhnya. "Aku juga ingin, kamu doakan saja supaya semuanya lancar."
"Lalu setelah jadi Member, Officer, Commander, Knight... ohh! Kapan itu terjadi?"
"Astaga sayang, sejak kapan kamu peduli pada gelar? Motivasi utamaku bukan hanya itu.. tapi lebih pada prestasi di dunia yang kugeluti, dan aku butuh dukunganmu."
"Pasti dong... pasti aku dukung! Memang kamu pikir kenapa aku bisa tahan kalau tiap beberapa kali dalam sebulan kita terpaksa long distance.. Semua itu karena aku dukung kamu Ikey," ujarnya seraya mengecupi bibirku.
Tanya tampaknya masih gemas menciumiku, "Hmm.. Tanya. Sayang," panggilku. "Tadi kamu bilang kamu lapar? Kalau kamu memang belum ingin makan, kita bisa lanjutkan ini."
Tanya berhenti, menatapku, lalu menyeringai. ".. Okay, isi tenaga dulu Ike.. malam ini akan jadi malam yang panjang!" katanya sambil terkekeh. "Aku mau mandi dulu sebentar ya!"
Aku tersenyum geli. Tanya sudah menghilang di balik pintu kamar mandi. Kuatur bantal supaya aku dapat duduk bersandar pada headboard, lalu mengamati mentari sore yang bersinar kemerahan, tengah memasuki peraduannya. Pemandangan matahari terbenam di ujung cakrawala lautan selalu membuatku terpesona...
Dan lamunanku seketika terhenti ketika mendengar dering ponsel. Ah, ini suara dering ponsel Tanya. Kuraih ponsel Tanya yang ada di atas meja, tertera pada layar ponsel, 'Erick calling'. Erick? Apakah teman kantornya? Lebih baik kujawab, siapa tahu ini telepon penting.
"Halo," jawabku.
Tidak terdengar jawaban.
Aneh. "Halo," ulangku lebih keras.
Tetap tidak terdengar jawaban, malah terdengar nada sambungan terputus.
Aneh. Apa karena bukan Tanya yang menjawab teleponmu, heh? Memang kenapa, kau kan seharusnya tahu gadis ini sudah punya pacar, ada masalah?
Entah terdorong oleh besarnya rasa penasaranku, atau karena ada bibit rasa curiga mulai menyelinap dalam pikiranku, aku merasa harus mengintip isi ponsel Tanya. Kudapati nama Erick ini ada di daftar call record Tanya, dan tampaknya baru beberapa jam yang lalu mereka sempat melakukan kontak. Ini.. aneh. Rupanya Tanya dan Erick ini terbilang sangat sering kontak, lihat ada berapa puluh kali call received dan call dialled dengan dan dari nama Erick! Bahkan call record Tanya denganku tidak sampai sebanyak ini dalam seminggu.
Bisikan setan entah dari mana lagi menghasutku, memanasiku supaya aku membuka isi inbox Tanya. Ini tidak boleh, ponsel ini privasi Tanya. Persetan privasi! Kau bilang kau pacarnya, Isaac, sudah berapa tahun kalian berpacaran, tentu kau punya hak untuk sekedar mengecek ponselnya!
Dan akhirnya kubuka juga inbox Tanya. Damn, ada nama Erick di daftar paling atas. Kubuka isi pesan Erick itu, dan aku meradang. Kalian ingin tahu apa isi pesan itu?? Ini isinya : 'Tanya, I miss u, baby. Sampai kapan kamu menemani pacarmu itu di rumahnya? Kapan kamu ada waktu lagi untukku??'
Kurang jelas apa isi pesan ini?! Tak sabar, kucari arsip pesan terkirim, dan kudapati Tanya sempat membalas ini pada Erick keparat itu : 'Sabar doong.. sayang.. I miss u too...'
Jantung ini berdegup kencang tanpa bisa kukendalikan.
Tanya. Tanya. Jadi kamu selama ini?
Aku tidak berani berpikir lebih jauh.
Kudengar pintu kamar mandi terbuka, lalu Tanya menyapaku, "Segarnya, sana kamu juga cepat mandi..!"
Aku enggan menyahut. Pikiranku seketika keruh. Apa yang harus kulakukan? Mengonfrontasinya langsung? Membanting ponselnya? Atau menyuruhnya duduk dan menjelaskan semuanya? Persetan! Untuk berpikir positif pun aku tak sanggup!
"Kamu... kenapa pegang ponselku? Kamu cek isi ponselku, Ike?" suara Tanya terdengar sedikit meninggi.
"Pacarmu barusan menelepon," sahutku dingin.
Tanya terdiam. "..Apa?"
Aku bangkit berdiri, menghampirinya. Kulihat Tanya bersedekap, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang terlihat dari raut wajahnya.
"Kamu tahu itu tidak sopan! Kamu tidak boleh cek isi ponselku, itu privasiku.." ujar Tanya.
"Erick. Dia yang meneleponmu."
Kedua bola mata Tanya bergerak lebih cepat. Kurasa ia benar-benar gugup sekarang.
"Kujawab teleponnya, tapi dia tidak menyahut sama sekali. Dan setelah kulihat, rupanya kalian terbilang sering saling menelepon, huh? Aku harus bagaimana agar tidak berpikiran negatif, sementara yang kutahu tidak ada temanmu yang bernama Erick. Dan setelah kulihat isi pesan-pesan di ponselmu.. Semua ini jadi jelas."
Tanya masih berdiri bersedekap. Ia mengerjapkan mata beberapa kali.
"Setelah 8 tahun, Tanya?" tanyaku, masih dengan nada datar. "Apa arti 8 tahun itu buat kamu?"
"Apa pernah aku mengkhianati kamu barang sedetik? Apa pernah aku tidak setia padamu? Pernahkah aku, mengecewakanmu? Aku selalu memberikan yang terbaik buat kamu! Buat kamu seorang! Selama 8 tahun ini, coba sebutkan kapan aku pernah menyakiti kamu?? Dan lalu ini balasanmu??!" nada suaraku meninggi tanpa bisa kukendalikan.
Tanya masih saja berdiri mematung di depanku, entah apa yang ada di dalam pikirannya.
Aku menarik rambutku dengan gemas, lalu kukatakan padanya, "..Tak ada yang ingin kau katakan??" Tanya tetap bergeming. "Ok. Segera kemasi barang-barang kamu dan PERGI dari sini, Tanya. Cerita kita sudah berakhir," ujarku lagi, lalu langsung keluar dari kamar.
Kuteguk whiskey banyak-banyak, berharap yang terjadi barusan hanyalah ilusi. Hembusan angin laut yang biasanya selalu membuaiku dan membuatku tenang, kini tidak kurasakan.
"Isaac.." terdengar Tanya memanggilku dari belakang.
Aku malas menyahut.
"...Aku sudah selesai packing.. Kamu yakin kamu benar-benar mengusirku..?"
"Pergilah."
"..Kamu tidak menginginkanku lagi..?"
Aku tidak menjawab.
"Setelah 8 tahun kita bersama, Ike... Kupikir kamu benar-benar serius sama aku, aku malahan membayangkan bisa menikah sama kamu..! Tapi kamu..."
"Seharusnya AKU yang berkata seperti itu!!" hardikku langsung.
"Sampai tadi kamu bersikap manis sekali sama aku, kenapa dalam sekejap kamu jadi sedingin ini!!"
"Kamu yang buat aku jadi seperti ini!"
"Kenapa begitu Ike... kamu tidak sayang aku lagi..? Kenapa kamu tidak mau memaafkan aku?"
"Kamu tanya kenapa? Trims, sudah menduakanku selama ini, Tanya. Entah sudah berapa tahun aku diduakan. Trims."
"Bukan begitu.. kamu tidak mengerti... aku itu cuma... Cuma.."
"Cukup. Pergilah."
"Ike kamu jahat! Teganya kamu usir aku...! Aku tidak terima kita putus, Ike!!"
"Cepat pergi sebelum aku benar-benar menendangmu keluar dari sini!!"
Tak terdengar lagi sahutan Tanya. Kudengar pintu menutup di belakangku, aku memejamkan mata.
Pasca kami putus, entah sudah berapa ribu kali aku mengutuki diri sendiri, dan menyesali semua yang telah terjadi. Menyesali Tanya. Menyesali diri sendiri yang ternyata cukup tolol sehingga bisa-bisanya aku tertipu wajah manis Tanya. Aku ini pecundang. Semua yang terbaik telah kuberikan pada Tanya. Seluruh waktuku, segenap pikiranku, dan segenap perhatianku telah tercurah pada Tanya seorang, dan ia membalasnya dengan cara seperti itu. Katakan, benarkah aku sepecundang itu?
Aku tak tahan terus didera pikiranku sendiri, maka aku berusaha untuk bangkit. Bukankah seseorang yang disakiti akan lebih mudah pulih dari rasa sakit ketimbang orang yang menyakiti? Berbekal keyakinan itu aku mulai menata kehidupanku yang baru. Sebanyak mungkin waktuku kuhabiskan bersama dengan teman-temanku. Semakin padat jadwalku, semakin baik, karena dengan begitu aku jadi tidak memiliki waktu lagi untuk memikirkan Tanya. Kuharap aku bisa segera melupakanmu, Tanya.
Menghabiskan waktu bersama dengan teman-teman, rupanya membuatku terhibur. Aku jadi menyadari bahwa sebenarnya ada banyak wanita menarik yang ada di sekelilingku dan mungkin salah satu dari mereka pantas untukku! Oh, delapan tahun kuikrarkan janjiku pada Tanya seorang, aku jadi seakan terperangkap dalam tempurung. Hanya Tanya yang terlihat, hanya dirinya yang terus berada dalam pikiranku. Tak ada tempat lagi bagi wanita manapun yang berusaha ingin masuk ke dalam kehidupanku. Tapi kini segalanya berubah. Kuputuskan untuk membuka pintu hatiku lebar-lebar, dan kuharap ada seseorang yang bisa memahamiku luar dalam, dan sebisa mungkin, tidak terpengaruh akan harta duniawi yang kumiliki.
Lalu aku mulai melirik teman-teman wanitaku segank. Louisa, ah, kakaknya Tanya, tanpa sadar aku langsung mencoret namanya dari daftarku. Margee, wanita yang cukup menarik, mungkin ia cukup pantas kudekati. Angie, sepupu Margee, hmm..kurasa ia terlalu cerewet. Lalu ada Sally, ia sudah punya pacar tampaknya. Well, dari keempat teman wanita segank ini tampaknya hanya Margee yang bisa kudekati.
Lalu teman-teman wanita yang bekerja di Glauber? Ah, sudah lupakanlah. Hubungan dengan sesama rekan kerja haruslah profesional, jangan jadikan hubungan profesional berubah menjadi hubungan asmara.
Teman-teman sekolahku lainnya? Tak ada satupun yang kuingat secara personal, kebanyakan dari mereka mendekatiku secara berlebihan hanya karena aku memenangi lomba-lomba balap sewaktu aku masih menjadi pembalap Formula 3 saat masih sekolah dulu. Mereka cuma mengincar popularitas, itu saja.
Siapa lagi..? Penggemarku? Oh tidak, sepertinya aku tidak mungkin mengencani salah satu dari mereka karena aku yakin mereka pasti akan merasa cemburu jika ada salah satu dari mereka yang kudekati. Serba salah memang kalau memperhatikan penggemar, haha.
Well berarti untuk sementara ini hanya Margee yang tampaknya paling bisa kudekati! Lalu aku mulai mencoba mendekatinya. Dimulai dari saling berkirim pesan singkat, kurasa ia meresponku dengan cukup positif. Ia bahkan tidak menolak ketika suatu hari kuajak minum teh usai ia pulang dari kantor. Everything goes on the right track, I think. Dan kurasa aku menemukan kecocokan antara aku dan Margee. Ia atraktif, cerdas, dan enak diajak bicara. Satu hal yang baru kutahu tentang Margee adalah, Margee memiliki hati yang lembut, perasa dan sensitif. Aku pernah membahas headline di koran mengenai penangkapan hiu besar-besaran hanya untuk diambil siripnya. Margee langsung terlihat emosi dan kusaksikan matanya langsung berkaca-kaca, membuatku langsung merasa bersalah.. hahaha. Oh ya, satu hal lagi yang baru kutahu mengenai Margee, yaitu Margee bukan tipe cewek yang usil dan selalu mau tahu urusan orang. Ketika kukatakan padanya, aku sudah putus dengan Tanya, Margee tidak lantas mencecarku dengan pertanyaan, kenapa, bagaimana, kapan, dan sebagainya.. Ia malahan bersikap simpati dan menghiburku. Baru setelah itu aku sendiri yang menceritakan padanya perihal aku dan Tanya putus.
Sekian minggu kuhabiskan dengan menjalin komunikasi yang baik dengan Margee, dan juga dengan teman-temanku yang lain, membuatku merasa jauh lebih baik. Aku tidak lagi sering teringat Tanya, bahkan mungkin bisa kubilang sekarang ini aku tidak lagi memikirkan dan memusingkan apa yang Tanya perbuat padaku. Yang menyita pikiranku adalah Margee, bagaimana ia bisa dengan lihainya merebut hatiku, membuatku selalu menunggu-nunggu kapan bisa bertemu dengannya lagi, kurasa aku sedang dalam proses jatuh cinta! Kutawarkan padanya untuk menjadi teman kencanku pada malam penganugerahan FIA yang akan digelar beberapa minggu lagi, Margee tidak menolak. Oh kurasa aku boleh berharap banyak padamu, Marg?
12 Desember 2003, FIA Gala Prize Dinner Giving Ceremony. Akhirnya tiba juga malam penganugerahan gelar tertinggi pada para bintang motorsport tahun ini. Para atlet motorsport berkumpul semua di sini, untuk mendapatkan trofi dan gelar mereka secara resmi atas prestasi yang mereka raih.
Fez, sang bintang Formula 1, wajahnya yang memang sejak awal terlihat cerah kini semakin sumringah ketika melihat Beau akhirnya datang memenuhi undangannya.
"Hey, World Champion!" seru Beau seraya memeluk Fez. "Sekali lagi selamat! Aku sungguh salut padamu, Fez. Kudoakan semoga kau bisa mempertahankan gelarmu ini sampai seterusnya!"
Fez tersenyum lebar. "Amin! Thanks Royce, thanks!"
"Kau tidak tahu betapa aku salut padamu, Fez. Bahkan bisa dibilang aku iri pada prestasimu, kau tahu? Kau sudah menyandang gelar Member di belakang namamu sekarang!"
"Ah," Fez menyeringai. "Tak lama lagi kau pun akan mendapatkannya, Royce. Tahun depan bawalah Inggris menjuarai ajang Piala Dunia, aku yakin kau bisa. Bukannya kau sekarang sudah dinobatkan sebagai pemain terbaik dunia oleh FIFA? Tidak perlu kau iri, sobat, kita berada pada jalur kita masing-masing dan kita menorehkan prestasi yang bagus. Yang harus kita lakukan hanyalah terus berusaha sebaik mungkin agar kita tetap berprestasi!"
Beau menatap Fez dengan takjub. Dia menoleh padaku, "Ike, kau perhatikan ada yang aneh pada Fez? Sejak kapan kau menjadi bijak seperti itu, Fez?!" katanya sambil meninju bahu Fez dan tergelak.
Aku menyahut, "Euforia yang menjadikan Fez berubah menjadi bijak seperti ini. Aku yakin dia tidak sabar menanti puncak perayaan malam ini, karena dialah bintang malam ini. Yeah, Fez?"
"Yeah, brother," Fez merangkulku. "Kau sudah mulai mengenalku. Aku berusaha bijak karena aku tahu, perjuanganku belum usai. Selama masih ada kau, mengejarku dari belakang dan kerap membayangiku. Kau dengar, aku tidak akan pernah menyerah darimu," Fez menyeringai lebar.
"Well, aku juga! Tahun depan aku yang akan berada di posisimu sekarang Fez, pegang kata-kataku," balasku.
Beau tergelak. "Kalian ini memang benar-benar mirip!"
"Yeah, buktikan Ike, kalau kau memang ingin menyenangkan calon pacar yang kau bawa ke sini malam ini," Fez terkekeh.
Aku terbahak, "Darimana kau tahu ia calonku!"
"Isaac," suara seorang wanita memanggilku dari belakang, ah pasti Margee.
Aku menoleh, dan mendapatinya berdiri di belakangku. "Hey Marg, bagaimana, sudah jadi ke restroom?"
"Iya, sudah.."
"Oh ya, sini kukenalkan kamu pada Beau," aku menarik tangan Margee. "Nah Margee, kenalkan, ini Royce Beauregard. Tentu kamu tahu dia kan..?" Lalu aku berkata pada Beau, "Beau, kenalkan temanku, Margot Bainbridge."
Margee melemparkan senyum manisnya pada Beau sambil balas menggenggam tangan Beau, "Halo, aku Margee. Senang berkenalan denganmu, Royce.."
Ada sesuatu yang aneh terpancar dari sinar mata Beau ketika bertatap muka dengan Margee. Entah apa itu, tapi yang jelas Beau seperti beku dan tergagap saat menjawab sapaan Margee. Wah, ada yang aneh.. Aku mulai curiga. Mungkin saja Beau langsung terkena panah cupid dan jatuh cinta pada pandangan pertama pada Margee!! Tidak, kau tidak kuizinkan menyentuh Margee, Beau. Gadis ini milikku. Walaupun belum resmi menjadi milikku, tapi tak akan kubiarkan lelaki manapun menaruh hati juga pada Margee!
Yeah tapi kalau dipikir wajar sih Beau terpukau pada pandangan pertama. Malam ini Margee memang sangat cantik. Mengenakan gaun backless berwarna pink pastel dan dihiasi kumpulan payet perak yang mempertegas tubuh moleknya.. Rambut cokelatnya yang halus dan indah disisir ke samping. Sederhana, tapi cukup membuatku terpukau juga begitu menjemputnya di hotel tadi sore.. Margee, kurasa kamu sukses merebut hati dua orang pria -atau lebih- malam ini, di sini.
Chapter 16 - 20
Chapter 16 - 20
-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-
No comments:
Post a Comment