Escape

Copyright © 2015 CamilleMarion All Rights Reserved


Prolog.


14 Februari 2008.

Perkenalkan namaku Adrian Mulya, umurku 23 tahun. 

Apa yang kalian lakukan saat hari valentine seperti ini? Memberikan sekotak coklat pada pujaan? Mentraktir pacar makan di kafe romantis? Apapun yang kalian lakukan, memang hari ini adalah hari spesial bagi seluruh insani. Hmm, khususnya bagi yang sudah memiliki pasangan hidup, tentunya. Dan aku ingin membuat kalian semua iri padaku. Kenapa? Karena saat ini aku dan istriku, Ellen, tengah menghabiskan waktu bersama sambil menikmati sinar mentari yang hangat, sehangat cinta kami berdua. Kehangatan yang membuat kami dipercaya oleh Tuhan untuk merawat dan mendidik Tonny, buah hati kami. Joachim Anthony Mulya, nama lengkapnya. Anak kesayanganku itu sedang asyik bermain dengan retriever kecilnya yang dia beri nama Rocky, hadiah istimewa dariku dan istriku pada saat ulang tahunnya yang keenam tahun lalu.

Aku menoleh pada Ellen. Baru empat hari yang lalu ia berulang tahun ke-23. Yeah, umurnya sama denganku.. Lama aku menatap mata indahnya yang berbinar-binar menonton Tonny bermain. Ia sungguh cantik! Dan aku sungguh beruntung bisa mendapatkan seorang istri secantik Ellen. Kurasa kalian penasaran secantik apa istriku ya? Oh, ia bertubuh semampai, langsing namun padat berisi. Kulitnya bersih, rambutnya yang hitam dan indah tergerai melebihi bahu. Wajahnya oval, berhidung mancung, dan bibirnya ranum dan sensual. Ia juga memiliki mata yang hitam dan jernih, yang senantiasa berbinar dari balik bulu mata yang lentik. Ellen benar-benar istri ideal! Banyak orang merasa iri padaku, kalian juga pasti iri padaku bukan?

Aku seringkali memuji keelokannya, terlebih pada saat hubungan kami sedang rukun dan sedang tidak ada masalah. Sebab biasanya jika bahtera rumah tanggaku sedang dilanda badai, (sayangnya badai itu sangat sering melanda kami) jangankan memujinya, duduk berdampingan seperti sekarang ini saja belum tentu. Hanya perang mulut tak berkesudahan jika kami sedang bertengkar. Kupikir wajar, faktor umur kami memang sangat mempengaruhi tingkat emosional kami.

Sering pula pertengkaran kami sampai memakan waktu berminggu-minggu, dan kalau sudah begitu, Ellen selalu pulang ke rumah orangtuanya dan mengadu. Bayangkan, mengadu pada orangtuanya! Aduh, kalau Ellen sudah bertingkah manja seperti itu, aku biasanya langsung menyeretnya keluar dari rumah orangtuanya dan memarahinya sepanjang perjalanan pulang. Gila ya! Masa’ Ellen mau masalah rumah tangganya direcoki orangtua? Setelah kumarahi, biasanya aku selalu memeluknya dan mengatakan alasanku memarahinya. Aku tidak minta maaf, lagipula memangnya aku salah? Aku hanya ingin mengajarinya untuk tidak lagi berlindung di balik punggung orangtuanya. Bagaimana pun kami sudah menikah, memiliki rumah tangga sendiri. Aku pun sudah sering diwanti-wanti oleh orangtuaku sendiri, agar jangan manja! Persoalan rumah tangga harus dihadapi sendiri, dengan cara dewasa, kepala yang dingin dan sebijaksana mungkin.. tidak boleh direcoki oleh orang tua! Nasihat mereka selalu kuterapkan dalam rumah tanggaku dengan Ellen.. Maka kurasa tidak masalah jika sesekali aku bersikap keras padanya. Lalu aku akan mengajaknya bicara dari hati ke hati, menjabarkan pokok permasalahan sebenarnya yang sedang kami hadapi, dan bersama-sama mencari jalan keluar dari permasalahan yang kami hadapi.



Dan kalau sedang terjadi pertengkaran antara aku dan Ellen, biasanya Tonny yang jadi korban. Kasihan dia. Jika aku dan Ellen baru sampai pada tahap perang mulut, dia tiba-tiba datang, dan dengan wajah polos bertanya apakah kami sedang bertengkar. Tentu saja kami akan menyangkal, dan demi menyingkirkan rona sedih dari wajah polos itu, di depannya kami sengaja berakting seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa.

Aku hanya berharap semoga di kemudian hari aku dan Ellen semakin jarang bertengkar. (Tentu saja, siapa sih yang suka bertengkar? Jauh lebih baik aku dan Ellen tetap rukun, dan mungkin ada bagusnya bisa nambah momongan? Hehehe) Faktor utama adalah aku hanya tidak ingin melihat rona sedih di wajah polos Tonny ketika melihat orangtuanya bertengkar. Aku tidak ingin melihat anakku semata wayang yang cerdas dan tampan itu terlihat sedih.

Sudahlah, sekarang ini aku hanya ingin menikmati saat-saat aku bisa bersantai dan bercengkrama secara rileks dan bebas dengan keluargaku. Momen-momen berharga seperti ini jarang sekali kudapatkan. Setiap harinya aku selalu disibukkan oleh pekerjaan-pekerjaan di kantor. Masalah-masalah di kantor, yang lama kelamaan jadi beban yang menumpuk dan membusuk. Maklumlah, aku eksekutif muda yang memegang peranan penting di perusahaan milik ayahku. Aku yang akan menggantikan kedudukan ayahku sebagai presiden direktur, dan memiliki seluruh saham milik keluarga kami.

Phew. Berat kan, tanggung jawabku? Istri, anak, juga perusahaan yang akan diwariskan padaku. Kurasa aku masih terlalu muda untuk hal-hal seperti ini. Memang aku masih terlalu muda. Umurku baru 23 tahun! Jadi sangat wajar jika aku sering merasa sangat jenuh dan lelah. Ingin aku pergi jauh dari semua tanggung jawab yang menjengkelkan itu dan berhura-hura tiap malam dengan teman-temanku. Seperti yang dilakukan oleh orang-orang muda lainnya. Umur 23 masih termasuk umur yang harus dipergunakan sebaik-baiknya untuk bersenang-senang!

Apalagi, mengingat aku tidak pernah dan tidak akan pernah merasa puas dengan masa-masa remajaku. Masa-masa menyenangkan tapi juga membingungkan itu terpaksa hanya sebentar kujalani. Sebab…

Yah, seperti yang sudah bisa kalian duga setelah melihat selisih umurku dan umur anakku.

Aku terpaksa menyudahi masa remajaku tepat pada umur 16 tahun, ketika kecelakaan di malam hari itu membuahkan hasil, dan tentu saja membutuhkan pertanggungjawaban dari kedua belah pihak yang bersangkutan.

Masih teringat dengan jelas, seperti baru terjadi kemarin, apa saja yang terjadi pada saat itu…..



Chapter 1. 


'First Escape'

Minggu, 8 Oktober 2000.

Gue lagi di kamar, rencananya sih belajar buat mid semester satu di kelas dua, yang tinggal hitungan hari, tapi… FUCK, males banget gue mesti megang buku-buku pelajaran yang memuakkan dan bikin mual, apalagi kalau liat rumus! Kalau bisa, dengan senang hati gue akan muntah di atas rumus-rumus sialan itu. Jadi, daripada nggak ada kerjaan, gue setel tape sambil mendengarkan lagu favorit gue.

Gue rebahan di atas kasur dan baru akan terlelap, ketika tiba-tiba gue dengar suara benda pecah dari lantai bawah. Nah lho. Apa lagi yang pecah? Piring? Vas bunga? Atau porselen kesayangan nyokap juga turut jadi korban?

Lalu terdengar teriakan-teriakan nyokap gue, disusul dengan teriakan bokap gue, nggak kalah kencengnya. Kalau sudah gitu, biasanya salah satu dari mereka cabut keluar dan membanting pintu ruang tamu di lantai bawah tanpa perasaan.

BRAKK!!

Nah. Itu suara pintu dibanting. Bener kan gue? Berarti malam ini ada yang nggak pulang. Siapa ya, kali ini? Bokap, atau nyokap?

Gue sudah biasa mendengarkan pertengkaran mereka setiap hari. Adaa.. saja yang diributkan. Gue juga nggak tahu kenapa mereka jadi sering bertengkar kayak anjing dan kucing begitu. Mungkin mereka emang sedang bermetamorfosis menjadi anjing dan kucing? ..Hush. Ngawur.

Tapi gue sih tenang-tenang saja, soalnya paling sebentar lagi juga mereka bakal baikan. Nggak usah diambil pusing deh..

Gue ambil handphone gue dan menelpon cewek gue, Lina. Dia pinter, siapa tahu dia mau mengajari gue fisika, sekalian berduaan sama dia, yah loe pahamlah!

Lina nengangkat telepon dari gue pas nada sambung yang ketiga. “Ada apa, Dri..?”

“Hai, Lin. Lagi apa?”

“Belajar. Hari Rabu kan sudah mid. Kamu sudah belajar belum..?”

“Belum. Males banget gue! Loe tuh memang rajin banget ya?  Ajari gue fisika dong?”

“Mmh… boleh. Kapan?”

“Besok, pulang sekolah. Bagaimana? Di rumah loe, ya.”

“Ok… tapi benar-benar belajar, lho..”

Lina, Lina. Cewek alim. Pinter. Manis. Lembut. Pengertian. Gue jadian sama dia sejak kelas 1 sma. Enaknya, gue jadi beken di sekolah karena gue berhasil menggaet cewek paling manis di sekolah, yang jadi rebutan banyak cowok. Tapi nggak enaknya, dia tuh rajin banget belajar! Heran, zaman gini belajar?


____________________


Besoknya, di sekolah.

Gue dan teman-teman gue -Andre, Sony, dan Daniel- sedang asyik ngobrol di koridor. Membuang waktu selagi menunggu waktu istirahat habis, dengan obrolan-obrolan yang menurut gue pribadi, nggak berguna! Tapi gue ladeni saja mereka, sejauh mereka nggak menyinggung perasaan gue.

…Jujur, sering juga sih, kata-kata mereka ngaco dan ngelantur. Ditambah, mata mereka yang merah, dan sikap mereka yang kayak orang mabok. Dan kalau sudah kayak begitu, gue berkesimpulan, mereka masih mabok habis minum semalaman atau…habis pesta obat semalaman.

Obat?

Yep. Sudah lama gue tau, mereka pengguna. Malahan mereka sering mengajak, membujuk gue untuk ikutan mereka. Tapi nggaklah.. iman gue kuat kok. Buktinya sampai sekarang gue baik-baik saja.

Daniel. Berperawakan tinggi besar, berambut ikal pendek dan berkulit putih. Matanya hitam dan jernih. Dulu, sewaktu belum kenal drugs. Sekarang dia kurus, tinggal kulit pembalut tulang. Namanya juga junkers.

“Katro, nanti malam ada acara nggak loe? Ikut kita dugem!” ajaknya.

Sony segera menimpal, “Percuma loe ajak dia. Anak mami.”

Gue menatap Sony. Males mengomentari kata-kata si Sony. Gue jadi ingat masa-masa gue dan dia baru saja masuk SMP. Cupu. Yeah, Sony cupu. Culun punya. Tubuhnya kurus kecil, memakai seragam yang kegedean buat dia. Sudah begitu seragamnya dikancing semua sampai atas. Kacamatannya tebal dengan bingkai hitam, plus, rambut berponi lurus.

Sekarang? Jauh beda. Tubuh tetep kurus (malah kayaknya lebih kurus lagi tuh). Kacamata botol susunya sudah dilepas, dibuang kali. Dia pakai soft lense sekarang. Rambutnya juga sudah nggak berponi lagi, tapi dia biarkan tumbuh panjang dan berantakan.

Gue jawab, “Gila, sudah mau ujian begini ajak gue dugem! Ada-ada saja loe!”

“Nah, sudah gue bilang, kan!”

Gue melanjutkan, ”Lagian hari ini gue mau ke rumah cewek gue, bro.. mau les privat.”

“Tau deh, mentang-mentang punya pacar yang pinter,”  sahut Andre.

Andre orang terakhir yang bergabung dalam ‘kelompok’ gue ini. Dan dialah yang paling pentolan. Diam-diam gue perhatikan, akhir-akhir ini dia kelihatan lebih sibuk dari biasanya. Gue curiga, dia mulai menjadi bandar.

Ah, gila. Bagaimana ceritanya sih gue bisa berteman dengan mereka?? Dan bagaimana ceritanya pihak sekolah seperti nggak peduli pada murid-muridnya sendiri? Kacrut nih sekolahan.. sumpah.

“Loe sekali-kali ikut kenapa, sih? Buat selingan. Kalau nggak suka, ya tinggalkan saja. Gampang kan?” tanya Andre.

“To the point saja apa maksud loe,” kata gue.

“Yea.. Gue yakin loe tahu banget maksud gue apaan.”

“Dan loe tau persis jawaban gue.”

“Loe nggak bosen juga kita panggil loe ‘katro’?” tanya Daniel.

“Whatever,” jawab gue sekenanya, lalu berjalan menjauhi mereka.

Dan.. gue sendiri nggak paham, kenapa gue sampai nggak bisa menjauhi mereka. Walaupun sebenarnya gue ingin banget nggak berhubungan dengan mereka lagi.. Apa karena gue terlalu terikat dengan persahabatan kami di masa lalu? Entahlah.

Gue menuruni tangga, menuju kantin sekolah gue yang biasanya selalu penuh sesak dengan anak-anak yang bernafsu makan besar. Seandainya adiksi alkohol dan drugs yang dialami Andre, Sony dan Daniel berubah menjadi adiksi makanan.. ah, teruslah bermimpi. Gue yang seharusnya menjauh dari mereka! Titik!

Di ujung tangga gue melihat Martin – rival gue. Dia sedang berjalan menaiki tangga, mendekati gue. Dia mendangak, menyadari keberadaan gue dan tersenyum sinis. Apa pula maunya orang ini. Nggak ada bosannya cari masalah?

Martin. Delapan bulan lebih tua dari gue. Berperawakan tubuh sedang, dan yang membuat gue nggak respek dan eneg melihatnya adalah gaya rambutnya yang sok-sok mengikuti model rambut orang Jepang. Oh, please. Korban mode.

Dan entah kenapa banyak orang yang salah liat. Salah menilai. Masa gue dibilang mirip sama dia?! Apanya?! …menurut mereka sih, wajah dan tubuh gue dan Martin rada mirip. Apa mereka nggak sadar, bahwa gue yang rupawan ini jauh berbeda dengan si tengik ini?

Martin tiba-tiba berhenti ketika kami berpapasan di tengah tangga. Dia bilang, “Hei. Gue cuma mau memperingatkan loe. Hati-hati, bisa-bisa hari ini kedok loe terbongkar.”

Kedok apaan? Gue menyahut tanpa menoleh pada itu orang, “Apa maksud loe?”

Dia mengangkat bahu, “Terserah, loe mau mengartikan apa kata-kata gue tadi. Yang jelas, kalau nanti terjadi sesuatu, jangan sekali-kali loe menyalahi gue. Ok?  …dan juga jangan heran kalau pada akhirnya nanti, Lina menjadi milik gue.”

Gue tersenyum menyindir, “Hmm..optimis banget. Belom nyerah juga?”

“Sekarang loe bisa ngomong begitu. Entah besok… Apa loe masih bisa ngomong seperti itu?”

Dia menepuk bahu gue pelan dan berkata sebelum dia cabut, “Good Luck.”

Enggan gue menoleh ke arahnya. Pamali.

Brengsek. Apa maunya si Martin? Masih penasaran, siapa cowo yang  berhasil merebut hati Lina? Orang yang nggak tahu diri.

Gue lirik jam tangan gue. Dua belas lebih sepuluh. Lima menit lagi bel pulang sekolah. Ah, cepatlah. Gue udah kangen sama Lina, nih.

 …bel akhirnya berdering nyaring. Gue buru-buru berkemas dan keluar dari kelas. Langsung menuju kelas Lina, 2-2. Gue menyapukan pandangan ke koridor depan kelas 2-2, dan nggak melihat tanda-tanda kehadiran Lina. So, gue tunggu Lina di depan kelasnya.

Gue bersandar di dinding sambil asyik mengingat-ingat proses gue dan Lina jadian, yang.. nggak istimewa, nggak ada gunanya juga gue ceritain, tapi buat gue.. kenangan itu berharga banget.

Nggak beberapa lama kemudian, Lina keluar dari kelas. Cewek berwajah manis dan imut itu kaget, begitu pandangannya tertumbuk pada gue.

Gue sapa dia sambil melempar senyum gue yang paling dahsyat, “Hai, Lin. Hari ini, jadi kan?”

Lina memicingkan mata, dan berkata dengan suara tertahan, “Loe.. masih berani juga, ya, ketemu dan nyapa gue, seolah nggak pernah terjadi apa-apa! Bajingan. Puas loe, mainin gue, puas?!”

Hah?

“Lin, l,loe.. ngomong apa sih? Loe kenapa?”

“Gue, kenapa?! Nggak usah pura-pura nggak tau deh! Loe tau betul apa yang gue omongin!”

Apaan sih?? “Loe ngomong yang jelas kenapa?! Gue nggak tau apa maksud loe!” seru gue.

Lina mendecak, “Masih pura-pura nggak tau apa yang gue omongin. Semua orang di sekolah ini udah pada tau kalau loe cuma mainin gue. Oh, hebat. Hanya gue yang nggak tau kalau loe adalah seorang playboy. Tolol banget sih gue.”

Gue bengong. Kerasukan apaan sih ini cewek? “Playboy? Apa sih maksud loe ngomong begitu? Huh? Darimana loe dapet info nggak bener kayak begitu?!”

“Udah Dri, ngaku aja deh.. Untung ya, gue punya sahabat-sahabat yang baik, yang mau buka mata gue. Gue tuh nggak menyangka ya, di balik manisnya wajah loe, loe tuh ternyata busuk..!”

Sialan! Jadi di mata loe gue adalah busuk?! “Loe.... Memangnya gue ada salah apa sih?? Gue melakukan apa?!”

“Loe pikir sendiri aja deh! Capek gue ngomong sama loe, nggak paham-paham!”

“Sebentar..” gue terdiam. “Tadi loe bilang sahabat-sahabat loe..?” tanya gue dengan suara tertahan. “Gank loe, maksud loe?”

“Siapa lagi?”

“Mereka, yang ngomong kayak begitu ke loe?”

Lina nggak jawab.

“Lin, gue nanya..!” desak gue.

“Iya! Memang kenapa?!”

Gue mengusap rambut gue dengan sebelah tangan. “Kenapa mereka ngomong begitu, sih, ke loe?! ….dan loe percaya kata-kata mereka?!”

“Gue lebih mempercayai temen-temen gue daripada apapun di dunia ini,”

“Oh. Jadi loe nggak percaya sama gue?”

“Nggak. Kalo boleh jujur,”

“Jadi selama ini, loe nggak percaya sama gue?!”

“Selama ini… gue sih percaya-percaya aja sama loe. Tapi setelah temen-temen gue nyadarin gue bahwa loe tuh playboy… Gue nggak percaya lagi sama loe.”

“Apa?” Gue bener-bener heran. Gue bener-bener nggak nyangka, kenapa Lina percaya begitu aja pada fitnahan temen-temennya mengenai gue. Gue nggak merasa pernah menyakiti atau bahkan mengkhianati Lina selama ini! Nggak masuk akal banget! Dan apa sih maksud temen-temennya fitnah gue?!

“Jadi kesimpulannya… Loe lebih percaya sama temen-temen loe, daripada sama gue?” tanya gue.

“Itu ngerti.”

Gue terdiam lama. “Terserah loe deh. Mau anggap gue apa. Toh, ternyata selama ini gue salah memacari cewek. Gue salah memacari cewek yang nggak percaya sama sekali pada gue. Dan tololnya, dia percaya begitu saja pada fitnahan! Apa yang dikatakan temen-temennya dia telan langsung!”

Lina menyilangkan tangannya di depan dada, “Gue nggak butuh komentar loe! Pergi loe jauh-jauh dari hidup gue. Gue nggak sudi didekati sama cowok macem loe!”

Gue mengangguk-angguk, lalu pergi meninggalkan dia.

Kampret.. Kenapa tiba-tiba temen-temen Lina pada fitnah gue sih? Selama ini mereka baik-baik saja sama gue. Dan kenapa sih, Lina percaya mentah-mentah pada apa yang mereka omongin?! Nggak habis pikir!

Di tengah jalan Martin cegat gue. Dia dateng bareng sama sekumpulan cewek-cewek. Insting gue langsung bilang, semua ini adalah ulah dia. Menurut gue,dia suruh temen-temen Lina untuk fitnah gue. Tapi gimana bisa sih?!

Dia nampang di depan gue dengan menyilangkan tangan di depan dada sambil tersenyum sinis. “Gimana, bad luck rupanya loe, ya?”  kata Martin santai.

Gue naik darah langsung. Tanpa ba-bi-bu gue tonjok muka Martin, dan dia langsung roboh. Huh, pengecut. Lembek. Temen-temen ceweknya langsung merubung dan menolong Martin. Sementara gue cabut, nggak ambil peduli.

Cowok bangsat.

Cewek tolol.

Mereka cocok rupanya!

Gue setuju Martin dan Lina jadian.



Sejak saat itu gue bad mood. Gue males belajar, walaupun gue tau, mid tinggal beberapa hari lagi. Dan gue nggak peduli. Bodo amat!

Mid hari pertama.

Gue cs, sedang duduk-duduk di koridor depan kelas. Niat gue sih belajar,  tapi buku yang gue pegang cuma beralih fungsi jadi kipas.

Andre menutup buku yang sedang dia baca dengan kesel, sambil menggerutu, “SHIT! Gue belom belajar nih!!”

“Belajar tuh buat anak cemen, coy,” sahut Daniel.

 “Ya sudah sih, gampangnya saja. Kita nyontek ke temen kita yang satu ini. Pastinya dia sudah belajar,” kata Sony sambil rangkul gue. ”Ok, Dri! Kasih tau jawaban loe, semuanya!” katanya lagi.

“Bener juga. Kita mengandalkan loe. Ok?”

Gue mendengus. “Gigi loe. Gue sama sekali nggak belajar kemaren.”

“Loe nggak belajar? BULLSHIT,”  kata Sony.

Nggak bohong. Gue nggak peduli mid gue, dan gue memang bener-bener nggak belajar. Kan sudah gue bilang tadi, gue masa bodo.

“Sumpah. Gue nggak belajar. Males. Bad mood. Nggak peduli,”  kata gue.

“Bukannya loe belajar bareng Lina?”

Gue terdiam sebentar. Lalu kata gue, ”Pegat.”

Sontak Andre, Sony dan Daniel ketawa ngakak. “Syukurin loe! Tau rasa!” seru Daniel.

“Loe anggurin doang sih tu cewek! Jadi ngambek deh! Hahaha!” sahut Andre, puas banget dia ketawain gue.

Terserah.

____________________

2 minggu kemudian.

Hasil tes mid sudah diumumkan. Anak-anak berkumpul di depan papan pengumuman untuk melihat hasilnya. Gue tetep nggak peduli. Gue yakin banget nilai gue jatuh drastis. Jadi buat apa gue ikutan berdesak-desakan di depan papan pengumuman hanya untuk melihat buruknya nilai gue? Gue duduk di bawah pohon sambil menyelonjorkan kaki. Asyik menikmati hembusan angin yang sepoi-sepoi.

Gue lihat Andre berusaha menyeruak keluar dari kerumunan orang, dan berjalan menuju gue. Dia menegur,  “Woi! Loe nggak mau lihat hasilnya?”

Gue menggeleng.

Daniel berjalan menghampiri, dan ikutan menegur gue, “Woi, katro! Ngapain loe bengong di sini aja?”

“Berapa jumlah loe?” tanya gue.

“90. Lumayan…di atas rata-rata. Padahal gue sama sekali nggak belajar. Untung gue nyontek. Lu?”

Gue angkat bahu. “Peduli amat.”

“Liat aja gih.”

Gue sebenernya penasaran juga sih. Jadi gue bangkit berdiri dan berjalan menuju papan pengumuman. Gue cari nama gue, dan gue pun akhirnya melihat hasil mid semester gue.

TA-DAA!

Wah. Angka yang nggak pernah gue dapatkan seumur hidup gue.

Gue balik ke temen-temen gue yang lagi nungguin gue, dan disambut dengan pertanyaan, “Berapa jumlah loe, Dri?”

“Di bawah rata-rata. 80,” jawab gue santai.

“Elu? Bullshit banget loe. Biasanya juga di atas 95,” sahut Sony.

“Sumpah. Liat aja sendiri. Udah ah, gue balik ya. Yook,” pamit gue pada mereka sambil cabut. Gue berjalan ke parkiran motor, menuju motor gue. Gue pake jaket, dan helm gue, lalu segera cabut dari tempat itu.

Dalam perjalanan pulang, gue membatin. Sebenernya gue panik juga, sih. Nilai gue bener-bener ancur. Masih kurang 4 angka untuk mencapai rata-rata. Shit.

Hmm.. palingan juga dimarahin bonyok, bisa turun sedrastis itu. Tapi.. nggak apa-apa sih, mau marahin juga sudah untung. Berarti mereka masih care.

Gue sampai di rumah beberapa menit kemudian. Gue lihat nyokap lagi asyik nonton TV di ruang tengah. “Aku pulang,” kata gue.

Nyokap menoleh sekilas, lalu kembali terhanyut dalam acara TV yang sedang ditontonnya.

“Papa mana, ma?” tanya gue.

Mama menjawab hanya dengan gerakan bahu.

“Jadi papa nggak ke kantor? Terus, siapa yang mengurusi kantor?”

“Ya nggak ada,” jawab nyokap santai. “Kamu kan tau sendiri. Papamu adalah seorang presiden direktur dan pemilik perusahaan yang nggak bertanggung jawab.”

“Gimana kalo bangkrut? Mama kok santai-santai aja, sih?”

“Lalu mama harus gimana, Adri? Lagipula papamu bangkrut bukan urusan mama. Biarkan saja, mama nggak peduli.”

Gue geleng-geleng kepala. Kesel banget gue! Bodo amat jugalah! Gue mau naik ke atas ketika tiba-tiba gue teringat sesuatu. Gue berhenti dan bilang ke nyokap, “…hasil mid semester udah diumumin. Nilaiku di bawah rata-rata, ma. 80.”

“Oh.”

Oh? Cuma itu? Loe nggak peduli lagi sama gue, bukan?

Gue naik ke atas, dan ketika gue di tengah tangga, gue dengar bokap pulang, dan disambut oleh semprotan nyokap. Gue berhenti, langsung cari spot yang enak buat mengintai mereka.

“Ingat rumah, rupanya. Kukira nggak akan pulang, hari ini” kata nyokap.

Bokap jawab dengan suara keras, “Aku pulang salah, aku nggak pulang salah..! Apa sih maumu sebenarnya, hah?!”

“Aku cuma pengen kamu lebih bertanggung jawab sebagai kepala keluarga! Bukannya main perempuan!” seru nyokap nggak kalah kerasnya dari bokap.

Papa? Main perempuan?

“Apa katamu?! Jangan sembarangan menuduhku! Kamu sendiri ibu rumah tangga yang tidak becus dan bertanggung jawab!”

“Aku?! Apa alasanmu menuduhku seperti itu?”

“Kamu nggak pernah sadar ya?! Kamu tuh terlalu memanjakan Ezra! Seandainya kamu nggak mengizinkannya pergi, Ezra nggak akan pergi secepat itu!! Kamu introspeksi dong!”

“Jadi kamu menyalahkanku atas kepergian Ezra?? Bukannya itu semua adalah salahmu?!”

Ezra?

Mereka.. jadi seperti ini….karena Ezra? Hanya karena Ezra??

Apa anak mereka cuma Ezra?! Lalu gue? Apa? Bukan anak mereka?! Ada apa sih?! Dan gue langsung teringat dua tahun yang lalu, ketika….

[  April 1998.

Gue sedang asyik main komputer ketika pintu kamar gue diketuk. Gue bangkit berdiri dan buka pintu. Rupanya Ezra, kakak gue. Biasa gue panggil dia Eza, Eja, Ez, Jra, whateverlah sesuka mulut gue nyepik. Nah itu anak, belum gue persilahkan masuk dia langsung menerobos masuk ke dalam kamar.

“He, mau oleh-oleh apa loe?” tanyanya.

“Hah? Oleh-oleh apaan?”

Ezra duduk di ujung tempat tidur gue dan nyengir lebar, “Akhir pekan ini gue cabut ke Sydney,” katanya sambil mengikat rambutnya yang panjang sebahu.

“Ngapain?”

“Ya pacaranlah! Pakai tanya lagi. Bayangkan, sudah berapa lama gue LDR sama cewek gue! Mumpung ada kesempatan, gue mau ke sana. Dan bagusnya bonyok sudah kasih gue izin.”

“Seriusan loe? Bonyok kasih izin??”

“Segala sesuatu kalau diperjuangkan ada hasilnya, dek. Lagian gue pakai duit gue sendiri.”

“Taulah yang tajir!”

“Ya.. makanya loe gue tawarin oleh-oleh. Mumpung mood gue lagi baik. Cepat jawab!”

“Tumben,” gue diam sebentar. “Kalau buat gue yang gampang ajalah! Tshirt gue mau, tas boleh, dompet kulit.. jam weker juga boleh. Sama tusuk gigi kalau bisa,” kata gue sambil nyengir.

“Najis! Buat apaan tusuk gigi! Tuh, loe pakai stik drum aja buat korek gigi!”

“Lah! Suka-suka gue yang request! Kan loe yang nawarin oleh-oleh!”

“Serah dah.. serah! Jadi, loe antar gue ke bandara, oke?”

“Beres,” jawab gue. “Ngomong-ngomong, dalam rangka apaan bonyok kasih loe izin?”

“Memang kenapa? Nggak boleh?”

“Bukan.. Bukannya yang paling dicemaskan bonyok tuh kalau loe bikin anak orang bunting yak? Lah loe pergi jauh-jauh, berduaan doang sama cewek loe, apa jadinya tuh..”

Ezra malah senyum licik. “Makanya, kalau mau main yang smart dek..” katanya sambil nunjuk pelipis. “Jangan otot doang loe pakai, otak juga!”

“Ha?” gue nggak ngerti.

Ezra mengibaskan tangan. “Sudahlah! Bocah baru gede mana ngerti sih.”

“Kalau gue nggak ngerti, itu tugas kakaknya ajarin! Bukannya malah sombong! Ini gue serius, Za, loe jangan macem-macem disana!”

“Sudah deh.. Anak kecil tau apa sih. Lanjut belajar sana,” Ezra bangkit berdiri sambil acak-acak rambut gue. “Loe tenang aja, gue bisa jaga diri kali, nggak kayak loe! Hahahaha..” katanya lagi sambil terbahak.  ]

... Dan rupanya itulah saat terakhir gue mendengar tawanya yang renyah dan khas.

Nggak ada yang menginginkan tragedi saat itu terjadi. Termasuk gue! Memang gue yang mengantar Ezra ke terminal dengan motor, dan gue bersumpah pada Tuhan gue nggak ngebut! 30 km/jam, itu nggak kencang kan? Gue juga disiplin mematuhi peraturan! Dan lagi pula saat itu gue membonceng Ezra + barang bawaannya yang lumayan juga beratnya! Gue nggak ingin terjadi apa-apa kalau gue ngebut! Dan gue orangnya tuh hati-hati. Mana pernah gue melanggar lampu merah? Mana pernah gue maksa lawan arus? Sejak kecil gue diajarkan bokap supaya jangan jadi orang bengal, hormati dan hargailah orang lain.. ya termasuk kalau sedang dalam perjalanan juga. Gue nggak seperti pengendara motor ugal-ugalan yang seenaknya nyerobot trotoar pas lagi macet. Juga nggak maksa kalau lampu lalu lintas udah menyala kuning..

Dan waktu itu, di perempatan lebak bulus nggak terlalu ramai. Kebetulan banget di lampu merah gue yang paling depan. Ezra duduk dengan anteng di belakang gue, sesekali gue dengar dia bersenandung nggak jelas. Gue tahu dia senang banget saat itu. Iyalah, bakalan ketemu pacar setelah berbulan-bulan LDR, siapa yang nggak excited? Apalagi dia sudah dapat izin resmi dari bonyok, secara gue tahu bonyok tipe yang lumayan keras.. Jadi gue sendiri amazing begitu tahu bonyok kasih izin Ezra pergi ke luar negeri buat ketemu pacar.

Lampu sudah menyala hijau, otomatis dong gue mulai jalan lagi. Motor dan mobil lain di samping gue juga mulai gerak.. dan tahu-tahu aja dari kanan ada sedan ngebut persis seperti sedang kesetanan! Gue kaget! Oleng, dan gue terguling di aspal. Sepersekian detik setelah gue jatuh, gue dengar suara benturan keras di belakang gue, berbarengan dengan suara decitan mobil dan suara teriakan banyak orang. Darah gue serasa berhenti begitu gue menoleh ke belakang.. dan melihat Ezra bersimbah darah.

.... Saat itu adalah saat yang paling mengerikan dalam hidup gue. Seandainya ada alat yang bisa membuat gue amnesia, bakalan gue pakai alat itu! 

Suara nyokap yang nyaring membuat gue tersentak sadar dari lamunan. “Yang mengizinkan dia pergi itu, kan kamu?! Bisa-bisanya kamu menyalahkan aku??”

“Aku?!”

Gue nggak tahan, dan gue langsung masuk ke kamar. Ternyata itu sebabnya mereka selalu bertengkar?! Sudah dua tahun lebih, mereka masih mengungkit-ungkit dan saling menyalahkan?? Dua tahun!! Keterlaluan nggak, sih? Dan… mereka.. apa mereka nggak sadar?! Atau malahan mereka nggak bisa menerima kenyataan kalau Ezra sudah meninggal…?! Dan gue… sesibuk itukah mereka bertengkar, sampai mereka nggak sadar bahwa mereka masih mempunyai satu anak lagi yang masih hidup?? Yang terlibat juga dalam kecelakaan yang sama, tapi masih tetap hidup sampai sekarang?

Atau... atau jangan-jangan mereka sebenarnya menyalahkan gue atas kematian Ezra? Gue jadi ingat, dulu ketika tragedi itu terjadi, berulang kali mereka meminta gue menjelaskan apa saja yang terjadi secara detail.. Dari yang gue lihat, gue merasa mereka nggak terlalu yakin dengan cerita gue. Mereka menyangka gue melanggar lampu merah sehingga kecelakaan itu terjadi. Gue nggak! Gue patuhi lampu lalu lintas kok! Coba tanya saja semua orang yang ada di tkp saat itu, semua juga tahu motor gue bisa oleng karena apa! Yeah, karena sedan yang kesetanan itu!

Lalu seiring berlalunya waktu, mereka nggak lagi menyinggung-nyinggung soal kecelakaan itu. Gue pikir semua sudah clear! Eh nggak tahunya... sampai sekarang mereka masih belum bisa move on dari tragedi itu, dan malah saling menyalahkan! Dan mungkin memang dalam hati mereka yang paling dalam, mereka menyalahkan gue atas kematian Ezra!

Ezra kakak gue satu-satunya! Mana mungkin gue punya niatan jahat seperti itu? Apakah sebegitu jauhnya pikiran buruk mereka mengenai gue, sampai bisa-bisanya gue dikira dengan sengaja membuat Ezra celaka??

Halo! Pa! Ma! Yang menjadi korban kecelakaan saat itu nggak hanya Ezra seorang! Gue juga! Apa jadinya kalau saat itu gue juga terlindas mobil?? Penerus keluarga ini habis sudah! Tapi kan pada kenyataannya, nggak seperti itu! Gue masih hidup! Masih bernafas sampai sekarang, masih sehat! Kenapa kalian nggak mensyukuri hal yang satu itu, kenapa kalian lebih fokus pada kehilangan yang kalian derita??

Mungkin memang seharusnya saat itu gue juga dihajar mobil ya! Supaya mampus sekalian! Hilang dua nyawa sekalian! Perlakuan mereka pada gue saat ini seakan-akan nggak pernah anggap gue ada dalam hidup mereka. Apa artinya hidup gue? Apa artinya??!


____________________

Keesokan harinya di sekolah. Seperti biasa, gue dan teman-teman gue nongkrong di depan kelas, ngobrol sambil nungguin waktu istirahat selesai.

“Tro!” tegur Daniel.

Gue noleh.

“Kenapa loe, muka lecek amat?”

“Gue butuh suasana baru. Gue butuh sesuatu yang bisa membuat gue melupakan masalah-masalah gue,” jawab gue datar. Gue sadar apa yang baru saja terluncur dari mulut gue. Gue pun sadar, dengan begitu gue berarti menjadi umpan bagus buat mereka.

Temen-temen gue spontan heran dan memandangi gue nggak percaya.

“Nah… begitu, dong Jack! Sekali-kali coba! Kalau nggak coba, gimana bisa tau, ya nggak??” kata Sony.

Serius nih?

Suara hati gue seakan berteriak mencegah gue.

Tapi, toh. Sudah nggak ada lagi yang peduli sama gue. Gue mau ngapain saja, terserah gue. Gue hidup apa mati juga.. barangkali nggak ada yang peduli. Lagian hidup juga cuma sekali, kan. Nikmati saja.

Jadi malam itu kita berempat pergi ke suatu rumah kos. Di dalam sudah banyak banget anak-anak seumuran yang sedang asyik ngobat.

Oh. Tempat kos yang juga dipakai buat bersenang-senang ya.

I see.

Daniel, Sony dan Andre menyapa anak-anak yang nggak gue kenal itu. Mereka saling tos, lalu mengenalkan gue pada mereka.

Gue melihat salah seorang dari mereka memberikan beberapa bungkus bubuk putih ke Daniel. Kemudian Daniel ambil beberapa botol bir yang masih ditaruh di boks, lalu berjalan mendekati gue yang terduduk sendirian di pojok.

Dia menyodorkan sebotol bir ke gue dan berkata, “Loe mau langsung coba yang menjadi santapan gue, atau mau coba ini dulu? Loe pasti belum pernah sentuh alkohol sama sekali kan?”

Tanpa menjawab gue ambil botol bir dari tangan dia.

“Untuk kali ini, loe gue traktir. Baik kan gue? Soalnya gue mesti ubah sikap loe yang katro itu secara bertahap. Menurut gue.”

“Ikhlas nih?” tanya gue.

“Yah…. Barangkali suatu saat nanti gue bakal minta ganti ke loe.”

Gue terdiam. Daniel mulai membuka kertas pembungkus bubuk putih yang tadi dia terima. Heroin? Entahlah. Barangkali.

Dia menutup lubang hidung sebelah kirinya, mendekatkan heroin itu ke lubang hidungnya yang sebelah kanan, lalu menghirupnya. Dia memejamkan mata, wajahnya menampakkan rona puas.

Gue menoleh pada Andre dan teman-temannya yang nggak gue kenal. Andre mengikat lengan atasnya kuat-kuat dengan kain. Setelah itu, salah seorang dari mereka membantu Andre menyuntikkan cairan bening pada lengannya.



-to be continued-
- I do not own any of these pictures, credit as tagged in each picture-

No comments:

Post a Comment